Senin, 13 Mei 2013

URGENSI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN oleh HAMID DARMADI




Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas Pasal 3 dikatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berupaya mengantarkan warganegara Indonesia menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki  rasa kebangsaan dan cinta tanah air;  menjadi warga negara demokratis yang berkeadaban; yang memiliki daya saing: berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. PPKn adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi muda bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki peran penting  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah bentuk pengem-blengan individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politik sepanjang komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan. David Kerr,1999 mengindikasikan PPKn Indonesia dan Pendidikan kewarganegaraan suatu negara akan senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan sebagai faktor struktural utama. PPKn  bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jati diri dan identitas bangsa (Kymlicka, 2001).
PPKn berkontiribusi penting menunjang tujuan bernegara Indonesia yang  berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. PPKn berkaitan dan berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. PPKn merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra,2008) Pendidikan nasional pada hakikatnya adalah PPKn untuk melahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan kepribadian (Soedijarto, 2008). 

PPKn hadir kehadapan pembaca berupaya menanamkan sikap kepada warga negara Indonesia umumnya dan generasi muda bangsa khususnya  agar: (1)Memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air  sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bangsa dan negara; (2)Memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka meperkuat integrasi nasional; (3)Memiliki wawasan, kesadaran dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban, tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter; (4)Memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara secara adil dan tidak diskriminatif;(5)Berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang  demokratis dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi  yang bersumber pada Pancasila; (6)Memiliki  pola sikap,  pola pikir dan pola perilaku yang mendukung ketahanan nasional Indonesia serta mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan perkembangan zaman demi kemajuan bangsa. Tujuan utama PPKn adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia, memiliki sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan kebudayaan dan filsafat bangsa Pancasila. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ke-Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Secara konstitusi rakyat Indonesia, melalui MPR menyatakan bahwa : Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia diarahkan untuk “meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas dan mandiri, mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa“. Disamping itu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif. Terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.

Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya merupakan sumber hukum dasar dalam negara Indonesia. Sebagai suatu sumber hukum dasar secara objektif Pancasila merupakan suatu pandangan  hidup, kesadaran, cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia, yang pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dipadatkan dan diabstraksikan oleh para pendiri negara ini menjadi  lima sila yang ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar filsafat negara Republik Indonesia.

                   Unsur-unsur yang merupakan materi pendidikan Pancasila diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakann kausa materialis (asal bahan) Pancasila. Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara, ideologi bangsa dan negara Indonesia.

Keanekaragaman suku,bangsa adat istiadat, dan agama yang berada pada ribuan pulau yang berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan untuk terjadi keanekaragaman kehendak dalam Negara karena tumbuhnya sikap premordalisme sempit, yang akhirnya memungkinkan dapat terjadi konflik yang negatif, oleh karena itu dalam pendidikan dibutuhkan alat perekat bangsa dengan adanya kesamaan cara pandang tentang visi dan misi negara melalui wawasan nusantara sekaligus akan menjadi kemampuan menangkal ancaman pada berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kompentensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah dimana masyarakat dan pendidikan suatu Negara berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup serta kehidupan generasi penerusnya dan bermakna. Generasi penerus tersebut diharapkan akan mampu mengantisipasi hari depan bangsa yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, Negara, dan hubungan internasional.
Kompetensi lulusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah tindakan cerdas yang penuh tanggung jawab dari seorang warga negara dalam berhubungan dengan negara, dan memecahkan berbagai masalah hidup bermasyarakat,berbangsa dan bernegara dengan menerapkan konsepsi falsafah bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diharapkan dapat membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab. Sikap ini disertai dengan perilaku yang : Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghayati nilai–nilai falsafah bangsa; berbudi pekerti luhur, berdisiplin; rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara;  serta bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
Tulisan ini berupaya memberikan semangat perjuangan kepada genegarasi muda bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan menghadapi globalisasi yang penuh tantangan. Generasi muda  sebagai warga negara Indonesia dan sebagai penerus cita-cita bangsa  perlu memiliki wawasan dan kesadaran bernegara, bersikap dan berperilaku positif, cinta tanah air serta mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan peribadi dan golongan dalam rangka bela negara demi utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga.

­


CATATAN BELAKANG HALAMAN
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003)
Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui : pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau wajib dan pengabdian sesuai profesi  Pasal 9 ayat (2) UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara:
Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan (PPKn) berupaya mengantarkan warganegara Indonesia menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki  rasa kebangsaan dan cinta tanah air;  menjadi warga negara demokratis yang berkeadaban; yang memiliki daya saing: berdisiplin, dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila. PPKn adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat (Zamroni, dalam ICCE, 2003)

Rakyat Indonesia, melalui MPR menyatakan bahwa : Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia diarahkan untuk “meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas dan mandiri, mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa “. Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif. Terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.

Keanekaragaman suku, adat istiadat, dan agama serta berada pada ribuan pulau yang berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan untuk terjadi keanekaragaman kehendak dalam Negara karena tumbuhnya sikap premordalisme sempit, yang akhirnya memungkinkan dapat terjadi konflik yang negatif, oleh karena itu dalam pendidikan dibutuhkan alat perekat bangsa dengan adanya kesamaan cara pandang tentang visi dan misi negara melalui wawasan nusantara sekaligus akan menjadi kemampuan menangkal ancaman pada berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1.3 Kompentensi yang Diharapkan dari Pendidikan Kewarganegaraan Masyarakat dan pendidikan suatu Negara berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup serta kehidupan generasi penerusnya dan bermakna. Generasi penerus tersebut diharapkan akan mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, Negara, dan hubungan internasional.

Kompetensi lulusan PPKn adalah seperangkat tindakan cerdas penuh tanggung jawab dari seorang warga negara dalam berhubungan dengan negara, dan memecahkan berbagai masalah hidup bermasyarakat,  berbangsa dan bernegara dengan menerapkan konsepsi falsafah bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Pendidikan Kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai dengan perilaku yang : Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai–nilai falsafah bangsa; Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara;  Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.

PPKn memiliki peran penting  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. PPKn adalah bentuk pengem-blengan individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politik sepanjang komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan. PPKn senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan (educational values and aims) sebagai faktor struktural utama (David Kerr, 1999). PPKn bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jati diri dan identitas bangsa (Kymlicka, 2001).
PPKn berkontiribusi penting menunjang tujuan bernegara Indonesia.  PPKn secara sistematik adalah untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berkaitan dan berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
PPKn merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra, 2008) Pendidikan nasional pada hakikatnya adalah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk melahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan kepribadian (Soedijarto, 2008).

Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi berupaya menanamkan sikap kepada mahasiswa sebagai calon  intelektual dan penerus cita-cita bangsa agar;
·         Memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air  sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bangsa dan negara
·         Memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka meperkuat integrasi nasional
·         Memiliki wawasan, kesadaran dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban, tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter
·         Memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara secara adil dan tidak diskriminatif
·         Berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang  demokratis dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi  yang bersumber pada Pancasila
·         Memiliki  pola sikap,  pola pikir dan pola perilaku yang mendukung ketahanan nasional Indonesia serta mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan perkembangan zaman demi kemajuan bangsa

Visi Misi Tujuan Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan
·         Visi; Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya mejadi manusia Indonesia seutuhnya.
·         Misi; Pendidikan Pancasilan dan Kewarganegaraan adalah membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai warga negara Indonesia yang baik dan bertanggungjawab, tahu akan hak dan kewajibannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.

Materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
         Materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan meliputi hubungan antara warganegara dan negara, serta pendidikan pendahuluan bela negara yang semua ini berpijak pada nilai-nilai budaya serta dasar filosofi bangsa. Tujuan utama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan  adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia, memiliki sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan kebudayaan dan filsafat bangsa Pancasila. Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara Indonesia, mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ke-Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan sosial.

Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya merupakan sumber hukum dasar dalam negara Indonesia. Sebagai suatu sumber hukum dasar secara objektif Pancasila merupakan suatu pandangan  hidup, kesadaran, cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan, serta watak bangsa Indonesia, yang pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dipadatkan dan diabstraksikan oleh para pendiri negara ini menjadi  lima sila yang ditetapkan secara yuridis formal menjadi dasar filsafat negara Republik Indonesia.

                   Unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain adalah diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakann kausa materialis (asal bahan) Pancasila. Unsur-unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara, ideologi bangsa dan negara Indonesia.

Tulisan ini bagaikan guide yang berupaya memberikan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan menghadapi globalisasi. Generasi muda  sebagai warga negara Indonesia dan sebagai penerus cita-cita bangsa  perlu memiliki wawasan dan kesadaran bernegara, bersikap dan berperilaku positif, cinta tanah air serta mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa di atas kepentingan peribadi dan golongan dalam rangka bela negara demi utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selasa, 07 Mei 2013


PENDIDIKAN DIPERBATASAN MEMBANGUN KETAHANAN
PERADABAN NEGARA BANGSA

Oleh : Hamid Darmadi

ABSTRAK: Kondisi Pendidikan di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia terjadi ketimpangan yang sangat mencolok. Di Malaysia, sekolah dibangun dengan baik, serta dilengkapi dengan sarana dsn prasarana yang representatif. Sementara di daerah perbatasan Indonesia tidak ditemukan kondisi sperti itu. Sehingga tidak mengherankan jika banyak warga diperbatasan memilih sekolah di Sarawak ketimbang sekolah di negeri sendiri. Perbatasan darat Kalimantan Barat dengan Serawak Malaysia Timur membentang sepanjang 966 kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar. Perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak Malaysia meliputi 5 wilayah Kabupaten yaitu; Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu dengan 15 Kecamatan dan 98 Desa. Masyarakat perbatasan melakukan aktivitas kesehariannya yang menyangkut sosial ekonomi cenderung pergi ke Sarawak, daripada kenegara sendiri karena aksesnya lebih dekat, mudah serta ketersediaan fasilitas transfortasi yang lebih gampang. Kawasan perbatasan Indonesia - Malaysia terdapat lebih dari 50 ruas jalan setapak yang menghubungkan lebih dari 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Serawak. Kondisi kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan keterampilan hidup masyarakat perbatasan tertinggal dibanding dengan masyarakat Serawak. Peningkatan kualitas pendidikan di perbatasan merupakan langkah penting untuk mengokohkan sistem pertahanan nasional di beranda depan bangsa melalui pendidikan dan budaya. Peningkatan akses pendidikan di perbatasan dapat menghapus stigma kesenjangan politik nasional mengenai peningkatan sumber daya dan infrastruktur; serta menjadikan warga di daerah perbatasan merasa menjadi bagian dari negara kesatuan Indonesia. Solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.

A.      Pendidikan Daerah Perbatasan Indonesia
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertawa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Sebagai manifestasi dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, Pemerintah telah menggratiskan biaya sekolah, dan melaksanakan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Kenyataannya wacana Pemerintah menggratiskan biaya pendidikan tersebut belum dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan. Penyelenggaraan pendidikan tidak merata, penggratisan dan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun lebih tampak ditempat tertentu saja.
Di Pulau Jawa perkembangan pendidikan sangatlah pesat, segala penunjang fasilitas pendidikan sangat memadai, para tenaga pengajar nya pun sangat berkualitas. Namun berbeda sekali dengan pulau-pulau di luar Jawa, tak terkecuali penyelenggaraan  pendidikan di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Sarawak Malaysia, Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sabah Malaysia Timur dan disemua penyelenggaraan pendidikan di daerah perbatasan serta penyelenggaraan pendidikan di pulau-pulau kecil diseluruh tanah air.
Masalah minimnya fasilitas pendidikan sangat di rasakan oleh saudara-saudara kita di daerah perbatasan  yang keadaannya belum diperhatikan oleh pemerintah. Banyak saudara kita yang mau bersekolah harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk sampai ke sekolah. Jalan yang mereka tempuh untuk bisa samapai ke sekolah bukan jalan yang mulus melainkan jalan tikus yang berlika-liku dan naik turun bukit, dimana disana juga terdapat binatang buas dan ular berbisa, semuanya tak pernah mereka peduli hanya karena ingin mengejar pendidikan. Bukan karena kemauan mereka berjalan dalam alam seperti itu, tetapi karena belum ada campur tangan Pemerintah dan kondisi alam di daerah perbatasan dan pulau-pulau terpencillah yang membuat mereka berlaku seperti itu.
Pendidikan adalah faktor utama dalam menentukan apakah seseorang itu berkualitas atau tidak. Dengan pendidikan seseorang bisa tahu segala macam informasi dan pengetahuan. Pendidikan merupakan faktor yang amat penting untuk menunjang kemajuan suatu negara. Bukan hanya pendidikan akademik saja, namun moral dan keterampilan juga tidak kalah penting dalam mewujudkan terciptanya suatu genersi bangsa yang baik. Tapi, apakah pendidikan kita sudah mendapat perhatian khusus dari pemerintah? Terlebih wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, kita sendirilah yang tahu jawabnya.

Pendidikan di perbatasan Kalimantan Barat sangat tak layak sehingga kebanyakan warga memilih sekolah di negeri Serawak ketimbang sekolah di negeri sendiri, alasannya sangat relevan dan logis. Sekolah di Malaysia tidak  di pungut biaya sampai tamat, sedangkan sekolah di Indonesia yang iklannya gratis itu hanya usapan jempol belaka. Kemudian sekolah Malaysia dilengkapi fasilitas penunjang pendidikan yang sangat baik dan gedungnya pun jauh lebih bagus dari gedung yang kita miliki, tenaga pengajar (guru) di Malaysia pun jauh lebih baik dan berdedikasi dari pada yang kita punya.

Perbatasan darat Kalimantan Barat – Serawak Malaysia Timur membentang sepanjang 966 kilometer, mempunyai luas sekitar 2,1 juta hektar atau hampir seluas Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Sulawesi Utara. Secara administratif meliputi 5 wilayah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu dengan 15 Kecamatan dan 98 Desa. Penduduk dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi cenderung ke Serawak, karena akses yang mudah serta ketersediaannya fasilitas yang lebih baik.
Kawasan perbatasan terdapat lebih dari 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan lebih dari 55 desa di Kalimantan Barat dengan 32 kampung di Serawak. Kondisi geografis dan Topografi wilayah perbatasan Kalimantan Barat yang masih terisolir, karena keterbatasan prasarana jalan, transportasi darat, sungai serta fasilitas publik lainnya. Kondisi ini berdampak pada kondisi kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan dan keterampilan hidup masyarakat daerah perbatasan yang masih tertinggal dibanding dengan masyarakat daerah Serawak.

Kondisi real pendidikan yang memprihatinkan terjadi juga pada Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, dimana lebih 60% penduduk masyarakat Puring Kencana juga memiliki KTP dan Surat Peranak (Akte Kelahiran Malaysia). Anak usia sekolah lebih memilih sekolah di Malaysia ketimbang sekolah di negeri sendiri. Sebagai perbandingan tahun ajaran 2011 terdapat 13 anak yang masuk SD di Puring Kencana, sedangkan 83 anak lainnya memilih sekolah di Malaysia. Sementara  mata uang yang digunakan di daerah ini lebih dominan ringgit daripada rupiah.

Masyarakat di daerah perbatasan ini dalam melakukan aktifitas sosial ekonominya cenderung ke Serawak, hal ini karena akses yang mudah serta ketersediaan fasilitas yang lebih baik. Ketergantungan perekonomian masyarakat perbatasan hampir semua barang dan jasa, tempat menjual hasil bumi masyarakat hampir semuake Malaysia. Contoh kondisi perekonomian diperbatasan  Kecamatan Puring Kencana tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada 15 Kecamatan di perbatasan Kalimantan Barat.

Proses pembangunan di wilayah perbatasan kedepan semakin banyak kendala, apabila kondisi demikian tidak segera diambil langkah-langkah strategis, semakin lambat penanganannya respon dan dukungan masyarakat semakin pudar sejalan dengan semangat nasionalisme dan kebangsaan semakin luntur akibat tidak adanya kemajuan pembangunan di daerah perbatasan. Dampak ganda yang dapat terjadi adalah semakin rawannya stabilitas Kamtibmas dan Pertahanan Negara di wilayah perbatasan Kalimantan.

Merupakan lampu merah bagi aparatur Pemerintah dalam melaksanakan tugas pembangunan di perbatasan yang yang fasilitasnya sangat minim, ditambah lagi dengan sebagian besar masyarakat yang memiliki KTP ganda akan menyulitkan implementasi Kamtibmas di wilayah perbatasan. Sebagai dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memadang masalah tersebut dari sisi ketahanan nasional bahwa kondisi yang memprihatinkan tersebut akan berdampak pada lemahnya pertahanan negara. Aparat pembina Teritorial dalam mewujudkan daya tangkal dan kekuatan pertahanan wilayah perbatasan yang tangguh bagi pertahanan negara.

Melalui peningkatan kesadaran masyarakat atas pentingnya pembelaan negara dengan banyaknya masyarakat yang memiliki KTP ganda dan pola kehidupan sosial ekonomi yang bergantung pada negara tetangga akan banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Kendala ini berisiko menurunnya semangat bela negara (cinta tanah air) sehingga mengikis aspek ketahanan wawasan bernegara. Dengan demikian untuk mewujudkan wilayah pertahanan yang sulit perlu dicarikan strategi yang bersinergi dengan aparatur Pemerintahan lainnya.

Permasalahan pembangunan di daerah perbatasan Kalimantan Barat disebabkan luasnya wilayah, jauhnya dari pusat Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten, keterbatasan aksesbilitas yang mengakibatkan sulitnya melakukan pembinaan, pengawasan dan pengamanan. Dalam kaitan tersebut,menyebabkan terjadinya tingkat kesenjangan kesejahteraan masyarakat perbatasan dengan Serawak baik ekonomi-maupun sosial. Kerawanan masalah kedaulatan negara adalah masih belum tuntasnya kesepakatan penegasan perbatasan negara, adanya kerusakan patok batas, belum disosialisasikan batas negara mulai dari aparat pemerintah sampai masyarakat perbatasan. Kompleksitas kondisi perbatasan tersebut juga dikarenakan kurangnya penegakan hukum dan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah, sehingga makin maraknya kegiatan illegal lintas batas seperti illegal trading, trafficking, mining and logging.

Di era Reformasi ini, Pemerintah memandang bahwa daerah perbatasan merupakan beranda depan negara (outward looking), sehingga kedepan perlu mendapat perhatian dalam pembangunan segala bidang. Berkaitan program otonomi daerah dan pemekaran wilayah administrasi pemerintahan yang dilakukan Pemerintah saat ini dengan moratorium sementara sambil diadakan evaluasi pelaksanaan pemekaran wilayah daerah. Di masa mendatang kebijakan pemekaran wilayah hendaknya diprioritaskan terhadap pembangunan didaerah perbatasan yang pada kenyataannya masih jauh tertinggal. Hal ini sejalan hakekat kebijakan desentralisasi guna mempercepat tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Wacana pemekaran wilayah (Kalimantan Barat) maupun beberapa Kabupaten di wilayah perbatasan hendaknya disikapi secara positif sepanjang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di daerah perbatasan.

Sebagai warganegara yang bertanggungjawab kita malu dengan keadaan ini. Namun sampai tulisan ini diturunkan nampaknya pemerintah belum serius dalam menangani menghadapi masalah ini. Padahal anak bangsa kita yang bersekolah di negeri jiran tersebut setiap hari Senin upacara mereka harus menghormat bendera Malaysia. Itulah martabat yang harus mereka korbankan demi mendapatkan pendidikan yang layak. Seharusnya pemerintah bertindak cepat menemukan solusi yang terbaik untuk masalah ini. Karena pemerintah adalah penunjang segala faktor utamanya. Contohnya pemerintah harus memperbanyak guru di daerah perbatasan maupun di daerah terpencil.

Daerah perbatasan adalah teras atau beranda depan dari suatu negara yang langsung bisa dinilai oleh negara tetangga. Seharusnya ini jadi intropeksi pemerintah karena pada dasarnya semua warganegara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Bagaimana pemerintah mau memajukan sumber daya manusia kalau sistem pendidikan yang tidak merata ini terus dibiarkan saja. Rakyat perbatasan menantikan pendidikan yang terjamin, dan layak sebagai warganegara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Masyarakat perbatasan adalah juga saudara-saudara kita yang berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Nasib warga Indonesia di perbatasan seolah mengalami keterbelahan identitas, terjebak di antara dua pilihan dan kecintaan negara. Hal ini tampak jelas sperti yang terjadi di daerah pedalaman Kalimantan Barat dengan Sarawak Malaysia. Di Pedalaman Kalimantan Timur dengan Sabah Malaysia  Timur, serta Provinsi lain dengan perbatasan negara tetangga lainnya. Masyarakat perbatasan negeri ini hidup dalam pelbagai ketertinggalan, betapa tidak: akses informasi, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur serba kekurangan dan ketinggalan dengan negara tetangga. Ini fakta di antara gemerlapnya nuansa pendidikan di kota-kota besar dengan sistem kompetitif dan infrastruktur standar nasional dan internasional. Tak heran bila perbatasan Indonesia merupakan daerah rawan, karena rasa kecintaan terhadap negara sangat tipis. Terlebih, ketertinggalan di bidang pendidikan menjadikan warga Indonesia di daerah perbatasan merasa keterbelakangan sebagai warga negara.

Perhatian Pemerintah pada daerah perbatasan akan memberikan efek penting untuk kemajuan berpikir, cara pandang dan akses informasi serta pemerataan pembangunan. Melalui program pendidikan di perbatasan yang komprehensif, dari level terbawah sampai perguruan tinggi, akan memacu semangat belajar warga negara kita yang berada di daerah perbatasan. Selain itu, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan di perbatasan juga akan mengukuhkan konsep pendidikan kesetaraan, yang sebenarnya seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Fakta ke-Bhninekaan warga negara Indonesia, yang diwariskan dari peradaban nusantara, merupakan potensi besar untuk mengenal keberagaman kebudayaan, teknologi lokal yang bersumber dari local wisdom dengan mengenali potensi kekayaan alam sesuai dengan perspektif warga lokal. Dengan demikian, pendidikan tidak mengubah identitas warga lokal secara drastis, tampa memperhatikan kearifan lokal. Selama ini, standar pendidikan disamaratakan dari pusat sampai daerah dalam perkara hasil akhir pendidikan seperti penyelenggaraan ujian nasional yang baru-baru ini terjadi. Katanya Ujian Nasional, tetapi yang terjadi malah Ujian Provinsial, akibat Pemerintah tidak mampu mengelola jadwal waktu dan fasilitas yang diperlukan untuk ujian nasional.

Peningkatan kualitas dan akses pembelajaran di daerah perbatasan merupakan bagian penting dari sistem ketahanan nasional. Sistem pertahanan sebenarnya tak hanya berupa kekuatan militer, namun juga datang dari diplomasi dan kekuatan kebudayaan. Kekuatan budaya itu akan muncul jika manusia mampu mengenali, memahami dan merasakan kekayaan lingkungan, yang didukung oleh proses pembelajaran seperti yang dikembangkan dalam kearipan lokal. Peningkatan kualitas pendidikan di perbatasan juga akan menjadi salah satu benteng untuk mengukuhkan sistem pertahanan nasional Indonesia.

Peningkatan kualitas pendidikan di perbatasan merupakan langkah penting untuk mengokohkan sistem pertahanan nasional di wilayah beranda depan bangsa melalui pendidikan dan budaya. Peningkatan akses pendidikan di perbatasan juga dapat menghapus stigma kesenjangan politik nasional mengenai peningkatan sumber daya dan infrastruktur; serta menjadikan warga di daerah perbatasan merasa menjadi bagian dari negara kesatuan Indonesia.

Kiranya kita pantas bersukur kepada para TKI yang bekerja di Malaysia, dibalik berbagai keterbatasan yang mereka rasakan, mereka telah mendapatkan upah yang cukup layak bagi kehidupannya. Terlebih lagi pekerjaan seperti itu, tidak akan mereka dapatkan di negeri sendiri di Indonesia. Namun demikian ada pula konsekwensi yang sangat berat, serta berpotensi menghasilkan generasi muda TKI yang lebih rendah kualitasnya. Menurut data statistik nasional, saat ini  terdapat sekitar 59.000 anak-anak tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang masuk dalam usia sekolah belum terlayani pendidikan sehingga terancam buta huruf. Hingga saat ini, penanganan pendidikan anak-anak TKI di Malaysia yang berusia 4-16 tahun dari Pemerintah Indonesia belum optimal.

Menurut Ahmad Rizali Direktur Program Pendidikan Pertamina Foundation di Jakarta, mengatakan bahwa ”Anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) itu umumnya di ladang sawit. Dari data yang  terhimpun, baru sekitar 14.000 anak-anak TKI di tingkat SD dan SMP yang bisa dilayani pemerintah,” Idealnya pendidikan anak-anak TKI ini bisa juga disinergikan dengan pendidikan anak-anak di perbatasan RI- Malaysia, khususnya kalau konsep pendidikan terpadu ala “boarding school” bisa terwujud.

B.      Kondisi Pendidikan di Perbatasan Indonesia
Kondisi Pendidikan di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia terjadi ketimpangan yang sangat nyata. Di Malaysia, sekolah-sekolah dibangun dengan baik, terkadang dilengkapi asrama siswa. Guru-guru yang dikirim bertugas mengajar disitu adalah guru muda yang cakap mengajar dan diberi gaji yang layak dan pantas,sementara di daerah kita sendiri tidak ditemukan kondisi sperti itu, bahkan yang ada sangat memprihatinkan. Bukti empirik seperti yang ditemukan di Desa Suluh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. Kondisi belajar-mengajar disana sangat memprihatinkan satu guru harus mengajar 111 siswa SD. Ditemukan juga seorang Kepala Sekolah merangkap sebagai guru mengajar siswa dari kelas I s/d kelas VI. Sungguh memprihatinkan. Jangankan meningkatkan mutu pendidikan, jumlah tenaga pengajar saja tidak tercukupi. Inilah kondisi nyata pendidikan di daerah perbatasan dan daerah terpencil dan pedalaman.   

Kunjungan kerja Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka “silend opration” di desa Suluh Tembawang Kecamatan Entikung Sanggau ditemukan bahwa satu sekolah SD hanya diajari oleh satu guru SD. Data dari Kantor Kepala Desa setempat menyebutkan bahwa Desa Suluh Tembawang berpenduduk 2.795 orang. Ada 963 orang buta huruf, tidak tamat SD (689), tamat SD (917), SLTP (113), SLTA (102), diploma (10), sarjana (1). Budi Suri, guru SMPN 2 Suluh Tembawang, berkisah, 73 siswa di sekolah itu belajar teori teknologi informasi dan komunikasi. Namun, siswa tidak pernah melihat komputer. Aliran listrik pun belum dinikmati warga. Sekolah ini cuma punya satu peta Kalbar dan bola dunia disamping buku-buku perpstakaan tua yang sudah usang. Inilah wajah pendidikan daerah perbatasan. Tak heran jika pendidikan kita  seringkali diremehkan negara tetangga.

Di salah satu daerah perbatasan Kalimkantan Barat pengajar Sekolah Dasar adalah para Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang bertugas di daerah perbatasan, sedangkan pengajar yang benar-benar latar belakangnya seorang guru atau pengajar tidak ada satu pun. Jika Kita bayangkan keadaan seperti ini sangat sedih, mendengar kata “anak-anak di daerah perbatasan kurangnya mendapatkan pendidikan di usia layaknya seorang anak Sekolah”. Bagaimana pemerintahan di Indonesia, masalah pendidikan saja tidak dapat diselesaikan, sedangkan masalah yang tidak penting dan dapat mengahabiskan uang Negara selalu di nomor satu kan. Jika keadaannya seperti ini terus, kapan Indonesia akan maju. Indonesia maju dalam hal yang buruk, korupsi dan korupsi di utamakan.

Bupati Kapuas Hulu, AM Nasir dalam Rakor Pembangunan Kawasan Perbatasan belum lama ini mengatakan, tidak hanya pembangunan infrastruktur yang masih perlu mendapat perhatian, namun yang tidak kalah pentingnya lagi yaitu dunia pendidikan yang berada di beranda depan Negara yang terletak di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. Oleh karenanya alokasi dana untuk daerah perbatasan Kapuas Hulu mesti ditambah oleh Pemerintah Pusat.

 “Jangan sampai anak-anak perbatasan lebih memilih bersekolah di Malaysia ketimbang di negara sendiri, karena memang fasilitas pendidikan di Malaysia luar biasa, begitu juga dengan mutu pendidikan,” ucap Abang Muhammad Nasir. Untuk pembangunan daerah perbatasan tersebut, perlu dibangun koordinasi yang baik dengan Pemerintah Pusat. Tidak hanya itu bahkan koordinasi masing-masing SKPD dilingkungan Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dengan Badan Pengelolaan Perbatasan Daerah (BPPD) Kapuas Hulu juga harus terjalin dengan baik, sehingga hasilnya akan dibawa kepada Pemerntah Pusat. Menurut Nasir, jika kebutuhan masyarakat masih banyak yang harus diperhatikan hanya saja, yang harus segera diperhatikan yiatu infrastrktur, pendidikan dan kesehatan di daerah perbatasan. “Kita anggap semuanya masih perlu diperhatikan, hanya saja infrastruktur, pendidikan dan kesehatan saya rasa pe;rlu segera mendapat perhatian serius dari Pemerintah Pusat. Artinya bagaimana nanti Badan Nasional Pegelola Perbatasan (BNPP) bisa berkoordinasi dengan pihak kemenenterian dan sejumlah lembaga lainnya khusus untuk kawasan perbatasan di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu ini,” kata Bupati.

Selaku Bupati Kapuas Hulu, Nasir mengharapkan agar perhatian dan keseriusan Pemerintah Pusat dalam membangun daerah perbatasan diwilayah Kabupaten Kapuas Hulu sesuai harapan seluruh masyarakat Kapuas Hulu terutama yang berada disekitar daerah perbatasan. “Saya rasa sebagai beranda depan Bangsa ini kawasan perbatasan khususnya yang berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu perlu keseriusan Pemerintah Pusat,”.

Seperti lagi contohnya di Kalimantan yang langsung berbatasan dengan Serawak-Malaysia. Pendidikan di sana sangatlah tak layak sehingga kebanyakan warga memilih sekolah di negeri Serawak ketimbang sekolah di tanah air tercinta ini, alasannya sangat relevan. Sekolah di Malaysia tidak  di pungut biaya sampai tamat, sedangkan sekolah di Indonesia yang iklannya gratis itu hanya usapan mata belaka. Kemudian sekolah Malaysia dilengkapi fasilitas penunjang pendidikan yang sangat baik dan gedungnya pun jauh lebih bagus dari gedung yang kita miliki dan tenaga pengajar yang dimiliki oleh Malaysia pun jauh lebih baik dari pada yang kita punya. Seharusnya pemerintah kita malu dengan keadaan ini. Nampaknya pemerintah kita belum serius dalam menghadapi hal ini. Padahal anak bangsa kita yang bersekolah di negeri jiran tersebut setiap hari Senin upacara mereka harus menghormat bendera Malaysia. Itulah martabat yang harus mereka korbankan demi mendapatkan pendidikan yang layak.

Seharusnya pemerintah bertindak cepat menemukan solusi yang terbaik untuk masalah ini. Karena pemerintah adalah penunjang segala faktor utamanya. Contohnya pemerintah harus memperbanyak guru di daerah perbatasan maupun di daerah terpencil. Memfasilitasi apa-apa yang menjadi kendala selama ini di daerah perbatasan seperti kurangnya kendaraan menuju sekolah dan segala penunjang pendidikan seperti gedung sekolah yang rusak harus segera di perbaiki serta akses jalan menuju sekolah pun tidak boleh terlewatkan juga untuk di perbaiki.

Daerah perbatasan adalah teras dari negara kita teras yang langsung bisa dinilai langsung oleh negara tetangga. Seharusnya ini jadi intropeksi pemerintah karena pada dasarnya semua hak sama yang di miliki oleh setiap masyarakat. Gimana pemerintah mau memajukan sumber daya manusia kalau sistem pendidikan yang tidak merata ini terus dibiarkan saja. Rakyat perbatasan menantikan pendidikan yang terjamin, layak, karena mereka adalah saudara-saudara kita yang berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik. Mereka penerus bangsa juga.

Pendidikan merupakan salah satu modal yang sangat penting untuk menjalani kehidupan bermasyarakat, dengan adanya pendidikan Kita bisa mengetahui berbagai macam informasi. Kita bisa mendapatkan pendidikan moral, kedisiplinan, agama, sosial dan masih banyak lagi yang bisa Kita dapatkan. Namun  dewasa ini pendidikan bukan lagi dianggap sebagai hal yang penting, di Indonesia banyak sekali kasus-kasus yang mengotori dunia pendidikan, contohnya yaitu :
1.       Buku pelajaran yang mengandung hal-hal kotor, cerita dan gambar yang tidak layak untuk dibaca oleh  anak-anak Sekolah Dasar.
2.       Banyak kecurangan saat penerimaan Siswa-Siswi baru.
3.       Kurangnya fasilitas pengajar dan pendukung lainnya.

Contoh yang terakhir diatas itu banyak sekali terjadi, khususnya pada daerah perbatasan di wilayah Indonesia. Mengapa daerah-daerah terpencil sering kali  tidak menjadi perhatian pemerintah, sedangkan kota-kota besar selalu tercukupi fasilitasnya, ini adalah hal yang tidak sebanding. Ini adalah keadaan yang memprihatinkan , bagaimana tidak ? Di pulau Jawa sudah banyak sekali menyebar berbagai sekolah dengan fasilitas baik yang standar maupun yang Internasional . Namun jika kita melihat di Pulau luar jawa , di Pulau yang masih terpencil seperti Pulau kalimantan, Papua , dan bahkan kepulauan kecil di Indonesia yang mungkin keadaannya belum begitu diperhatikan oleh pemerintah . Dan lebih miris lagi adalah keadaan pendidikan di daerah perbatasan Indonesia . Saya pernah mendengar kabar di berbagai media bahwa anak-anak Indonesia harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk menuju sekolah mereka. Sekolah mereka bukan milik pemerintah Indonesia melainkan milik pemerintah Malaysia. Jadi yang seharusnya mereka setiap hari senin upacara mengibarkan bendera merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya, namun mereka harus pasrah untuk hormat terhadap bendera Malaysia dan Mengumandangkan lagu Kebangsaan Malaysia . Selain itu juga ada keadaan yang lebih miris, dimana di daerah perbatasan itu kekurangan tenaga pengajar dan gedung sekolah, jadi TNI (Tentara Negara Indonesia) lah yang menjaga daerah perbatasan menjadi guru pengajar, dan tempat jaga mereka juga dijadikan sebagai kelas , sedangkan pengajar yang benar-benar latar belakangnya seorang guru atau pengajar tidak ada satu pun Jika Kita bayangkan keadaan seperti ini sangat sedih, mendengar kata “anak-anak di daerah perbatasan kurangnya mendapatkan pendidikan di usia layaknya seorang anak Sekolah”. Dan anehnya lagi saat mulai pendaftaran siswa baru, bukan siswa-siswa dan orang tuanya yang menuju ke sekolah untuk mendaftarkan anak-anaknya, melainkan guru-guru yang mendatangi rumah-rumah siswa dan mengajaknya untuk bersekolah . Bagaimana pemerintahan di Indonesia, masalah pendidikan saja tidak dapat diselesaikan, sedangkan masalah yang tidak penting dan dapat menghabiskan uang Negara selalu di nomor satu kan. Jika keadaannya seperti ini terus, kapan Indonesia akan maju. Indonesia maju dalam hal yang buruk sperti, korupsi, tauran antar kampung, dan sebagainya.

Ini kisah nyata yang terjadi di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia tepatnya di Entikong, Saggau, Kalimantan Barat. Entikong adalah wilayah Republik Indonesia tetapi kondisi disana sangat memprihatinkan jauh dari kehidupan masyarakat lain yang hidup dekat dengan pemerintahan, anak-anak harus bersekolah ditempat yang jauh dari kata layak sebagai tempat belajar tempat menuntut ilmu, tempat dimana menyiapkan generasi muda penerus bangsa. Untuk sampai ke sekolah mereka membutuhkan perjalanan yang jauh, mereka harus berjalan kaki tanpa sepatu ataupun alas kaki, ada yang harus menaiki sampan untuk sampai kesekolah. Sungguh sanggatlah miris dijaman yang kata orang sudah merdeka, masih ada anak bangsa yang sangtlah sulit untuk merasakan pendidikan yang sebenarnya hak setiap warganegara. Berbanding terbalik dengan negara sebelah Malaysia yang berbatasan dengan Indonesia. Anak-anak yang jauh dari pemerintahan masih dapat memperoleh pendidikan yang layak. Mereka diberi fasilitas pendidikan gratis. Ada apa dengan Indonesia, yang katanya negeri yang kaya dan subur tapi tidak bisa memenuhi kebutuhan pendidikan yang layak untuk anak-anak di daerah perbatasan.

Bagaimana tanggapan para pejabat pemerintah pusat, apakah mereka  tutup mata dengan realita ini, mereka hanya umbar janji saat kampanye tapi setelah berkuasa mereka lupa dengan janji-janji yang pernah mereka ucap, mereka terlena dengan jabatan dan cara gampangnya mendapatkan uang. mereka asik dengan korupsi, asik menyalahgunakan uang negara yang harusnya untuk kesejahteraan rakyat. Bagaimana dengan nasib bangsa ini, kalau para pemimpin pemerintahan tidak peduli dengan rakyatnya, yang hidup dekat pemerintahan saja sangatlah memprihatinkan apa lagi yang jauh dari pemerintahan. Kalau seandainya para pemimpin Indonesia peduli dengan kehidupan seluruh rakyat baik yang hidup dekat dengan pemerintahan ataupun yang jauh diperbatasan sana mungkin nasib anak-anak generasi penerus bangsa berkwalitas. karena generasi penerus bangsa yang berkwalitas bisa memajukan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia akan bisa bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Semoga kelak akan terwujud pemerintahan yang adil dan merata di penjuru Indonesia agar rakyat Indonesia merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, agar rakyat Indonesia merasakan bahwa negara yang dicintai bisa memberikan penghidupan yang layak untuk kelangsungan para generasi penerus bangsa.

Anak-anak usia sekolah yang bermukim di sepanjang perbatasan Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, lebih memilih melanjutkan pendidikannya mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama di negara tetangga, Malaysia. Alasan mereka sungguh ironi sekali, yakni mengejar pendidikan gratis. Padahal, program pendidikan gratis sudah lama dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam memajukan dunia pendidikan dari Sabang sampai Marauke. Wakil Bupati Kapuas Hulu Agus Mulyana mengatakan, tidak kurang dari 200 anak daerah perbatasan di kabupaten itu memilih bersekolah di Malaysia untuk tingkat SD-SMP dengan alasan gratis dan sarana lengkap.

"Kami sebagai pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah mereka sekolah di Malaysia karena sarana dan prasarana pendidikan di kawasan perbatasan kita masih jauh dari harapan," kata Agus Mulyana. Mereka memilih menempuh pendidikan di sana karena "lebih enak" sekolah di Malaysia ketimbang di negeri sendiri.Saat masyarakat yang menyekolahkan anaknya di Malaysia dimintai alasannya, menurut Wakil Bupati Kapuas Hulu, mereka pada umumnya menjawab, informasi tentang pemerintah Indonesia telah menggratiskan biaya sekolah hanya ada di televisi saja, sedang di lapangan tidak ada.

Tidak hanya masalah sekolah gratis, katanya, dari segi infrastruktur pendidikan juga masih jauh dari harapan, terutama untuk gedung SD yang sudah berusia puluhan tahun sehingga tinggal menunggu robohnya saja. "Kami juga menyayangkan tidak adanya perhatian pemerintah pusat terhadap rumah dinas guru sehingga rata-rata rumah dinas itu sudah tidak layak huni lagi. Mau dibangun menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dibilang menyalahi aturan, tetapi pemerintah pusat tidak juga menyediakan anggaran khusus," katanya. Menurut Wakil Bupati Kapuas Hulu, tidak hanya masalah pendidikan, masyarakat perbatasan dalam masalah kesehatan juga cenderung memilih untuk berobat ke Malaysia dengan alasan lebih murah, cepat dan pelayanannya memuaskan. "Bayangkan cukup hanya membayar 1 Ringgit Malaysia masyarakat kita sudah bisa menikmati pelayanan kesehatan yang memadai, bahkan bisa sampai dilakukan operasi dengan uang sebesar itu," ujarnya. Sementara kalau harus berobat ke kota kabupaten butuh perjalanan panjang untuk menempuh jarak sekitar 200 kilometer.  "Bahkan bisa ditempuh dua hari dua malam kalau musim penghujan karena sebagai besar jalan sepanjang 200 kilometer itu belum beraspal,".

C.      Potret Pendidikan di Perbatasan Kalimantan Barat
Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kalbar Alexius Akim mengakui, sarana dan prasarana pendidikan di kawasan perbatasan Kalbar masih jauh dari harapan.  "Seharusnya kawasan perbatasan sebagai beranda terdepan juga mempunyai sarana pendidikan yang memadai termasuk dari program pendidikan gratis dengan diberikannya bantuan operasional sekolah (BOS) bagi masyarakat yang tidak mampu,". Hingga saat ini permasalahan sarana dan prasarana infrastruktur pendidikan masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan mutu pendidikan di provinsi itu. "Kami berharap pemerintah pusat memberikan perhatian yang serius terkait permasalahan tersebut,".

Diknas Pendidikan Kalbar mencatat dari 14 kabupaten/kota di provinsi Kalbar ada sekitar 4.816 gedung SD/MI terdiri 21.507 ruang belajar dengan kondisi baik 11.867 ruang, rusak berat 3.820 ruang, rusak sedang 3.151 ruang dan rusak ringan 2.627 ruang. Gedung SMP/MTS sebanyak 1.507 sekolah terdiri 5.342 ruang belajar, dalam kondisi baik 3.907 ruang, rusak berat 452 ruang, sedang 457 ruang dan 526 rusak ringan. Kemudian SMA/MA sebanyak 493 gedung sekolah dengan total ruang belajar 2.253 ruang, terdiri 1.794 ruang belajar kondisi baik, 97 rusak berat, 117 rusak sedang dan 245 mengalami rusak ringan. Sementara untuk gedung SMK sebanyak 137 unit terdiri 1.006 ruang belajar, terdiri 758 kondisi baik, 52 ruang rusak berat, 114 ruang rusak sedang dan 85 ruang mengalami rusak ringan.

Meskipun dukungan pemerintah daerah melalui APBD untuk pendidikan sudah tinggi, tetapi belum mampu mengimbangi tingginya kebutuhan akan pelayanan dan peningkatan mutu pendidikan, tahun 2007 anggaran untuk pendidikan sebesar Rp37,4 miliar, 2008 sebesar Rp56,3 miliar, 2009 sebesar Rp63,9 miliar dan 2010 sebesar Rp46,8 miliar. Sementara dari APBN untuk Kalbar tahun 2007 sebesar Rp392,17 miliar, 2008 sebesar Rp455,99 miliar, 2009 sebesar Rp664,63 miliar dan tahun 2010 sebesar Rp567,73 miliar. Capaian pendidikan di Kalbar tahun 2010, angka partisipasi kasar (APK) tingkat SD/MI sebesar 117,29 persen, SMP/sederajat sebesar 92,17 persen, SMA/sederajat sebesar 59,31 persen. Sementara untuk angka partisipasi murni (APM) tingkat SD/sederajat sebesar 92,17 persen, SMP/sederajat 64,38 persen, SMP/sederajat 64,38 persen dan SMA/sederajat sebesar 41,56 persen. Untuk angka melek huruf sebesar 92,91 persen dan angka anak putus sekolah 1,80 persen. kata Akim.

Ketua Tim Komisi X DPR RI Mahyuddin saat berkunjung ke Kalbar April lalu menyatakan, permasalahan sarana infrastruktur pendidikan di Provinsi Kalbar ke depan perlu ditingkatkan lagi, guna percepatan pembangunan di bidang pendidikan. "Minimnya sarana infrastruktur pendidikan saat ini masih menjadi kendala utama di provinsi itu," katanya. Permasalahan infrastruktur pendidikan tersebut, seperti gedung sekolah mulai SD - SMA yang saat ini kondisinya cukup memprihatinkan, baik mengalami rusak berat, sedang hingga ringan. "Selain itu, jarak sarana pendidikan dengan pemukiman terdekat masih cukup jauh terutama di pelosok-pelosok Kalbar," ujarnya. "Pada dasarnya kami ingin memperjuangkan peningkatan bidang pendidikan di Kalbar dan Indonesia umumnya," kata Mahyuddin.

Provinsi Kalimantan Barat kekurangan guru,demikian dikatakan Alexius Akim Kepala Dinas Pendidikan Kalbar. "Di kota justru terjadi kelebihan guru karena banyak guru yang pindah tugas dengan alasan mengikuti suami," Kepala Seksi (kasi) Pendidikan Tinggi (Dikti) dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Bidang PMK Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar Maliki di Pontianak  menambahkan, untuk memotivasi guru agar mau bertugas di daerah terpencil dan perbatasan, pemerintah memberikan penghargaan dalam bentuk tunjangan. "Pada tahun 2010 tunjangan yang didapatkan oleh guru di perbatasan sebesar Rp 1.350.000 per bulan. Pada tahun 2011, tunjangan yang diberikan sebesar Rp 2.200.000 per bulan," tahun 2012 dan tahun 2013 ini tunjangan sama dengan tahun lalu.

Data Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa jumlah sekolah di provinsi ini sebanyak 6.670 dengan jumlah guru sebanyak 69.758 orang. Dari jumlah 69.758 tersebut, Kalimantan Barat masih membutuhkan guru sebanyak 9.993 orang, dengan perincian sebagai berikut:
1.       Sekolah Dasar (SD) memerlukan 5.303,
2.       Sekolah Menengah Pertama (SMP) memerlukan 2.713,
3.       Sekolah Menengah Atas (SMA) membutuhkan 1.472 ,
4.       Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memerlukan 92,
5.       Madrasah Tsanawiyah (MTs) memerlukan 290 rang dan
6.       Madrasah Aliyah (MA) membutuhkan 123 orang guru.

D.      Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini berjalan ditempat alias tidak bergerak. Hal ini terbukti dari kemampuan mengajar guru, sarana belajar, dan hasil belajar dari siswa. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang diakui bahwa belum semua guru saat ini berkompetensi layak mengajar. Tidak sedikit orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar, mereka juga memiliki kemampuan yang lebih dari cara dan strategi mengajar, dari cara dan strategi memahami materi pelajaran serta cara dan strategi menerapkan materu pelajaran mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Jika fenomena ini dibiarkan terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan kondisi pendidikan di Indonesia akan semakin parah mengingat banyak guru-guru yang berpengalaman mengajar pensiun.

Kurangnya sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor penentu semakin terpuruknya kondisi pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah perbatasan. Bagi penduduk di daerah perbatasan seperti di Entikong Kabupaten Sanggau, Sajingan dan Aruk Kabupaten Sambas, Seluas Kabupaten Bengkayang Senaning Kabupaten Sintang dan Lubuk Antu-Badau Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat serta diberbagai perbatasan di Provinsi lainnya, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dapat dipakai (diterapkan) untuk mengembangkan keterampilan hidup (life Skill) buat bekerja dan hidup di masyarakat.

Memperhatikan betapa pentingnya pendidikan keterampilan hidup yang dapat dilakukan atau dipraktekkan ketika mereka (siswa) sudah tamat sekolah, maka sangat berkorelasi positif apa yang pernah diucapkan dalam beberapa waktu lalu.  Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
1.       Meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
2.       Menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidak merataan di desa dan kota, serta jender.
3.       Meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4.       Menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5.       Membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
6.       Meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
7.       Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
8.       Pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat perbatasan sudah lama menambakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai guna menopang kebarhasilan belajar yang sekaligus juga dapat dijadikan pendongkrak mutu pendidikan kita yang tertinggal ini. Semoga saja apa yang menjadi janji pemerintah ini dapat terwujud menjadi kenyataan.
Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat yang diketuai Prof.Dr.Hamid Darmadi.,M.Pd dalam rangka “silend opretion” akhir tahun 2012 lalu mengunjungi sejumlah daerah Kecamatan yang berada di perbatasan Indonesia-Malaysia Provinsi Kalimantan Barat. Tim Dewan Pendidikan menemukan perbedaan bagai antara bumi dan langit keadaan pendidikan di Kalimantan Barat dan pendidikan di Malaysia.  Ada satu penjelasan yang sering dilontarkan, terutama oleh kaum politisi Indonesia tentang perbedaan ini. Mereka mengatakan bahwa paradigma pembangunan yang digunakan pemerintah adalah menempatkan wilayah perbatasan sebagai bagian belakang Negara. Karena bagian belakang maka jarang dilihat orang. Karena jarang dilihat maka tidak perlu dikembangkan sebaik bagian depan. Akibatnya, daerah perbatas menjadi daerah yang tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah yang bukan perbatasan.

Tetapi, setelah beberapa pintu masuk antar perbatasan dibuka, banyak orang menjadi terperangah. Ternyata, daerah negara tetangga jauh lebih maju dari daerah negara kita. Tentu, yang terkejut itu bukan  masyarakat perbatasan sendiri. Bagi mereka keadaan itu sudah dari dulu diketahui. Bahkan sejumlah keluarga bercerita bahwa anak-anaknya bersekolah di negara tetangga. Alasannya Tempat Sekolah di Negara Tetangga dekat dengan tmpat tinggal mereka, siswa sekolah mendapat antar jemput, eksis jalan menuju sekolah lebih baik, siswa mendapat uang tunjangan belajar, dua sampai tiga kali seminggu siswa mendapat gizi tambahan dan makan di sekolah, dan berbagai lagi alasan lainnya.

Daerah perbatasan dipandang sebagai beranda depan negara. Sebagai beranda depan maka pembangunan harus mendapat perhatian yang memadai. Kalau perlu, juga harus lebih baik dari bagian yang lain. Kondisi ini layaknya  seperti film ’Batas’, yang mengisahkan pendidikan dan situasi nyata daerah perbatasan, baik kondisi fisik, kondisi ekonomi maupun kondisi  sosialnya. Kondisi fisik masyarakat perbatasan sangat jauh dari yang layak, termasuk yang berhubungan dengan syarat-syarat kesehatan. Kondisi ekonomi juga sama saja. Isolasi transportasi membuat ekonomi dikuasai oleh beberapa orang tengkulak saja. Demikian juga kondisi sosialnya, sangat jauh dari yang dibayangkan banyak orang. Bahkan digambarkan, tetua adat pun ’hampir’ tak berdaya.

Beranjak dari situasi dan kondisi tersebut di atas, sebaiknya model sekolah di perbatasan itu dibuat ‘mirip’ dengan sekolah di negara tetangga, yaitu berbentuk sekolah berasrama,  dari  jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Pada hari Senin hingga Jumat mereka bersekolah dari pukul 7.00 hingga pukul 14.00.  hari Sabtu dan Minggu libur.  Sore hari selepas istirahat, pukul 16.00-18.00, siswa melakukan kegiatan ekstra kurikuler. Setelah makan malam, jam19.30, mereka belajar di ruang baca. Menjelang pukul 22.00 semua murid harus meninggalkan ruang baca dengan diajak melakukan doa malam bersama lebih dahulu. Pukul 22.00 mereka harus sudah masuk ke kamar masing-masing untuk tidur malam. Bangun pagi pukul 5.30.

Di asrama mereka juga diajak mengikuti program-program untuk meningkatkan keterampilan hidup yang dirancang baik dan terpadu dengan kurikulum sekolah maupun yang khusus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.  Tentu pendidikan karakter, wirausaha, wawasan nusantara tidak boleh ditinggalkan. Rasanya, sekolah berasrama seperti ini banyak keuntungannya. Para orang tua akan merasa terbantu dengan meninggalkan  anak-anaknya di asrama. Sehingga, mereka akan lebih focus,lebih tenang dan lebih konsentrasi bekerja. Bagi orangtua siswa yang bekerja sebagai petani (ke ladang) tanpa harus refot memikirkan sekolah anak-anaknya.  Bagi orangtua  yang ingin berkumpul dengan anak-anaknya, mereka dapat menjemputnya  di hari Sabtu pagi dan mengantarkan kembali ke asrama pada hari Minggu sore.

Bagi para guru yang juga bertempat tingal di dalam kompleks sekolah akan terbantu dalam mengusir rasa sepi. Selama 24 jam sejak Senin hingga Senin berikutnya, sekolah tidak sepi. Tentu, banyak aktivitas yang dapat dilakukan dalam membekali para siswa untuk memasuki masa depan yang lebih baik. Bagi Pemerintah, rasanya juga dapat menghemat anggaran. Ketimbang membuat banyak sekolah dasar terpencil dengan hanya satu atau dua orang guru lebih baik menyelenggarakan sebuah sekolah besar yang menampung siswa dari beberapa kampong dan dilayani oleh banyak guru.  Semoga konsep pemikiran ini dapat memberikan kontribusi positif dalam membangun pendidikan masa depan yang lebih baik.

E.       Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Disadari sungguh banyak penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Dari sekian banyak permasalahan penyebab tersebut berikut ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, sebagai berikut :
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapainya tujuan pelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah tim praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi tertentu (IPA) akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.

2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien berarti bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih “murah”. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.

Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika diamati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang. Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.

Kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar X mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik. Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum 2006, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Kini kita disibukkan lagi dengan penggantian kurikulum 2013 yang belum tentu lebih baik dari kurikulum sebelumnya. Banyak pihak menyangsikan keberhasilannya. Apalagi akan diselenggarakan dalam waktu yang tergesa-gesa yang seakan-akan dikejar waktu. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost (biaya pendidikan). Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kurang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum baru.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhkan oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik Pendidikan
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.

Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

2. Rendahnya Kualitas Guru (Kelayakan Mengajar)
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).


4. Rendahnya Prestasi Siswa (Siswa Indonesia Berada pda urutan ke 35 Dari 44 Negara) Data UNDP
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.

5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.

6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2012).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

F.       Solusi Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

G.      Penutup
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
1.       Rendahnya sarana fisik,
2.       Rendahnya kualitas guru,
3.       Rendahnya kesejahteraan guru,
4.       Rendahnya prestasi siswa,
5.       Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6.       endahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja,
7.       Mahalnya biaya pendidikan.

Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.

Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.