Ideologi Pancasila dan Nilai-Nilai yang terkandung di dalamnya
Istilah
ideologi berasal dari kata idea, yang artinya gagasan, konsep, pengertian
dasar, cita-cita; dan logos yang berarti ilmu. Ideologi secara etimologis,
artinya ilmu tentang ide-ide (the science of ideas), atau ajaran tentang
pengertian dasar (Kaelan, 2013: 60-61). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ideologi didefinisikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas
pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Ideologi
juga diartikan sebagai cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Ideologi
dapat diartikan paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial
politik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 517). Pancasila adalah dasar
negara, ideologi bangsa dan falsafah serta pandangan hidup bangsa, yang di
dalamnya terkandung nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Selain
itu Pancasila sebagai ideologi terbuka setidaknya memiliki dua dimensi nilai-
nilai, yaitu nilai-nilai ideal dan aktual. Namun nilai-nilai itu kondisinya
dipengaruhi oleh nilainilai yang dibawa globalisasi, sehingga berdampak
terjadinya pergeseran peradaban, yang juga membawa perubahan pemaknaan dan
positioning Pancasila
Abdulgani (1979) menyatakan bahwa Pancasila
adalah leitmotive dan leitstar,
dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan. Tanpa adanya leitmotive dan leitstar Pancasila ini, kekuasaan negara akan
menyeleweng. Oleh karena itu, segala bentuk penyelewengan itu harus dicegah
dengan cara mendahulukan Pancasila dasar filsafat dan dasar moral (Abdulgani,
1979:14). Agar Pancasila menjadi dorongan pokok dan bintang penunjuk jalan bagi
generasi penerus pemegang estafet kepemimpinan nasional, maka nilai-nilai
Pancasila harus dibumikan kepada para generasi bangsa melalui aktualisasi nilai
Pancasila.
Pentingnya Pancasila sebagai ideologi negara
bagi generasi bangsa adalah untuk memperlihatkan peran ideologi sebagai
penuntun moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga
ancaman berupa penyalahgunaan narkoba, radikalisme, terorisme, kejahatan
seksual, kolusi dan korupsi dapat dicegah.
Hasil Survei yang dilakukan KOMPAS yang dirilis
pada 1 Juni 2008 menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang Pancasila
merosot secara tajam, yaitu 48,4% responden berusia 17 sampai 29 tahun tidak
mampu menyebutkan silai-sila Pancasila secara benar dan lengkap. 42,7% salah
menyebut sila-sila Pancasila, lebih parah lagi, 60% responden berusia 46 tahun
ke atas salah menyebutkan sila-sila Pancasila. Fenomena tersebut sangat
memprihatinkan karena menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Pancasila yang ada
dalam masyarakat tidak sebanding dengan semangat penerimaan masyarakat terhadap
Pancasila (Ali, 2009: 2).
Sering kali kita menyaksikan di berbagai media
massa yang memberitakan elemen masyarakat tertentu memaksakan kehendaknya
dengan cara kekerasan kepada elemen masyarakat lainnya. Berdasarkan laporan
hasil survei Badan Pusat Statistik di 181 Kabupaten/Kota, 34 Provinsi dengan
melibatkan 12.056 responden sebanyak 89,4 % menyatakan penyebab permasalahan
dan konflik sosial yang terjadi tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman dan
pengamalan nilai-nilai Pancasila (Dailami, 2014:3).
Berdasarkan data yang dirilis Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI) tahun 2013, POLRI mengklaim telah menangani 32.470
kasus narkoba, baik narkoba yang berjenis narkotika, narkoba berjenis
psikotropika maupun narkoba jenis bahan berbahaya lainnya. Angka ini meningkat
sebanyak 5.909 kasus dari tahun sebelumnya. Pasalnya, pada tahun 2012 lalu,
kasus narkoba yang ditangani oleh POLRI hanya sebanyak 26.561 kasus narkoba (http://nasional. sindonews.com) . Hal tersebut jelas mengancam
generasi bangsa, dekadensi moral yang terus melanda bangsa Indonesia yang
ditandai dengan mulai mengendurnya ketaatan masyarakat terhadap norma-norma
sosial yang hidup dimasyarakat Iskarim, M. (2017). Hal itu, menunjukkan
pentingnya membumikan nilai-nilai pancasila melalui tiga ranah lingkungan
pendidikan keluarga (informal), sekolah (formal) dan masyarakat (non formal)
Alawiyah, F. (2012. Begitupun dalam kehidupan politik, para elit politik
(eksekutif dan legislatif) mulai meninggalkan dan mengabaikan budaya politik
yang santun, kurang menghormati fatsoen politik dan kering dari jiwa
kenegarawanan Widodo, W. (2014).. Menurut Alfred North Whitehead (1864-1947),
tokoh filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami
proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik
dan suatu proses yang terus menerus menjadi, walaupun unsur permanensi realitas
dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu
dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas. Yang jadi
permasalahannya, bagaimana nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam
praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ?
1.
Nilai-Nilai dalam
ideologi Pancasila
Aktualisasi nilai Pancasila perlu
disosialisasikan, diinternalisasikan dan diperkuat implementasinya, dalam
praktik kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memperkuat karakter generasi
bangsa dalam berperan serta membangun pemahaman masyarakat akan kesadaran
nasional Aktualisasi nilai dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara
mengarahkan Sedikitnya adanya 3 nilai
yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Tiga nilai itu adalah:
1.
Nilai
dasar,
yaitu suatu nilai yang bersifat sangat abstrak dan permanen, yang terlepas dari
pengaruh perubahan waktu. Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat sangat
abstrak, bersifat sangat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan
kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari aspek kandungan nilainya, maka nilai
dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan,
tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para the
founding fathers. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan
bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun
dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh
warga masyarakat.
2.
Nilai
instrumental,
yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan
penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi
tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan
tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang
dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam
bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang
dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Dari aspek kandungan nilainya, maka nilai
instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana,
program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut.
Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah DPR, MPR,
dan Presiden.
3.
Nilai
Praksis,
yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana
rakyat mengaktualisasikan nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian
banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak
tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh
ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara
perseorangan. Dari aspek kandungan nilainya, nilai praksis merupakan arena
pergulatan antara idealisme dan realitas. Jika ditinjau dari segi pelaksanaan
nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau
tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. singkatnya bukan pada rumusan
abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau
proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi
pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling
penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang
amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar
dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusan
tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan
kredibilitasnya. Ancaman terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga
konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah
barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap
ideologi itu tidak akan ada masalah.
Jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut maka akan menjadi
suatu masalah baru. Dalam memelihara konsistensi untuk mengaktualisasikan nilai
Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila
yang bersifat formal, abstrak, umum universal yang ditransformasikan menjadi
rumusan Pancasila yang kolektif nan umum, dan bahkan menjadi Pancasila yang
khusus individual Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok
dan individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksis
nya dalam aspek kenegaraan,politik dan pribadi.
Aktualisasi
nilai pancasila
harus mulai disosialisasikan dari berbagai lingkungan pendidikan. Baik itu di
keluarga sebagai pendidikan informal, sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal, maupun dalam masyarakat sebagai lembaga pendidikan non formal. Di semua
lingkungan pendidikan tersebut harus dibumikan dengan nilai- nilai Pancasila,
seperti berikut ini;
1.
Dalam
lingkungan lembaga pendidikan Informal seperti Keluarga. Tahap pendidikan yang
pertama dan utama bagi anak ada di keluarga, Artinya bagaimana karakter anak
berkembang kedepan bergantung dari pola asuh yang diterapkan di rumah. Apakah
pola asuh permisif yang memberi kebebasan pada anak, pola asuh otoriter yang
mewajibkan anak untuk selalu patuh, atau pola asuh autoritatif yang artinya
antara orangtua dan anak saling mengerti tanggungjawab, hak dan kewajiban
masing-masing. Selanjutnya untuk
menanamkan moral yang baik pada anak, orang tua juga harus memiliki
karakter yang tentu saja lebih baik terlebih dahulu, dengan begitu orangtua
seakan menjadi teladan atau row model bagi anak dalam bertindak sehingga anak
senantiasa berhati-hati dalam bertingkah laku.
2.
Dalam
lingkungan lembaga pendidikan Formal / Sekolah. Dalam membentuk karakter
peserta didik peran tenaga pendidik sangat penting, Para tenaga pendidik yang
merupakan orangtua kedua peserta didik di sekolah, perlu senantiasa
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya. Mulai dari kebiasaan
untuk berdoa setiap kegiatan belajar mengajar, saling toleransi antar teman,
menumbuhkan sikap peduli sesama, dan tidak membeda-bedakan antara peserta didik
satu dengan peserta didik yang lain.
Dalam lingkungan lembaga pendidikan Informal/ Masyarakat. Mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di masyarakat tentu dimulai dari sekitar lingkungan rumah. Keberagaman etnis yang ada di masyarakat hendaknya menjadi suatu warna tersendiri bagi mereka, sebagaimana semboyan yang dimiliki bangsa Indonesia yaitu “ Bhinneka Tunggal Ika, walaupun negara Indonesia terdiri dari beragam suku, namun kerukunan antar seluruh umat di Indonesia tetap perlu dijunjung tinggi. Dengan cara kembali melakukan aktualisasi nilai - nilai pancasila di berbagai aspek moral bangsa Indonesia sehingga dapat kembali menuju jati dirinya, nilai pancasila tersebut akan terimplementasi dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik bangsa.
Hal demikian sangat penting untuk diingat
karena dapat menjadi parameter atau tolak ukur sampai seberapa jauh tingkat
perubahan tingkah laku seseorang, dan untuk mengetahui tingkat ketercapaian
dalam menempuh proses pendidikan. Sehingga pada akhirnya dapat benar-benar
menghasilkan output yang cerdas, unggul, berdaya saing, bermoral dan
berkarakter.