Selasa, 30 Juli 2013

PENILAIAN PENDIDIKAN Oleh : Hamid Darmadi




I. PENDAHULUAN
Tak dapat dipungkiri bahwa setiap guru, dosen, pendidik  dan pengajar  pada saat-saat tertentu harus membuat keputusan pendidikan, yaitu keputusan yang berkaitan dengan soal pendidikan, baik yang menyangkut diri sendiri maupun orang lain. Keputusan-keputusan semacam ini dapat mempunyai ruang lingkup yang besar, seperti misalnya keputusan seorang Menteri Pendidikan dan kebudayaan tentang penerapan sistem baru dalam penyelenggaraan pendidikan, atau keputusan seorang Rektor tentang nilai batas lulus calon mahasiswa, dapat pula mempunyai ruang lingkup yang kecil, seperti misalnya keputusan seorang ibu tentang perlu atau tidaknya mengharuskan anaknya belajar secara tetap setiap malam atau putusan seorang mahasiswa mengenai mata kuliah pilihan mana yang akan diambilnya pada suatu semester.
Untuk dapat mencapai keputusan yang baik diperlukan informasi yang lengkap dan tepat. Informasi semacam ini akan diperoleh melalui pengukuran dan penilaian pendidikan.
Pengumpulan, pengolahan, pengaturan dan penyajian informasi pendidikan melalui pengukuran dan perlilaian menjadi tugas dan tanggung jawab para pendidikan. Dalam pelaksanaannya para pendidik dapat memanfaatkan jasa profesi lain, seperti jasa ahli pengukuran dan ahli komputer.

II. PERMASALAHAN
Kriteria-kriteria apa yang harus dipenuhi oleh dosen/staf pengajar didalam merumuskan tujuan pengajaran dari cara-cara pengkuran hasil belajar. Ini bertujuan untuk mendapatkan umpan balik bagi mahasiswa atau staf pengajar guna perbaikan proses belajar mengajar.

III. PEMBAHASAN
3.1. Tujuan dan Kegunaan Penilaian Pendidikan
Tujuan dan kegunaan penilaian pendidikan termasuk perencanaan, pengelolaan, proses dan tindak lanjut pendidikan baik yang menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan. Menurut Thorndike dan Hagen (1977) tujuan dan kegunaan penilaian pendidikan dapat diarahkan kepada keputusan yang menyangkut (1) pengajaran (2) hasil belajar (3) Diagnosis dan usaha perbaikan (4) penempatan (5) seleksi (6) bimbingan dan konseling, (7) kurikulum, dan (8) penilaian kelembagaan.

1.  Keputusan dalam Bidang Pengajaran
Salah satu peranan penting usaha pengukuran dan penilaian ialah untuk mengarahkan pengambilan keputusan yang berkenaan dengan, apa yang harus dipelajari atau apa yang harus dipelajari dan dipraktekkan oleh para mahasiswa secara perorangan, kelompok-kelompok kecil, maupun keseluruhan kelas. Untuk keperluan ini maka pengukuran dan penilaian harus mampu mengindentifikasikan kompetensi-kompetensi mana yang sudah ada dan belum ada pada mahasiswa, yang selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk menetapkan isi pengajaran yang berikutnya


2. Keputusan Tentang Hasil Belajar
Tenaga pengajar mempunyai tanggung jawab untuk menyampaikan hasil belajar yang dicapai oleh mahasiswa yang telah belajar itu, dan bahkan jika diperlukan juga perlu memberikan laporan kepada orang tua atau wali mahasiswa tentang hasil belajar mahasiswa itu. Pemberitahuan dan laporan hasil belajar ini diinginkan meliputi aspek-aspek yang luas antara lain pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang cukup mewakili tujuan-tujuan pengajaran atau perkuliahan yang diprogramkan oleh perguruan tinggi.

3. Keputusan dalam Rangka Diagnosis
Tes diagnotik diselenggarakan untuk mengetahui dalam bidang mana mahasiswa telah atau belum mengusai kompetensi tertentu, atau dengan kata lain, tes diagnostik berusaha mengungkapkan kekuatan atau kelemahan dalam bidang yang diujikan.

4. Keputusan Berkenaan dengan Penempatan
Pengajaran ataupun pelayanan yang diberikan kepada mahasiswa tersebut tidak diberikan secara sama rata kepada semua mahasiswa. Mahasiswa yang satu barangkali memerlukan pengajaran ataupun pelayanan yang lebih banyak dari pada mahasiswa yang lain. Keperluan mahasiswa tidak sama ini sering mendorong pengajar untuk mengadakan pengelompokkan setara (homogeneous prouping). Kelompok-kelompok setara yang masing-masing memiliki taraf kemampuan yang berbeda-beda itu kemudian diberi pengajaran yang sesuai dengan taraf kemampuan masing-masing kelompok.

5. Keputusan Berkenaan dengan Seleksi
Seleksi biasanya dihubungkan dengan jumlah tempat yang tersedia dalam kaitannya dengan jumlah calon yang mendaftarkan untuk mengisi tempat itu, sedangkan secara ideal seleksi dihubungkan dengan mutu lulusan yang diambil biasanya didasarkan atas batas lulus.

6. Keputusan Berkenaan dengan Pelayanan Bimbingan dan Konseling
Sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah agar mampu mengenali dan menerima diri sendiri, serta atas dasar pengenalan dan penerimaan diri mahasiswa mampu mengambil keputusan untuk diri sendiri, mengarahkan dan mewujudkan diri sendiri sesuai dengan bakat, kemampuan dan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada diri dan lingkungannya.

7. Keputusan Berkenaan dengan Kurikulum
Program pendidikan yang komprehensif dan luwes (fleksibel) isi kurikulum dan rancangan pengajaran beserta berbagai sarana penunjangnya tidaklah tunggal, melainkan tersedia beberapa (atau bahkan berbagai) kemungkinan, perubahan dalam penekanan isi kurikulum, dalam prosedur dan sarana pengajaran dimungkinkan.

8. Keputusan Berkenaan dengan Penelitian Kelembagaan
Ada lembaga pendidikan yang menyebabkan siswa/mahasiswa telah banyak yang putus sekolah atau yang baru menamatkan siswa/mahasiswa itu  menjalani masa belajar jauh melampaui batas masa belajar yang normal. Ada lagi lembaga pendidikan yang hanya mampu menghasilkan para lulusan yang (dilihat dari hasil belajar mereka) berprestasi sekitar rata–rata saja. Hal ini semua dapat diketahui penelaahan hasil pengukuran dan pendidikan.

3.2 Pengukuran dan penilaian
Pengukuran ialah suatu usaha untuk mengetahui keadaan sesuatu sebagaimana adanya. Pengukuran dapat berupa pengumpulan data tentang sesuatu. Misalnya, usaha untuk mengetahui dalamnya sebuah sumur disebut pengukuran kedalaman sumur itu. Demikian juga usaha mengetahui banyaknya kata kerja yang dikuasai oleh anak dan sebagainya. Hasil pengukuran dapat berupa angka uraian tentang kenyataan yang menggambarkan derajat kualitas, kuantitas dan eksistensi keadaan yang diukur. Namun demikian, hasil pengukuran itu sendiri belum dapat mengatakan apa-apa kalau hasil tersebut tidak ditafsirkan dengan jalan membandingkan dengan suatu patokan atau kriteria. Apakah artinya dalam sumur 2 meter. Setelah dibandingkan, ternyata sumur itu amat dangkal mengingat pada umumnya sumur – sumur dikampung dalamnya 5 – 6 meter.
Untuk dapat melakukan pengukuran diperlukan alat dan prosedur. Dalam bidang pendidikan usaha pengukuran biasanya melalui penyelenggaraan tes atau ujian. Alat – alat lain seperti daftar cek, skala ukuran, dan lain – lain, dapat juga dipakai untuk mengukur aspek – aspek yang sukar dengan mempergunakan tes atau ujian, dan usaha penilaian ini dapat dilakukan dengan mempergunakan patokan pembanding yang berbeda – beda.

3.3 Pendekatan dalam Penilaian
Pendekatan penilaian yang membandingkan hasil pengukuran seseorang dengan hasil pengukuran yang diperoleh orang – orang lain dalam kelompoknya, dinamakan Penilaian Acuan Norma (Norm – Refeereced Evaluation). Dan pendekatan penilaian yang menbanding hasil pengukuran seseorang dengan patokan “batas lulus” yang telah ditetapkan, dinamakan penilaian Acuan Patokan (Criterian – refenced Evaluation).
1. Penilaian Acuan Norma (PAN)
PAN ialah penilaian yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap hasil dalam kelompoknya. Pendekatan penilaian ini dapat dikatakan sebagai pendekatan “apa adanya” dalam arti, bahwa patokan pembanding semat–mata diambil dari kenyataan–kenyataan yang diperoleh pada saat pengukuran/ penilaian itu berlangsung, yaitu hasil belajar mahasiswa yang diukur itu beserta pengolahannya, penilaian ataupun patokan yang terletak diluar hasil–hasil pengukuran kelompok manusia.
PAN pada dasarnya mempergunakan kurve normal dan hasil–hasil perhitungannya sebagai dasar penilaiannya. Kurve ini dibentuk dengan mengikut sertakan semua angka hasil pengukuran yang diperoleh. Dua kenyataan yang ada didalam “kurve Normal”yang dipakai untuk membandingkan atau menafsirkan angka yang diperoleh masing – masing mahasiswa ialah angka rata- rata (mean) dan angka simpanan baku (standard deviation), patokan ini bersifat relatif dapat bergeser ke atas atau kebawah sesuai dengan besarnya dua kenyataan yang diperoleh didalam kurve itu. Dengan kata ain, patokan itu dapat berubah–ubah dari “kurve normal” yang satu ke “kurve normal” yang lain. Jika hasil ujian mahasiswa dalam satu kelompok pada umumnya lebih baik dan menghasilkan angka rata-rata yang lebih tinggi, maka patokan menjadi bergeser ke atas (dinaikkan). Sebaliknya jika hasil ujian kelompok itu pada umumnya merosot, patokannya bergeser kebawah (diturunkan). Dengan demikian, angka yang sama pada dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti berbeda. Demikian juga, nilai yang sama dihasilkan melalui bangunan dua kurve yang berbeda akan mempunyai arti umum yang berbeda pula.

2. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
PAP pada dasarnya berarti penilain yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap suatu patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebelum usaha penilaian dilakukan terlebih dahulu harus ditetapkan patokan yang akan dipakai untuk membandingkan angka-angka hasil pengukuran agar hasil itu mempunyai  arti tertentu. Dengan demikian patokan ini tidak dicari-cari di tempat lain dan pula tidak dicari di dalam sekelompok hasil pengukuran sebagaimana dilakukan pada PAN.
Patokan yang telah disepakati terlebih dahulu itu biasanya disebut “Tingkat Penguasaan Minimum”. Mahasiswa yang dapat mencapai atau bahkan melampai batas ini dinilai “lulus” dan belum mencapainya nilai “tidak lulus” mereka yang lulus ini diperkenankan menempuh pelajar yang lebih tinggi, sedangkan yang belum lulus diminta memantapkan lagi kegiatan belajarnya sehingga mencapai “batas lulus” itu.
Patokan yang dipakai untuk kelompok mahasiswa yang mana sama ini pengertian yang sama. Dengan patokan yang sama ini pengertian yang sama untuk hasil pengukuran yang diperoleh dari waktu ke waktu oleh kelompok yang sama ataupun berbeda-beda dapat dipertahankan.
Yang menjadi hambatan dalam penggunaan PAP adalah sukarnya menetapkan patokan yang benar-benar tuntas.

3. Penggunaan PAN dan PAP
Pendekatan PAN dapat dipakai untuk semua matakuliah, dari matakuliah yang paling teoritis (penuh dengan materi kognitif) sampai ke matakuliah yang praktis (penuh dengan materi ketrampilan). Angka-angka hasil pengukuran yang menyatakan penguasaan kompetensi-kompetensi kognitif, ketrampilan, dan bahkan sikap yang dimiliki atau dicapai oleh sekelompok mahasiswa sebagai hasil dari suatu pengajaran, dapat di kurvekan. Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh prosedur yang sederhana. Setelah pengajaran diselenggarakan, kelompok mahasiswa yang menerima pengajaran tersebut menjawab soal-soal atau melaksanakan tugas-tugas tertentu yang dimaksudkan sebagai ujian. Hasil ujian ini diperiksa dan angka tersebut disusun dalam bentuk kurve. Kurve dan segala hasil perhitungan yang menyertai (terutama angka rata-rata dan simpangan baku) dapat segera dipakai dalam PAN.
Pendekatan PAP tidak berorientasi pada “apa adanya” pendektan ini tidak semata-mata mempergunakan angka rata-rata yang dihasilkan oleh kelompok yang diuji, melainkan telah terlebih dahulu menetapkan kriteria keberhasilan, yaitu “batas lulus” penguasaan bahan pelajaran, dan dalam proses pengajaran. Tenaga pengajar tidak begitu saja membiarkan mahasiswa menjalani sendiri proses belajarnya, melainkan terus menerus secara langsung ataupun tidak langsung merangsang dan memeriksa kemajuan belajar mahasiswa serta membantunya melewati tahap-tahap secara berhasil. Proses pengajaran yang menjadi kegiatan PAP dikenal adanya ujian pembinaan (formative test) dan ujian akhir (summative test). Ujian pembinaan dilaksanakan pada tahap tersebut. Usaha ini akan mencegah mahasiswa dari keadaan terlanjur tidak menguasai dengan baik bahan kompetensi dari tahap yang satu ke tahap berikutnya seperti dituntut oleh TKP. Hasil ujian pembinaan ini dipakai sebagai petunjuk (indikator) apakah mahasiswa tertentu memerlukan bantuan dalam menjalankan proses belajarnya atau tidak.
Ujian akhir dilaksanakan pada akhir proses pengajaran. Ujian ini meliputi semua bahan yang diajarkan dalam keseluruhan proses pengajaran dengan tujuan menguji apakah mahasiswa telah menguasai seluruh bahan yang diajarkan itu dengan baik. Ujian akhir ini didasarkan sepenuhnya pada TKP.
Jika ujian pembinaan benar-benar diselenggarakan dan hasil-hasilnya dipakai untuk membantu mahasiswa yang memerlukan, maka PAP menekankan bukan hanya pada segi mutu hasil belajar mahasiswa tetapi juga pada segi mutu hasil belajar mahasiswa tetapi juga pada segi banyaknya mahasiswa yang berhasil. Sebanyak mungkin mahasiswa dirangsang dan dibantu untuk mencapai penguasaan kompetensi yang tinggi.

3.4. Implikasi pendekatan Penilaian yang Dipakai
Pendekatan penilaian yang dipakai menimbulkan berbagai implikasi:
1. Program pengajaran dan penilaian dalam pendekatan kompetensi menuntut pelaksanaan pengajaran yang terencana, terarah, dinamis dan membimbing.
2. Pengajar perlu memiliki kemantapan keterampilan dalam menyusun program pengajaran dan sekaligus program penilaiannya yang berorientasikan pada kompetensi.
3. Baik pengajar maupun mahasiswa memerlukan sumber-sumber dan sarana belajar-mengajar yang cukup.
4. Dalam program penilaian terbuka mahasiswa perlu mengetahui program penilaian, kriteria keberhasilan dan hasil-hasil penilaian.
5. Kegiatan mengajar tidak semata-mata dimuka kelas, sesuai dengan ketentuan sistem kredit semester, kegiatan kuliah dengan harga 1 sks mencakup beban pengajaran untuk penyelenggaraaan tiga jenis kegiatan setiap Minggu yaitu:
60 menit untuk pengembangan bahan pelajaran.
50 menit untuk kegiatan tatap muka dengan mahasiswa.
60 menit untuk usaha penilaian dan kegiatan perencanaan lanjutan.
Dalam 60 menit terakhir itu pengajar dituntut untuk menyediakan diri bagi pertemuan dengan mahasiswa baik secara perseorangan maupun dalam kelompok, untuk membahas hal-hal khusus berkenaan dengan kemajuan dan masalah-masalah pelajaran yang dihadapi.
6. Mahasiswa dituntut untuk belajar secara dinamis.
7. Program penilaian yang terarah dan terencana menuntut sistem palporan yang lengkap dan rapi, baik untuk keperluan mahasiswa sendiri dan keperluan pengajar, maupun untuk keperluan fakultas dan perguruan tinggi.
8. Pengajar memerlukan berbagai sarana administrasi untuk penyusunan dan pelaksanaan program pengajaran dan penilaian.
9. Program pengajaran dan penilaian perlu dicatat dan hasil-hasilnya disimpan secara baik.
10. Karena program pengajaran dan penilaian ini bersifat menyeluruh dan relatif menuntut lebih banyak waktu dan keterlibatan pengajar, perlu dipikirkan variasi jenis matakuliah yang dipegang oleh setiap tenaga pengajar beserta konsekuensinya.

3.5. Jenis Alat Pengukur
Jenis alat pengukur yang banyak digunakan yaitu alat pengukur yang berbentuk ujian uraian (essay type test), ujian objektif (objektive type test), daftar cek (chek list), dan skala ukuran (rating scale).

A. UJIAN URAIAN
Ujian ini biasanya berupa soal yang masing-masing mengandung permasalahan dan menuntut penguraian sebagai jawaban. Yang penting diperhatikan dalam penyusunan soal-soal ini ialah bahwa rumusan permasalahan hendaknya sedemikian jelas, sehingga setiap mahasiswa yang diuji dapat menangkap permasalahan yang ditanyakan tepat seperti yang dimaksudkan pleh pembuat soal. Rumusan dan perincian seperti ini amat diperlukan terutama untuk menjamin dan mempertinggi validitas dan reliabilitas.
Kebaikan dan Kelemahan
a. Mahasiswa Mengorganisasikan sendiri jawaban.
Ini merupakan keunggulan ujian uraian. Di sini mahasiswa dituntut untuk benar-benar menghasilkan sesuatu lebih daripada hanya mengenal saja, yaitu menghasilkan jawaban. Dengan demikian terhindarlah kemungkinan jawaban yang dibuat dengan menerka-nerka secara membabi buta saja.
b. Jawaban berdasarkan pada kata-kata dan tulisan sendiri.
Dalam hal ini mahasiswa yang memiliki kelancaran verbal dan kecakapan mengekspresikan pendapat akan memperoleh hasil yang baik.
c. Ujian itu terbatas pada Sejumlah Kecil Pertanyaan Saja
d. Penilaian yang Subyektif
Kekurang-telitian penguji dalam memeriksa hasil ujian menyebabkan penilaian kemampuan mahasiswa secara sebyektif.

B. UJIAN OBYEKTIF
1. Ciri-ciri Ujian Obyektif
a. Si Penjawab Bekerja terhadap Tugas-tugas yang sudah distruktur secara sempurna. Mahasiswa tidak mempunyai kesempatan untuk mengor-ganisasikan jawabannya sendiri.
b. Si Teruji mencari jawaban dari pilihan yang telah disediakan.
c. Soal yang dipakai cukup luas.
d. Tiap soal benar salah
2. Soal Bentuk Benar Salah
Soal ini berbentuk kalimat berita atau pernyataan, yang mengandung dua kemungkinan: Benar atau Salah. Orang yang diuji diminta menentukan pendapatnya mengenai pernyataan-pernyataan yang menjadi isi dari setiap soal dengan cara seperti tertera dalam petunjuk.

Kebaikan dan Kelemahan
Soal bentuk pilihan ganda lebih fleksibel dan lebih efektif daripada bentuk-bentuk soal yang lain. Soal bentuk ini amat efektif untuk mengukur penguraian informasi, perbendaharaan kata, pengertian-pengertian, aplikasi-aplikasi dari prinsip-prinsip, atau kemampuan untuk menginterprestasikan data. Satu-satunya hal yang tidak dapat diukur dengan soal bentuk ini ialah kemampuan mengorganisasikan bahan.


C. DAFTAR CEK DAN SKALA UKURAN
Daftar cek atau skala ukuran biasanya dipakai untuk mengukur obyek yang tidak dapat dilakukan dengan memakai ujian uraian ataupun ujian obyektif seperti karya tulis dan karya penelitian. Daftar cek dan skala ukuran ini dipakai dalam pengukuran melalui pengamatan terstruktur. Sebelumnya pengamatan dalam rangka penyusunan alat pengukur dilakukan ditetapkan terlebih dahulu ciri-ciri prosedur atau hasil yang dianggap standard, dan dipilih ciri-ciri yang perlu dan dapat diukur. Ciri-ciri ini kemudian dituangkan kedalam daftar cek atau skala ukuran.

3.6. Syarat-Syarat Alat dan Prosedur Pengukuran
Untuk suatu usaha pengukuran banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus dibahas, yaitu kesahihan (validitas), Keterandalan (realiabilitas) dan kepraktisan.
A. Validitas
Suatu alat pengukur dikatakan valid jika ia benar-benar cocok untuk mengukur apa yang hendak diukur. Jadi suatu untuk mata kuliah tertentu dkatakan valid jika ia benar-benar cocok dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai dengan penyajian matakuliah tersebut.
a. Validitas Isi
b. Validitas Konsep atau konstruksi
c. Validitas Pengukuran setara
d. Validitas Ramalan

B. Reliabilitas
Suatu alat pengukur diakatakan reliabel jika ia menghasilkan suatu gambaran (hasil pengukuran) yang benar-benar dapat dipercaya. Ciri ini menunjukkan bahwa alat pengukur itu tidak rusak sehingga dapat diandalkan untuk membuahkan hasil pengukuran yang sebenarnya. Jika alat pengukurannya reliabel, pengukuran yang dilakukan berulang-ulang dengan memakai alat yang sama terhadap obyek dan subyek yang sama hasilnya akan tetap atau relatif sama.
- Jenis Reliabilitas
Ada tiga cara untuk memperhitungkan reliabilitas sebuah alat pengukur:
1.    Pengulangan pengukuran yang sama
2.    Pengujian alat yang setara (equivalent)
3.    Membagi alat pengukur kedalam dua atau lebih bagian yang seimbang.

C. Kepraktisan
Pada dasarnya terdapat tiga hal yang dianggap sebagai ciri kepraktisan alat pengukur atau ujian yaitu ;
1. Penghematan: Suatu ujian dikatakan praktis jika penggunaan waktu, tenaga dan biaya relatif kecil.
2. Kemudahan dalam pengadministrasian: Suatu ujian dikatakan praktis kalau mudah dalam pengadministrasiannya.
3. Kemudahan dalam penginterprestasian: Suatu ujian dikatakan praktis kalau mudah menginterprestasi hasilnya.

KESIMPULAN
Berbagai keputusan pendidikan agar merupakan keputusan yang bijaksana haruslah didasarkan atas informasi yang lengkap dan tepat mengenai hal yang diputuskan itu. Pengukuran dan penilaian pendidikan berusaha mendapatkan informasi yang lengkap dan tepat yang diperlukan untuk pembuatan-pembuatan keputusan pendidikan itu.
Hasil belajar, yang datanya diperoleh melalui pengukuran dan penilaian pendidikan merupakan informasi yang sangat berguna sebagai umpan balik bagi pelaksanaan pengajaran dan strategis proses belajar-mengajar.
Kebaikan dalam ujian uraian ialah, mahasiswa mengorganisasi sendiri. Sedangkan kelemahannya, ujian terbatas kepada sejumlah kecil pertanyaan saja dan penilaian bersifat subyektif .  Kebaikan dalam ujian obyektif ialah, mudah disusun dan mencakup bahan yang luas, sedangkan kelemahannya siteruji menjawab dengan menerka.
Suatu ujian untuk mata kuliah tertentu dikatakan valid jika ia benar-benar cocok dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai dengan penyajian matakuliah tersebut. Suatu alat pengukurnya reliabel, pengukuran yang dilakukan berulang-ulang dengan memakai alat yang sama terhadap obyek dan subyek yang sama hasilnya akan tetap atau relatif sama.

DAFTAR PUSTAKA

Firma K, Diktat Kuliah Metode Pendidikan Institut Teknologi Bandung, Bandung, 1993

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1992

Joesmani, Pengukuran dan Evaluasi Dalam Pengajaran Depdikbud Dirjen Pendidikan Tinggi, Proyek Pengembangan, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Jakarta, 1988.

Dit.Jen, Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Materi Dasar Program Akta Mengajar V, Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, Jakarta, 1985

Minggu, 28 Juli 2013

Kompetensi Guru Berdasarkan UU No 14 Tahun 2005 Tentang UUGD Oleh : Hamid Darmadi



PENDAHULUAN
Guru dalam proses pem­belajaran di kelas dipandang dapat memainkan peran penting terutama dalam membantu peserta didik untuk membangun sikap positif dalam belajar, membangkitkan rasa ingin tahu, mendorong kemandirian dan ketepatan logika intelektual, serta menciptakan kondisi-kondisi untuk sukses dalam belajar.
Kinerja dan kompetensi guru memikul tang­gung jawab utama dalam tran­sformasi orientasi peserta didik dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketergantungan menjadi mandiri, dari tidak terampil manjadi terampil, dengan metode­-metode pembelajaran bukan lagi mempersiapkan peserta didik yang pasif, melainkan peserta didik berpengetahuan yang senan­tiasa mampu menyerap dan menyesuaikan diri dengan infor­masi baru dengan berfikir, ber­tanya, menggali, mencipta dan mengembangkan cara-cara ter­tentu dalam memecahkan mas­alah yang berkaitan dengan kehidupannya.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) di­tegaskan bahwa pendidik (guru) harus memiliki kompetensi sebagai agen pem­belajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini. Arahan normatif tersebut yang me­nyatakan bahwa guru sebagai agen pem­belajaran menunjukkan pada harapan, bahwa guru merupakan pihak pertama yang paling bertanggung jawab dalam pentransferan ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Di negara kita, bukan rahasia lagi bahwa masyarakat mempunyai harapan yang berlebih terhadap guru. Keberhasilan atau kegagalan sekolah sering dialamatkan kepada guru. Justifikasi masyarakat ter­sebut dapat dimengerti karena guru adalah sumber daya yang aktif, sedangkan sumber daya-sumber daya yang lain adalah pasif.
Oleh karena itu, sebaik-baiknya kurikulum, fasilitas, sarana dan prasarana pem­belajaran, tetapi jika kualitas gurunya rendah maka sulit untuk mendapatkan hasil pendidikan yang bermutu tinggi.
Oleh karena itu, kajian tentang kinerja dan kompetensi guru masih merupakan hal penting untuk dibahas di dalam tulisan ini, yang hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar (legal aspect) dalam upaya perancangan dan pengembangan kinerja dan kompetensi guru dalam pembelajaran.

KOMPETENSI GURU

A.    PENGERTIAN KOMPETENSI GURU
Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Diyakini Robotham (1996:27), kompetensi yang diperlukan oleh seseorang tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman.
Syah (2000:229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Usman (1994:1) mengemukakan kompentensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Robbins (2001:37) menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang di perlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan. Spencer & Spencer (1993:9) mengatakan “Competency is underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-reference effective and/or superior performance in a job or situation”.
Jadi kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang berkaitan dengan kinerja berkriteria efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan dan situasi tertentu. Selanjutnya Spencer & Spencer menjelaskan, kompetensi dikatakan underlying characteristic karena karakteristik merupakan bagian yang mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang dan dapat memprediksi berbagai situasi dan jenis pekerjaan. Dikatakan causally related, karena kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Dikatakan criterion-referenced, karena kompetensi itu benar-benar memprediksi siapa-siapa saja yang kinerjanya baik atau buruk, berdasarkan kriteria atau standar tertentu.Muhaimin (2004:151) menjelaskan kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksankan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus  ditunjukan sebagai kemahiran, ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.Menurut Syah (2000:230), “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak.
Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawi dalam melaksanakan profesinya.Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi sebagai guru.

B. DIMENSI-DIMENSI KOMPETENSI GURU
Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

1.    KOMPETENSI PEDAGOGI
Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen  dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”.  Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini  dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian.
a.   Kompetensi Menyusun Rencana Pembelajaran
Menurut Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program belajar mengajar mencakup kemampuan:
1.    merencanakan pengorganisasian bahan-bahan pengajaran,
2.    merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar,
3.    merencanakan pengelolaan kelas,
4.    merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran; dan
5.    merencanakan penilaian prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran.

Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penyusunan rencana pembelajaran meliputi (1) mampu mendeskripsikan tujuan, (2) mampu memilih materi, (3) mampu mengorganisir materi, (4) mampu menentukan metode/strategi pembelajaran, (5) mampu menentukan sumber belajar/media/alat peraga pembelajaran, (6)  mampu menyusun perangkat penilaian, (7) mampu menentukan teknik penilaian, dan (8) mampu mengalokasikan waktu.Berdasarkan uraian di atas, merencanakan program belajar mengajar merupakan proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung, yang mencakup: merumuskan tujuan, menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang kegiatan belajar mengajar, memilih berbagai media dan sumber belajar, dan merencanakan penilaian penguasaan tujuan.

b.      Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar
Melaksanakan proses belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah disusun. Dalam kegiatan ini kemampuan yang di tuntut adalah keaktifan guru menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar mengajar dicukupkan, apakah metodenya diubah, apakah kegiatan yang lalu perlu diulang, manakala siswa belum dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
Pada tahap ini disamping pengetahuan teori belajar mengajar, pengetahuan tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan  teknik belajar, misalnya: prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, dan keterampilan menilai hasil belajar siswa.Yutmini (1992:13)  mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus di miliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar meliputi kemampuan: (1) menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran, (2) mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan pengajaran, (3) berkomunikasi dengan siswa, (4) mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, dan (5) melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.
Hal serupa dikemukakan oleh Harahap (1982:32) yang menyatakan, kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan program mengajar adalah mencakup kemampuan: (1) memotivasi siswa belajar sejak saat membuka sampai menutup pelajaran, (2) mengarahkan tujuan pengajaran, (3) menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan pengajaran, (4) melakukan pemantapan belajar, (5) menggunakan alat-alat bantu pengajaran dengan baik dan benar, (6) melaksanakan layanan bimbingan penyuluhan, (7) memperbaiki program belajar mengajar, dan (8) melaksanakan hasil penilaian belajar.
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar menyangkut pengelolaan pembelajaran, dalam menyampaikan materi pelajaran harus dilakukan secara terencana dan sistematis, sehingga tujuan pengajaran dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar terlihat dalam mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal siswa, kemudian mendiagnosis, menilai dan merespon setiap perubahan perilaku siswa.
Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi melaksanakan proses belajar mengajar meliputi (1) membuka pelajaran, (2) menyajikan materi, (3) menggunakan media dan metode, (4) menggunakan alat peraga, (5) menggunakan bahasa yang komunikatif, (6) memotivasi siswa, (7) mengorganisasi kegiatan, (8) berinteraksi dengan siswa secara komunikatif, (9) menyimpulkan pelajaran, (10) memberikan umpan balik, (11) melaksanakan penilaian, dan (12) menggunakan waktu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melaksanakan proses belajar mengajar merupakan sesuatu kegiatan dimana berlangsung hubungan antara manusia, dengan tujuan membantu perkembangan dan menolong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Pada dasarnya melaksanakan proses belajar mengajar adalah menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan struktur kognitif para siswa.

c.   Kompetensi Melaksanakan Penilaian Proses Belajar Mengajar
Menurut Sutisna (1993:212), penilaian proses belajar mengajar dilaksanakan untuk mengetahui keberhasilan perencanaan kegiatan belajar mengajar yang telah disusun dan dilaksanakan. Penilaian diartikan sebagai proses yang menentukan betapa baik organisasi program atau kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai maksud-maksud yang telah ditetapkan.
Commite dalam Wirawan (2002:22) menjelaskan, evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap upaya manusia, evaluasi yang baik akan menyebarkan pemahaman dan perbaikan pendidikan, sedangkan evaluasi yang salah akan merugikan pendidikan.Tujuan utama melaksanakan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa, sehingga tindak lanjut hasil belajar akan dapat diupayakan dan dilaksanakan. Dengan demikian, melaksanakan penilaian proses belajar mengajar merupakan bagian tugas guru yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil belajar siswa.
Depdiknas (2004:9) mengemukakan  kompetensi penilaian belajar peserta didik, meliputi (1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran, (2) mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda, (3) mampu memperbaiki soal yang tidak valid, (4) mampu memeriksa jawab, (5) mampu mengklasifikasi hasil-hasil penilaian, (6) mampu mengolah dan menganalisis hasil penilaian, (7) mampu membuat interpretasi kecenderungan hasil penilaian, (8)  mampu menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian, (9) mampu mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian,  (10) mampu menyimpulkan  dari hasil penilaian secara jelas dan logis, (11) mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, (12) mengklasifikasi kemampuan siswa, (13) mampu mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, (14) mampu melaksanakan tindak lanjut, (15) mampu mengevaluasi hasil tindak lanjut,  dan (16) mampu menganalisis hasil evaluasi program tindak lanjut hasil penilaian. Berdasarkan uraian di atas kompetensi pedagogik tercermin dari indikator (1) kemampuan merencanakan program belajar mengajar, (2) kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan (3) kemampuan melakukan penilaian.

2.    KOMPETENSI KEPRIBADIAN
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia.  Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya).Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226)  menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan.Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik.
Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi pribadi meliputi (1) pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama, (2) pengetahuan tentang budaya dan tradisi, (3) pengetahuan tentang inti demokrasi, (4) pengetahuan tentang estetika, (5) memiliki apresiasi dan kesadaran sosial, (6) memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan, (7) setia terhadap harkat dan martabat manusia. Sedangkan kompetensi guru secara lebih khusus lagi adalah bersikap empati, terbuka, berwibawa, bertanggung jawab dan mampu menilai diri pribadi.
Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan personal guru, mencakup (1) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, (3) kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru tercermin dari indikator (1) sikap, dan (2) keteladanan.

3.    KOMPETENSI PROFESIONAL
Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi profesional guru mencakup kemampuan dalam hal (1) mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan baik filosofis, psikologis, dan sebagainya, (2) mengerti dan menerapkan teori belajar sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik, (3) mampu menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan kepadanya, (4) mengerti dan dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai, (5) mampu menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta fasilitas belajar lain, (6) mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran, (7) mampu melaksanakan evaluasi belajar dan (8) mampu menumbuhkan motivasi peserta didik.
Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan profesional mencakup (1) penguasaan pelajaran yang terkini  atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan yang diajarkan tersebut, (2) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan, (3) penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang subject matter (bidang studi)  yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.
Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi profesional meliputi (1) pengembangan profesi, pemahaman wawasan, dan penguasaan bahan kajian akademik.Pengembangan profesi meliputi (1) mengikuti informasi perkembangan iptek yang mendukung profesi melalui berbagai kegiatan ilmiah, (2) mengalihbahasakan buku pelajaran/karya ilmiah, (3) mengembangkan berbagai model pembelajaran, (4) menulis makalah, (5) menulis/menyusun diktat pelajaran, (6) menulis buku pelajaran, (7) menulis modul, (8) menulis karya ilmiah, (9) melakukan penelitian ilmiah (action research), (10) menemukan teknologi tepat guna, (11) membuat alat peraga/media, (12) menciptakan karya seni, (13) mengikuti pelatihan terakreditasi, (14) mengikuti pendidikan kualifikasi, dan (15) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.
Pemahaman wawasan meliputi (1) memahami visi dan misi, (2) memahami hubungan pendidikan dengan pengajaran, (3) memahami konsep pendidikan dasar dan menengah, (4) memahami fungsi sekolah, (5) mengidentifikasi permasalahan umum pendidikan dalam hal proses dan hasil belajar, (6) membangun sistem yang menunjukkan keterkaitan pendidikan dan luar sekolah.Penguasaan bahan kajian akademik meliputi (1) memahami struktur pengetahuan, (2) menguasai substansi materi, (3) menguasai substansi kekuasaan sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan siswa.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi profesional guru tercermin dari indikator (1) kemampuan penguasaan materi pelajaran, (2) kemampuan penelitian dan penyusunan karya ilmiah, (3) kemampuan pengembangan profesi, dan (4) pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan

4.    KOMPETENSI SOSIAL
Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.
Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, menjelaskan kompetensi sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang baik serta kemampuan untuk mendidik, membimbing masyarakat dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Untuk dapat melaksanakan peran sosial kemasyarakatan, guru harus memiliki kompetensi (1) aspek normatif kependidikan, yaitu untuk menjadi guru yang baik tidak cukup digantungkan kepada bakat, kecerdasan, dan kecakapan saja, tetapi juga harus beritikad baik sehingga hal ini bertautan dengan norma yang dijadikan landasan dalam melaksanakan tugasnya, (2) pertimbangan sebelum memilih jabatan guru, dan (3) mempunyai program yang menjurus untuk meningkatkan kemajuan masyarakat dan kemajuan pendidikan.
Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang tua siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.