Selasa, 06 November 2012

PEMBELAJARAN ORANG DEWASA



Secara psikologis orang dewasa suka pembelajaran praktis dan berpusat pada masalah. Oleh karena itu digunakan pembelajaran kolaboratif serta kooperatif dan pemecahan masalah secara otentik. Mereka lebih suka contoh-contoh nyata, cerita dan overview untuk mengaitkan teori dengan prakteknya. Dalam pembelajaran orang dewasa,mereka perlu dibantu untuk menerapkan informasi-informas baru. Sebagai antisipasi masalah yang mungkin akan dihadapi dalam mengaplikasikan informasi baru itu, orang dewasa perlu diberikan saran-saran dan pengalaman nyata. Orang dewasa suka pembelajaran yang mendukung harga diri mereka. Disarankan agar memulai pelajaran dengan kegiatan kerja dalam kelompok kecil, dengan demikian resiko kegagalan yang mungkin terjadi relative rendah.
Dalam melakukan aktivitas pembelajaran,bantulah mereka untuk berkembang menjadi lebih efektif dengan latihan terarah dan pembiasaan. Rencanakan untuk membangun sukses individual secara bertahap. Dimulai dengan tugas yang ringan menuju yang lebih berat. Orang Dewasa suka pembelajaran yang mengintegrasikan informasi baru dengan pengalaman mereka. Ketahui kebutuhan peserta sebelum, selama dan sesudah pembelajaran. Pembelajar perlu membuat perencanaan disekitar kebutuhan-kebutuhan mereka. Timbulkan motivasi dengan membantu mereka mengungkapkan pengalaman yang terkait dengan materi pembelajaran. Siapkan alternatif kegiatan sehingga mudah menyesuaikan rencana dengan kebutuhan. Orang dewasa suka pembelajaran yang menunjukkan perhatian secara individual. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah dengan memenuhi kebutuhan mereka seperti istirahat yang cukup, snack dan bersikap humor. Ajak mereka merencanakan target dan kualitas,organisasikan dengan efektif dan efisien. Berikan kesempatan yang luas kepada mereka untuk memberikan umpan balik.
Langkah-langkah Pendekatan Andragogi.
Langkah-langkah pendekatan andragogi adalah sebagai berikut :
1.    Menciptakan iklim belajar yang cocok untuk orang dewasa.Suasana belajar harus diatur sedemikian rupa sehingga cocok untuk orang dewasa, santai dan tidak menjemukan.
2.    Menciptakan struktur organisasi untuk perencanaan yang bersifat partisipatif.
Dalam perencanaan pembelajaran orang dewasa harus diciptakan suatu struktur organisasi sehingga bersifat partisipatif.
3.    Mendiagnosis kebutuhan belajar.
Sebelum belajar orang dewasa harus didiagnosis terlebih dahulu kebutuhan – kebutuhan apa yang diperlukan orang dewasa dalam belajar
4.    Merumuskan rancangan kegiatan belajar.
Rumuskan terlebih dahulu rancangan kegiatan belajar dengan menggunakan strategi apa saja.
5.    Mengembangkan rancangan kegiatan belajar.
Kemudian kembangkan rancangan belajar yang sudah dirumuskan tersebut.
6.    Melaksanakan kegiatan belajar.
Lakukan kegiatan belajar sesuai dengan rancangan belajar yang sudah disusun.
7.    Mendiagnosis kembali kebutuhan belajar (evaluasi).

Perlu direnungkan kembali dan dievalusi kebutuhan belajar setelah selesai pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembeljaran selanjutnya. Orang dewasa mempunyai masa kesiapan untuk belajar sebagai akibat dari peranan sosialnya. Masa dewasa terdiri dari 3 (tiga) fase, yaitu :
·         Masa Dewasa Awal : 18 – 30 tahun
·         Masa Dewasa Pertengahan : 30 – 55 tahun
·         Masa Dewasa Akhir : 55 tahun lebih

a.   Pelatih / Fasilitator orang dewasa berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar (Peserta).
b.   Kurikulum berorientas kepada masalah.
c.   Pengalaman belajar dirancang berdasarkan masalah atau perhatian yang ada pada benak mereka

Rahasia Pembelajaran Orang Dewasa:
1.   Orang dewasa punya pengalaman, mau belajar bila berkaitan dengan pekerjaan dan kepentingannya sehari-hari.
2.   Orang dewasa tidak suka digurui, suka menerima saran.
3.   Orang dewasa suka hal-hal yang praktis (Learning by doing)
4.   Orang dewasa suka diberi kesempatan ambil bagian dengan pengetahuan, kemampuan dan kepentingannya (Collaborative Learning)
5.   Orang dewasa senang dengan materi yang berbentuk pemecahan masalah / kasus (Problem Based Learning)

Ciri-ciri Pendekatan Andragogi:
1.   Suasana terbuka berpendapat, tukar fikiran/pengalaman, saling percaya.
2.   Pelatih bukan guru. ia menghargai pendapat & pengalaman peserta, ia fasilitator
3.   Materi dirumuskan bersama
4.   Kerja kelompok
5.   Sarana pelatihan yang melibatkan peran aktif peserta
6.   Evaluasi bersama, memfokuskan pada perubahan sikap & perilaku.

Langkah-langkah pendekatan andragogi:
1.   Menciptakan iklim belajar yang cocok untuk orang dewasa.
2.   Menciptakan struktur organisasi untuk perencanaan yang bersifat partisipatif.
3.   Mendiagnosis kebutuhan belajar.
4.   Merumuskan rancangan kegiatan belajar.
5.   Mengembangkan rancangan kegiatan belajar.
6.   Melaksanakan kegiatan belajar.
7.   Mendiagnosis kembali kebutuhan belajar (evaluasi).
Kondisi belajar
Proses belajar merubah perilaku peserta, akan terjadi kalau ada kondisi yang dapat menimbulkan reaksi atau respon. Untuk itu fasilitator dituntut memiliki ketrampilan menciptakan kondisi peserta sehingga timbul minat, perhatian dan respon peserta. Kondisi yang mempengaruhi terjadinya proses belajar terdiri dari komponen :
·         kemampuan kognitif – penguatan
·         stimulasi - umpan balik
·         respon – transfer
·         perhatian

Situasi atau suasana yang menyenangkan, peserta akan lebih senang dan tekun melakukan ragam kegiatan belajar. Komponen yang dapat menciptakan suasana menyenangkan adalah :
·         sikap ramah, rileks dan bersahabat
·         hubungan yang harmonis
·         penampilan menarik
·         kondisi lingkungan yang nyaman
·         penyajian yang menyenangkan

Efektivitas belajar orang dewasa dipengaruhi factor :
  1. Informasi manfaat dari pelajaran disampaikan
  2. Pemberdayaan peserta sebagai sumber belajar
  3. Materi pelajaran dan contoh-contoh yang diberikan sesuai dengan pekerjaan peserta.
  4. Kesempatan pengalaman belajar atau berinteraksi aktif.
  5. Fasilitator berperan sebagai mitra dalam kegiatan belajar

PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) ORANG DEWASA
Kegiatan pembelajaran dalam pendidikan dan pelatihan (diklat)  orang dewasa melibatkan interaksi widyaiswara dan peserta diklat dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Kemampuan personal widyaiswara diperlukan dalam aktivitas tersebut. Kompetensi  manajerial dalam kelas selama pembelajaran membutuhkan ketrampilan, baik dalam perencanaan maupun pengelolaan kegiatan pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar pembelajaran dapat terlaksana dengan optimal. Sering ditemukan pada saat proses pembelajaran berlangsung  peserta diklat mengalami kondisi mengantuk. Sering keluar ruangan dan tidak konsentrasi pada objek pembelajaran yang disampaikan widyaiswara. Kondisi ini disebabkan oleh kejenuhan  peserta diklat karena penggunaan metode, alat bantu dan media dalam penyampaian materi pembelajaran yang menyenangkan dan memberi motivasi peserta diklat dalam kegiatan pembelajaran.

Kompetensi widyaiswara dalam pengelolaan pembelajaran sangat diperlukan. Hal  ini sesuai dengan peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara,  Nomor 8 Tahun 2008, tentang Standar Kompetensi Widyaiswara pasal 6 ayat 2 butir a  yang menyebutkan bahwa widyaiswara harus memiliki kompetensi pengelolaan pembelajaran dengan memotivasi semangat belajar peserta.

Metode pembelajaran yang diberikan kepada masyarakat tentu juga sangat berbeda  dengan yang diberikan kepada peserta diklat prajabatan ataupun diklatpim. Karakteristik masyarakat umum biasanya sudah lama meninggalkan bangku pendidikan  dan lebih banyak berkutat dengan aktifitas mencari nafkah dan berbagai urusan rumah tangga.  Betapapun tinggi tingkat pendidikan dan pengalaman seseorang namun apabila tidak dibiasakan mereka akan sangat kesulitan untuk mencurahkan gagasannya.  Disinilah peran penting latar belakang peserta  didik bagi widyaiswara. Karena latar belakang peserta didik menjadi dasar dalam memilih pendekatan metode pembelajaran.

Pembelajaran Orang dewasa Terdapat banyak sekali teori dan model pembelajaran orang dewasa yang berkembang saat ini.  Pembelajaran orang dewasa pada dasarnya diikuti oleh mereka yang telah memiliki pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan formal, non formal, lingkungan kerja, maupun lingkungan dimana mereka hidup.  Bekal pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman para peserta didik itu akan sangat berharga jika bisa digali sebagai sumber pembelajaran.  Akan lebih baik lagi jika pengalaman itu bisa  dikembangkan dan diorganisasi kembali menjadi pengalaman baru sesuai tujuan pembelajaran.

Ada beragam cara yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman peserta didik, khusunya orang dewasa. Salah satunya dengan menggunakan metode pembelajaran yang mengedepankan proses dialog dan curah pendapat. Mengapa dialog dan curah pendapat penting? Karena selama ini dalam proses pembelajaran tidak terjadi proses penggalian ide dan gagasan peserta didik.  Widyaiswara selama ini lebih aktif dan dominan dalam proses pembelajaran sehingga berperan layaknya guru yang menjelaskan isi materi secara rinci dengan sedikit membuka ruang tanya jawab. Dengan metode ini praktis, peserta diklat lebih banyak duduk manis mendengarkan materi yang disampaikan oleh widyaiswara.  Proses penggalian pengalaman peserta didik sebagai sumber pembelajaran pun tidak terjadi dalam metode ini.  Pola pembelajaran yang berlangsung satu arah menyebabkan peserta didik menjadi pasif, demotivasi dan tidak berpikir kritis untuk bersama-sama mengembangkan ide dan gagasan dalam rangka mengoptimalkan proses pembelajaran. Konsekwensi dari pola ini adalah rendahnya perhatian peserta terhadap materi pendidikan dan pelatihan, bahkan ada kecenderungan peserta didik mengantuk di kelas sementara widyaiswara bersemangat menjelaskan materi pembelajaran.  Proses pembelajaran yang berlangsungpun kurang berkembang dan tidak efektif.

HAKEKAT  PEMBELAJARAN ORANG DEWASA
Belajar bagi manusia merupakan proses pendidikan sepanjang masa yang tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah ataupun perguruan tinggi, namun juga berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.   Menurut Malcolm S Knowles, ada beberapa prinsip dasar dalam proses pembelajaran orang dewasa :

1. Orang Dewasa Mampu Belajar
Orang dewasa dapat menerima pengetahuan dan mampu mengembangkan intelektualnya. Pengetahuan dapat mereka melalui berbagai sumber yang didapat dalam aktifitas kehidupannya baik di rumah, tempat kerja ataupun lingkungan masyarakat dimana mereka berada.  Semakin kompleks masalah dan kebutuhan hidupnya, maka semakin banyak pula upaya mereka memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang bermanfaat untuk mengatasi masalahnya. Karena bertambahnya usia, makan orang dewasa mengalami kemunduran kecepatan belajarnya, namun kekuatan intelektualnya tidaklah berkurang, bahkan bisa bertambah sebagai hasil proses belajar.  Kelambanan dalam menerima pelajaran ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1.   Orang dewasa sudah lama tidak belajar secara rutin dan sistematis.
2.   Adanya perubahan fisik baik pendengaran, penglihatan, perasa, gerak fisik maupun kondisi tubuh lainnya.
3.   Metode belajar orang dewasa memerlukan penyesuaian, sesuai kondisi fisik dan tingkat pemikirannya.
4.   Kondisi psikologis sebagai akibat dar interaksi sosial dan beban kehidupan manusia dewasa dalam keluarga maupun masyarakat. 

2. Belajar Merupakan Proses Internal
Untuk memenuhi kebutuhan  dalam rangka eksistensi dirinya maka orang dewasa membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan baru yang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan dirinya dalam mengatasi berbagai masalah dan kebutuhan hidup yang dihadapi.  Pengetahuan dan ketrampilan baru akan mereka pelajari tanpa harus dibelajarkan oleh orang lain.  Mereka memahami bahwa tanpa usaha meningkatkan diri, mereka akan merasa tertinggal ataupun kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.  Secara psikologis, orang dewasa memiliki kebutuhan mengarahkan diri agar diakui oleh orang lain. Eksistensi diri merupakan kebutuhan internal sebagai bagian dari kehidupannya yang menjadi bagian dari masyarakat dimanapun mereka berada.

Menurut Sunarno, 2007, menyebutkan beberapa asumsi yang membedakan pendidikan anak (paedagogik) dan pendidikan orang dewasa (andragogik)  yaitu : 1. Konsep diri, 2. Pengalaman, 3. Kesiapan untuk belajar, dan 4.Orientasi terhadap belajar.

1. Konsep diri
Konsep diri orang dewasa tidak lagi tergantung pada orang lain karena ia sudah mampu menentukan pilihan pada dirinya karena telah memiliki kematangan. Orang dewasa memerlukan perlakuan yang sifatnya menghargai dirinya sebagai individu yang telah mampu mengambil keputusan tentang apa yang dia butuhkan dalam belajar, yang bermanfaat untuk mengembangkan diri agar dihargai dan bermanfaat bagi orang lain.

2. Pengalaman
Orang dewasa memiliki pengalaman yang mereka baik selama belajar, dalam lingkungan kerja maupun dalam kehidupan bermasyarakat.  Dari pengalaman inilah maka setiap orang dewasa sebagai peserta didik dapat dijadikan sebagai sumber belajar dengan saling tukar pengalaman ataupun pemecahan masalah sesuai sudut pandang masing-masing.

3. Kesiapan untuk Belajar
Orang dewasa akan siap untuk belajar apabila materi yang akan mereka pelajari dirasakan sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Karena tujuan belajarnya adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan agar semakin mampu meningkatkan peranannya dalam masyarakat.  Pengetahuan dan ketrampilan yang tidak langsung bermanfaat bagi kehidupannya maka dirasakan tidak terlalu penting untuk dipelajari.

4. Orientasi Terhadap Belajar
Orang dewasa ingin secepatnya mengaplikasikannya hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari. Materi pendidikan dan pelatihan yang cocok bagi mereka adalah yang bersifat praktis sesuai dengan masalah ataupun kebutuhan hidup yang dihadapi.  Materi praktis ini bisa memberi bantuan dalam mengatasi masalah-masalah, baik yang berkaitan dengan tugas pekerjaan maupun dalam kehidupan di masyarakat.

PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN
Pembelajaran efektif perlu dilakukan dalam suasana yang menyenangkan dengan ditandai semangat dan kegembiraan peserta selama proses belajar.  Oleh karena itu, seorang widyaiswara dituntut untuk mampu menciptakan suasana belajar yang mampu membangkitkan peserta didik agar bersemangat, termasuk juga dalam mengungkapkan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya.  Mengungkap pengetahuan dan ketrampilan setiap peserta didik, bisa dilakukan melalui metode curah pendapat dengan memancing setiap peserta agar mau mengungkapkan pengetahuan yang berkaitan dengan materi pembelajaran tanpa rasa takut salah meskipun apa yang disampaikan itu tidak tepat.

Metode curah pendapat apabila diterapkan dengan benar tidak hanya memperkaya sumber belajar namun juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan diri peserta didik.  Langkah-langkah pembelajaran dengan metode curah pendapat yang efektif dan menyenangkan adalah sebagai berikut :

1. Tentukan tujuan pembelajaran
Tujuan pembelajaran merupakan hal pokok yang akan menjadi pedoman tentang kemampuan apa yang harus dikuasai peserta didik setelah selesai pembelajaran.  Jelaskan tujuan pembelajaran kepada peserta didik dan dapatkan kesepakatan dari mereka.  Tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus dari setiap sub materi.

2.  Ciptakan suasana yang nyaman dan bersahabat
Suasana belajar sangat berpengaruh terhadap proses dan keberhasilan belajar.  Agar peserta merasa nyaman dalam belajar perlu diciptakan keakraban antara widyaiswara dengan peserta didik maupun antar peserta didik.  Mulailah dengan perkenalan dan pahamilah siapa mereka.  Buatlah peserta merasa rilek dan bangkitkan keberaniannya untuk mengungkapkan pengalamannya tanpa rasa takut salah. Iringan musik, cerita lucu, gambar, video ringan ataupun nyanyian bisa mencairkan suasana belajar yang tegang.

3. Mulailah memaparkan materi pembelajaran
Umumnya dimulai dari penjelasan konsep yang dilanjutkan dengan rincian-rincian.  Upayakan agar peserta didik tertarik untuk memberikan pendapat dari pengalaman yang mereka miliki berkaitan dengan materi yang dibahas. Paparan berupa materi esensial dalam bentuk bagan, tabel ataupun gambar lebih menarik dibanding berupa kalimat-kalimat panjang yang membosankan.  Apabila paparan menggunakan LCD  dengan power point  maka setiap paparan jangan lebih dari sembilan baris dan diketik dengan huruf ukuran besar agar mudah dibaca peserta.

4. Pancing Peserta untuk Mengungkapkan Pendapat
Apabila peserta masih takut mengemukakan pendapat dan komentar maka pancinglah dengan pertanyaan-pertanyaan ringan yang bisa dijawab tanpa harus banyak berpikir.  Setelah ada peserta yang mengemukakan pendapat dan merasa aman, maka hal ini akan memberi motivasi kepada peserta lain untuk ikut mengungkapkan pendapatnya ataupun bertanya.  Berilah komentar positif setiap setiap pendapat peserta tanpa memandang tepat dan tidaknya isi dari pendapat tersebut sebagai penghargaan atas keberaniannya.  Dalam materi tertentu, cerita pengalaman peserta di lingkungan kerjanya bisa dijadikan studi kasus sebagai bahan diskusi. Peran widyaiswara adalah mengendalikan agar curah pendapat dan pertanyaan tetap berkaitan dengan materi yang sedang dibahas dan memberikan kesempatan secara merata kepada setiap peserta didik.

5. Beri penguat dan penghargaan
Setiap peserta didik membutuhkan tanggapan apakah pendapatnya tepat atau kurang tepat.  Beri penguat pada setiap pendapat yang tepat dan sempurnakan pendapat yang kurang tepat.  Hindari memberi tanggapan yang terkesan menyalahkan peserta didik karena akan menyebabkan mereka merasa takut untuk berpendapat kembali.

6. Lanjutkan materi berikutnya
Semakin banyak peserta mengungkapkan pendapat, ide dan gagasan yang berkaitan dengan materi sebenarnya maka semakin jelas pembahasannya.  Namun karena waktu pembelajaran terbatas maka akhiri curah pendapat pada suatu bagian materi apabila dipandang sudah cukup dan lanjutkan pada materi berikutnya.  Kesempatan peserta untuk mengemukakan pendapat dan bertanya sebenarnya bisa dilakukan bebas kapan saja asalkan diperhitungkan dengan waktu pembelajaran yang tersedia.

7. Beri penghargaan atas keaktifan peserta
Agar motivasi peserta didik bisa selalu berkembang maka widyaoswara perlu memberikan catatan siapa saja peserta didik yang aktif dalam curah pendapat, siapa  yang berkualitas dan siapa yang kurang berkualitas.  Catatan ini akan menjadi alat evaluasi keberhasilan setiap peserta didik dalam mengikuti pembelajaran.

8. Simpulkan hasil pembelajaran
Setiap akhir pembelajaran perlu disampaikan kesimpulan dari materi yang telah dibahas.  Kesimpulan ini bermanfaat untuk menguatkan ingatan peserta didik setelah mengikuti pembelajaran sekaligus mempertegas konteks dari keseluruhan materi

9. Rayakan keberhasilan pembelajaran
Setiap usaha belajar dan hasil yang diperoleh peserta didik dalam pembelajaran pantas untuk dirayakan dalam bentuk tepuk tangan, ungkapan kegembiraan ataupub pernyataan syukur kepada Tuhan. Perayaan ini diharapkan memberi umpan balik dan motivasi untuk kemajuan belajar berikutnya.

Metode lain yang dapat diterapkan dalam pembelajaran orang dewasa diantaranya adalah metode diskusi, metode inquiry, metode discovery, dan metode demonstrasi. Pembelajar/Widyaiswara dapat memilih metode yang akan diterapkan dengan mempertimbangkan kondisi peserta, karakteristik materi pembelajaran dan waktu pembelajaran yang tersedia.

PENUTUP
Peran pembelajar widyaiswara sangat menentukan keberhasilan pembelajaran dalam pendidikan dan pelatihan.  Agar pembelajaran dapat efektif maka widyaiswara harus memahami latar belakang dan karakteristik peserta didik yang dihadapi. Untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan diperlukan ketrampilan dan sikap widyaiswara yang memadai. Untuk itu widyaiswara harus selalu mengembangkan diri agar bisa mewujudkan pembelajaran yang berkualitas.

Senin, 05 November 2012

KINERJA, PENINGKATAN MUTU DAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN




A.   KINERJA GURU
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran (Darmadi Hamid, 2010). Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara pada ketidakmampuan guru di dalam melaksanaan proses pembelajaran di sekolah, sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi kelemahan guru, maka hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada system yang berlaku kurang btepat, baik sengaja ataupun tidak disengaja berpengaruh terhadap permasalahan pendidikan.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan, bagaimana kinerja guru bisa berdampak kepada pendidikan yang bermutu. Kita melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan kurikulum pendidikan yang sering berubah, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru professional.
Kinerja guru juga sangat ditentukan oleh output atau keluaran dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK juga memiliki tanggungjawab yang signifikan dalam menciptakan guru berkualitas, yang pada suatu ketika berdampak kepada pembentukan SDM yang berkualitas pula (Darmadi Hamid,2010). Oleh sebab itu LPTK juga memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru seperti yang disebutkan diatas, berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk SDM mandiri, cerdas, bertang-gungjawab dan berkepribadian. Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnnya kinerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada dipersekolahan. Kinerja guru yang positif akan terbentuk bilamana masing-masing struktur memiliki tanggungjawab dan memahami tugas dan kewajiban masing-masing.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan seperti sekarang ini menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi sisi tawar di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak terhadap kinerja guru yang bersangkutan. Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negative kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadikan kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan perilaku pendidikan yang diuharapkan. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan, tanpa itu sukar bagi guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini, dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.
Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indicator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu indicator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja guru. Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal di dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar, pembimbing dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, hal ini secara akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.
Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran.

Kinerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan ketinggalan, dan kerdil dalam ilmu pengetahuan. Pada kondisi kini kita dihadapkan pada era global, yang semuanya serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif. Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan semangat kerja yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini.

B.   PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
            Tuntutan terhadap lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga  pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleksitas, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan perlunya “Paradigma baru pendidikan” yang difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu (Wirakartakusumah,1998).

1.    Mutu Pendidikan
Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa  yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.
 
2.    Otonomi Pendidikan
Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti  sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/ staf non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya,  paling tidak bahwa guru/ pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
3.    Akuntabilitas Pendidikan
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya.
 
4.    Akreditasi Pendidikan
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan. Hasil akreditasi perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan independen yang berwenang. Pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).
 
5.    Evaluasi Pendidikan
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal dan eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara berkesinambungan.
 
C.   MENGHASILKAN MUTU PENDIDIKAN
Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan oleh para pendidik dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1.    Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2.    Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3.    Setiap pimpinan harus berorientasi  pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu  dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus.
4.    Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, haruslah dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.
 
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis,1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut.  Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary  external customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal  dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).
Seperti  disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan kebutuhan dan harapan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
 
 
D.   TEKNOLOGI INFORMASI DAN PROFESIONALISME GURU
Hampir semua orang sependapat bahwa teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk,  teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian.  Sebagai teknologi, kedua sisi tersebut keberadaanya sangat tergantung pada pemakainya.
Adi Sasono (1999) mengidentifikasi beberapa kenyataan berikut yang bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya,  karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami kemandekan informasi akibatnya bisa terjadi fatal  berupa :
1.    Teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi disisi lain hirarki sosial yang ada dapat dipertahankan oleh teknologi dan bahkan diperkuat lagi.
2.    Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat mengundang atau  sebaliknya meniadakan kontribusi insani. Pemakaian secara tidak tepat akan suatu teknologi dapat mengarah pada “dehumanisasi”.
3.    Komputer sebagai suatu teknologi bisa terancam fungsinya sebagai alat otomasi yang ditujukan untuk memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja dalam mengambil keputusan. Sebaliknya sistim yang dirancang secara demokaratis akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi kemandirian masyarakat.
4.    Komputer sebagai teknologi dapat digunakan untuk mengotomasi produksi sehingga membebaskan manusia dari upaya-upaya fisik proses produksi yang membosankan. Disisi lain, komputer juga dapat digunakan untuk mengintegrasikan mesin dan pekerja pada tingkat keterlibatan intelektual dan produtifitas yang lebih tinggi, yang disebut dengan istilah “to informate”. Istilah ini bukan sekedar alternatif bagi otomatisasi dalam makna yang umum, namun lebih merupakan suatu cara yang lebih baik dalam otomatisasi yang mempertimbangkan potensi sumberdaya insani dalam lingkungan kerja bersama-sama dengan mempertimbangkan potensi teknikal komputer secara sinergis.
 
Menurut Adi Sasono (1999) revolusi teknologi informasi yang pesat telah mengaburkan batas-batas tradional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong permaknaan ulang perdagangan dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek kehidupan, pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertaiment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.
Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan  komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks ( Sasono, 1999).
Pada dasarnya, adanya teknologi informasi telah memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah, terjangkau, dan memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat. Teknologi yang semacam ini harus dimiliki oleh rakyat secara luas untuk dapat membantu rakyat mengorganisir diri secara modern dan efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat terbesar .

            Dalam rangka  meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi seperti diatas adalah sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak.  Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian ini. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. FKIP dan STKIP yang mempersiapkan tenaga pendidikan/ keguruan harus mampu melakukan tindakan  yang tepat, sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi  dan kebutuhan masyarakat.
        Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Salah satu dari kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan menggunakan teknologi informasi yang terus-menerus berkembang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan  masyarakat. Keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional. Disinilah  peran Perguruan Tinggi seperti FKIP. STKIP dan Organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting.  Kerjasama antara keduanya menjadi sangat diperlukan. FKIP dan STKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, selain harus bekerjasama dengan lembaga profesi guru, dan alumni (baik secara kelembagaan maupun secara personal).
Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi  guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
 
E.    Tantangan Dunia Pendidikan
Salah satu esensi dari proses pendidikan tidak lain adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, haruslah komunikatif. Dalam komunikasi pada umumnya, demikian pula dalam pendidikan, informasi yang tepat disajikan adalah informasi yang dibutuhkan , yakni yang bermakna, dalam arti : (1) secara ekonomis menguntungkan. (2) secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada, dan (4)  sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada
Konsep “bermakna” ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat diserap dan dilaksanakan sasaran/peserta didik. Karena itu, Williams (1984) menyebutkan bahwa komunikasi adalah saling pertukaran simbol-simbol yang bermakna. Williams menekankan bahwa : (1) kita tidak dapat saling bertukar makna, (2) kita hanya secara fisik bertukar simbol, dan (3) komunikasi tidak akan terjadi, kecuali kita berbagi makna untuk simbol-simbol tertentu.
Dalam memberikan/menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya kepada peserta didik), bukan informasi yang kita ketahui yang disampaikan, tetapi yang kita sampaikan adalah informasi yang benar-benar bermakna dan dibutuhkan sasaran. Informasi yang dibutuhkan dan bermakna adalah informasi yang mampu membantu/mempercepat pengambilan keputusan untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki. Untuk itulah maka, pemilihan informasi harus benar-benar selektif dengan mempertimbangkan jenis teknologi mana yang tepat dipilih sebagai medianya.
Sejarah, kini dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih efisien.  Dalam dunia pendidikan, revolusi informasi akan mempengaruhi jenis pilihan teknologi dalam pendidikan, bahkan, revolusi ini secara pasti akan merasuki semua aspek kehidupan (termasuk pendidikan). Inilah yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu. Siapkah lembaga pendidikan kita menyambutnya?!
Dunia pendidikan harus  menyiapkan seluruh unsur  dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan yang tepat teknologi informasi  (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Bagi lingkungan lembaga kependidikan seperti FKIP dan STKIP, penerapan teknologi dalam pendidikan di era global informasi tidak lain adalah bentuk aplikasi jenis-jenis  teknologi informasi mutakhir dalam praktek pendidikan. Proses belajar mengajar yang menerapkan  teknologi informasi mutakhir dapat berupa penggunaan media elektronik seperti radio, TV, internet dan sistim jaringan komputer, serta bentuk-bentuk teledukasi lainnya.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
 

PENUTUP
Memperhatikan uraian di atas, maka untuk peningkatan mutu pendidikan dan lulusan FKIP dan STKIP yang mampu mengikuti tuntutan perkembangan perlu dirumuskan suatu sistem manajemen mutu pendidikan guru yang tepat.
Sebagai suatu rambu-rambu, lembaga pendidikan tenaga kependidikan haruslah mengikuti arah paradigma baru pendidikan yaitu mengedepankan layanan mutu dengan membuka diri terhadap penerapan prinsip otonomi pendidikan, siap menerapkan akuntanbilitas publik, siap diakreditasi bahkan mengusahakannya, dan dari waktu ke waktu melakukan evaluasi diri untuk perubahan yang lebih baik  agar menghasilkan suatu lembaga dan lulusan yang bermutu. FKIP dan STKIP harus melakukan usaha-usaha mendasar manajemen mutu yakni memperhatikan segala tuntutan dan kebutuhan “stakeholder”, mendorong motivasi instrinsik dalam lembaga untuk mengejar mutu, dan secara terus menerus melakukan perbaikan, serta menjalin kerjasama dari semua unsur yang terlibat dalam proses pencapaian mutu tersebut. FKIP dan STKIP harus mampu membawa  semua unsur intern lembaga menempatkan diri sebagai  lembaga “jasa” yang harus  dapat “melayani” fihak-fihak yang  berkepentingan menjadi terpuaskan dan terlayani kebutuhannya dengan baik.
Adanya revolusi teknologi informasi, mendorong bagi FKIP dan STKIP untuk meningkatkan profesionalisme lulusan melalui usaha-usaha penyiapan calon guru/tenaga kependidikan lainnya untuk dapat menguasai dan menyesuaikan terhadap tuntutan perubahan akibat revolusi teknologi informasi tersebut. Kesiapan dan keterbukaan akan terjadinya pola hubungan peserta didik – guru, teknologi instruksional dan lain-lainnya, harus diantisipasi melalui perubahan-perubahan didalam FKIP dan STKIP itu sendiri.
Kerjasama FKIP dan STKIP dengan organisasi profesi (seperti PGRI) dan alumni sangatlah penting, terutama dalam merumuskan dan meningkatkan kompetensi guru, termasuk memberikan layanan “inservice training” bagi guru-guru/tenaga kependidikan lainnya yang memerlukan penyegaran kemampuannya.
Dalam fungsi lembaga pendidikan sebagai penyampai informasi, FKIP dan STKIP perlu memilih media-media pendidikan yang tepat agar selalu dapat mengejar ketinggalan dengan mengacu pada informasi yang dibutuhkan dan bermakna bagi peserta didik (Darmadi Hamid,2010). Untuk itu, maka pilihan atas teknologi informasi yang mutakhir sudah menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Darmadi Hamid (2010) Kemampuan Dasar Mengajar : Konsep Dasar Teori dan Praktek Bandung; Alfabeta
Karsidi, Ravik, 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah di Pondok Assalam, Surakarta 19 Februari.
Sasono, Adi, 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Malakah Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan,  Hotel Sangri-La, Jakarta 5-7 Desember.
Sallis, Edward, 1993. Total Quality Management in  Education, Kogam Page, London.
Slamet, Margono, 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, IPB Bogor.
William, Frederick, 1984. The News Communication, Los Angeles : Wadsworth, Inc.
Wirakartakusumah, 1998. Pengertian Mutu Dalam Pendidikan, Lokakarya MMT IPB, Kampus Dermaga Bogor, 2-6 Maret