Minggu, 19 Juli 2020


Lahirnya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Oleh : Hamid Darmadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Kurikulum 1994) yang dalam kurikulum KTSP 2006 disebut Pendidikan Kewarganegaraan dan dalam Kurikulum 2013 kembali berganti nama menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berawal dari perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia yang dimulai sejak dari perebutan dan mempertahankan kemerdekaan sampai pada mengisi kemerdekaan, bahkan terus berlangsung hingga reformasi. Kondisi perebutan dan mempertahankan kemerdekaan itu disikapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilai-nilai tersebut dilandasi oleh jiwa, tekad dan semangat nasional kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan  Republik Indonesia (NKRI) yang tangguh.
Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education) memiliki peran yang amat penting  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  William Galston, 2005 dan Felix Baghi, 2009  mengindikasikan bahwa  Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan bahan ajar yang dipersiapkan untuk membentuk perilaku individu-individu/pengemblengan individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politik sepanjang komunitas politik itu merupakan hasil kesepakatan bersama. Pendidikan Kewarganegaraan suatu negara akan senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan negara iitu (educational values and aims) sebagai faktor struktural utama (David Kerr, 1999). Pendidikan Kewarganegaraan bukan semata-mata menyajikan dan membelajarkan fakta tentang institusi/lembaga dan prosedur kehidupan politik dari suatu negara, tetapi juga menyangkut persoalan jatidiri dan identitas suatu bangsa itu (Kymlicka, 2001).
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Indonesia berkontiribusi memberikan arah tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan secara sistematik ingin merwujukan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berkaitan dan berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra,2008). Selanjutnya dikatakan bahwa, Pendidikan Nasional Indonesia pada hakikatnya adalah Pendidikan Kewarganegaraan agar melahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional, dalam tanggungjawabnya sebagai anggota kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam nilai moral, karakter dan kepribadian bangsa (Soedijarto, 2008).
Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya bertujuan membentuk warga negara yang baik (good citizen) (Somantri, 2001; Aziz Wahab, 2007; Kalidjernih, 2010).  Tidak dapat dipungkiri pula bahwa konsep “warga negara yang baik” berbeda-beda dan sering berubah-ubah antara negara satu dengan yang lainnya sejalan dengan perkembangan bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks tujuan pendidikan nasional dewasa ini, warga negara yang baik adalah yang bersinergi dengan Pendidikan Kewarga-negaraan yaitu warga negara yang demokratis bertanggung jawab (Pasal 3) dan warga negara yang memiliki semangat kebangsaan serta cinta tanah air (pasal 37 Undang-Undang No 20 Tahun 2003).  Berkenaan dengan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, bertanggung jawab jawab, memiliki semangat kebangsaan serta cinta tanah air.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan bidang atau mata pelajaran lintas keilmuan (Udin Winataputra, 2001) atau bidang yang multidisipliner (Sapriya,2007). Sebagai bidang yang multidimensional, Pendidikan Kewarganegaraan dapat memuat sejumlah fungsi antara lain; sebagai pendidikan politik, pendidikan hukum dan pendidikan nilai (Numan Somantri,2001); pendidikan demokrasi (Udin Winataputra, 2001); pendidikan nilai, pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan pendidikan Pancasila (Suwarma, 2006), pendidikan politik hukum kenegaraan berbangsa dan bernegara NKRI, sebagai pendidikan nilai moral Pancasila dan Konstitusi NKRI, Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education) NKRI dan sebagai Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) NKRI (Kosasih Djahiri, 2007); dan sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan karakter bangsa, pendidikan nilai dan moral, pendidikan bela negara, pendidikan politik, dan pendidikan hukum (Sapriya, 2007).  Fungsi yang berbeda-beda tersebut sejalan dengan karakteristik “warga negara yang baik” yang hendak diwujudkan oleh suatu negara itu.
Selain memuat beragam fungsi, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki 3 domain/dimensi yakni sebagai program kurikuler, program sosial kemasyarakatan dan sebagai program akademik (Udin Winataputra, 2001; Sapriya, 2007). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai program kurikuler adalah pendidikan yang dilaksanakan di sekolah atau dunia pendidikan yang mencakup program intra, ko dan ekstrakurikuler.  Sebagai program kurikulum khususnya intra kurikuler, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dapat diwujudkan dengan nama pelajaran yang berdiri sendiri (separated) atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain (integratied). Sebagai program sosial kemasyarakatan adalah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai program akademik adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan komunitasnya guna memperkaya body of knowledge PPKn itu sendiri.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan semangat perjuangan bangsa yang menekankan pada kekuatan mental spiritual yang melahirkan kekuatan yang luar biasa dalam masa perjuangan fisik, sedangkan dalam menghadapi globalisasi untuk mengisi kemerdekaan yang memerlukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi masing – masing. Perjuangan ini dilandasi oleh nilai – nilai perjuangan bangsa sehingga memiliki wawasan dan kesadaran berbangsa, bernegara, sikap dan prilaku yang cinta tanah air yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka bela negara demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Repbulik Indonesia.
Kemerdekaan bangsa  Indonesia yang diperoleh melalui perjuangan keras serta pengorbanan harta benda dan jiwa raga, harus diisi dengan upaya pembangunan disemua bidang kehidupan. Untuk itu para pemuda sebagai generasi penerus bangsa yang bertugas mengisi kemerdekaan mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara perlu memiliki kemampuan yang tinggi serta komitmen yang kuat terhadap makna perjuangan yang telah dirintis oleh  para penegak kemerdekaan bangsa ini. Apersepsi itu hanya akan berkembang dan tumbuh subur jika para generasi penerus bangsa memahami dan menghayati sejarah perjuangan bangsa. Apersepsi itu akan menimbulkan sikap patriotisme, rasa senang, cinta tanah air, reka berkorban, serta memiliki rasa keinginan untuk memilihara melindungi dan membela kemerdekaan bangsa.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bertujuan untuk membekali generasi muda selaku penerus cita-cita bangsa yang dengan kesadaran tinggi memiliki jiwa bela negara serta kemampuan berpikir secara komprehensif integral dalam rangka mewujudkan ketahanan  nasional yang tangguh. Kesadaran bela negara ini berwujud sebagai kerelaan dan kesadaran melakukan kelangsungan hidup bangsa dan negara melalui bidang profesinya masing-masing, dengan demikian kesadaran bela negara mengandung pengertian:
  1. Kecintaan kepada tanah air
  2. Kesadaran berbangsa dan bernegara
  3. Keyakinan akan Pancasila dan UUD 1945
  4. Kerelaan berkorban bagi bangsa dan negara serta
  5. Memiliki sikap dan prilaku bela negara.

Negara Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan yang diproklamasikan itu berangkat dari perjalanan sejarah peperangan yang panjang berabad-abad lamanya melawan penjajahan dalam suasana perpecahan, Tidak adanya semangat persatuan dan kesatuan ketika itu menyebabkan lamanya penjajahan bercokol di bumi nusantara ini. Penjajahan itu mengakibatkan kebodohan dan penderitaan panjang bangsa Indonesia yang pada awal abad ke 20 mendorong bangkitnya semangat kebangsaan. Kebangkitan nasional ini ditandai dengan lahirnya gerakan Budi Utomo pada tahun 1908 yang melahirkan peristiwa Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan tonggak sejarah perjuangan bangsa. Sumpah Pemuda tesebut merupakan perjuangan sikap dan tekad bangsa Indonesia untuk bersatu dalam wadah negara bangsa dan bahasa Indonesia. “satu tanah air menunjukkan kesatuan geografis, satu bangsa menunjukkan satu kesatuan politik dan satu bahasa menunjukkan satu kesatuan sosial budaya” tekat ini mewujudkan perjuangan yang akhirnya melahirkan Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945.
Perjalanan panjang sejarah   bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penajajahan kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan kemerdekaaan, hingga era kemerdekaan yang menimbulkan kondisi dan menuntut cara yang berbeda sesuai dengan zamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda itu ditanggapi oleh bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa yang senantiasa tumbuh dan berkermbang. Kesamaan nilai-niali tersebut dilandasi oleh jiwa tekad dan semangat kebangsaan. Kesamaan itu tumbuh menjadi  kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya negara kesatuan Republik Indonesia.
Semangat perjuangan bangsa yang tak kenal menyerah telah terbukti dalam perang kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semangat perjuangan bangsa Indonesia tersebut dilandasi oleh keimaman serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keikhlasan untuk berkorban. Landasan perjuangan tersebut merupakan nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia. Semangat perjuangan bangsa Indoneisa tersebut merupakan kekuatan mental spritual yang melahirkan sikap dan prilaku patriotik serta menumbuhkan kekuatan dan kesanggupan yang luar biasa. Semangat perjuangan bangsa inilah yang harus dimiliki oleh setiap warga negara  Indonesia, disamping itu nilai-nilai perjuangan  bangsa tersebut sangat relevan dalam memecahkan setiap permasalahan  dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang sudah terbukti keandalanya.
Nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia dalam perjuangan fisik merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan negeri ini, mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara ketika itu. Namun semangat perjuangan bangsa itu tidak pernah mengalami penurunan.  Semangat perjuangan bangsa yang merupakan kekuatan mental spritual telah melahirkan kekuatan yang luar biasa dalam masa perjuangan fisik sedangkan dalam menghadapi  globalisasi dan menetapkan masa depan untuk mengisi kemerdekaan, diperlukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi masing-masing. Perjuangan ini dilandasi oleh nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia sehingga tetap memiliki wawasan dan kesadaran mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa dalam kesatuan serta kesatuan bangsa dalam rangka bela negara demi tetap tengaknya negara kesatuan Republik Indonesia.
Perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi masing-masing tersebut memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya dan generasi muda khususnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Semangat perjuangan bangsa yang tak kenal menyerah itu telah terbukti dalam perang kemerdekaan 17 Agustus 1945. Semangat tersebut dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keihklasan untuk berkorban. Landasan perjuangan tersebut merupakan nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia.
Semangat perjuangan bagsa merupakan kekuatan mental spiritual yang dapat melahirkan sikap patriotik dan kekuatan kebangsaan yang amat menakjubkan. Semangat perjuangan kebangsaan inilah yang harus dimiliki oleh setiap orang bangsa Indonesia kini dan masa yang akan datang. Nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, telah mengalami pasang surut  sesuai dengan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa yang merupakan kekuatan mental spiritual telah melahirkan kekuatan yang amat menakjubkan dalam masa perjuangan fisik. Dalam menghadapi globalisasi dan menatap masa depan untuk mengisi kemerdekaan, bangsa kita memerlukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidang  profesi masing-masing. Perjuangan non fisik tersebut memerlukan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap warga negara Indonesia pada umumnya melalui Pendidika.
Dengan Pendidikan Kewarganegaraan setiap warganegara Indonesia umumnya dan generasi muda khususnya diharapkan akan tumbuh wawasan dan kesadaran berbangsa, bernegara, bersikap serta berperilaku cinta tanah air yang bersendikan kebudayaan, wawasan nusantara serta ketahanan nasional dalam diri setiap warga negara Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Senin, 13 Juli 2020


Moral, Nilai Moral dan Norrma
Oleh: Hamid Darmadi
Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertingdak benar secara moral. Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertingdak benar secara moral.
Hielden (1977) dan richard (1971) menhyebutkan moral sebagai kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson (1969) mengemukakan moral atau moralitas merupakan pandangan tentang baik atau buruk, benar dan salah, apa yang dapa dan tidak dapat dilakukan. Selain itu, moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan manusia.
Moralitas mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral, tetapi kata moralitas mengandung makna segala hal yang berkaitan dengan moral. Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana seorang seharusnya hidup secara baik sebagai manusia. Moralitas ini terkandung dalam aturan hidup bermasyarakat dalam bentuk petuah, wejangan, nasihat, peraturan, perintah, dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayan tertentu. Jika sebaliknyayang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Filsup kondang Suseno (1998) menyebutkan moral adalah ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral dan manusiawi. Sedangkan manurut Ouska dan Whellan (1997), moral adalah prinsip baik buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang. Walaupun moral itu berada dalam diri individu, tetapi moral berada dalam suatu sistem yang berwujud aturan. Moral dan moralitas merupakan kualitas pertimbangan baik-buruk. Dengan demikian, hakekat dan makna moralitas bisa dilihat dari cara individu yang memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan.
Ada beberapa pakar yang mengembangkan pembelajaran nilai moral, dengan tujuan membentuk watak atau karakter anak. Pakar-pakar tersebut diantaranya adalh Newman, Simon, Howe, dan Lickona. Dari beberapa pakar tersebut, pendapat Lickona (1992) tersebut dikenal dengan education for character atau pendidikan karakter/watak untuk membangun karakter atau watak anak. Pemikiran Lickona mengacu pada pemikiran filosofi Michael Novak yang berpendapat bahwa watak/karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek yaitu; moral knowing, moral feeling, dan moral behavior, yang satu sama lain saling berhubungan dan terkait.
Lickona menggarisbawahi pemikiran Novak. Ia berpendapat bahwa pembentukan karakter anak dapat dilakukan melalui tiga kerangka pikir, yaitu konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior). Dengan demikian, hasil pembentukan sikap karakter anak pun dapat dilihat dari tiga spek, yaitu konsep moral, sikap moral, dan perilaku moral. Pemikiran Lickona ini mengupayakan dapat digunaka untuk membentuk watak anak, agar dapat memiliki karakter demokrasi. Oleh karena itu, materi tersebut harus menyentuh tiga asfek teori (Lickona) sebagai berikut;
1.     Konsep moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarnes), pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective talking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decison making), dan pengetahuan diri (self knowledge).
2.     Sikap moral (moral feeling) mencakup kata hati (conscience), rasa pecaya diri (self esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (and hmanity).
3.     Perilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan (compalance), kemauan (will dan kebiasaan (habbit).
Dapat disimpulkan bahwa pengertian moral adalah suatu tuntutan perilaku yang baik yang dimiliki seseorang individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/ konsep, sikap, dan tingkah laku.

1.     Nilai Moral  
Kehidupan manusia dalam masyarakat, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, senantiasa berhubungan dengan nilai-nilai, norma, dan moral. Kehidupan masyarakat dimanapun tumbuh dan berkembang dalam ruang lingkup interaksi nilai, norma, dan moral, akan memberi motivasi dan arah seluruh anggota masyarakat untuk berbuat, bertingkah, dan bersikap. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin, dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, di samping sistem sosial dan karya.
Cita-cita, gagasan, konsep, ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai. Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Dalam menghadapi alam sekitarnya, manusia didorong untuk membuat hubungan yang bermakna melalui budinya. Budi manusia menilai benda-benda itu, serta kejadian yang beraneka ragam di sekitarnya dan dipilihnya menjadi kelakukan kebudayaannya. Proses pemilihan itu dilakukan secara terus-menerus. Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik, dan nilai religi. Dalam memilih nilai- nilai, manusia menempuh berbagai cara yang dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan kenyataannya.
Apabila tujuan penilaian itu untuk mengetahui identitas benda serta kejadian yang terdapat di sekitarnya, maka terlihat proses penilaian teori yang menghasilkan pengetahuan yang disebut nilai teori. Jika tujuannya untuk menggunakan benda- benda atau kejadian, manusia dihadapkan kepada proses penilaian ekonomi, yang mengikuti nalar efisiensi untuk memenuhi kebutuhan hidup, disebut nilai ekonomi. Perpaduan antara nilai teori dan nilai ekonomi itu merupakan aspek progresif dari kebudayaan manusia.
Apabila manusia menilai alam sekitar sebagai wujud rahasia kehidupan dan alam semesta, di situlah tampak nilai religi, yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang suci. Jika manusia mencoba memahami yang indah, kita berhadapan dengan proses penilaian estetik. Perpaduan antara nilai religi dan nilai estetik yang lebih menekankan kepada intuisi, rasa, dan imajinasi, merupakan aspek ekspresif dari kebudayaan. Nilai estetik mempunyai kedudukan yang khusus karena nilai itu bukan hanya menyangkut keindahan yang dapat memperkaya batin, tetapi juga berfungsi sebagai media yang memperhalus budi pekerti.Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur. Sedangkan nilai politik berpusat kepada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik (Darmadi Hamid 2008).
Dalam UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 39 (2) dinyatakan bahwa di setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat pendidikan Pancasila. Dengan adanya pendidikan Pancasila dapat dipelajari apa-apa saja yang termuat dalam kandungan pendidikan Pancasila.
Dalam kandungan pendidikan Pancasila terdapat banyak hal penting yang harus diketahui dan ditaati seperti peraturan-peraturan maupun norma-norma serta nilai dalam berbangsa dan bernegara yang terdapat dalam Pancasila. Oleh karena itu, berikut ini adalah pembahasan mengenai moral dan nilai yang terkandung didalam Pancasila yang diharapkan dapat membantu kita semua untuk memahami mengenai moral serta nilai yang terkandung dalam Pancasila.

2.   Pengertian Moral 
Moral berasal dari kata mos (mores) atau kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, (misalnya aturan berlalu lintas) kaidah-kaidah dan norma (misalnya norma agama) yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, negara, dan bangsa. Sebagaimana nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma, dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai asfeknya. Sedangkan Pengertian Moral Menurut Para Ahli disebutkan sebagai berikut:
a.     Chaplin, 2006 menyebutkan : Moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku. 
b.    Hurlock (Edisi ke-6, 1990) : mengatakan bahwa perilaku moral adalah perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Moral sendiri berarti tata cara, kebiasaan, dan adat.  Perilaku moral dikendalikan konsep konsep moral atau peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. 
c.     Webster New word Dictionary (Wantah, 2005): menyebutkan moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku.
d.    Maria Assumpta : Menyebutkan Moral adalah aturan aturan (rule) mengenai sikap (attitude) dan perilaku manusia (human behavior) sebagai manusia. Hal ini mirip bila dikatakan bahwa orang yang bermoral atau dikatakan memiliki moral adalah manusia yang memanusiakan orang lain.
e.     Sonny Keraf : mengatakan  moral merupakan sebuah tolak ukur. Moral dapat digunakan untuk mengukur kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai anggota masyarakat (member of society) atau sebagai manusia yang memiliki posisi tertentu atau pekerjaan tertentu. 
f.     Zainuddin Saifullah mengatakan : bahwa pengertian moral adalah suatu tendensi rohani untuk melakukan seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku seseorang dan masyarakat. Pengertian moral kali ini erat hubungannya dengan akhlak manusia ataupun fitrah manusia yang diciptakan memang dengan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
g.    Imam Sukardi : Menyebutkan moral adalah kebaikan kebaikan yang disesuaikan dengan ukuran ukuran tindakan yang diterima oleh masyarakat atau umum, meliputi kesatuan sosia maupun lingkungan tertentu. Disini, dapat anda perhatikan bahwa pengertian moral selalu dihubungkan dengan adat istiadat suatu masyarakat.
h.     Wantah (2005) : Moral adalah sesuatu yang harus dilakukan atau tidak ada hubungannya dengan kemampuan untuk menentukan siapa yang benar dan perilaku yang baik dan buruk.
i.      W. J. S. Poerdarminta : Menyatakan bahwa ajaran moral dari perbuatan baik dan buruk dan perilaku.
j.      Baron dkk : Mengatakan bahwa moral yang terkait dengan pelarangan dan mendiskusikan tindakan yang benar atau salah.

Suseno (1998) menambahkan Moral adalah ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara. Sedangkan menurut Ouska dan Whellan (1997), moral adalah prinsip baik-buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian moral adalah suatu tuntutan prilaku yang baik yang dimiliki individu sebagai moralitas, yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku.

3.   Pengertian Norma 
Kata norma berasal dari bahasa Belanda, yaitu “Norm” yang artinya patokan, pedoman atau pokok kaidah. Namun beberapa pendapat mengatakan bahwa istilah norma berasal dari bahasa latin, “Mos” yang artinya kebiasaan, tata kelakuan, atau adat istiadat. Norma biasanya berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu. Misalnya dalam suatu etnis atau negara tertentu. Namun, ada juga norma yang berlaku bagi semua manusia dan sifatnya universal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) norma/norma/ n 1 aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima: setiap warga masyarakat harus menaati -- yang berlaku; 2 aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu.
Bertolakdari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: Norma adalah  kaidah, pedoman, acuan, atau ketentuan yang berperilaku baik bagi individu maupun kelompok  dalam berinteraksi antar individu, kelompok atau masyarakat saat  menjalani kehidupan bersama. Bagi  yang melanggar norma-norma tersebut, akan dikenakan sanksi sesuai aturan norma yang berlaku.
Sanksi yang diterapkan oleh norma ini membedakan norma dengan produk sosial lainnya seperti budaya dan adat. Ada atau tidak adanya norma diperkirakan mempunyai dampak dan pengaruh atas bagaimana seseorang berperilaku. Norma merupakan hasil buatan manusia sebagai makhluk sosial. Pada awalnya, aturan ini dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar. Norma dalam masyarakat berisis tata tertib, aturan, dan petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar. Norma memiliki kekuatan dan bersifat memaksa.
Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh hukuman (Darmadi Hamid 2008). Norma dapat digolongkan dalam lima macam/tingkatan sebagai berikut:
a.     Norma Kesusilaan adalah norma yang mengatur hidup manusia yang berlaku secara umum dan bersumber dari hati nurani manusia.Contoh norma kesusilaan adalah jujur dalam berperkataan dan perbuatan , menghormati sesama manusia, membantu orang lain yang membutuhkan, tidak mengganggu orang lain, membayar/ mengembalikan  jika berhutang, menepati jika berjanji dan sebagainya. 
b.     Norma Sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya.
c.     Norma Kesopanan merupakan seperangkat aturan yang memandu tingkah laku, sikap dan tindak tanduk manusia agar sesuai dengan kaidah sopan santun dalam pergaulan, lingkungan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara
d.     Norma Hukum adalah aturan aturan yang bersumber pada atau di buat oleh lembaga negara yangg berwenang atau oleh oleh lembaga-lembaga tertentu, misalnya institusi,pemerintah, sehingga dengan tegas dapat melarang serta memaksa orang untuk dapat berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu sendiri. Pelanggaran terhadap norma ini berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara, atau hukuman mati).
e.     Norma Agama adalah aturan atau Kaidah, yang berfungsi sebagai petunjuk, pedoman hidup yang berasal dari Tuhan yang disampaikan melalui utusan-Nya yang berisi perintah, larangan dan anjuran-anjuran. Petunjuk hidup atau aturan yang ada dalam norma agama sifatnya pasti dan tidak perlu diragukan lagi, karena berasal secara langsung dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, norma agama dapat memperkuat norma lainnya, sehingga keberadaan norma ini sangat kuat dan dapat mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku

Tujuan dari norma agama adalah agar manusia menjadi lebih baik dalam bersikap, termasuk menjauhi larangan-larangan Tuhan Yang Maha Esa dan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Norma agama memiliki perbedaan dengan norma lainnya, karena pada dasarnya norma ini mengarah langsung kepada hati seorang manusia. Selain itu, norma agama mengatur hubungan vertikal, antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Contoh-contoh norma agama misalnya adalah:
1.   Rajin beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan, berdoa sebelum makan, sebelum tidur, sebelum perjalanan, sebelum belajar, sebelum memasuki tempat ibadah, dll.
2.   Tidak mencuri barang atau sesuatu yang bukan milik sendiri.
3.   Tidak menghina maupun mencela orang lain.
4.   Tidak melukai atau membunuh orang lain.
5.   Bersikap jujur
6.   Membaca kitab suci agama masing-masing dan mengamalkannya di kehidupan sehari-hari.
7.   Mencegah dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama.
8.   Mengimani adanya Tuhan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
  
4.   Nilai dalam Pancasila
Nilai atau “value”  termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (worth) atau kebaikan (goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. Menurut Walter G. Everett, nilai dibedakan  menjadi lima bagian sebagai berikut:
1.     Nilai-nilai ekonomi (economic values) yaitu nilai-nilai yang berhubungan dengan sistem ekonomi. Hal ini berarti nilai-nilai tersebut mengikuti harga pasar.
2.     Nilai-nilai rekreasi (recreation values) yaitu nilai-nilai permainan pada waktu senggang, sehingga memberikan sumbangan untuk mensejahterakan kehidupan maupun memberikan kesegaran jasmani dan rohani.
3.     Nilai-nilai perserikatan (association values) yaitu nilai-nilai yang meliputi berbagai bentukperserikatan manusia dan persahabatan kehidupan keluarga, sampai dengan tingkat internasional.
4.     Nilai-nilai kejasmanian (body values) yaitu nilai-nilai yang berhubungan dengan kondisi jasmani seseorang.
5.     Nilai-nilai watak (character values) nilai yang meliputi semua tantangan, kesalahan pribadi dan sosial termasuk keadilan, kesediaan menolong, kesukaan pada kebenaran, dan kesediaan mengontrol diri.  

Sedangkan menurut Notonagoro, seorang Filsof Indonesia menyebutkan bahwa  nilai itu dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu:
a.     Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b.     Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan/aktivitas.
c.      Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas 4 (empat) macam yaitu:
1.     Nilai kebenaran/kenyataan-kenyataan yang bersumber kepada unsur akal manusia (ratio, budi, cipta).
2.     Nilai keindahan yang bersumber pada rasa manusia (perasaan, aestitis).
3.     Nilai kebaikan atau moral, yang bersumber pada kehendak/kemauan manusia (karsa, etis).
4.     Nilai religius yang merupakan nilai ketuhanan, nilai kerohanian yang tertinggi dan mutlak.

Nilai religius berhubungan dengan nilai penghayatan yang bersifat transedental, dalam usaha manusia untuk memahami arti dan makna kehadirannya di dunia. Nilai ini berfungsi sebagai sumber moral yang dipercayai sebagai rahmat dan rida Tuhan. Dalam pelaksanaannnya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran, dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki, atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai berada dalam hati nurani, kata hati, dan pikiran sebagai suatu keyakinan, dan kepercayaan yang bersumber dari berbagai sistem nilai.
Nilai-nilai ini bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia yang mempunyai nilai yang non-material (spiritual). Nilai manusia relatif dapat diukur dengan mudah melalui alat-alat pengukur. Sedangkan nilai-nilai rohaniah tidak dapat diukur dengan akal budi murni manusia oleh karena itu lebih sulit mengukur (nilai spiritual). Dalam hubungannya dengan filsafat, nilai merupakan salah satu hasil pemikiran filsafat yang oleh pemikirnya dianggap sebagai hasil maksimal yang paling benar, bijaksana, dan baik. Bagi manusia nilai dijadikan alasan atau motivasi dalam segala perbuatannya. Dalam bidang pelaksanaannya, nilai itu dijabarkan dalam bentuk kaidah/norma/ukuran (normatif) sehingga merupakan suatu keharusan atau merupakan larangan atau tidak diinginkan (Darmadi Hamid 2008)