Sabtu, 26 November 2011

penggunaan kurikulum berbasis kompetensi

alah satu dasar hukum dan landasan penggunaan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah didasarkan pada Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (berhubungan dengan) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah (PP)  Nomor 25 tahun 2000 tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Dalam  PP ini, pada bidang pendidikan, dinyatakan bahwa kewenangan  pusat adalah ; “menetapkan standar kompetensi peserta  didik dan warga belajar serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta pedoman pelaksanaannya, dan penetapan standar materi pelajaran pokok. Berdasarkan hal tersebut, Departemen Pendidikan Nasional melakukan penyusunan standar nasional untuk seluruh mata pelajaran di SMA, yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian belajar.

Sesuai dengan jiwa otonomi, Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki kewenangan untuk mengembangkan silabus dan sistem penilaiannya berdasarkan standar nasional. Bagian yang menjadi kewenangan daerah adalah  dalam mengembangkan strategi pembelajaran yang meliputi tatap muka dan pengalaman belajar serta instrumen penilaian belajar. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi daerah untuk mengembangkan standar tersebut apabila dirasa kurang memadai, misalnya penambahan kompetensi dasar atau indikator pencapaian.
Pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mencakup komponen pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kemandirian, kreaktivitas, kesehatan, akhlak, ketakwaan, dan kewarganegaraan. 
Paradigma pendidikan berbasis kompetensi menurut Wilson (2001) mencakup kurikulum, pedagogi, dan  penilaian  yang menekankan pada standar atau hasil. Kurikulum yang berisikan bahan ajar yang diberikan kepada peserta didik melalui proses pembelajaran. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pedagogi yang mencakup strategi atau metode mengajar. Tingkat keberhasilan belajar yang dicapai peserta didik dapat dilihat pada hasil belajar, yang dapat diketahui melalui proses penilaian baik berupa tes maupun nontes.
Implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah perlunya pengembangan silabus dan sistem penilaian yang bertujuan membentuk peserta didik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan mengintegrasikan keterampilan hidupnya (life skills). Silabus adalah acuan untuk merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran. Sistem penilaian diperlukan untuk mengetahui tingkat pencapaian kompetensi. Pengembangan sistem penilaian yang meliputi jenis tagihan, bentuk instrumen, dan contoh instrumen. Jenis tagihan adalah berbagai bentuk ulangan dan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta didik; sedangkan bentuk instrumen terkait dengan jawaban yang harus dikerjakan oleh peserta didik, baik dalam bentuk tes maupun nontes.

BAB II
KARAKTERISTIK  MATA PELAJARAN  KEWARGANEGARAAN

             Karakteristik suatu mata pelajaran perlu diidentifikasi dalam rangka pengembangan silabus berbasis kompetensi dari mata pelajaran tersebut. Struktur keilmuan suatu mata pelajaran menyangkut  dimensi standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok atau struktur keilmuan  mata pelajaran tersebut. Hasil identifikasi karakteristik mata pelajaran tersebut bermanfaat sebagai acuan dalam mengembangkan silabus  dan rencana pembelajaran.
Sebagaimana lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi keilmuan mata pelajaran Kewarganegaraan  mencakup dimensi pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan nilai (values). Sejalan dengan  ide  pokok mata pelajaran Kewarganegaraan yang ingin membentuk warga negara yang ideal yaitu warga negara yang memiliki keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip Kewarganegaraan. Pada gilirannya, warga negara yang baik tersebut diharapkan dapat membantu terwujudnya   masyarakat yang demokratis konstitusional.
Berbagai negara di dunia memiliki kriteria masing-masing tentang warga negara yang baik, yang sangat berhubungan dengan pandangan hidup bangsa yang  bersangkutan yang tercermin dalam konstitusinya. Bagi bangsa Indonesia warga negara yang baik tersebut tidak saja warga negara yang dapat menjalankan perannya dalam hubungannya dengan sesama warga negara dan hubungannya dengan negara sesuai dengan ketentuan-ketentuan konstitusi negara (Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945).
Sehubungan dengan itu, mata pelajaran Kewarganegaraan mencakup dimensi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai Kewarganegaraan,  seperti terlihat dalam Gambar 1 berikut ini.


Gambar 1:
Diagram Struktur Keilmuan Mata Pelajaran
Kewarganegaraan
 
 






























Secara garis besar Mata Pelajaran Kewarganegaraan terdiri dari:
a.  Dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum dan moral. Secara rinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan hak politik.
b.  Dimensi keterampilan kewarganegaraan (civics skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya: berperan serta aktif mewujudkan masyarakat madani (civil society), keterampilan mempengaruhi dan monitoring jalannya pemerintahan, proses pengambilan keputusan politik, keterampilan memecahkan masalah-masalah sosial, keterampilan mengadakan koalisi, kerja sama, dan mampu mengelola konflik.
c. Dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) mencakup antara lain percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur, nilai keadilan, demokratis, toleransi, kebebasan individual, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan perlindungan terhadap minoritas.
Mata pelajaran Kewarganegaraan  merupakan bidang kajian interdisipliner, artinya materi keilmuan kewarganegaraan dijabarkan dari beberapa disiplin ilmu antara lain ilmu politik, ilmu negara, ilmu tata negara, hukum, sejarah, ekonomi, moral, dan filsafat.
Kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran yang memegang peranan penting dalam membentuk warga negara yang baik Good Citizenships) sesuai dengan falsafah bangsa dan konstitusi negara Republik Indonesia.
Dengan memperhatikan visi dan misi mata pelajaran Kewarganegaraan yaitu membentuk warga negara yang baik, maka selain mencakup dimensi pengetahuan, karakteristik mata pelajaran Kewarganegaraan ditandai dengan pemberian penekanan pada dimensi sikap dan keterampilan civics. Jadi, pertama-tama seorang warga negara perlu memahami dan menguasai pengetahuan  yang lengkap tentang konsep dan prinsip-prinsip politik, hukum, dan moral civics. Setelah menguasai pengetahuan, selanjutnya seorang warga negara diharapkan memiliki sikap atau karakter  sebagai warga negara yang baik, dan memiliki keterampilan kewarganegaraan  dalam bentuk keterampilan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  serta keterampilan menentukan posisi diri, serta kecakapan hidup (life skills).
                 Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) dan keterampilan kewarganegaraan (civics skills) akan menjadi seorang warga negara yang berkompeten. Warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) serta nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga negara yang memiliki rasa percaya diri, sedangkan warga negara yang telah memahami dan menguasai keterampilan kewarganegaraan (civics skills) serta nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga negara yang memiliki komitmen kuat. Kemudian warga negara yang memahami dan menguasai pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge), memahami dan menguasai keterampilan kewarganegaraan (civics skills), serta memahami dan menguasai nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) akan menjadi seorang warga negara yang berpengetahuan, terampil dan berkepribadian.

Secara garis besar karakteristik  mata pelajaran Kewarganegaraan  tercermin pada struktur keilmuan mata pelajaran Kewarganegaraan.  Adapun dimensi dan bidang kajian mata pelajaran Kewarganegaraan  di SMA dapat dilihat pada Tabel  1  berikut ini :


Tabel : 1  Dimensi dan Bidang Kajian Mata Pelajaran Kewarganegaraan
No.
Dimensi
Bidang Kajian
1.
Politik
1.      Manusia sebagai zoon politikon
2.      Proses terbentuknya masyarakat politik
3.      Proses terbentuknya bangsa dan negara
4.      Unsur-unsur negara, tujuan negara, dan bentuk-bentuk negara
5.      Warga negara dan cara-cara memperoleh kewarganegaraan
6.      Model-model sistem politik
7.      Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Non Pemerintahan
8.      Demokrasi Pancasila
9.      Indonesia dalam hubungan internasional

2.
Hukum
1.      Negara Hukum
2.      Konstitusi
3.      Sumber hukum
4.      Subyek hukum, obyek hukum, peristiwa hukum, dan sanksi hukum
5.      Pembidangan/penggolongan hukum
6.      Proses hukum
7.      Peradilan bebas

3.
Moral
1.      Pengertian nilai, dan norma
2.      Hubungan antara nilai dan norma
3.      Sumber-sumber ajaran moral
4.      Norma-norma dalam masyarakat
5.      Implementasi nilai-nilai moral Pancasila

4.
Keterampilan dan watak  kewargane-garaan
1.      Pengembangan keterampilan intelektual kewarganegaraan
2.      Pengembangan keterampilan posisi diri
3.      Pengembangan keterampilan partisipasi
4.      Pengembangan watak kewarganegaraan

Pendidikan Karakter


A. Makna Pendidikan Karakter
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang tak pernah bisa ditinggalkan. Sebagai sebuah proses, ada dua asumsi yang berbeda mengenai pendidikan dalam kehidupan  manusia. Pertama, ia bisa dianggap sebagai sebuah proses yang terjadi secara tidak disengaja atau berjalan secara alamiah. Dalam hal ini, pendidikan bukanlah proses yang diorganisasi secara teratur, terencana, dan menggunakan metode-metode  yang dipelajari  serta berdasarkan aturan-aturan yang telah disepakati mekanisme penyelenggaraannya oleh suatu komunitas masyarakat (negara), melainkan lebih merupakan bagian dari kehidupan yang memang telah berjalan sejak manusia itu ada. Pengertian ini merujuk pada fakta bahwa pada dasarnya manusia secara alamiah  merupakan makhluk yang belajar dari peristiwaalam dan gejala-gejala kehidupan yang ada  untuk mengembangkan kehidupannya.
    Pada kenyataannya, alam adalah "sekolah" besar yang telah
mengajari manusia dengan situasi geraknya (gerak alam). Alam yang
bergerak dan berubah, dengan tingkat kesulitan dan kemudahan yang
dihadapi  manusia, direspons oleh manusia  dan menggerakkan cara
pandangnya, kemampuan mengambil kesimpulan, dan mengakumulasi
pengetahuan yang didapat dari pengalaman-pengalaman dialektis
terhadap alam. Hal itu berlangsung dalam waktu yang lama sebelum
pendidikan direduksi (disempitkan) derajatnya menjadi sekolah.
Ribuan dan jutaan tahun manusia belajar dari alam, telah menghasilkan berbagai macam pengetahuan, keterampilan, teknologi, dan nilai-nilai yang mengikuti perkembangan  masyarakat tersebut. Di sinilah, pendidikan berjalan secara alamiah tanpa rekayasa untuk kepentingan pihak tertentu yang  secara sengaja mendesain pendidikan untuk membangun sistem kekuasaan.
    Kedua, pendidikan bisa dianggap sebagai proses yang terjadi secara sengaja, direncanakan, didesain, dan diorganisasi berdasarkan aturan yang berlaku—terutama perundang-undangan yang dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat. Misalnya, kita punya UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang merupakan dasar penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itulah, kata pendidikan—yang berasal dari bahasa Inggris education—berasal dari  bahasa Latin  educare atau educere, yang artinya melatih atau menjinakkan (seperti dalam konteks manusia melatih hewan-hewan yang liar menjadi jinak sehingga bisa diternakkan); juga berarti menyuburkan (membuat tanah menjadi
baik yang siap menjadi persemaian tumbuhan yang berkembang baik
karena tanahnya digarap dan diolah).
    Pendidikan sebagai sebuah kegiatan dan proses aktivitas yang
disengaja ini merupakan gejala masyarakat ketika sudah mulai disadari
pentingnya upaya untuk membentuk, mengarahkan, dan mengatur
manusia sebagaimana dicita-citakan masyarakat—terutama cita-cita
orang-orang yang mendapatkan kekuasaan.
    Sejak zaman modern, manusia mulai menyadari bahwa dirinya
adalah subjek yang bisa mengarahkan alam dan menggunakan
potensi dari alam (termasuk manusia) untuk mencapai tujuan.
Karenanya, tujuan itu harus dilakukan dengan mengolah sumber
daya manusia (SDM) agar tercipta kemampuan dan keterampilan
yang dapat digunakan untuk memanfaatkan alam. Sejak disadarinya
kemampuan manusia untuk mengeksploitasi alam yang bisa diubah
untuk memudahkan kehidupannya, pendidikan menjadi kegiatan
yang kemudian dianggap penting untuk menjadi bagian dari mengatur
masyarakat.
    Cara mengatur manusia dalam  pendidikan ini tentunya
berkaitan dengan bagaimana masyarakat akan diatur Artinya, tujuan
dan pengorganisasian  pendidikan mengikuti arah perkembangan
sosio-ekonomi yang berjalan. Maka, tujuan-tujuan pendidikan harus
didefinisikan berdasarkan ideal-ideal yang dominan dalam percaturan
sosio-ekonomi tersebut. Jadi, ada  aspek material yang menjelaskan
bagaimana arah pendidikan didesain berdasarkan siapa yang paling
berkuasa dalam masyarakat tersebut.
    Pemahaman ini membawa kita untuk lebih mudah memahami
tujuan-tujuan pendidikan yang melampaui makna proses-prosesnya
universalnya. Misalnya, secara umum orang memahami bahwa
tujuan pendidikan  adalah mengarahkan manusia agar berdaya,
berpengetahuan, cerdas, serta memiliki  wawasan dan keterampilan

agar siap menghadapi kehidupan dengan potensi-potensinya yang
telah diasah dalam proses pendidikan. Misalnya, kita sering memahami bahwa proses pendidikan itu berkaitan dengan kegiatan yang terdiri dari proses dan tujuan berikut.
-  Proses pemberdayaan {empowerment), yaitu ketika pendidikan
   adalah proses kegiatan yang membuat manusia menjadi lebih
   berdaya menghadapi keadaan, dari situasi  yang lemah menjadi
   kuat dengan  dilengkapi dengan proses pemberian wawasan dan
   keterampilan agar hal itu membuatnya berdaya.   Proses pencerahan   {enlightment) dan penyadaran {conscientization),   yaitu ketika pendidikan merupakan proses mencerahkan manusia    melalui dibukanya wawasan dengan pengetahuan, dari yang tidak
   tahu menjadi tahu; dari  yang tidak sadar  menjadi sadar, akan
   (potensi) dirinya dan lingkungannya.
   Proses memberikan motivasi dan inspirasi, yaitu  suatu upaya agar
   para peserta didik tergerak untuk bangkit  dan  berperan bukan
   hanya sekadar karena arahan dan paksaan, melainkan karena
   diinspirasi oleh apa yang dilihatnya yang memicu semangat dari
   dalam diri dan sesuai dengan bakat kemampuannya.
   Proses mengubah perilaku, yaitu bahwa pendidikan memberikan
   nilai-nilai yang ideal yang diharapkan mengatur perilaku peserta
   didik. Anak-anak yang perilakunya menyimpang dan tidak sesuai
   dengan kebiasaan masyarakat diharapkan  akan berubah sesuai
   dengan nilai-nilai sosial yang baik dan sekaligus  perilaku tersebut
   mendukung perkembangan kepribadian yang dibutuhkan untuk
   memainkan peran dari ilmu dan nilai yang diperolehnya.
    Akan tetapi, situasi nyata yang sering kita jumpai  adalah proses
dan output pendidikan  tidak sesuai dengan cita-cita indah semacam
itu. Misalnya, kita justru melihat bahwa pendidikan ternyata justru
menghasilkan manusia-manusia yang kehilangan potensi dirinya,
manusia yang serakah dan merusak, dan manusia-manusia yang justru
mengisi sistem yang mengarahkannya menuju tatanan yang malah
tidak memanusiakan manusia.,
    Maka, kita kembali pada proses dialektis pendidikan dengan
sejarah masyarakat terutama dialektika kepentingan material yang
mengendalikan dan mengarahkan pendidikan. Ini adalah cara terbaik
(kritis-dialektis) untuk mengetahui arah tujuan-tujuan pendidikan dan
sesuai dengan kepentingan siapakah pendidikan itu diorganisasi.
    Maka dari situlah, kita melihat bahwa apa yang dihasilkan oleh
pendidikan ternyata bukannya mengubah perilaku, melainkan justru
menyebarkan dan memperkuat perilaku dari kebiasaan yang memang
identik dengan karakter dan watak pihak-pihak yang berkuasa.
Pendidikan juga menghasilkan cara pandang  dan menyebarkan
cara pandang pihak yang berkuasa  dalam masyarakat. Misalnya,
pendidikan yang terorganisasi dalam masyarakat kapitalis—karena
yang berkuasa adalah kelas kapitalis (pemilik dan penumpuk modal
dan keuntungan)—akan menyebarkan cara pandang kapitalis.
    Penulis selalu  mengingatkan bahwa ideologi dan filsafat (cara
pandang) yang disebarkan dalam dunia pendidikan kita (sekolah
dan universitas) bukanlah cara pandang kemanusiaan (universal),
melainkan merupakan cara pandang kelas—tepatnya cara pandang
kelas kapitalis (penumpuk modal). Konsekuensinya, siapa pun yang
sekolah (baik anak kapitalis atau bukan, misalnya anak buruh, petani,
atau pegawai negeri), harus menerima cara pandang filsafat kapitalis
yang kadang juga muncul dalam teks-teks dan materi pelajaran.
    Jelaslah pula bagaimana pendidikan ternyata diorganisasi untuk
memenuhi tujuan-tujuan ideologis itu. Penulis semakin yakin bahwa
pendidikan bukanlah suatu yang bisa dilepaskan dari dominasi kelas
penguasa yang daya cengkeramnya semakin kuat. Pemerintah selalu
menggembar-gemborkan pendidikan gratis dan sering menunjukkan
programnya untuk mengatasi tidak terjangkaunya biaya pendidikan,
tetapi sampai detik ini sekolah juga semakin mahal. Jika sudah ada BOS
(Bantuan Operasional Sekolah) bahkan setelah Anggaran Pendidikan
20% disahkan, ke manakah uang itu dan mengapa tidak membuat
pendidikan menjadi terjangkau? Bahkan, kalau bicara pendidikan
tinggi, biayanya justru kian melambung tinggi. Penulis semakin yakin
bahwa tujuan-tujuan pendidikan yang indah-indah itu hanyalah
cita-cita semu, yang masih harus kita uji secara dialektis dalam relasi
konkret di masyarakat.
    Masih banyak orang tak bisa sekolah. Lembaga pendidikan masih
diisi oleh anak-anak orang kaya. Output pendidikan juga bukannya
menghasilkan manusia-manusia yang berkarakter dan berguna bagi
kemajuan bersama, melainkan justru mengisi lembaga-lembaga
produksi yang tak berguna bagi proses perubahan menuju kesejahteraan bersama. Para output pendidikan juga tak terserap ke ranah kerja produktif. Bahkan, posisi-posisi terhormat jabatan-jatabatan
dalam pos-pos pelayanan publik (pegawai negeri) justru diisi oleh
pemuda-pemudi yang diseleksi bukan  berdasarkan kemampuan dan
dedikasinya, melainkan karena membeli jabatan itu (sogok-menyogok
dalam tes CPNS yang sudah menjadi rahasia umum). Uang yang
dikeluarkan untuk menyogok, RplOO-150 juta rupiah, itu tidak
sedikit. Hanya orang tertentu yang mampu membayar, dan biasanya
adalah anak-anak orang kaya yang biasanya kualitasnya dalam proses
pendidikan diragukan. Biasanya, anak-anak orang kaya kalau kuliah
itu pemalas, tak suka baca, tak menyukai pengetahuan, dan  terlatih
untuk menjadi pegawai yang baik ketika menjabat.
    Hal itu dikhawatirkan akan membuat sektor pelayanan publik diisi
oleh orang-orang yang secara mental tidak beres, yang salah satunya akan melanggengkan budaya korupsi di pemerintahan dan sektor pelayanan
publik. Dari situ kita juga memetik kesimpulan bahwa orang akan
berkorban secara keras untuk mendapatkan jabatan (pekerjaan). Hasil
dari ideologi persaingan tadi, akhirnya orang tidak melakukan persaingan
dengan cara fair, tetapi lewat jalan pintas. Pemenang persaingan mencari
kerja adalah yang menyogok dengan uang itu tadi.
    Maka, terbantahkan  sudah bahwa cita-cita pendidikan adalah
untuk membuat orang memiliki karakter yang baik, punya integritas,
adil, percaya diri, jujur, dan lain sebagainya. Kalau toh pada masa sekolah
anak-anak masih memegang nilai-nilai dan ajaran moral semacam itu,
ternyata setelah keluar dari sekolah dan dituntut untuk mendapatkan
penghasilan dengan cara punya pekerjaan, ia segera tahu bahwa nilai-nilai
yang diajarkan di sekolah ternyata "omong kosong". Untuk apa jujur
dan memegang nilai kebenaran, buktinya yang memang tetap yang licik
yang menggunakan uang. Ternyata, dunia pekerjaan apa pun ternyata
juga diwarnai persaingan yang tak lagi nyambung dengan nilai-nilai
pendidikan. Nilai dan karakter hilang, mungkin yang berguna adalah
keterampilan teknis dan keterampilan memanipulasi orang.
B. Makna Pembangunan Karakter
Kontradiksi kehidupan di berbagai bidang seperti digambarkan di atas
merupakan sebuah kondisi yang membutuhkan jawaban. Ada kondisi
sosial yang membentuk terciptanya karakter dalam diri manusia. Di
sinilah, diperlukan suatu upaya  untuk membangun karakter yang
bisa membentuk watak dan mental manusia yang bisa mengatasi
keadaannya yang didesain oleh kekuatan dari luarnya.
    Untuk memahami makna pembangunan karakter dan mengapa
hal itu penting, ada suatu kisah yang menarik. Suatu ketika, ada seorang
|)endidik yang mengusulkan kepada seorang kepala sekolah agar tidak
menggunakan tes masuk model apa pun dalam menerima siswa baru.
Reaksi sang kepala sekolah terkaget-kaget luar biasa. "Kalau penerimaan siswa baru tidak pakai tes masuk, pasti sekolah ini nanti banyak diisi oleh siswa-siswa yang bodoh-bodoh dan nakal-nakal. Terus bagaimana kualitas lulusan kita nanti, " demikian alasan sang kepala sekolah.     Kemudian, ia menjelaskan alasannya pada kepala sekolah tersebut.Alasannya begini: para siswa baru itu pada dasarnya  tidak ada yang bodoh, tidak ada yang nakal, tidak ada yang kekurangan silatnya. Pada dasarnya, semua anak itu memiliki potensi. Dengan demikian, setelah para siswa baru yang masuk tanpa tes itu diterima, mereka kemudian akan menjalani penelitian kecerdasan yang dimiliki masing-masing. Itu dalam istilah ilmu psikologi pendidikan disebut Multiple Intelligences
Research (MIR). Tindakan tersebut digunakan untuk mengetahui gaya
belajar siswa, sebuah data yang sangat penting yang harus diketahui
oleh para guru yang akan mengajar mereka.
     Menurut penulis, cerita  pendidik tersebut memang benat.
Pendidikan adalah proses pembangunan karakter. Jadi, seharusnya tak masalah siapa pun yang mau masuk ke sekolah. Pembangunan karakter adalah proses membentuk karakter, dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Tergantung pada bekal masing-masing. Mau dibawa ke mana karakter mereka dan mau dibentuk seperti apa mereka nantinya, tergantung pada potensinya—mungkin dalam makna ke depan, juga tergantung pada peluangnya. Bisa jadi, anak-anak yang berbadan kuat dan besar punya karakter yang cocok untuk profesi olahraga. Bisa jadi, seorang anak perempuan yang suka menulis akan menjadi penulis hebat atau jurnalis kenamaan.
     Akan tetapi, cita-cita ideal kisah di atas terbentur pada satu hal.
Misalnya, ada pertanyaan: lalu bagaimana dengan anak-anak yang
miskin? Sekolah mahal dan komersil biasanya akan menolak anak itu,
harus segera diusir karena orangtuanya jelas tak mampu  membayar
biaya sekolah. Tidak perlu menolak mengadakan tes, pihak sekolah
juga akan meloloskan anak-anak yang orangtuanya mampu menyogok
dengan uang banyak. Nah, bukankah ini menyakitkan?
    Jadi, pembangunan dan pendidikan karakter sebenarnya telah
dibatasi (kontradiktif) dengan pendidikan mahal dan komersil atau
kapitalisme pendidikan. Miskin adalah kondisi dan miskin adalah
karakter. Biasanya, tujuan sekolah  adalah  mobilitas sosial agar
yang miskin mendapat bekal pendidikan agar bisa mencari kerja
dan penghidupan yang lebih layak tidak seperti awalnya. Intinya,
membangun karakter itu tak bisa dilepaskan dengan membangun
basis material dan mengembangkan pendapatan material  untuk
meningkatkan karakter.
    Akan tetapi, ketika anak-anak orang miskin tidak mendapatkan
pendidikan, sulit melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, tampaknya
mereka juga tidak diperbolehkan untuk "naik kelas" atau mengubah
nasibnya. Bukankah sistem yang membiarkan kondisi semacam ini
amatlah jahat dan tidak fair?
    Masalah tersebut adalah character building dalam makna
individual. Bagaimana jika pembangunan karakter dikaitkan dengan
pembangunan karakter negara bangsa?
    Sebenarnya, bangsa adalah  kumpulan manusia individual.
Karakter bangsa dicerminkan oleh karakter manusia-manusia yang
ada di dalam bangsa tersebut. Sebuah bangsa lahir mirip dengan
seorang manusia lahir. Seorang bayi lahir dari perjuangan keras
seorang ibu. Ibu pertiwilah yang  melahirkan bangsa. Perjuangan
melahirkan seorang bayi itu kadang juga berdarah-darah, keras, tetapi
juga lancar. Kualitas bayi dan pertumbuhannya juga berkaitan dengan
bagaimana kehamilan dirawat dan bagaimana peristiwa material dalam
kandungan membentuk materi-materi yang berkembang dalam janin.
Pertumbuhan bayi tersebut juga akhirnya ditentukan oleh bagaimana
ia diperlakukan dalam dunia.
    Pembangunan karakter bangsa juga demikian. Ia berkaitan
dengan bagaimana sejarah masa lalu memberikan syarat-syarat
material dan memunculkan persepsi masyarakat terhadap kondisinya
tersebut, dipengaruhi oleh kejadian-kejadian konkret di masa kini.
Pembangunan karakter diperlukan untuk menumbuhkan watak bangsa
yang bisa dikenali secara jelas, yang membedakan diri dengan bangsa
lainnya, dan ini diperlukan untuk menghadapi situasi zaman yang
terus berkembang.
    Hal yang dapat dicatat dari cerita seorang guru di atas adalah
adanya upaya yang keras dan sengaja untuk membangun karakter
anak didik. Pertama, anak-anak dalam kehidupan kita memiliki latar
belakang yang berbeda-beda, memiliki potensi yang berbeda-beda
pula yang mungkin dibentuk oleh pengalaman dari keluarga maupun
kecenderungan kecerdasan yang didapatkan dari mana saja sehingga
kita harus menerima fakta bahwa pembentukan karakter itu adalah
proses membangun dari bahan mentah menjadi cetakan yang sesuai
dengan bakatnya masing-masing.
    Kedua, kita harus menerima fakta bahwa pembangunan karakter
itu adalah sebuah proses sehingga tak masalah kemampuan anak itu
berbeda-beda, tak masalah anak-anak itu  bodoh. Karena mereka
memanglah bahan yang akan kita bentuk. Jadi, tak adil jika sekolah
hanya mau menerima anak-anak yang sudah memiliki kecerdasan
tertentu. Justru, proses pembangunan karakter akan membentuk
mereka dan menggembleng mereka sesuai bakat dan kemampuannya
masing-masing. Harus disadari bahwa pada dasarnya tidak ada anak
yang bodoh atau terbelakang. Itu semua adalah hasil dari kehidupan
dan pembangunan karakter memiliki cita-cita kuat untuk membentuk
kehidupan melalui pembangunan manusia-manusia yang diarahkan
pada karakter kuat untuk menghadapi kehidupannya. Dalam hal ini,
pembangunan karakter menjadi penting karena situasi kehidupan
tertentu dan konteks keadaan tertentu membutuhkan karakter yang
sesuai untuk menjawab keadaan yang ada tersebut.
     Misalnya, bangsa yang masih rendah teknologinya memerlukan
karakter yang produktif dan kreatif dari generasi bangsanya, tempat
berpikir ilmiah menjadi titik tekan karena hal itulah yang sangat
dibutuhkan untuk menjawab tuntutan. Sementara, contoh lainnya,
bangsa yang situasinya terdiri dari berbagai macam suku dan budaya
yang memerlukan upaya saling menghormati untuk menjaga
keberagaman (multikulturalitas). Maka, diperlukan pembangunan
karakter yang membentuk kepribadian terbuka, demokratis, dan
menghormati perbedaan.
     Pembangunan karakter yang  keras harus dilakukan untuk
menjawab kebutuhan masyarakat. Jangan sampai titik tekan
pembangunan karakter justru tidak cocok dengan kebutuhan untuk
mengatasi masalah yang ada. Pembentukan karakter itulah yang
kemudian dapat dilakukan oleh pendidikan karena di dalamnya proses
sosial mengarahkan generasi dilakukan.

C. Pendidikan  Karakter: Definisi dan  Sejarah
    Perkembangan
Pendidikan karakter atau pendidikan  watak sejak awal munculnya pendidikan oleh para ahli dianggap sebagai hal yang niscaya. John Dewey, misalnya, pada tahun 1916, pernah berkata, "Sudah merupakan hal lumrah dalam teori pendidikan  bahwa pembentukan watak merupakan tujuan umum pengajaran dan pendidikan budi pekerti di sekolah. "
    Kemudian, pada tahun 1918 di Amerika Serikat (AS), Komisi
Pembaharuan Pendidikan Menengah yang ditunjuk oleh Perhimpunan
Pendidikan Nasional melontarkan sebuah pernyataan bersejarah
mengenai tujuan-tujuan pendidikan umum. Lontaran itu dalam
sejarah kemudian dikenal sebagai "Tujuh Prinsip Utama Pendidikan",
antara lain:
(1) Kesehatan;
(2) Penguasaan proses-proses fundamental;
(3) Menjadi anggota keluarga yang berguna;
(4) Pekerjaan;
(5) Kewarganegaraan;
(6) Penggunaan waktu luang secara bermanfaat;
(7) Watak Susila.
    Di  dunia Barat, pendidikan karakter memang muncul sebagai
evaluasi terhadap pendidikan yang bertumpu pada titik berat pemikiran
modernisme yang bersifat positivistik yang membuat jiwa manusia
kering akibat industrialisasi yang menggeser nilai-nilai spiritual dan
kemanusiaan. Positivisme yang memisahkan antara subjek dan objek
secara dikotomis dipandang sebagai penyebab hilangnya dunia makna
dalam diri manusia ketika modernisme adalah ideologi yang terkesan
menegaskan kesibukan manusia untuk mengeksploitasi alam. Cita-cita
kebebasan justru dipisahkan dari keberakaran makna subjektivitas
manusia karena terbiasa membuat manusia hanya percaya pada hal-hal yang kasat mata dan sesuatu yang bisa diverifikasi.
    Kesalahan  modernisme dalam dunia pendidikan antara lain
pengaruh positivisme yang menganggap pendidikan sebagai sarana
untuk menaklukkan alam tempat manusia harus takluk pada hukum
alam yang dianggap evolusioner. Di sini pendidikan  kehilangan
nilai-nilai, yaitu aspek subjektif manusia yang seharusnya dihormati
kehilangan maknanya dan tereduksi ke dalam kuantitas-kuantitas
capaian material saja. Lebih jauh, dari pihak lain muncul kritik
bahwa pendidikan modern kehilangan dimensi transendental
dan kerohaniahannya. Pihak inilah yang lebih menekankan pada
pendidikan karakter yang menggaungkan kembali semangat agama.
    Namun, yang perlu diingat, pendidikan karakter juga bukan
hanya pendidikan agama dan pendidikan moral. Pendidikan karakter
memiliki banyak varian-varian yang dilahirkan dari pemaknaan
terhadap karakter manusia. Kita akan melihat titik tekan yang berbeda
dalam lintasan waktu dan tempat, bagaimana pendidikan karakter
dimaknai. Oleh karena itu, ada baiknya kita menengok pendidikan
karakter dalam dinamika sejarah dan lintasan wilayah (tempat) yang
berbeda-beda.
    Dalam sejarah peradaban manusia, pendidikan  karakter
mendapatkan gaung yang suaranya masih terdengar hingga kini sejak
ia digemakan  oleh Peradaban Yunani Kuno dengan para filsufnya.
Mungkin karena peradaban itu merupakan tempat cita-cita humanisme
muncul, tempat pemikiran-pemikiran yang menjadi cikal bakal
nilai-nilai kemanusiaan hingga kini berkembang.

1. Pendidikan Karakter Yunani Kuno
    Kesaksian munculnya ide-ide  Yunani Kuno yang agung salah
satunya dapat dilihat dari  karya-karya Homeros. Karya-karyanya
tentang ajaran dan sejarah Yunani merupakan uraian tentang visi
pendidikan karakter. Karyanya yang cukup terkenal berupa puisi-puisi
dalam "Illiad" dan "Odisea".
    Homeros menempatkan sejarah sebagai kisah para pahlawan. Para
pahlawan yang dimaksud adalah orang-orang besar yang memiliki
watak baik. Orang besar yang demikian berarti manusia yang baik
(aner agathos). Keterpesonaannya adalah para watak kaum aristokratis (bangsawan). Ciri-cirinya adalah kaum yang memiliki arete, yang mengacu pada kekuatan fisik, yang menghasilkan sifat keberanian, yang membuat identitas terhormat dan sukses tanpa cacat. Ia juga berarti kekuatan, keuletan, kemakmuran, kepandaian, kemurahan hati, kesehatan, bijaksana, gembira, dan keunggulan-keunggulan lainnya. Dalam karya epiknya, "Illiad", Homeros memilih bahwa sosok yang bisa dijadikan simbol kepahlawanan adalah Achilles, sosok pahlawan yang menang dalam pertempuran. Bukan hanya kekuatan fisiknya, melainkan juga karena reputasi moralnya yang layak menjadi patokan karakter bagi generasi masyarakat.
    Selain Homeros, pujangga Yunani lainnya juga menyuguhkan
simbolisasi bagi karakter yang baik. Mereka juga tak hanya melihat
sosok pahlawan dalam kebangsawan semata. Namun, juga melihat
keutamaan dalam profesi-profesi dan kelas-kelas lainnya. Misalnya,
keutamaan petani (Hesiodos), keutamaan tentara (Tirteo dan Callino),
keutamaan kegiatan olahraga (Pindaro), nilai-nilai warga negara
(Salomo). Juga, keutamaan menjadi orang yang pandai bicara dan
orasi (misalnya, kaum Sofis dan Isokrates). Kemudian, juga muncul
keutamaan filsafat seperti kita lihat pada Plato.
     Keutamaan nilai yang diajarkan oleh  Hesiodos yang  dasar
moralitasnya keadilan dan kerja keras adalah hal yang menarik. Ia
menganggap bahwa barangsiapa yang bekerja ia berbuat adil. Ajaran
karakter seperti ini bahkan ditujukan pada para hakim, seakan ia adalah nabi keadilan.
     Hesiodos yakin bahwa kerja adalah keutamaan, yang menegaskan
bahwa konsep  arete yang pernah dilontarkan Homeros bukan hanya
milik kaum bangsawan atau kaum kaya saja. Ia bisa dimiliki oleh
orang banyak dan rakyat biasa, kelas pekerja. Mereka yang tidak
bekerja, menurut Hesiodos, berlaku tidak adil dan sulit melihat adanya
keadilan.
    Jadi, Hesiodos telah menggeser keutamaan nilai bangsawan
(orang kaya) dari Homeros menjadi lebih populis yang didasarkan
pada keutamaan rakyat mayoritas. Penghargaan atas nilai kerja inilah
yang kelak di zaman modern memunculkan filsafat baru yang ingin
memberikan penegasan bahwa filsafat dan nilai-nilai utama manusia
itu didasarkan pada kepentingan universal yang berbasis pada kelas
pekerja. Filsafat itu adalah Marxisme yang muncul sejak abad ke-19.
    Jadi, ternyata nilai-nilai moral yang ada di zaman modern ternyata
jauh-jauh hari telah dimulai sejak zaman Yunani Kuno. Di Yunani telah
muncul banyak filsuf dengan penekanan yang berbeda-beda meskipun
berujung pada nilai-nilai humanisme dan demokrasi. Homeros  dan
Hesiodos adalah dua nama  sejarawan dan pujangga yang mampu
menangkap nilai-nilai yang muncul.
    Ada nama lainnya, seperti Tirteo, yang menangkap munculnya
keutamaan yang ada pada orang-orang yang sangat nasionalis yang suka bertempur demi negaranya. Ia merujuk pada  Sparta sebagai bangsa yang memiliki nilai keutamaan semacam itu. Ini adalah semangat baru bagi warga negara. Sparta mengajarkan bagaimana patriotisme adalah nilai  yang sangat penting, tempat warga negara harus mengabdikan diri pada negaranya dan harus diikuti keberanian untuk berkorban dan menghilangkan kepentingan-kepentingan individu.  Berbeda lagi dengan negara kota yang bernama Athena. Jika Sparta berkarakter patriotis dan suka berperang dengan penuh keberanian, Athena identik dengan  nilai-nilai demokratis  dan dipenuhi banyak pemikiran filsafat dan keindahan. Athena pernah menjadi saksi  dari para  pemberani yang suka berperang, tetapi  kemudian mengalami perubahan yang signifikan menuju negara kota yang diwarnai dengan upaya mencari kebijakan, karakter militer menghilang berubah menjadi

masyarakat sipil yang melahirkan nilai-nilai yang kelak menjadi cikal
bakal pengetahuan manusia. Kemajuan masyarakat sipil terjadi sejak
Athena dipelopori oleh Solon (630-560 SM). Ia adalah seorang
pembaru yang sangat keranjingan akan seni dan kebudayaan. Posisinya sebagai arconte (semacam anggota legislatif di Yunani yang punya kewenangan menjalankan pemerintahan) sangat menentukan sejarah ketika  ia memulai sebuah konsensus bersama antar-warga polis. Ia menganjurkan agar tata pemerintahan yang baik (demokratis) bukanlah tanggung jawab dan hak para bangsawan saja, melainkan juga seluruh warga negara.
     Kehidupan sipil semakin berkembang. Masa kejayaan terjadi di
Athena pada masa Perikles (sekitar abad ke-5  SM). Pendidikan mulai
menjadi kegiatan yang berguna untuk mendidik nilai-nilai sipil.
Pendidikan sipil berbasis pada disebarkannya nilai-nilai demokrasi
dan  hak-hak individu, tempat seni menyampaikan gagasan sangat
terkenal—terutama seni berbicara melalui retorika dan orasi. Nilai-nilai
yang dibawa kaum Sofis ini sangat penting sekali artinya untuk
menciptakan karakter politik yang demokratis. Orang-orang mulai
tertarik pada pencarian akan kebijaksanaan dan penyampaian gagasan
yang dilakukan dengan kata-kata yang indah  dan menarik.
     Kaum Sofis sempat dicap secara negatif sebagai kaum yang hanya
suka bersilat lidah. Mereka dianggap hanya menghabiskan banyak waktu untuk  seni bicara, tetapi kurang peduli pada kebenaran. Di sinilah kemudian mulai terpikirkan pentingnya nilai-nilai kebenaran dan
esensi dari suatu pikiran. Inilah yang kemudian memunculkan Socrates
(470-399 SM) yang mengajak untuk kembali pada kedalam jiwa
manusia—dan bukan pada teknik-teknik bicara indah. Pernyataannya
yang cukup terkenal adalah "Kenalilah dirimu  sendiri!"—bukan hanya
nama, melainkan sebagai esensi jiwa yang membedakan kita dengan
makhluk rendahan lainnya.
    Sumbangannya pada filsafat dan jalan menuju kebijaksanaan
berpijak pada kebutuhan manusia untuk mulai mengenal dunia
melalui pengetahuan. Metode yang diperkenalkannya adalah metode
pengujian realitas secara induktif Upaya Socrates untuk mencurahkan
perhatiannya pada perkembangan metodologi atau model prosedural
untuk mencapai kebenaran sampai pada ditemukannya metode definisi
atau dialektika dalam hal pengujian secara kritis terhadap kebenaran
sebuah opini. 117

    Melalui proses tanya jawab secara terus-menerus, dia berupaya
menembus esensi atau hakikat subjek, seperti keadilan atau kebebasan,untuk sampai pada definisi yang universal. Pertama-tama, ia mencari definisi superfisial istilah tersebut dan para pendengarnya dan kemudian, melalui pengujian silang, mengajak mereka untuk melihat kekurangan- kekurangannya. Pertanyaan-pertanyaan selalu mengarahkan mereka secara perlahan-lahan dan tak terasa ke wilayah yang dia yakini sebagai tempat kebenaran. Setiap langkah diarahkan pada inspeksi kritis terhadap akal. Socrates menyebut metode ini dengan maieutic (dari bahasa Yunani maieutikos yang berarti bidan). Meski demikian, seni perbidanan intelektuallah yang mencoba melepaskan pemikiran yang tertidur  dari pikirannya dan mengarahkannya untuk mencapai esensi. Metode Socrates yang baik digambarkan dalam dialog-dialog Plato, muridnya yang juga merupakan  filsuf politik yang lebih nyata dibandingkan Socrates. '
    Bagi Socrates, formulasi doktrin kebaikan adalah pengetahuan.
Menurutnya, orang yang bijak adalah orang yang mengetahui,
sedangkan orang yang berdosa adalah orang yang bodoh. Pengetahuan yang benar akan membimbing pada tindakan yang benar. Tindakan jahat adalah akibat dari wawasan yang kurang baik. Tak terbayangkan olehnya bahwa seseorang yang mengetahui dasar kebaikan  dan kebenaran akan berbuat jahat. Karena tidak ada manusia yang berbuat dosa secara sengaja, pengetahuan diperlukan untuk membuatnya benar-benar bijak. Karenanya, wajib untuk mengajar manusia  agar mengerti dan memahami agungnya kebenaran hidup. Dengan mengetahui kebenaran itu, manusia akan berbuat secara bijak dan akan memperbaiki kerusakan masyarakat.
    Ajaran yang dapat kita petik tentang karakter Socrates adalah
bahwa nilai-nilai yang lahir dari pengetahuan yang benar amatlah
penting bagi pembentukan nilai-nilai yang dipegang oleh seseorang.
Tanpa pengetahuan yang benar tentang nilai moral, akan sulit  bagi
orang untuk  melakukan suatu tindakan yang bermoral. Sebab,
tindakan moral adalah tindakan dasar dan bebas yang dilakukan demi
kepentingan nilai dalam diri seseorang tersebut.
    Setelah Socrates, muncul nama Plato (429-347 SM) yang
merupakan murid Socrates. Saat Socrates dihukum mati dengan cara
minum racun, Plato berusia 29 tahun. Plato adalah pendidik karakter
yang nyata karena ia mendirikan sekolah filsafat di sebuah hutan kecil
yang tak jauh dari Athena, yang namanya diambil dari nama pahlawan
legendaris Yunani, Academicus. Inilah asal mula munculnya istilah
akademi—yang setelahnya ribuan "akademi" bermunculan di berbagai
belahan dunia. Di akademi itu Plato mengajar selama 40 tahun, hanya
terputus sementara karena kepergiannya ke Sisilia beberapa kali. Dalam usianya yang ke-81 tahun, ia meninggal di Athena.
    Pendidikan karakter Plato diabdikan untuk mengejar keutamaan
hidup masa ketika pendidikan yang hanya  mengejar sukses, rasa
hormat, apalagi popularitas dianggap sebagai karakter yang rendah.
Plato berusaha mencetak karakter dengan ukuran bahwa seorang
pemimpin itu haruslah  orang yang bijaksana. Ia percaya bahwa
pemimpin yang bijaksana adalah para filsuf
    Dalam Republic, ia juga mengatakan bahwa berdasarkan atas
prinsip bakatnya, anggota negara yang ideal dibagi menjadi tiga kelas:
penguasa, prajurit, dan produsen. Kelas penguasa adalah yang memiliki
nalar baik. Kelas ini menentukan seluruh bagian negara melalui legislasi
dan aturan umum. Kelas ini diisi oleh para filsuf.
    Prajurit adalah yang menggunakan kebesaran nafsu dan jiwanya
yang berani. Kelas ini mencakup  golongan militer dan pejabat
administratif, tugasnya menjaga negara dan menegakkan hukum.
Sedangkan, produsen dikaitkan dengan panca indranya. Mereka
adalah bagian besar dari rakyat yang bertugas menyediakan kebutuhan material untuk masyarakat.
    Mengapa ia memilih karakter utama adalah orang yang
punya  kebijakan akibat pengetahuannya? Sebab, kebijakan  adalah
pengetahuan. Dalam hal ini, ada tiga konsep yang harus dipahami.
pertama, kebenaran harus objektif dan tidak berubah agar kita bisa
mencapai pengetahuan mengenainya. Sebaliknya, kita hanya bisa
memiliki opini dan bukannya pengetahuan yang sejati. Kedua, karena
kebajikan disamakan dengan pengetahuan, orang yang mengetahui
harus diberi peran  menentukan dalam urusan publik. Tugas untuk
menemukan  penguasa yang baik  dan bijak, dengan demikian,
dilakukan dengan ujian pengajaran. Ketiga, negara harus mengambil
peran aktif dalam mendidik rakyatnya, khususnya kepada orang-orang
yang percaya dengan bimbingan dan arahan kehidupan publik. Suatu
masyarakat yang semakin bijak dan berfungsi secara baik akan dibantu
dengan pelatihan hingga memperoleh kemampuan yang luas. 118
    Pendidikan karakter Plato berangkat dari kepercayaan bahwa
dengan mencetak orang-orang yang bijak, kita bisa menciptakan negara uang ideal. Tujuan negara dalam konsep Plato memang tampak ideal sekali. Karena negara adalah penyatuan dari berbagai macam individu yang berbeda, tujuan negara adalah kesejahteraan bersama. Kata Plato, "Tujuan kita menegakkan negara bukanlah ketidakseimbangan kebahagiaan kelas tertentu, melainkan demi kebahagiaan buat semua. "119
     Pemikiran politik Plato yang sangat klasik bisa saja dianggap tak
sesuai dengan politik modern sekarang ini. Akan tetapi, ada hal-hal
yang menarik  yang masih harus  dipertahankan. Peran pokok yang
harus dimainkan oleh pendidikan bagi warga masyarakat merupakan
tekanan pemikirannya yang harus dilakukan negara dan kekuatan
politik saat ini, terutama di Indonesia. Ketidaksukaannya pada korupsi
dan penyelewengan kekuasaan, serta mimpi indah tentang tanggung
jawab negara untuk kesejahteraan umum masyarakat masih sangat
relevan untuk konteks negara sekarang ini.
     Nama Aristoteles (384-322  SM) muncul menggantikan Plato,
gurunya di Akademia. Beda Aristoteles dengan gurunya adalah jika
Plato sangat asyik dengan bentuk-bentuk yang bersifat kekal seperti
"ide-ide", Arsitoteles  justru sangat  tertarik untuk memerhatikan
perubahan-perubahan  atau apa yang dinamakan sebagai proses alam.
Aristoteles ingin menyelidiki sifat-sifat umum dari segala yang ada di
dunia ini. "Prima philosophia", yaitu filsafat yang pertama dan utama,
mencari hakikat yang terdalam dari apa yang ada. Jadi, filsafatnya
adalah ajaran tentang kenyataan atau ontologi, suatu cara  berpikir
realistis (lawan dari filsafat idealistis).
     Salah satu karya yang terkenal adalah yang ditulis Aristoteles,
yaitu Etika Nikomakea. Dalam buku ini, ia mengatakan bahwa
hidup  harus bertujuan pada eudamonia yang bila dipahami akan
menghasilkan perbuatan dan moral yang baik dan bijak. Sebenarnya,
buku itu adalah kumpulan tulisan yang awalnya adalah catatan-catatan dari kuliah-kuliahnya di Lyceum yang kemudian dibukukan sebagai persembahan untuk Nikomakus, anak anak laki-lakinya. 120
    Etika Aristoteles dikenal sebagai etika yang bersifat teleologis,
etika yang terarah pada tujuan. Aristoteles berpandangan bahwa segala sesuatu pasti memiliki maksud atau tujuan. Sebagai contoh: sebilah pisau dibuat dengan tujuan untuk mengiris, memotong, dan lain sebagainya.
Manusia hidup juga memiliki tujuan. Manusia menciptakan segala
sesuatu dengan tujuan-tujuan sehingga dari kecakapan, tindakan, dan
capaian pengetahuan juga mempunyai tujuan, misalnya menciptakan
obat-obatan demi kesehatan, menciptakan ilmu untuk membantu
memudahkan hidup, dan lain-lain.
    Dalam  memaknai pendidikan pun akhirnya ia menekankan
pada tujuan praktis sebuah pendidikan. Tujuan praktis ini merupakan
kebijaksanaan harian yang berurusan erat dengan dimensi etis dan
politis. Sikap terhadap etika ini disebut "Etika Kebajikan" atau etika
yang berpusat pada watak: tindakan-tindakan setiap  orang harus
membuat orang  itu lebih baik dan membangun watak yang lebih
baik pula. Orang lain  akan melihat kita sebagai orang yang pemberani
(demikian asumsi Aristoteles) bila kita umumnya melakukan
tindakan-tindakan yang berani apabila kesempatan  itu muncul.
Etika Nikomakea dianggap sebagai salah satu contoh  dari etika
kebajikan seperti itu. Kita sepakat dengan Aristoteles bahwa kebajikan
Intelektual adalah suatu nilai yang harus dijunjung tinggi. Aristoteles
menguraikan lima kebajikan intelektual, di antaranya: pengetahuan,
seni, kehati-hatian, intuisi, dan kebijaksanaan.
     Setelah Aristoteles, ternyata kemudian ada pembalikan  sejarah
yang akan mulai  mengakhiri kejayaan Yunani. Setelah meninggalnya
Iskandar pada tahun 232 SM, dunia terpecah-pecah. Maka, di negeri
Yunani muncul perserikatan-perserikatan kota-kota seperti Aetolia dan
Archaeia, yang merupakan pemerintahan merdeka yang berbentuk
serikat. Keadaan ini berlangsung terus sampai negeri Yunani nantinya
menjadi bagian dari kerajaan Romawi.
     Era transisi menandai terdesaknya universalisme Yunani yang
dijunjung sejak Socrates, Plato, dan Aristoteles. Sekitar tahun 300 SM,
muncul tokoh bernama Epicurus (341—270), seorang yang pernah
menjadi murid Socrates. Pandangan Epicurus banyak dipengaruhi
oleh etika kenikmatan Aristippus, yang percaya bahwa tujuan hidup
adalah kenikmatan indrawi setinggi mungkin, "Kebaikan tertinggi
adalah kenikmatan. Kejahatan tertinggi adalah penderitaan. 121 Tentu
saja bukan hanya kenikmatan fisik saja yang masuk dalam kategori itu.
Nilai-nilai seperti persahabatan dan penghargaan terhadap kesenian
juga masuk di dalamnya.
     Pandangan tersebut tampaknya menjadi anti-tesis  dari
kecenderungan Yunani kuno penuh dengan ajaran bahwa hidup
diperlukan kontrol diri, kesederhanaan, dan ketulusan. Nafsu harus
dikekang dan ketenteraman hati akan membantu kita menahan
penderitaan. Kecenderungan filsafat Epicurean (aliran Epicurus ini)
dapat dikatakan materialistik, yang mengajarkan bahwa karakter
manusia yang  baik itu ditekankan pada upaya mencari kesenangan
material. Ia beranggapan bahwa jiwa tidak lebih dari substansi tubuh
yang terdiri dari partikel-partikel yang tidak bisa diraba, seperti partikel
napas dan tekanan darah yang tersebar di seluruh tubuh.
     Epicurus menolak bahwa ada kebajikan dan nilai moral instrinsik
atau standar objektif bagi kebenaran dan kesalahan. Menurutnya,
tindakan yang menyebabkan kealpaan atau kejahatan disebabkan

tindakan tersebut membuat tidak nyaman atau menyebabkan sakit.
filsafat materialisme yang dipegangnya membuat ia beranggapan
bahwa jika kebahagiaan terdiri dari kebebasan dari segala kesusahan
dan kekhawatiran, tanggung jawab moral pribadi dan rasa takut
akan kesadaran dan agama tidak bisa memperoleh tempat dalam
kehidupan.
    Jika sebelumnya Plato berupaya memperbaiki kecenderungan
hati orang di dalam negara dengan melalui jalan dialektik,
kemudian Aristoteles hendak mempertahankan keadaan dan hendak
memperbaikinya  dengan pengetahuan tentang kenyataan yang
sebenarnya, Epicurus justru dengan sikap pikirannya yang tak acuh
karena terpaksa, yang memberikan penyesuaian pikiran dan pertolongan
kepada keadaan yang bobrok, tanpa harapan, dan tanpa usaha untuk
menyelamatkan diri dari keadaan-keadaan itu. Oleh karena pemikiran
seperti itulah, Epicurus melukiskan negara dan hukum hanya sebagai
saat yang ternyata tak mempunyai nilai sama sekali untuk kemudian
hari. Artinya, karakter yang dibangunnya berlandaskan pesimisme atas
ukuran-ukuran moral dan etika.

2. Pendidikan Karakter Romawi dan Abad Pertengahan
    Datangnya era Romawi harus dilihat dari  kontinuitas sejarah
sebelumnya, ketika pengaruh Yunani tak menghilang sama sekali.
dalam sejarah pemikiran politik, Romawi dapat dikatakan membawa
gaagasan yang merupakan transisi dari era Yunani Kuno menuju
pemikiran Eropa barat Era Modern. Periode Romawi dikenal bukan
karena teori politiknya, melainkan karena hukumnya, dan dalam
hal tertentu juga karena administrasinya. Di bidang inilah Romawi
meninggalkan warisannya pada Barat.

     Pendidikan karakter di era Romawi lebih banyak dibentuk melalui
keluarga. Pendidikan karakter menekankan dipegangnya nilai-nilai
yang disosialisasikan melalui keluarga, nilai-nilai yang mengandung
unsur tradisi yang diwariskan oleh para leluhur. Unsur-unsur
karakter yang menonjol dari bangsa Roma adalah  nilai-nilai, seperti
mengutamakan kebaikan tanah air, devosi {la pietas) atau penyembahan
dan penghormatan pada para dewa, kesetiaan {la fides), perilaku yang
berkualitas {la gravitas), dan nilai-nilai stabilitas {la  constantid)
     Pada era berikutnya, kita menjumpai bagaimana pendidikan
karakter sangat dipengaruhi oleh ajaran kristiani setelah munculnya
agama ini, yang menandai abad agama yang kadang juga disebut sebagai Abad Kegelapan (The Dark Age) sebelum munculnya revolusi Industri dan zaman pencerahan. Era "kegelapan" terjadi ketika pendidikan dan arahnya dihegemoni oleh gereja.
     Pendidikan karakter di era ini identik dengan pendidikan moral
agama yang memang menawarkan konsep-konsep moral dan nilai yang dipandang sebagai jawaban atas masalah-masalah moral sebelumnya. Salah satunya adalah bobroknya kekuasaan Roma, baik secara moral maupun politik. Meskipun mendapatkan legitimasi dan dasar yuridis (hukum) yang kuat, kerajaan Romawi pada telah jatuh dalam keadaan yang bobrok dan lemah. Pemerintahan daerah (propinsi) menjadi demoral dan hanya memikirkan kepentingannya sendiri serta sangat korup. Di kota-kota Romawi juga kedatangan kaum miskin dan para gembel yang menimbulkan berbagai macam kerusuhan sekaligus perlawanan. Pada ranah pemikiran, permulaan abad Masehi diwarnai dengan situasi serba-putus harapan. Para kaisar pun  kian despotik dan korup.

    Dalam situasi itulah, ajaran kristiani mendapatkan pengaruh
yang luar biasa. Kelahiran Yesus dan pertumbuhannya yang bersahaja menghipnotis orang-orang Romawi. Pengikut Yesus dari Nasareth semakin banyak pengikutnya, membawa agama baru bagi kerajaan, juga menyebarkan kesadaran baru, pemahaman baru, dan harapan baru akan pengampunan. Dengan cepat ajaran Kristen merasuki masyarakat, yang belakangan juga mendapatkan penerimaan di lingkungan politik negara, hingga gereja mengendalikan negara.
    Pendidikan untuk anak-anak diarahkan pada karakter religius
sesuai dengan ajaran kristiani. Cita-cita pendidikan kristiani ini adalah
mengarahkan pribadi agar mampu memberikan tanggapan bebasnya
atas tawaran cinta kasih Allah yang telah menebus dosa-dosa mereka
sehingga mereka, dengan pertolongan dan rahmat Allah, sampai pada
kekudusan, menjadi seorang santo atau santa.
    Pada  kenyataannya, pendidikan karakter  kristiani  diolah
berdasarkan keinginan kekuasaan para aristokrat yang berlindung pada gereja dan hal ini memunculkan berbagai reaksi. Di kalangan penganut Kristen mulai muncul berbagai gerakan yang mempertanyakan posisi kekuasaan Abad Pertengahan. Ada  pandangan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan lebih penting dari pada hubungan manusia (lengan  gereja. Artinya, mulai muncul gejala ketika otoritas gereja mulai dipertanyakan.
    Protes yang cukup signifikan dalam sejarah gereja  terjadi pada
11i Oktober 1517, saat seorang pendeta Augustinian yang bernama
Martin  Luther menempelkan 95 pernyataan bersejarah di pintu
gereja kastil di Wittenberg. Martin Luther tidak puas dengan hierarki
gereja dan hukum gereja, yang dianggapnya tidak berdasarkan kitab
suci dan hanya digunakan  untuk memperoleh kekayaan duniawi.
Dominasi gereja dan ketidakpuasannya itu seiring dengan  kebangkitan (intanya pada kebangsaan Jerman. Akhirnya, ia mempermasalahkan
hubungan antara gereja dan negara. Ketika kaisar Jerman berselisih
dengan raja-raja, mula-mula Luther mengajarkan bahwa kaum Kristen
boleh membela diri terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang.
Jika kaisar melanggar undang-undang, baginya rakyat tak usah
mematuhinya.
     Pada saat yang sama, moralitas gereja semakin tersingkir oleh
ide-ide baru yang dibawa oleh Era Pencerahan {Renaissance)—begitulah
banyak orang menyebutnya. Era ini terjadi mulai abad ke-14
hingga ke-16. Tentunya, tak ada perkembangan pemikiran yang tak
disebabkan oleh dinamika material-ekonomi. Ketika legitimasi dan
dominasi gereja mulai berkurang, campur tangan gereja terhadap
politik dan urusan negara mulai digugat. Di sinilah paham sekularisme
muncul, keinginan untuk memisahkan urusan agama dari masalah
negara/politik. Orang lebih menyukai pengetahuan dan kebebasan
berekspresi daripada cara berpikir yang terkekang. Jadi, ini adalah era
lahirnya humanisme. Keterampilan yang sebelumnya diarahkan pada
pembangunan katedral-katedral megah yang menjadi simbol kejayaan
Tuhan, sekarang diarahkan pada pemujaan kepada manusia.

3. Pendidikan Karakter Era Modern
     Inilah yang membuat era baru bernama "modernisasi" memusatkan
diri pada manusia (antroposentrisme). Pandangan subjektif berusaha
disingkirkan karena manusia dengan bantuan pengetahuan dan
rasionalitas telah dibimbing untuk melihat alam secara objektif karena
alam adalah objek yang akan dianalisis  dan dimanfaatkan untuk
mengembangkan kehidupannya.
     Ludwig Feuerbach dalam The Essence of Christianity berkata,
"Agama adalah sebuah mimpi, di mana pandangan dan emosi kita
muncul di hadapan kita sebagai satu keberadaan yang mandiri, yang
hadir di luar diri kita. Pemikiran religius tidaklah membedakan
mana yang subjektif, mana yang objektif—pemikiran  itu tidak
memiliki keraguan; ia memiliki berkah, bukan dalam kemampuan
memahami hal-hal lain di luar dirinya, tapi dalam melihat dirinya
sesuai pandangannya sendiri sebagai satu keberadaan yang khusus dan istimewa. "123
    Pendikotomian subjek dengan objek itulah yang kemudian
dianggap sebagai penyebab munculnya berbagai macam kekeringan
makna dalam pribadi-pribadi modern. Modernisasi kapitalis dengan
l)crbagai masalah yang ditimbulkannya (kemiskinan dan pemiskinan,
kerusakan  lingkungan alam, budaya dangkal, dan lain-lain) muncul
karena manusia dianggap terpisah dari makna subjektifnya dalam
kehidupan. Kesibukan hidup dalam  rangka mengejar kemajuan
dan pertumbuhan material semata, dianggap telah memunculkan
masalah-masalah baru dalam ranah karakter manusia.
    Jika berbicara mengenai ketidakbermaknaan hidup dan rusaknya
karakter manusia dalam era modern, ada pandangan yang menyatakan
bahwa manusia telah kehilangan spiritualitas yang hanya dijawab
dengan  agama. Mereka menawarkan pendidikan karakter yang
menekankan pada pendidikan moral agama, yang dapat dianggap
sebagai solusi atas masalah-masalah modernitas.
    Akan tetapi, ada juga pandangan bahwa hal itu  bukan hanya
masalah pemaknaan  religius semata. Rusaknya moral  bukanlah
masalah internal subjek manusia, melainkan subjektivitas itu juga harus dipahami sebagai bagian dari kehidupan material secara umum. Dalam hal ini, hilangnya subjektivitas bukan semata disebabkan dari dalam dirinya, melainkan oleh kondisi lingkungan sosial yang membentuk subjek tersebut—yang bahkan menjadikan manusia sebagai objek eksploitasi. Sebagai contoh, munculnya masalah kemanusiaan dan rusaknya karakter dan kepribadian manusia bukan semata tanggung jawab manusia secara individu, melainkan lebih banyak dibentuk oleh kondisi sosial yang ada. Maka, pendidikan karakter yang ditawarkan
untuk mengatasi masalah manusia tidak cukup  hanya dengan
mengisinya dengan moral agama, tetapi juga diisi dengan penyadaran
akan realitas dan mengaktifkan potensi gerakan manusia untuk
mengatasi realitas yang ternyata membelenggunya dan menurunkan
karakter kemanusiaannya.
    Pandangan yang pertama tadi mengandaikan pentingnya
pendidikan agama yang oleh sebagian orang dan kelompok harus
didoktrinkan secara total untuk mengatur manusia dan membentuk
karakternya. Pembentukan karakter melalui pendidikan agama
banyak dikritik  akan menumpulkan potensi akal  kritis manusia
karena anak-anak hanya diberikan emosi-emosi tertentu yang kadang
tak sesuai dengan tindakan yang diperlukan. Dalam  esainya yang
berjudul "Agama dalam Pendidikan", Bertrand Russell mengungkapkan
beberapa sisi buruk pendidikan agama. "124
    Pertama, anak-anak yang sangat cerdas, yang  menemukan
melalui pemikiran bahwa argumen-argumen mengenai kekekalan
itu tidak pasti, akan dipatahkan semangatnya oleh guru-gurunya,
bahwa mungkin dihukum; dan anak-anak yang lain memperlihatkan
kecenderungan untuk berpikir serupa, akan dikecutkan hatinya dari
percakapan mengenai topik-topik semacam itu, dan mungkin dicegah
dari membaca buku-buku yang dapat meningkatkan  pengetahuan
mereka dan kekuatan penalaran mereka.
    Kedua, karena dewasa ini kebanyakan orang yang kecerdasannya
jauh berada di  atas rata-rata agnostik (cuek pada agama) secara
terbuka atau diam-diam, para guru di sekolah yang mendesakkan
agama tentu saja tolol dan munafik, kecuali bila mereka merupakan
bagian  dari kelas kecil orang-orang yang karena suatu kekusutan,
mempunyai kemampuan intelektual tanpa pertimbangan intelektual.
Apa yang terjadi dalam praktik adalah bahwa orang-orang yang berniat
menyetujui profesi skolastik mulai menutup benak mereka bagi
pemikiran-pemikiran petualangan  sejak usia dini. Mereka menjadi
penakut dan konvensional dalam teologi dan kemudian melalui suatu
transisi yang alamiah dalam segala hal yang lain. Seperti serigala yang
telah kehilangan ekornya, mereka memberitahukan murid-murid
mereka bahwa baik untuk menjadi jinak dan konvensional.
    Ketiga, mustahil untuk menanamkan semangat ilmiah pada orang
muda selama setiap proposisi dianggap keramat dan tidak terbuka
untuk dipertanyakan. Merupakan  intisari dari sikap ilmiah  bahwa
secara ilmiah menuntut bukti atas apa saja yang ingin dipercaya dan
bahwa sikap ilmiah mengikuti bukti itu tak peduli arah tujuannya.
    Kritik Bertrand Russell tersebut memang lahir untuk melihat apa
yang terjadi di Barat, sebuah kehidupan yang sekuler dan tampaknya
menganggap aneh hal-hal yang berbau agama atau mistik. Pendidikan
yang mengajarkan dua hal pada saat yang sama dan tidak sesuai atau
mungkin bisa bertentangan: antara agama dan  mistik dengan sains yang memiliki pendekatan yang berbeda-beda adalah sesuatu yang aneh. Sains menginginkan peserta didik yang mengetahui dan  menyadari realitas alam dan mampu menguak hubungan sosial, terutama demi kemajuan  dan kedamaian kehidupan sesuai ideal-ideal kemanusiaan yang diukur dalam patokan ilmiah. Sedangkan, agama dan mistik berisi pandangan bahwa hidup ini sudah diatur  oleh suatu  di luar kehendak manusia.
    Pendidikan karakter dalam konsep agama tidak melihat bahwa
karakter yang ada dalam diri anak  adalah produk dialektika dengan
pengalaman historisnya dan sejarah hubungannya dengan orang
lain. Apalagi, agama yang ditafsirkan secara kaku akan mengatakan
bahwa ukuran baik buruk dilihat dari hasilnya yang instan, bukan
sebagai produk relasi sosial yang menghasilkan hubungan kekuasaan.
Keberagamaan  semacam itu hanya tahu  "halal" dan  "haram"
berdasarkan teks yang ditafsirkan secara saklek dan diseleksi atau
ditafsirkan sesuai kepentingan tertentu.
     Akhirnya, tindakan tertentu yang bisa jadi dikendalikan
oleh kepribadian dan karakter seseorang divonis begitu saja tanpa
men-dialektika-kan  dengan hubungan-hubungan konkret yang bisa
dianalisis berdasarkan kenyataan materialnya. Maka, yang ada hanyalah vonis-vonis yang kadang mematikan karakter dan memunculkan tafsir yang salah terhadap proses terbentuknya karakter seseorang dalam masyarakat.
     Perlu diingat bahwa penilaian terhadap karakter seseorang kadang
merupakan "pembunuhan karakter" yang membuat orang yang dinilai
menerima dampak psikologis luar biasa. Bayangkan jika orang miskin
dinilai berdasarkan kemiskinannya tanpa melihatnya sebagai produk
masyarakat (pemiskinan akibat sistem). Maka, pendidik moral dan
agama hanya akan sibuk bicara tentang "tidak boleh ini" dan "tidak
boleh itu" sembari tidak menyerukan sama sekali terhadap tindakan
jahat para penguasa. Sasaran pendidikan moral agama adalah anak-anak orang miskin dengan menitikberatkan pada ajaran-ajaran tekstual yang harus dihafal, yang biasanya dipilih sesuai kepentingan kekuasaan. Sedangkan ayat-ayat yang dapat ditafsirkan untuk memahami situasi pemiskinan hampir  sama sekali tidak dimunculkan.
     Di era modern yang kapitalistik dengan ciri krisis kesejahteraan
rakyat, dominasi pendidikan karakter fatalistik berisi doktrin-doktrin
agama yang membuat generasi pasrah memiliki efek psikologis tertentu. Di era globalisasi kapitalis ketika Indonesia berada dalam posisi kalah

(paling terisap dalam hubungan global), pembangunan karakter
fatalisme dan tradisionalisme dapat dikatakan sebagai reaksi dari
perkembangan sosial yang cepat dan tidak mampu dihadapi sehingga
perasaan akan pentingnya nilai-nilai tradisi(onal) bangkit kembali.
Tradisi dijadikan tameng, dibangkitkan, untuk mencari "makna" agar
kekalahan dalam bersaing dengan pendidikan dan iptek dari negara
lain mendapatkan hiburan.
    Salah satu bentuk pendidikan tradisional yang awalnya berisi
penuh ajaran agama adalah pondok pesantren. Lembaga pendidikan
ini kini mencoba menempatkan diri sebagai lembaga pendidikan
yang melengkapi diri dengan ilmu modern agar murid-murid pondok
pesantren tidak ketinggalan dengan modernisasi kapitalis, bahkan
juga mengaku ingin bersaing dalam kancah global. Mereka berusaha
melakukan pembaruan dan melakukan modernisasi pendidikan di
lembaga pesantren ini.
    Biasanya, jargon yang menjadi tujuannya adalah untuk mencetak
generasi beriman dan bertakwa, tetapi tetap tak ketinggalan dalam
persaingan di era modern (globalisasi). Tujuan manisnya adalah
untuk mencetak karakter generasi yang menguasai iptek dan imtaq,
menguasai ilmu pengetahuan-teknologi dan iman-takwa. Ini adalah
ekspresi yang wajar sebagai hukum dialektika antara pendidikan
tradisional berhadapan dengan perkembangan modern yang dianggap
merusak moral dan kemanusiaan dari sudut pemahaman agama. Akan
tetapi, karena basisnya adalah pondok pesantren, sisa-sisa karakter
tradisionalnya secara nyata masih kelihatan. Misalnya, pola hubungan
antara murid dan guru (atau tepatnya antara santri dan ustad atau sang
kiai). Meskipun metode pengajaran dan peralatannya semakin canggih,
ada tetap yang tertinggal: feodalisme.
    Sebagian besar pesantren mengembangkan pendidikan yang
canggih, berisi peralatan lengkap, dikomandani para guru-guru yang
punya kualitas akademis bagus dan cerdas, dengan fasilitas yang sangat maju. Lembaga pendidikan tradisional ini mencoba mendandani
dirinya dengan  kemajuan, menawarkan pada orangtua suatu proses
pelatihan dan pendidikan yang membuat kecerdasan anak melejit
dan tingkat kecerdasannya akan jauh lebih tinggi daripada sekolah
di sekolah yang biasa. Beberapa  sekolah baru yang dibangun juga
berusaha meniru model pesantren, berusaha memodernisasikan diri
dengan tujuan agar sekolahnya didatangi banyak anak dengan cara
menjual citra  "pesantren" atau pendidikan yang banyak mengajarkan
moral agama.
    Rata-rata pesantren modern yang mengadopsi pendidikan modern
ini juga menerapkan model full  day school untuk memaksimalkan
peran pencerdasan dan pembentukan mentalnya pada anak-anak.
Sebagian besar memang dikelola untuk menjadi lembaga pendidikan
komersial—agar banyak orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya
dengan membayar sejumlah biaya pendidikan yang cukup banyak.
Penulis teringat  apa yang ditulis Vernon Smith, "Orangtua ideal bagi
pendidikan tradisional adalah yang menjauhkan diri sejauh-jauhnya
dari sekolah, tapi mengirim uang ke sana sesering-seringnya. "125
    Sistem pendidikan  ini memang berusaha memelihara tradisi
model pesantren sejak lama, tempat anak-anak didik (santri)  harus
secara penuh  berada di lembaga  pendidikan. Anak-anak didik ini
jauh dari orangtua. Bagi orangtua yang merasa tak mampu atau  malas
mendidik anaknya di rumah atau yang tak mau repot mengontrol
"moral" dan "mental" anak yang sekolah di sekolah "biasa" (umum),
atau yang takut dampak sistem pendidikan non-agama yang tak banyak memberi pelajaran moral dan agama bagi anak-anak, mereka memang

akan lebih suka mengeluarkan banyak uang daripada melakukan
fungsinya sebagai pengarah dan pengontrol anaknya di rumah dan
ataupun pergaulan di luar rumah dan sekolah.
    Dari berbagai  penelitian dan kabar berita yang kita simak,
belakangan ketahuan bahwa di beberapa lembaga pendidikan agama,
seperti pondok pesantren yang memang sudah mengadopsi pula
sekolah modern, juga muncul pendidikan karakter yang mencoba
menegaskan diri untuk membentuk kader-kader yang memahami
agama, bahkan secara keras. Anak-anak didoktrin dengan tafsir agama yang ketat dan sempit agar mereka bisa diarahkan kepada gerakan jihad yang menghalalkan kekerasan dan siap berperang—negara sering menyebut mereka sebagai teroris. Pembangunan karakter yang dibentuk di sini adalah membangun keberanian untuk berperang (perjuangan bersenjata) untuk mewujudkan cita-cita negara agama dan menganggap bahwa tafsir mereka sendiri tentang agama adalah yang paling benar, yang tidak sesuai dengan mereka dianggap "kafir" yang layak dimusuhi.
    Bagi kita yang berpikiran terbuka dan demokratis, pembangunan
karakter anak yang berusaha diarahkan pada tingkah laku politik
ideologis tertentu semacam itu amat memprihatinkan. Anak-anak
menjadi korban doktrin paham  sempit keagamaan yang ternyata
menguntungkan orangtua yang ingin berpolitik memakai baju agama.
Bukan rahasia umum  bahwa generasi teroris adalah hasil didikan
pesantren yang di antara mereka masih berusia amat muda, belia,
bahkan bisa digolongkan masih anak-anak.
    Perekrutan orang-orang untuk masuk dalam sebuah gerakan
teroris merupakan kegiatan yang berjalan terus dalam masyarakat kita
tanpa sepengetahuan kita. Para teroris akan mendidik generasi baru.
Terbukti, tahun 2006 lalu anak-anak, seperti Isa Ansori (16) dan Nur
Fauzan (19), juga tertangkap dan mereka terbukti dalam jaringan
teroris. Kita yakin pasti banyak lembaga-lembaga pendidikan yang
melakukan pendidikan karakter melalui doktrin-doktrin kaku (sempat)
semacam itu pada anak-anak.
     Ini memang gejala era sekarang ini, ketika kapitalisme menimbulkan krisis kesejahteraan yang menimbulkan krisis eksistensi diri, pendidikan karakter dibangun sesuai dengan kepentingan kelompok-kelompok orang yang gagap untuk memaknai kehidupan secara benar. Kondisi tersebut di atas perlu menjadi perhatian kita semua. Anak-anak dan kaum remaja belia yang seharusnya mendapatkan hak-haknya untuk bertumbuh-kembang menjadi pribadi-pribadi yang sehat jasmani dan  rohani, harus diselamatkan dari kecamuk politik dan konflik ideologi.
     Yang penting sebenarnya adalah pencegahan. Kita harus persiapkan suatu kondisi masyarakat yang membuat anak-anak sebagai korban. Korban adalah mereka yang terpinggirkan. Tidak mungkin anak-anak akan mewarisi ideologi kekerasan jika mereka tidak menjadi bagian dari  mereka  yang terpinggirkan, teraniaya, bahkan terdesak. Kalau kita lihat anak-anak yang direkrut dalam gerakan yang menggunakan teror dan kekerasan adalah mereka yang secara ekonomi miskin. Selain itu, juga mereka yang mendendam karena orangtua dan saudara dekat mereka juga  menjadi korban. Lihatlah anak-anak yang dibesarkan di daerah konflik, seperti di Jalur Gaza, anak-anak tidak lagi memikirkan bagaimana supaya mereka bisa sekolah dan belajar atau bermain. Sejak kecil mereka diajari merakit bom, memegang senjata, dan dilatih untuk menyerang musuh. Karena mereka tidak memiliki apa-apa lagi. Orangtua dan  saudaranya telah mati  terkena bom yang diluncurkan Israel.
     Masih ingat beberapa tahun lalu, serangan Israel ke Jalur Gaza dan
wilayah-wilayah lain di Palestina benar-benar menimbulkan dampak
kemanusiaan yang luar biasa. Ketika serangan itu juga memangsa

anak-anak yang tak berdosa, yang seharusnya mendapatkan suasana
yang damai dan sejahtera bagi perkembangannya adalah hal yang
disayangkan. Sekitar 50 persen penduduk Jalur Gaza adalah anak-anak.dari korban tewas, 220 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah  17 tahun. Anak-anak yang selamat pun akan menghadapi masalah. Mereka terkejut, menangis, untuk sebuah alasan yang tidak mereka tahu karena ada yang berusia  di bawah lima tahun. Masalah yang dihadapi anak-anak akan meningkat karena keluarga mereka terpaksa melarikan diri menghindari serangan dan sebagian rumah mereka telah rata dengan tanah. Padahal, sebelum serangan Israel, sekitar 50. 000 anak Palestina sudah kekurangan gizi akibat blokade Israel selama 18 bulan terakhir di Jalur Gaza {Kompas, 08/01/2009).
    Selain itu, jika tuduhan Israel benar bahwa Hamas  melibatkan
pasukan "jihad" yang terdiri dari anak-anak, kita juga menyayangkan
keberadaan anak-anak yang dilibatkan dalam perang. Masalahnya, di
dalam konflik dan perang yang ada hanyalah kebencian dan dendam.
Anak-anak Palestina telah lama kehilangan bapak dan ibunya, juga
tanahnya, dan  mereka telah ditanamkan kebencian yang mendalam
pada Israel. Tak sedikit anak-anak yang telah didoktrin untuk menjadi
pasukan jihad dan rela mati melakukan peledakan bom bunuh diri
demi menunjukkan perlawanannya pada Israel.
    Berbagai macam kantong-kantong kekerasan dan perang global
di beberapa belahan dunia juga menyeret  anak-anak kita terlibat
dalam doktrinasi kekerasan. Cara pandang menghalalkan kekerasan
telah disuntikkan pada benak dan perasaan anak-anak itu. Perang dan
imperialisme telah  menjauhkan  anak-anak dari perhatian orangtua
atau orang dekat yang dapat mengasihinya.
     Gambaran kekejaman orangtua yang mengajari anak-anak untuk
membenci dan memusuhi kelompok lain semacam itu adalah racun
bagi anak-anak. Bagaimanapun, anak-anak adalah milik dunia dan
mereka harus tumbuh menjadi sosok yang punya kesadaran universal
tentang manusia dan hubungan-hubungannya. Anak-anak harus kita
cegah untuk membenci, tetapi harus kita ajari untuk mencintai dan
terlibat dalam peran yang produktif bagi pembangunan peradaban.
     Pertama-tama yang harus kita cegah adalah perang dan konflik,
serta penyebab dari konflik itu harus kita pahami dan kita atasi
bersama. Kita menyerang penjajahan dan perampasan hak, tetapi kita
juga harus mencegah reaksi yang bermakna dendam bagi anak-anak.
Setiap tindakan yang merampas hak-hak anak dan melukai anak harus
kita kutuk. Hal yang lebih penting, kita harus membukakan mata
hati anak tentang apa yang sebenarnya terjadi dan tidak boleh hanya
dari cara pandang satu pihak yang penuh doktrin untuk mendukung
kepentingan yang sempit.
     Kondisi semacam itulah yang harus kita hindari. Jalan  utama
mengembalikan anak pada  dunia sejatinya adalah memberikan mereka kesejahteraan. Jangan biarkan mereka terjun ke medan tempur dengan dibekali senjata dan indoktrinasi ideologi sempit. Juga, jangan biarkan anak-anak terjun  ke jalan-jalan menjadi pengemis, gelandangan, pencuri, dan penjahat. Anak-anak yang jahat lahir dari situasi ekonomi yang jahat pula.
     Anak-anak harus kita selamatkan! Ketika manusia lahir, mereka
bersih, suci, dan memiliki  potensi besar untuk berkembang menjadi
manusia yang nantinya akan berguna bagi peradaban. Manusia
yang berguna tentunya adalah yang produktif, kreatif, dan kritis
dalam menghadapi realitas—bukannya manusia yang hanya meniru,
pasif-konsumtif, dan memiliki kesadaran yang rendah terhadap
lingkungannya.
     Oleh karena itulah, pendidikan karakter terhadap anak dalam
makna makro adalah menciptakan ruang-ruang waktu yang kondusif
bagi perkembangan anak. Kita harus mencegah kekerasan terhadap
anak dalam makr. a material-ekonomis dan sekaligus ideologis yang
berupa internalisasi pemahaman dan makna yang salah tentang
kehidupan. Benar bahwa bukan hanya sekolah saja yang bertanggung
jawab terhadap perkembangan anak (didik), melainkan juga keluarga,
dan bahkan—sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi kita—negara.
Ketidakmampuan negara dan sistem ekonomi dalam memberikan
hak-hak material (gizi, nutrisi, perumahan, dan fasilitas kehidupan) dan
ideologis (melalui pendidikan) harus kita pandang sebagai kekerasan
terhadap anak dan sekaligus mengingkari hak asasi manusia (HAM).

4. Pendidikan Karakter di Indonesia
     Di Indonesia, akhir-akhir ini menjadi isu yang sangat hangat sejak
Pendidikan Karakter dicanangkan oleh pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional, pada
2 Mei 2010. Tekad pemerintah untuk menjadikan pengembangan
karakter dan budaya bangsa sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari sistem pendidikan nasional harus didukung secara serius. Akan
tetapi, kita juga masih belum tahu bagaimana keseriusan pemerintah
untuk melakukan kebijakan pendidikan nasional untuk mendukung
program itu.
     Tentunya, karakter bangsa hanya semata dapat dibentuk dari
program pendidikan atau proses pembelajaran di dalam kelas. Akan
tetapi, kalau memang pendidikan bermaksud serius untuk membentuk
karakter generasi bangsa, ada  banyak hal yang harus dilakukan,
butuh penyadaran terhadap para pendidik dan pelaksana kebijakan
pendidikan.
     Jika pendidikan dipahami  dalam arti luas, sebagai proses
penyadaran, pencerdasan, dan pembangunan mental atau karakter,
tentu ia bukan hanya identik dengan sekolah. Akan tetapi, ia berkaitan
dengan proses kebudayaan secara umum yang sedang berjalan,
yang punya kemampuan untuk mengarahkan kesadaran, memasok
informasi, membentuk cara pandang, dan membangun karakter
generasi muda khususnya. Artinya, karakter yang menyangkut cara
pandang dan kebiasaan siswa, remaja, dan kaum muda secara umum
hanya sedikit sekali yang dibentuk dalam ruang kelas atau sekolah,
tetapi lebih banyak dibentuk oleh proses sosial yang juga tak dapat
dilepaskan dari proses bentukan ideologi dari tatanan material-ekonomi
yang sedang berjalan.
    Jadi, tak terbantahkan jika karakter bangsa, terutama kaum
mudanya, dibentuk melalui proses sejarah yang mematerialkan
kesadaran, watak, cara pandang, dan mental melalui media-media
yang ada, lembaga-lembaga sosial-budaya, dan bahkan punya watak
yang sangat politis karena memaksakan kepentingan sebuah kekuatan
yang membentuk karakter.
    Upaya melacak pendidikan karakter dalam sejarah di Indonesia
tampaknya akan memperoleh kesulitan dihadapkan dengan fakta
bahwa negara kita terdiri dari berbagai macam kelompok sosial yang
berusaha memaksakan konsep pembangunan karakternya melalui
kekuasaan negara. Belum lagi juga yang dibungkus nuansa suku, ras,
dan agama yang banyak sekali jumlahnya. Problem negara besar yang
terdiri dari banyak kelompok sosial adalah sulitnya mencari karakter
apa yang mendefinisikan bangsa dan negaranya. Tidak pernah ada
pengentalan watak dalam tubuh bangsa ini karena belum pernah ada
penghancuran terhadap fase masyarakat lama yang feodal—singkatnya
belum pernah ada revolusi. Sebagai negara terjajah, karakter yang
terbentuk juga mengalami pengerdilan.
    Namun setidaknya, sejarah telah menunjukkan  adanya  upaya
pembangunan  karakter  {character building)  yang kuat untuk
menuntaskan proses pembangunan nasional {national character
building). Beberapa pandangan dan konsep pembangunan karakter
dalam sejarah Indonesia penulis bahas dalam bab tersendiri (di bab
lain).

D. Isu-isu Strategis dalam Pendidikan Karakter
Isu-isu strategis pendidikan karakter menyangkut keterkaitan dengan kebutuhan untuk membentuk karakter anak didik dan generasi sesuai dengan upaya untuk menjawab kontradiksi-kontradiksi dan masalah-masalah kemanusiaan yang mendominasi suatu masyarakat.Untuk masyarakat Indonesia, pembangunan karakter juga harus ditekankan pada upaya untuk mengatasi masalah yang belakangan sering berkembang.
    Beberapa masalah yang dihadapi oleh bangsa ini antara lain
sebagai berikut.
1.     Kemiskinan dan keterbelakangan, suatu kondisi yang menyebabkan negara kita kian tertinggal jauh dengan bangsa lain; yang membuat generasi kita menganggur, kurang pendidikan, dan situasi itu juga menyebabkan rusaknya moral dan krisis eksistensi diri. Kurangnya pendidikan dan kemiskinan berakibat pada tidak munculnya tenaga produktif dan tenaga kreatif yang membuat generasi memproduksi dan berkreasi. Generasi kita hanya bisa membeli, meniru, dan pasrah pada keadaan.
2.     Konflik dan kekerasan atas nama klaim kebenaran palsu dan sempit yang menyebabkan sentimen antar-kelompok meningkat. Dalam situasi ini, masyarakat kita merespons  dan menanggapi perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan dengan cara yang salah.
3.     Konflik bernuansa (penafsiran) agama, suku, ras, dan  perbedaan   pendapat semakin meluas. Ini merupakan masalah penting yang  harus dihadapi jika kita ingin menegaskan eksistensi bangsa yang bercirikan penghormatan akan keberagaman (multikukuralitas dan pluralitas). Budaya kekerasan juga masih sering terjadi di lingkungan pendidikan. Guru masih sering melakukan kekerasan fisik, juga banyak kekerasan psikologis dan emosional. Antara pelajar juga terjadi demikian. Kekerasan di masyarakat  menular pada kekerasan dalam dunia pendidikan.
Dominasi budaya membodohi akibat pengaruh tayangan media
(terutama budaya tonton melalui TV) yang pengaruhnya  pada
masyarakat cukup luar biasa. Budaya tonton ini membuat orang
mudah terpengaruh pada "gebyar" kesemarakan yang dicitrakan
media yang membuat para penonton (khalayak masyarakat) hanya
bisa pasif dalam kebudayaan—kebiasaan yang membentuk karakter pasif, bisu, dan mematikan naluri kreativitas serta kemandirian berpikir.
Adanya korupsi yang meluas dan masih menggerogoti bangsa ini,
yang hingga saat ini sulit sekali diberantas. Korupsi jelas merupakan gejala paling nyata dari gagalnya pembangunan karakter bangsa, merupakan produk dari hubungan sosial yang kontradiktif Korupsi membuat bangsa tidak maju, menyebabkan rakyat tetap miskin,dan sekaligus menunjukkan karakter  parasit dari birokrasi di Indonesia. Birokrasi parasit adalah cermin bangsa yang karakternya rusak, yang kalau dibiarkan akan membuat bangsa hancur, bisa hancur secara cepat atau perlahan-lahan.
Kerusakan lingkungan alam akibat gejala alam maupun akibat ulah
manusia yang belakangan menjadi masalah serius di Indonesia.
Kerusakan alam adalah fenomena yang membutuhkan perhatian
dalam kaitannya pembangunan karakter manusia karena kerusakan alam disebabkan karakter yang serakah, yang tak menghormati lingkungan, dan mungkin juga dibiasakan oleh karakter  manusia yang terbentuk.
   Ketimpangan dan penindasan yang bernuansa gender atau
   terpinggirnya kaum perempuan. Bangsa yang maju selalu menuntut
   kaum perempuannya yang produktif, kreatif, dan berperan maju
   setara dengan laki-laki. Masalah yang ada di Indonesia adalah
   tatanan budaya patriarkal yang menempatkan kaum perempuan
   pada posisi yang terlemahkan. Bahkan, dalam  pendidikan pun
   perempuan secara ideologis masih terdiskriminasi.
    Dari kontradiksi-kontradiksi di atas, beberapa isu yang harus
menjadi titik tekan dari pembangunan karakter yang. cukup penting,
antara lain sebagai berikut.
   Pendidikan Sosialistis, Ilmiah, dan Demokratis
   Model pendidikan ini diharapkan akan mengembalikan pentingnya
   berbagi dan bekerja keras  memacu tenaga produktif untuk
   digunakan  untuk kemakmuran  rakyat. Nilai-nilai ilmiah yang
   berguna untuk melawan dampak berpikir fatalisme yang membuat
   mental pasrah, anti-ilmiah, yang membuat orang tak mampu
   dan tak mau bekerja keras dan menjelaskan masalaii-masalahnya
   kemudian mengatasi kesulitan hidup yang menempanya adalah
   sesuatu yang penting. Latihan berpikir ilmiah juga akan membuat
   peserta didik memahami nilia-nilai ilmiah yang mendukung nilai
   kejujuran, objektivitas berpikir, dan memandang persoalan secara   analitis dan kritis.  Sedangkan, watak demokratis sangatlah penting untuk mencetak   orang yang bisa menghargai pendapat orang lain, yang mendorong   siswa menyalurkan aspirasi dan memahami makna kesetaraan di   antara sesama manusia. Pandangan dan jiwa demokratis sangat   diperlukan  dalam masyarakat yang nienganggap ketidaksetaraan   dan ketimpangan sebagai hal yang biasa.

Pendidikan Multikultural
Model pendidikan ini banyak diakui sebagai model yang tak boleh
ditinggalkan karena bangsa kita adalah bangsa yang multikultural.
Pendidikan berperspektif multikultural diharapkan dapat memacu
kesadaran akan perbedaan yang membuat bangsa yang plural bisabertahan. Anak-anak harus  kita pahamkan tentang pentingnya
menjaga harmoni hubungan  antar-manusia meskipun  kita
berbeda-beda secara kultural, etnik, religi, dan lain-lainnya.
Pendidikan multikultural amat penting dilakukan karena kita
berada dalam dunia yang kian mengglobal dan pada akhirnya
manusia dari berbagai bentuk kebudayaan bisa bertemu. Konflik
antar-kelompok budaya dan prasangka yang mungkin muncul harus dicegah. Di sinilah sekolah bisa memulai untuk memperkenalkan pentingnya perbedaan budaya. Para pendidik diharapkan memiliki kecerdasan multikultural yang bisa melihat bagaimana perbedaan pada peserta didik bukan sebagai hambatan belajar mengajar, tetapi justru kesempatan untuk menanamkan rasa kebersamaan dalam perbedaan.
Pembentukan Karakter melalui  Peningkatan Budaya Literer
(Budaya Baca Tulis) Penelitian di lapangan menunjukkan bahwa budaya membaca dan menulis di kalangan generasi muda kita amatlah  rendah. Padahal, membaca dan menulis adalah kegiatan yang berhubungan dengan transfer pengetahuan, pengkayaan kosakata sebagai pintu masuk untuk menjelaskan dunia. Semakin anak-anak kita banyak membaca, mereka akan mengetahui dunia kehidupannya, tahu asal-usul  sejarahnya, dan itu  akan membangun karakter mereka. Kegiatan membaca dan menulis adalah kesibukan kreatif yang bisa menjadi "pelarian positif"  saat anak-anak muda dikecewakan oleh peristiwa-peristiwa sehari-hari. Kegiatan membaca dan menulis adalah dua hal yang sangat penting bagi pemikiran kritis. Karakter individu dibentuk saat orang melakukan tindakan membaca karena kegiatan itu memungkinkan banyak jalan untuk melihat diri sendiri dari membayangkan dunia yang dikisahkan dalam tulisan yang dibaca.Pendidikan kita harus  memberikan kondisi yang kondusif bagi tumbuhnya budaya baca dan budaya tulis ini. Guru-guru harus mendorong agar pelajaran yang disampaikannya memberikan porsi yang besar agar peserta didik membaca dan berdiskusi, serta menyampaikan pemahamannya dengan cara menuliskan apa yang dipahami.
Pelajaran dan kuliah sastra merupakan bidang yang paling berkaitan dengan hal ini. Sedangkan, kita masih mendapati guru-guru sastra yang kualitas  dan kapabilitasnya masih rendah sekali. Rata-rata mereka jauh dari syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pengajarsastra, misalnya tidak memiliki kemampuan memahami persoalan kemanusiaan (padahal masalah sastra adalah masalah humaniora); tidak memiliki kemampuan menulis; atau  kurang mampu mengetahui dan mempraktikkan metode pengajaran.
Kerisauan tentang perkembangan sastra di tingkatan sekolah
semacam itu diperparah dengan fakta bahwa pemerintah melalui
lembaga pendidikan  tidak pernah  mewajibkan siswa untuk
membaca karya sastra, terutama novel. Nol buku, demikian untuk
menjawab pertanyaan penelitian yang dilakukan oleh Taufiq Ismail
tentang berapa novel yang dibaca siswa Indonesia. Penelitian kecil
melalui potret sesaat {snap shot) memakai teknik wawancara dengan mengambil sampel  13  SMU dari 13 negara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaaan kepada guru dan murid dengan pola yang hampir  sama. SMU tersebut adalah di negara  Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Jerman, Swiss, Rusia, Prancis, Belanda, dan Hindia Belanda (zaman penjajahan).Hasilnya, ternyata pada setiap SMU di negara luar, pelajaran sastra mewajibkan siswa membaca sejumlah buku sastra, untuk selanjutnya dibicarakan dan didiskusikan di kelas dengan bimbingan guru secara intensif. Dari catatan yang diperoleh, SMA Singapura mewajibkan siswanya membaca 6 judul buku sastra, Malaysia 6 judul, Thailand 5 judid, Brunei 7 judid, Jepang 15 judid,
Kanada 13 judul, Amerika Serikat 32 judul, Jerman 22 judul, Swiss
15 judul, Rusia 12 judul, Prancis 20-30 judul, Belanda 20 judul,
dan Hindia Belanda 25 judul—^semuanya untuk belajar di SMA
selama 6 semester. Menyedihkan. Sebuah "kerabunan membaca dan kelumpuhan menulis"—demikian istilah Taufiq Ismail—menjadi tanda kemunduran bangsa kita ini. Tak heran jika kemanusiaan di
negeri ini semakin mundur seiring dengan pembentukan karakter
humanis generasi muda melalui pendidikan sastra kian mundur.
Dari situlah kita masih banyak berharap akan terjadi perubahan
kualitas dalam pendidikan sastra kita. Karena pengajaran sastra
secara khusus, sebagai bagian dari pendidikan dan  penyadaran
masyarakat secara  umum, memang masih diperlukan karena
seni sastra masih  belum dapat mengakar  dalam  masyarakat kita.
Pengajaran seni  sastra adalah kegiatan  mendidik  masyarakat
tentang keindahan dan melatih kepekaan melalui kerja-kerja
memahami dan menciptakan karya yang indah (estetis) dalam
lembaga pendidikan. Sedangkan, secara umum, pendidikan sastra
menyangkut kegiatan untuk membuat masyarakat dekat dengan
proses kreasi dan apresiasi karya sastra agar dapat mengasah jiwa
kemanusiaan melalui proses tersebut. Di sinilah pendidikan
karakter akan mengharapkan banyak dari jalur ini.
Pendidikan Anti-Korupsi Ini adalah kisah tentang bagaimana kita harus  membangun karakter mental yang diharapkan akan menghasilkan jiwa-jiwa yang tidak mudah untuk melakukan korupsi. Pendidikan karakteranti-korupsi ini berisi tentang bagaimana anak-anak belajar untuk jujur, menghargai bahwa hasil adalah akibat dari proses, dan dampak ketidakjujuran dan penyimpangan yang dilakukan bagi orang lain. Upaya menjadikan pendidikan sebagai upaya membangun karakter anti-korupsi dilatarbelakangi oleh betapa korupsi (kejahatan luar biasa ini) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangsa ini yang seakan telah menjadi penyakit mental yang sulit  sekali disembuhkan. Dengan demikian, pendidikan memang  harus percaya diri untuk memasukkan pembangunan mental anti-korupsidi dalamnya. Departemen Pendidikan Nasional telah menggagas pendidikan anti-korupsi yang antara lain melalui pembuatan kurikulum berbasis pendidikan anti-korupsi. Di dunia pendidikan, kejujuran sering  dilanggar ketika para murid menyontek saat ujian atau ulangan. Kita juga masih ingat bagaimana pihak sekolah melalui kepala sekolahnya sering berbuat tidak jujur dalam kasus Ujian Nasional (UN), tindakan tidak jujur untuk meluluskan siswa-siswanya dalam ujian tersebut. Kekuasaan adalah yang dicari, citra diri sebagai kepala sekolah dan guru yang malu jika anak-anak didiknya ternyata tak lulus alias tak mampu mengerjakan soal ujian yang sudah distandardisasi. Bahkan, pendidikan tampaknya telah menjadi lembaga yang mengajarkan kebencian terhadap kejujuran.
Kisah yang paling aktual adalah bagaimana seorang ibu wali murid
yang melaporkan terjadinya menyontek massal di sekolah anaknya
justru dikucilkan oleh wali murid lain dan dibenci oleh guru-guru
di sekolah tempat anaknya belajar. Kejadian itu terjadi pada bulan
Mei 2011 lalu ketika awalnya Siami (32 tahun) terkejut saat
anaknya mengaku bahwa ia dipaksa gurunya untuk memberikan
sontekan pada murid-murid lainnya dalam mengerjakan Ujian
Nasional (UN). Siami lantas memberanikan diri untuk laporkan
hal itu pada Kepala Sekolah tempat anaknya belajar. Karena tidak
ditanggapi, lantas ia melaporkan kecurangan itu kepada Dinas
Pendidikan di Surabaya.
Lucunya, sebagaimana telah diselidiki polisi, anak yang dipaksa
menyontek itu oleh  gurunya diperintah  dengan mengatakan
bahwa itu adalah cara untuk membalas jasa murid pada guru.
Inilah repotnya mental bangsa Indonesia, guru yang seharusnya
mengajarkan kejujuran malah mengupayakan sedemikian rupa agar muridnya melakukan kecurangan. Selain itu, Siami, ibu murid yang melaporkan peristiwa itu demi kebenaran dan kejujuran, malah dibenci oleh para wali murid lainnya.
Inikah hasil pendidikan anti-korupsi? Jika kita telisik lebih dalam,
ada otoritas yang merasa berkuasa yang  selalu  menyebabkan
munculnya watak tidak jujur dan korupsi kebenaran. Tampaknya,
sangat mendukung tesis  Lordon, yaitu kekuasaan cenderung
korup {power tends to corrupt). Kekuasaan sekolah dipegang oleh kepala sekolah sebagai puncak kekuasaan, sementara guru  juga merasa bisa  menggunakan kekuasaan untuk menyuruh pada
muridnya. Kekuasaan untuk mendapatkan murid-murid banyak
di tahun ajaran baru agar pembiayaan pendidikan lancar karenanya ditempuh jalan pintas jangan sampai citra sekolah turun gara-gara banyak siswa tidak lulus UN. Tantangannya ternyata berat sekali.
Tampaknya, sekolah telah menjadi lembaga tempat benih-benih
manipulasi kemanusiaan ditebarkan.Pendidikan Lingkungan Hidup
Pendidikan lingkungan hidup sangat dibutuhkan karena pada
kenyataannya lingkungan alam dan bumi kita kian terancam
menuju kehancuran akibat kerusakan lingkungan. Belakangan ini,
para penghuni bumi (terutama manusia) sedang terancam oleh
pemanasan global yang menyebabkan es mencair yang ditakutkan
akan menghilangkan daratan. Sementara itu, di negeri ini juga
masih banyak orang yang menderita karena buminya tidak bisa lagi digunakan untuk menghidupinya. Bahkan, ada yang keluar dari
dalam bumi, suatu semburan panas, yang juga membuat banyak
orang terusir, rumah tenggelam, sekolah hilang, transportasi macet, dan perekonomian merugi.
Kasus bencana lumpur panas di Porong, Sidoarjo, hingga saat ini
masih menjadi salah satu gambaran drama tragis dari kerusakan
lingkungan dan kemiskinan. Akibat yang ditimbulkannya cukup
eksesif dan benar-benar menunjukkan tingkat kemunduran
kehidupan masyarakat Indonesia. Ulah perusahaan yang
mengeksploitasi kekayaan alam untuk kepentingan keuntungan
pengusaha telah merugikan masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Masyarakat korban lumpur panas kehidupannya bukan hanya semakin mundur secara ekonomis, melainkan juga secara psikologis telah mengakibatkan kejiwaan yang parah. Dari kasus tersebut, kontradiksi alam dan kontradiksi sosial-politik masih menjadi penyebab dari kemunduran manusia di bumi ini. Seorang pengamat sosial terkenal, Jeffrey Sachs dalam kesimpulan bukunya  Ihe End of Poverty, menekankan pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan sebagai pengubah penentu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi hngkungan pada skala lokal, regional, dan global dapatmeniadakan manfaat investasi tersebut. Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan dankemiskinan, namun lingkungan alam bisa dipandang sebagai yang terpenting.
Kerusakan alam dipicu oleh dominasi sistem ekonomi kapitalis.
Kapitalis memandang alam (termasuk di dalamnya manusia)
sebagai suatu yang hanya berguna sebagaimana untuk menumpuk
keuntungan saja. Manusia sebagai bagian dari alam tidak dihargai,
seperti buruh-buruh (tenaga kerja) yang  harus dibayar murah dan
diisap. Alam pun akan terus dieksploitasi, hutan-hutan ditebang
dan tanah-tanahnya dilubangi (kasus Freeport dan Newmont di
Indonesia hanya sedikit kasus), sawah-sawah dan ladang-ladang
(tanah-tanah) digusur baik dengan cara halus dan paksa.
Inilah yang menyebabkan pendidikan berperspektif lingkungan
hidup menjadi urgen. Tujuannya adalah agar jangan sampai
pendidikan didominasi oleh ideologi eksploitatif yang membentuk
pola pikir  peserta didik agar nantinya dapat menggunakan
(mengeksploitasi)  apa saja yang dapat dipertukarkan secara
ekonomis, yang menganggap bahwa bagian dari alam adalah
suatu objek yang dapat dieksploitasi secara terus-menerus untuk
bersaing agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Prinsip ekonomi
kapitalistik yang sering diajarkan dalam ilmu ekonomi adalah,
"Dengan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya. "
Nah, dari situlah dibutuhkan kesadaran  ekologis {ecological
awareness) melalui pendidikan yang menempatkan manusia sebagai
bagian utuh dari alam. Harus ada upaya untuk memasukkan
agenda lingkungan hidup dalam pendidikan. Demikian juga
dengan praktik di dalam kelas. Setiap orang adalah guru, setiap
lingkungan adalah sekolah. Maka, pendidikan ekologis adalah suatu kebutuhan mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan yang terkait.Pendidikan Berperspektif Kesetaraan Gender
Pendidikan berperspektif gender sangat bermanfaat untuk
menjadikan kaum perempuan seb^ai tenaga produksi masyarakat
yang dapat berperan secara sama dengan laki-laki. Tidak ada bangsa tanpa peran perempuan. Harus ada pengarus-utamaan isu gender dalam pendidikan mengingat perempuan masih mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dalam dtmia pendidikan. Diskriminasi bukan hanya menyangkut bagaimana pandangan masyarakat patriarkal yang masih menganggap bahwa perempuan  tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan yang didahulukan adalah laki-laki ketika bicara soal sekolah.
Setidaknya, ada beberapa gejala kondisi perempuan dalam dunia
pendidikan yang menunjukkan adanya bias gender. Pertama,
semaraknya pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam dunia pendidikan. Diskriminasi juga terwujud dalam bentuk kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di lembaga-lembaga pendidikan. Pelecehan yang sering terjadi adalah pelecehan seksual.
Entah karena seks adalah kebutuhan universal bagi semua orang yang seksnya sudah matang atau karena ada faktor-faktor lainnya yangmenyebabkan seorang melakukan pelecehan seksual atau bahkanpencabulan di sekolah. Reaksi terhadap perilaku "menyimpang" ini tentu saja selalu saja muncul, baik dari masyarakat maupun dari mereka yang menghuni sekolah. Berbagai berita pelecehan seksual.   pencabulan, dan pemerkosaan yang dilakukan oleh guru terhadap   murid belakangan ini semakin banyak kita lihat dan dengar. Itu   hanya yang berhasil dikuak dan diliput media. Tentu kasus-kasus
   yang sama juga masih banyak, tetapi tidak terkuak, dan sangat
   membahayakan bagi dunia pendidikan kita.   Pelecehan seksual {sexual harrashment) adalah gejala yang banyak
   terjadi dalam masyarakat Indonesia yang bias gender. Di satu
   sisi, perempuan masih dianggap sebagai objek seksual maupun
   sebagai pihak yang lemah dan karenanya dianggap sebagai kaum    yang ditempatkan dalam posisi yang pinggiran. Pada sisi lainnya,   media kapitalisme juga memicu rangsangan seksual melalui    tayangan-tayangan pornografi mulai TV, media cetak, hingga   persebaran film-film porno yang secara sembunyi-sembunyi banyak    dikonsumsi oleh para pelajar.
   Kedua, akses perempuan yang rendah terhadap pendidikan. Akses   perempuan yang rendah terhadap pendidikan atau minimnya   perempuan yang masuk sekolah umumnya terjadi di masyarakat   pedesaan. Memang pada tingkat pendidikan dasar, anak laki-laki   dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah.   Akan tetapi, ketika meningkat pada jenjang berikutnya yang kian   tinggi, jumlah perempuan yang bersekolah kian sedikit.   Ketiga, kurikulum dan pembelajaran yang  bias gender. Fakta   menunjukkan bahwa proses pembelajaran masih juga dipengaruhi   oleh stereotip gender. Proses pembelajaran di antaranya  adalah   materi pendidikan, seperti yang terdapat dalam contoh-contoh   soal yang semua kepemilikan selalu  mengatasnamakan laki-laki.
   Dalam aspek proses pembelajaran ini, bias gender juga terdapat
   dalam buku-buku pelajaran, seperti semua jabatan formal dalam
   buku seperti camat atau direktur digambarkan dijabat oleh laki-laki.   Selain itu, ilustrasi gambar juga bias gender, yang seolah-olah
menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah
tangga dengan tugas-tugas menjahit, memasak, dan mencuci.
Ada beberapa hal yang menjadi sumber internalisasi anak didik
perempuan (siswi) terhadap nilai-nilai bias gender tersebut.
Pertama, guru atau pendidik. Guru punya peran strategis dalam
membentuk nilai karena ia adalah teladan bagi anak-anak didik.
Dalam psikologi pendidikan, sebagaimana dikatakan Jerome kagan
dan Cynthia Lang dalam bukunya Psychology and Education: An
Introduction (1984)126, perilaku dan nilai yang dimiliki anak dapat
dipengaruhi oleh contoh, yaitu orang dewasa yang dikagumi dan
karena itu ia ingin menyerupainya.
Para guru  yang pikirannya disesaki dengan pemahaman bias
gender  cenderung akan menularkan ideologi patriarki pada
murid-muridnya. Guru yang kebanyakan adalah sosok yang
hidup pada masyarakat patriarkal, yang bahkan menerima
pandangan gender semasa kecilnya yang sangat tradisional akan
mengajar dari cara pandangnya di  kelas. Menurut Murniati
(1992: 28), ucapan-ucapan, kata-kata, dan keterangan para guru
dan kalimat-kalimat  yang dibaca anak sejak dini merupakan
pemahaman dasar yang dapat berubah menjadi ideologi bila
kelak ia dewasa. Hal itu tentu akan memengaruhi opini dan sikap
anak.Sementara, adanya bias  gender dalam buku teks pelajaran
dibuktikan dengan berbagai penelitian. Antara lain adalah hasil
analisis yang dilakukan UNICEF pada tahun 2000 menunjukkan

bahwa isi buku pelajaran yang digunakan di sekolah dasar (SD)
menunjukkan bahwa ilustrasi di dalam buku pelajaran lebih banyak
menonjolkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak
laki-laki yang digambarkan juga lebih beragam dan kreatif perannya
dibandingkan anak perempuan. Selain itu, laki-laki lebih banyak
disebut di dalam buku-buku dibandingkan perempuan. 128
Dari  situ sangat jelas bagaimana proses ideologisasi dalam
pendidikan ternyata punya andil dalam memundurkan posisi
dan peran perempuan. Inilah yang harus kita sadari sejak awal,
terutama para pendidik. Penting sekali untuk membersihkan dunia
pendidikan dari prasangka-prasangka gender dan seksisme. Tentu
saja, gerakan genderisasi pendidikan ini juga harus didukung oleh
semua pihak. Sekolah harus menghindari diskriminasi terhadap
laki-laki dan perempuan; harus menghilangkan stereotipe terhadap
laki-laki maupun  perempuan; dalam proses pengajaran  tidak
menggunakan simbol-simbol, gambar, poster, lukisan dan bahasa
verbal maupun nonverbal yang melecehkan