Selasa, 31 Juli 2018

BPUPKI dan Sidang-Sidangnya


Pendahuluan
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)  Dokuritsu Junbii Chōsakai)  adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan bala tentara Jepang pada tanggal 1 Maret 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan simpati dan dukungan dari bangsa  Indonesia  dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 62 orang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.
Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakinyaMr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (Jepang). Tugas BPUPKI adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada tanggal 7 Agustus 1945 Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk  Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam  bahasa JepangDokuritsu Junbi Inkai, dengan anggotanya berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai kepulauan dan etnis di wilayah Hindia-Belanda. Anggota PPKI terdiri dari: 12 orang masing-masing berasal dari Jawa 3 orang,  Sumatera 2 orang, Sulawesi 1 orang, Kalimantan 1 orang, Sunda Kecil (Nusa Tenggara) 1 orang Maluku1 orang dan berasal dari etnis  Tionghoa. 

1.     Sidang BPUPKI Pertama 29 Mei - 1 Juni 1945
Sidang BPUPKI pertama dilaksanakan selama empat hari, berturut-turut. Tampil sebagai pembicara/berpidato yang menyampaikan usulnya adalah sebagai berikut: (a) tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin, (b) tanggal 31 Mei 1945 Prof. Soepomo dan (c) tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno.
Mr.Muh.Yamin (29 Mei 1945). Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945 Muh. Yamin mengusulkan bahwa rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut: (1). Peri Kebangsaan. (2). Peri Kemanusiaan, (3). Peri Ketuhanan, (4)PeriKerakyatan (a). Permusyawaratan, (b). Perwakilan, (c). Kebijaksanaan) dan (5). Kesejahtraan Rakyat (Keadilan sosial).Selain usulan tersebut pada akhir pidatonya Mr. Muh. Yamin menyerahkan naskah sebagai lampiran yaitu suatu rancangan usulan sementara berisi rumusan UUD RI dan rancangan itu dimulai dengan pembukaan yang berbunyi sebagai berikut:
Untuk membentuk pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tampah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, menyuburkan hidup kekeluargaan, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebagsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan yang Maha Esa, Kebangsaan, persatuan Indonesia, dan rasa kemanusiaan yang adail dan beradab, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’

Kedua: Prof.Dr. Soepomo (31 Mei 1945)
 Berbeda dengan usulan Mr. Muh Yamin, Prof Dr. Soepomo mengemukakan teori-teori negara sebagai berikut:
  1. Teori negara perseorangan (Individualis), sebagaimana yang diajarkan oleh Thomas Hobbes (abad 17), Jean Jacques Rousseau (abad 18) menurut paham ini, negara adalah masyarakat hukum (legal Society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu (contract social). Paham negara ini banyak terdapat di Eropa dan Amerika.
  2. Paham negara kelas (class theory) atau teori ’golongan’ teori ini sebagaimana diajarkan oleh Marx, Engels, dan Lenin. Negara adalah alat dari suatu golongan (suatu klasse) untuk menindes klasse lain. Negara kapitalis.
  3. Piagam negara integralistik yang diajarkan oleh Spinoze, Adam Muller, Hegel.Menurut paham ini negara bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhny sebagai suatu persatuan.

2.  Sidang BPUPKI Kedua (10-16 Juli 1945)
Hari pertama sebelum BPUPKI kedua dimulai, diumumkan oleh ketua bahwa ada penambahan 6 anggota baru Badan Penyeledik yaitu : (1) Abdul Fatah Hasan, (2) Asikin Natanegera, (3) Hamidjojo, (4) Muhammad Noor, (5) Besar, dan Abdul Kaffar.
Selain tambahan amggota BPUPKI Ir. Soekarno sebagai ketua panitia Kecil melaporkan hasil sidang yang dilakukan tanggal 1 Juni 1945. Menurut lapran itu pada tanggal 22 Juni 1945 Ir. Soekarno mengadakan pertemuan antara Panitia Kecil dengan anggota-angota badan Penyelidik. Yang hadair dalam pertemuan itu adalah jumlah orang 38 anggota, yaitu anggota-anggota yang bertempat tinggal di Jakarta dan anggota-anggota Badan Penyelidik yang merangkap menjadi anggota Tituoo Sangi In dari Jakarta. Pertemuan antara 38 orang anggota tersebjut dilakukan digedung kantor besar Jawa Hooko Kai (kantor Bung Karno sebagai Honbucoo/sekretaris Jendral Jawa Hooko Kai). Mereka membentuk panitia kecil atas 9 orang dan populer disebut “Panitia Sembilan” yang anggotanya sebagai berikut :
1.      Ir. Soekarno.                 6.  Mr.Soebardjo
2.      Wachid Hasyim             7.  Kyai Abdul Kahar Moezakar
3.      Mr.Muh.Yamin              8.  Abikoesno Tjokrosoejoso
4.      Mr. Maramis                 9. Haji Agus Salim.
5.      Drs.Moh. Hatta.

Panitia sembilan ini setelah mengadakan pertemuan secara masak dan sempurna telah menacapai suatu hasil yang baik yaitu suatu modus atau persetujuan antara golongan islam dengan golongan kebangsaan. Modus atau persetujuan tersebut tertuang dalam suatu rancangan Pembukaan Hukum Dasar, rangcangan Preambule Hukum Dasar yang dipermaklumkan oleh panitia kecil Badan Penyelidik dalam rapat BPUPKI kedua tanggal 10 Juli 1945 Panitia Kecil Badan Penyelidik menyetuji usul rancangan Prembule yang disusun oleh panitia sembilan tersebut. Adapun bagian terakhir naskah Prembule tersebut adalah sebagai berikut :
“……maka disusunlah kemerdekaan kebagsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syari’at islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Terdapat hal yang sangat menarik perhatian juga yaitu pemakaian istilah hukum dasar yang kemudian diganti dengan istilah Undang-Undang Dasar. Hal itu menuntut beberapa keterangan Prof. Soepomo dalam rapat dalam tanggal 15 Juli 1945. Bahwa istilah hukum dalam bahasa Belanda recht itu meliputi tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis. Oleh karena itu tidak lagi digunakan istilah hukum dasar rancangan yang disusun oleh panitia.Perancang yang dibentuk dalam rapat 11 Juli, adapun istilah yang benar adalah Undang-Undang Dasar. Beberapa keputusan penting yang patut diketahui dalam rapat BPUPKI kedua adalah sebagai berikut : dalam rapat tanggal 10 Juli antara lain diambil keputusan tentang bentuk negara. Dari 64 suara (ada beberapa anggota yang tidak hadir) yang pro Republik 55 orang, yang meminta kerajaan 6 orang dan bentuk lain 1 orang.
Pada tanggal 11 Juli 1945 keputusan yang penting adalah luasnya wilayah negara Indonesia. Terdapat tiga usul, yaitu (a) Hindia Belanda (b) Hindia Belanda ditambah Malayu, Borneo Utara (Borneo Inggris), Irian Timur, Timor Portugis dan pulau-pulau sekitarnya dan (c) Hindia Belanda ditambah Malaya, akan tetapi dikurangi dengan Irian Barat. Berdasarkan hasil pengutan suara 66 orang suara yang memilih (a) Hindia belanda ada 19 ada yang memilih (b) yaitu daerah yang terbesar yaitu jumlah yang banyak yaitu 39, sedangkan yang memilih (c) ada 6 lain-lain daerah I serta blangka 1. Jadi pada waktu itu angan-angan sebagian besar anggota Badan Penyelidik adalah menghendaki Indonesia pada bulan Juli 1945 itu sebagian besar adalah wilayah Indonesia kecuali Irian, Tarakan dan Morotai yang masih dikuasai Jepang.

Senin, 30 Juli 2018

Nilai-Nilai Pancasila dan Sejarah Perjuangan

A.     Nilai Nilai Pancasila dalam Sejarah Perjuangan Bangsa

Nilai nilai Pancasila telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dulu kala sebelum bangsa Indonesia mendirikan negara. Proses terbentuknya negara Indonesia melalui proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu hingga munculnya kerajaan-kerajaan pada abad ke-IV sampai pada zaman merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Nilai-Nilai Pancasila itu sudah ada sebelum disyahkan oleh PPKI pada tanggal 18 agustus 1945. Nilai-nilai Pancasila telah ada pada tertanam dalam diri kepribadian bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa Indonesia merdeka yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat yang tertanam dan terselenggara dalam praktek kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut telah ada dan melekat serta teramalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup, sehingga materi Pancasila yang berupa nilai-nilai tersebut adalah dari bangsa Indonesia sendiri, sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila, Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat negara Indonesia. Proses perumusan materi Pancasila secara formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI pertama. Sidang panitia”9” sidang BPUPKI kedua. Serta akhirnya disyahkan secara yuridis sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka untuk memahami Pancasila secara lengkap dan utuh terutama dalam kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia, mutlak diperlukan pemahaman sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk suatu negara yang berdasarkan suatu asas hidup bersama demi kesejahteraan hidup bersama yaitu negara yang berdasarkan Pancasila. Selain itu msecara epistemologis sekaligus sebagai pertanggung jawaban ilmiah, bahwa Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai pandangan hidup bangsa, jiwa dan kepribadian bangsa serta sebagai perjanjian seluruh bangsa Indonesia pada waktu mendirikan negara.
Nilai-nilai essensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu: ketuhanan Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, serta Keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses pembentukan negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan pada abad ke IV, ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VII, yaitu ketika timbulnya kerajaan Sriwijaya di bawah Wangsa Syailendra di Palembang, kemudian kerajaan airlangga dan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan-kerajaan lainnya. Dasar-dasar pembentukan nasionalisme modern dirintis oleh para pejuang kemerdekaan bangsa, antara lain rintisan yang dilakukan oleh para tokoh pejuang kebangkitan nasional pada tahun 1908, kemudian dicetuskan pada sumpah pemuda pada tahun 1928. Akhirnya titik kulminasi sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mendirikan negara tercapai dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945.

1.        Zaman Kerajaan Kutai

Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400 M, dengan ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu). Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa raja Mulawarman keturunan dari raja Aswawarman keturunan dari Kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut mengadakan kenduri dan memberi sedekah kepada para Brahmana, dan para brahmana membangun yupa itu sebagai tanda terima kasih raja yang darmawan (Bambang Sumadio, dkk.,1977 :33-32). Masyarakat kutaio yang membuka zaman sejarah Indonesia pertamakalinya ini menampilkan nilai-nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri, serta sedekah kepada para Brahmana. Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja ini tampak dalam kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian di Jawa dan Sumatra. Dalam zaman kuno (400-1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai integrasi dengan wilayah yang meliputi hampir separoh Indonesia dan seluruh wilayah Indonesia sekarang yaitu kerajaan Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit yang berpusat di Jawa.

2.        Zaman Kerajaan Sriwijaya

Menurut Mr. M. Yamin bahwa berdirinya negara kebangsaan negara Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: pertama zajam Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (600-1400), yang bercirikan kedatuan. kedua, negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525) yang bercirikan keprabuan, kedua tahap tersebut merupakan negara kebagsaan Indonesia lama. Kemudian ketiga negara kebangsaan modern yaitu negara Indonesia merdeka (sekarang negara proklamasi 17 Agustus 1945). (Sekretariat Negara RI, 1995:11).
Pada abad ke VII muinculah suatu kerajaan di Sumatra yaitu kerajaan Sriwijaya, dibawah kekuasaan wangsa Syailendra. Hal ini termuat dalam prasasti Kedukan bukit di kaki bukit Siguntang dekat palembang yang bertarikh 605 Caka atau 683 M, dalam bahasa melayu kuno dan hurup pallawa. Kerajaan itu adalah kerajaan maritim yang mengandalkan kekuatan lautnya, kunci-kunci lalu lintas laut disebelah barat dikuasainya seperti selat sunda (686), kemudian selat malaka (775). Pada zaman itu Sriwijaya merupakan suatu kerajaan besar yang cukup disegani dikawasan Asia selatan. Perdagangan dilakukan dengan mempersatukan dengan pedagang pengerajin dan pegawai raja yang disebut Tuha An vatakvarah sebagai pengawas dan pengumpul semacam koprasi sehingga rakyat mudah untuk memasarkan barang dagangannya (Keneth R. Hall, 1976:75-77). Demikian pula dalam sistem pemerintahannya terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda kerajaan, rokhaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-gedung dan patung-patung suci sehinga pada saat itu kerajaan dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai ketuhanan (Suwarno, 1993, 19).
Agama dan kebudayaan dikembangkannya dengan mendirikan suatu Universitas agama Budha, yang sangat terkenal dinegara lain di Asia. Banyak musyafir dari negara lain misalnya dari Cina belajar terlebih dahulu di Universitas tersebut terutama tentang agama Budha dan bahasa Sansekerta sebelum melanjutkan studinya ke India. Malahan banyak guru-guru besar tamu dari india yang mengajar di Sriwijaya misalnya Dharmakitri. Cita-cita tentang kesejahtraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya tersebut yaitu berbunyi ‘marvuat vanua Criwijaya siddhatra subhiksa’ (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur) (Sulaiman, tampa tahun:53)

3.      Zaman Kerajaan-Kerajan Sebelum Majapahit

Sebelum kerajaan Majapahit muncul sebagai suatu kerajaan yang memancangkan nilai-nilai nasionalisme, telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti, kerajaan kalingga pada abad ke VII, Sanjaya pada abad ke VIII yang ikut membantu membangun candi Kalasan untuk untuk Dewa Tara dan sebuah wihara untuk pendeta Budha didirikan di Jawa Tengah bersama dengan dinasti syailendra (abad  ke VII dan IX). Refleksi puncak budaya dari Jawa Tengah dalam priode-proide kerajaan-kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi-candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX), dan candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Selain kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah tersebut di Jawa Timur munculah kerajaan-kerajaan Isana (pada abad ke IX), Darmawangsa (abad ke X) Darmawangsa (abad ke X) demikian juga kerajaan Airlangga pada abad ke IX. Raja Airlangga membuat bangunan keagamaan dan asrama, dan raja ini memiliki sikap toleransi dalam beragama. Agama yang diakui oleh kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa yang hidup berdampingan secara damai (Toyibin 1997:26). Menurut prasasti Kelagen, Raja Airlangga telah mengadakan hubungan dagang dan berkerjasama dengan Banggala, Chola dan Champa hal ini menunjukan nilai-nilai kemanusiaan. Demikianlah pula Airlangga mengalami pengembangan lahir dan batin di hutan dan tahun 1019 para pengikutnya, rakyat dan para Brahmana bermusyawarah dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja, meneruskan tradisi Istana, sebagai nilai-nilai sila keempat. Demikian pula menurut prasasti Kelagen, pada tahun 1037, raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahtraan pertanian rakyat yang merupakan nilai-nilai sila kelima (T0yibin, 1997:28,29).Di wilayah Kediri Jawa Timur berdiri pula kerajaan Singasari (pada abad ke XIII), yang kemudian sangat erat hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit.
4.      Zaman Kerajaan Majapahit
Pada tahun 1293 berdirilah kerajaan Majapahit yang mencapai zaman keemasannya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang dibantu oleh laksaman Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya itu membentang dari sepanjang melayu (Malaysia sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara. Pada waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan damai dalam suatu kerajaan. Empu prapanca menulis Negarakertagama (1365). Dalam kitab tersebut telah terdapat istilah “Pancasila” Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, dan didalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang bunyi lengkapnya “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua:, artinya walaupun berbeda, namun satu jua adanya sebab tidak ada agama yang memiliki Tuhan yang berbeda. Hal ini menunjukan adanya realitas kehidupan agama pada saat itu. Yaitu agama Hindu dan Budha. Bahkan salah satu bawahan kekuasaannya yaitu pasai justru telah memeluk  agama Islam. Toleransi positif dalam bidang  agama dijunjung tinggi semenjak bahari yang telah silam.
Sumpah palapa yang diucapkan oleh Majapahit Gajah Mada dalam sidang ratu dan Mentri-mentri di paseban keprabuan Majapahit pada tahu 1331, yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya sebagai berikut: ‘saya baru akan berhenti berpuasa makan pelapa, jikalau seluruh nusantara bertakluk dibawah kekuasan negara, jikalau Gurun, Seram. Tanjung Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Yamin, 1960:60). Selain itu dalam hubungannya dengan negara lain raja Hayam Wuruk senantiasa mengadakan hubungan bertetangga baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayodya, Champa dan Kamboja. Menurut prasasti Brumbung (1329), dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat seperti Rakryan I Hino, I Sirikan, dan Ihalu yang bertugas memberikan nasehat kepada raja, hal ini sebagai nilai-nilai musyawarah mufakat yang dilakukan oleh sistem pemerintahan kerajaan Majapahit. Majapahit menjulang dalam arena sejarah kebangsaan Indonesia dan banyak meninggalkan nilai-nilai yang diangkat dalam nasionalisme negara kebangsaan Indonesia 17 Agustus 1945. Kemudian disebabkan oleh faktor keadaan dalam negeri sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada permulaan abad XV, maka sinar kejayaan Majapahit berangsur-angsur mulai memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan “Sinar Hilang Kertaning Bumi” pada permulaan abad XVI (1520).

5.      Zaman Kerajaan Demak

   Setelah Majapahit runtuh pada permulaan abad XVI maka berkembanglah agama Islam dengan pesatnya di Indonesia. Bersamaan dengan itu berkembang pulalah kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan Demak dan mulailah berdatangan orang-orang Eropa di nusantara. Mereka itu antara lain orang pertugis yang kemudian diikuti oleh orang-orang Spanyol yang ingin mencari pusat tanaman rempah-rempah. Bangsa asing yang masuk ke Indonesia yang pada awalnya berdagang adalah orang-orang bangsa pertugis. Namun lama-kelamaan bangsa pertugis mulai menunjukan perannya dalam bidang perdagangan yang meningkat menjadi praktek penjajahan misalnya Malaka sejak tahun 1511 dikuasai oleh portugis. Pada akhir abad ke XVI bangsa belanda datang pula ke Indonesia dengan menempuh jalan penuh kesulitan. Untuk menghindarkan persaingan di antara meraka sendiri (Belanda), kemudian meraka mendirikan suatu perkumpulan dagang yang bernama V.O.C., (verenigde Oost Indische Compagnie) yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah ‘Kompent’ Praktek-praktek VOC mulai kelihatan dengan paksaan-paksaan sehingga rakyat mulai mengadakan perlawanan. Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) berupaya mengadakan perlawanan dan menyerang kebatavia pada tahun 1628 dan tahun 1929, walaupun tidajk berhasil meruntuhkan namun Gubernur Jendral J.P.Coen tewas dalam serangan sultan agung yang kedua itu.
Beberapa saat setelah sultan Agung mangkat maka Mataram menjadi bagian kekuasan kompeni. Bangsa Belanda mulai memainkan peranan politik dengan licik di Indonesia. Di Makasar yang memiliki kedudukan yang sangat vital berhasil juga dikuasai oleh kompeni tahun (1667) dan timbulah perlawanan dari rakyat Makasar dibawah Hasanudin. Menyusul pula wilayah Baten (Sultan Ageng Tirtoyoso) dapat ditundukan pula oleh kompeni pada tahun 1684. Perlawanan Trunojoyo, untung Suropati di Jawa Timur pada akhir abad ke XVII nampaknya tidak mampu meruntuhkan kekuasaan kompeni pada saat itu. Demikian pula ajakan Ibnu Iskandar pimpinan armada dari Minang Kabau untuk mengadakan perlawanan bersama terhadap kompeni juga tidak mendapat sambutan yang hangat. Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah yang terpencar-pencar dan tidak memiliki koordinasi tersebut banyak mengalami kegagalan sehingga banyak menimbulkan korban bagi anak-anak bangsa. Demikianlah Belanda pada awalnya menguasai daerah-daerah yang strategis dan kaya akan hasil rempah-rempah pada abad ke XVII dan nampaknya semakin memperkuat kedudukannya dengan didukung oleh kekuatan militer.
Pada abad itu sejarah mencatat bahwa belanda berusaha keras untuk memperkuat dan mengintensifkan kekuasaannya di seluruh Indonesia. Mereka ingin membulatkan hegemoninya sampai kepelosok-pelosok nusantara kita. Melihat praktek-praktek penjajahan belanda tersebut maka meledaklah perlawanan rakyat diberbagai daerah nusantara, antara lain: Patimura di Maluku (1817) Baharudindi Palembang (1819), Imam Bonjol di Minang Kabau (1821-1837). Pangeran dipenegoro di Jawa Tengah (1825-1830), Jlentik, Polim, Teuku Tiro, Teuku Umar dalam perang Aceh (1860) anak Agung Made dalam perang Lombok (1894-1895). Dan masih banyak perlawanan rakyat di berbagai daerah di nusantara. Dorngan akan cinta tanah air menimbulkan semangat untuk melawan penindasan dari bangsa Belanda, namun sekali lagi karena tidak adanya kesatuan dan persatuan diantara mereka dalam perlawanan melawan penjajah, maka perlawanan tersebut senantiasa kandas dan menimbulkan banyak korban. Penghisapan mulai memuncak ketika belanda mulai menerapkan sistem monopoli melalui tanam paksa (1830-1870) dengan memaksakan beban kewajiban terhadap rakyat yang tidak berdosa. Penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi dan Belanda sudah tidak peduli lagi dengan ratap penderitaan tersebut, bahkan mereka semakin gigih dalam menghisap rakyat untuk memperbanyak kekayaan bangsa Belanda.

6.      Zaman Kebangkinan Nasional

Pada abad XX di panggung politik internasional terjadilah pergolakan kebangkitan Dunia Timur dengan suatu kesadaran akan kekuatannya sendiri. Republik pilipina ((1898) yang dipelopori Joze Rizal. Kemenangan Jepang atas Rusiadi Tsunia (1905). Gerakan sun Yat Sen dengan dengan republik Cinanya (1911). Paratai kongres di India dengan tokoh Tilak dan Gandhi, adapun di Indonesia bergolaklah kebangkitan akan kesadaran berbangsa yaitu kebangsaan nasional (1908) dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dengan budi utomonya. Gerakan inilah yang merupakan awal gerakan nasional untuk mewujudkan suatu bangsa yang memiliki kehormatan akan kemerdekaan dan kekuatannya sendiri. Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 10 Mei 1909 inilah yang merupakan pelopor pegerakan nasional, sehingga segera setelah itu munculah organisasi-organiosasi pergerakan lainnya. Organisasi-organisasi pergerakan nasional itu antara lain: sarekat Dagang Islam (SDI) (1909), yang kemudian dengan cepat mengubah bentuknya menjadi gerakan politik dengan mengganti namanya menjadi serikat Islam (SI) tahun (1911) dibawah H.O.S Cokroaminoto.
Berikutnya munculah Indische Partiji (1913) yang dipimpin oleh tiga serangkai yaitu: Douwes Dekker. Ciptomangunkusumo, Suwardi Suryaningrat. (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro). Sejek semula partai ini menunjukan keradikalannya. Sehingga tidak dapat berumur panjang karena pimpinannya di buang keluar negeri (1913). Dalam situasi yang menggoncangkan itu munculah partai nasional Indonesia (PNI) (1927) yang dipelopori oleh Soekarno, Ciptomangun-kusumo, Sartono, dan tokoh lainya. Mulailah kini perjuangan nasional Indonesia dititik beratkan pada kesatuan nasional dengan tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka. Tujaun itu diekspresikan dengan kata-kata yang jelas kemudian diikuti dengan tampilnya golongan pemuda yang tokoh-tokohnya antara lain: Muh. Yamin, Wongsonegoro, Kuncoro Purbopranoto, setokoh pemuda lainya. Perjuangan rintisan kesatuan nasional kemudian di ikuti oleh Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yang isinya satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Lagu Indonesia raya pada saat pertama kali dikumandangkan dan sekaligus sebagai pengerak kebangkitan kesadaran berbangsa. Kemudian PNI oleh para pengikutnya dibubarkan, dan diganti bantuknya dengan partai Indonesia dengan singkatan Partindo (1931). Kemudian golongan Demokrat antara lain Moh. Hatta dan St. Syahrir mendirikan PNI baru yaitu Pendidikan Nasional Indonesia (1933), dengan semboyan kemerdekaan Indonesia harus dicapai dengan kekuatan sendiri.

7.      Zaman Penjajahan Jepang

Setelah Nederland diserbu oleh tentara Nazi Jerman pada tanggal 5 Mei 1940 dan jatuh pada tanggal 10 Mei 1940, maka Ratu Wihelmina dengan segenap aparat pemerintahannya mengungsi ke Inggris, sehingga pemerintahan Belanda masih dapat berkomunikasi dengan pemerintah jajahan Indonesia. Janji belanda tentang Indonesia merdeka dikelak kemudian hari dalam kenyataanya hanya suatu kebohongan belaka sehingga tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan sampai akhir pendudukan pada tanggal 10 Maret 1940 Kemerdekaan bangsa Indonesia itu tidak pernah terwujud.
Fasis Jepang masuk ke Indonesia dengan propaganda “Jepang pemimpin Asia, jepang saudara tua bangsa”. Akan tetapi dalam perang melawan Sekutu Sekutu Barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Prancis, Belanda dan negara Sekutu lainnya) nampaknya jepang semakin terdesak. Oleh karena itu agar mendapat dukungan dari banghsa Indonesia, maka pemerintahan Jepang bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia, yaitu menjajikan Indonesia merdeka dikelak kemudian hari.Pada tanggal 29 April 1945 bersamaan dengan hari ulang tahun kaisar Jepang belau memberikan hadiah “ulang tahun” kepada bangsa Indonesia yaitu janji kedua pemerintah jepang berupa kemerdekaan tampa syarat. Janji itu disampaikan kepada bangsa Indonesia sehingga sebelum bangsa Jepang menyeret dengan Maklamat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari pemerintah Militer Jepang  diseluruh Jawa dan Madura). No. 23. Dalam janji kemerdekaannya yang kedua tersebut bangsa Indonesia diperkenankan untuk memperjuangkan kemerdekaanya. Bahkan dianjurkan kepada bangsa Indonesia untuk berani mendirikan negara Indonesia merdeka dihadapan musuh-musuh jepang yaitu sekutu termasuk kaki tangannya Nica (Nitherlands Indie Civil Administration), yang ingin mengembalikan kekuasan kolonialnya di Indonesia. Bahkan Nica telah melancarkan serangannya dipulau Tarakan Morotai.Untuk menciptakan simpati dan dukungan dari bangsa Indinesia maka sebagai realisasi janji tersebut maka dibentuklah suatu badan yang bertugas untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu badan penyelidik Usaha-Usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritu Zyunbi Tioosakai. Pada hari itu juga diumumkan nama-nama ketua dan enam puluh (60) orang anggotanya dengan ketua dan ketua muda sebagai berikut :
Ketua (Kaicoc
:   Dr. K.R.T.Radjiman Wediodiningrat
Ketua Muda
:   Iclubangse (seorang anggota luar biasa) (Fuku Kaicoo Tokubetsu Iin)
Ketua Muda
:   R.P. Soeroso (Merangkap kepala) (Fuku Kaicoo atau Zimukyoku Kucoo)
Enampuluh (60) orang anggota biasa Bangsa Indonesia (tidak termasuk ketua dan ketua muda), yang kebanyakan dari pulau Jawa, tetapi terdapat beberapa dari sumatra, Maluku, Sulauwesi, dan beberapa orang peranakan Eropa, Cina Arab. Semuanya itu bertempat tinggal di Jawa, karena badan penyelidik itu diadakan oleh Saikoo Sikikan.

Rabu, 25 Juli 2018

Perumusan Pancasila Dasar Negara


Perumusan Pancasila Dasar Negara
A.     Proses Perumusan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara
Dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan dibentuklah BPUPKI pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, membahas tentang rumusan dasar negara. Tampil tiga tokoh tersebut sebagai berikut:
Pertama : Tanggal 29 Mei 1945 Moh. Yamin mengemukakan 5 dasar negara Indonesia Indonesia merdeka sebagai berikut (dalam pidato).
1.      Peri Kebangsaan
2.      Peri Kemanusiaan
3.      Peri Ke-Tuhanan
4.      Peri Kerakyatan
5.      Kesejahteraan rakyat
Pada akhir pidatonya beliau menyerahkan rancangan (secara tertulis)
1.      Ke-Tuhanan Yang maha Esa
2.      Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.      Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4.      Kerakyatan yang dipimpin  oleh hikmat kebijaksanaan dalam
5.      permusyawaratan/ Perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
Kedua: Tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr. Supomo mengemukakan usulan dasar negara Indonesia yaitu:
1.      Persatuan
2.      Kekeluargaan
3.      Kesimbangan lahir dan batin
4.      Musyawarah
5.      Keadilan rakyat
Ketiga: Tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya mengenai lima hal yang menjadi dasar negara merdeka, yaitu:
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme atau kemanusiaan
3.      Mufakat atau demokrasi
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Ke-Tuhanan yang berkebudayaan
  • BPUPKI dan Sidang BPUPKI
  • Proklamasi Kemerdekaan dan Sidang PPKI
·        Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan

B.     Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
            Dalam uraian ini yang dimaksudkan dengan Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia. Karena itu dalam uraian ini pokok pembahasannya akan disebutkan dalam satu nafas : “Pancasila Dasar Negara”. Pertanyaannya dalam rangka menegaskan identitas Pancasila ini adalah : Yang manakah rumusan Pancasila Dasar Negara yang otentik itu? Jawabannya adalah : Rumusan  Pancasila dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Maka segera dapat kita tanyakan pula : apakah dasar hukumnya kita mengatakan bahwa Pancasila yang otentik itu terdapat dalam pembukaan UUD 1945? Jawabannya adalah  berdasarkan pada :
1.      Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996, tanggal 5 Juni 1996.
2.      Ketetapan MPR No. V/MPR/1973, tanggal 22 Maret 1973
3.      Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tanggal 22 maret 1978. 

Penegasan mengenai tempat dimana Pancasila Dasar Negara itu dirumuskan serta juga rumusannya itu sendiri, dengan jelas tercantum di dalam Ketetapan MPRS No. XX Tahun 1966 yang diperkuat oleh Ketetapan MPR No. V Tahun 1966 dilengkapi dengan Ketetapan MPR No. II tahun 1978 yang sangat terkenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disebut juga Eka Prasetya Panca Karsa yang lebih dikenal dengan sebutan: “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”.

1.      Bung Karno dan Rumusan Pancasila

            Menurut kenyataannya perbincangan mengenai Pancasila dalam aspek sejarahnya, khususnnya yang menyangkut “hari lahirnya”, tidak dapat dilepaskan dari kontroversi mengenai tokoh Bung Karno. Karena itu kenyataannya itu harus dihadapi dengan terbuka dan transfaransi.Khalayak cenderung secara emosional mengaitkan “hari lahir” Pancasila itu dengan Pro dan Kontra Bung Karno. Sikap seperti itu jelaslah tidak menguntungkan bagi kejernihan persoalan.    Kiranya sikap yang tepat terhadap ”tokoh sejarah” adalah sikap yang seimbang, yang “balanced”. Terlepas daripada sikap umum pribadi kita masing-masing terhadap seorang tokoh sejarah, apakah senang atau tidak senang (dan hal ini adalah sesuatu hal yang wajar), namun kita seyogyanya menilai segenap prilaku dan peranan tokoh itu secara diskriminatif. Mana-mana yang kita nilai positif harus kita akui sedemikian, dan mana-mana yang kita nilai negatif, harus pula kita akui sedemikian.
            Khususnya mengenai Bung Karno, kiranya kita dapat menerima baik sikap Presiden Soeharto yang terungkap di dalam sambutan beliau pada upacara peresmian makam Bung Karno di Blitar pada tanggal 21 Juni 1997 yang mengatakan : “Karena itu sudah sepantasnya kita memberikan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya dan selama -lamanya kepada Proklamator Kemerdekaan itu.Memang, dengan ketetapan MPRS No. XXXIII Tahun 1967, MPR (S) sebagai penjelmaan Rakyat yang memegang kedaulatan negara telah mencabut kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno, karena beliau dinyatakan tidak dapat memenuhi pertanggung jawaban konstitusional, sebagaimana layaknya seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
            Itu adalah kenyataan sejarah dan kita tidak dapat meniadakan sejarah. Keputusan yang demikian diambil oleh rakyat yang memegang kedaulatan rakyat, justru harus rakyat yang menegakkan kehidupan Konstitusionil berdasarkan Undang-Undang Dasar 194, yang justru menjadi jaminan bagi kelangsungan dan kekokohan Negara Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tahun 1945. Dengan mengambil keputusan yang demikian, kita justru ingin memastikan terjaminnya wujud cita-cita Kemerdekaan.Namun adalah juga kenyataan sejarah, bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia . Ini adalah kenyataan sejarah . Dan kita tidak dapat meniadakan sejarah. Jadi pada satu pihak kita harus memberikan penghormatan dan penghargaan yang setinnggi - tingginya dan selama – lamanya kepada Bung Karno (dan Bung Hatta ) sebagai Proklamator Kemerdekaan kita dan juga atas jasa – jasa beliau berdua sebagai pemimpin–pemimpin Pergerakan Nasional yang mengantarkan Bangsa Indonesia kepada pintu gerbang Kemerdekaan dengan penuh pengorbanannya. Dilain pihak, Bung Karno telah pernah menjalankan kebijaksanaan yang dinilai tidak positif oleh Rakyat, sehingga kekuasaan Pemerintah Negara dicabut dari padanya, wajiblah kita belajar dari sejarah dan mencegah terulangnya kembali kekeliruan itu. Maka haruslah kita dalami, apa sesungguhnya yang dianggap negatif itu ? Jika kita dalami persoalannya, ternyata garis kebijaksanaan yang digugat itu menyangkut lembaran hitam sejarah bangsa ini yaitu peristiwa G-30-S/ PKI .
            Dalam Konsiderans Ketetapan MPRS No XXXIII / MPRS /1967 yang mengenai “Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno” itu tercantum antara lain adalah ; “Bahwa keseluruhan Pidato Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul “Nawaksara” dan Surat Presiden Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tertanggal 10 Januari No. 01/ Pres / 1967 tentang Pelengkap Nawaksara, tidak memenuhi harapan Rakyat pada umumnya, anggota – anggota Majelis Permusya-waratan Rakyat Sementara pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas pertanggungan jawab tentang kebijaksanaan Presiden mengenai Pemberontakan Kontra Revolusi G-30-S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan pemerosotan ahklak”..., dst.
Dalam Pasal 3 Melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan Politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini menarik kembali Mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan Pemerintah Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945”. Itu semuanya tidak enak untuk didengar oleh mereka yang mengikuti Bung Karno tanpa reserve, namun perlu diketengahkan sebagai faktor yang menjulang tinggi didalam persoalan pengamanan Pancasila dari ancaman Ideologi Marxisme – Leninisme sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ketetapan MPRS No. XXV / MPRS / 1996. Dengan demikian peranan Presiden Soekarno pada Jaman Orde Lama itu beliau memberikan keleluasaan bergerak kepada PKI, dengan menyingkirkan kekuatan–kekuatan Pancasilais yang dapat mengimbangi kaum komunis itu dengan predikat “kontra revolusioner”. “Marhaenis gadungan”, dan lain sebagainya,suatu kebijaksanaan yang akhirnya bermuara pada peristiwa  Lubang Buaya G-30-S/PKI.

2.      Proses Perumusan Dasar Negara

            Sekarang tiba saatnya kita menelusuri perumusan dasar negara kita Pancasila. Untuk Menghindarkan kesimpang – siuran yang justru ingin kita jernihkan, seyogyanya pada taraf ini nama Pancasila jangan dipersoalkan dulu.  Seperti kita ketahui bersama, proses perumusan dasar negara itu, berlangsung pada bagian akhir jaman pendudukan Jepang. Dalam rangka merangkul bangsa-bangsa Asia yang negerinya mereka duduki, orang jepang telah memberikan “kemerdekaan” kepada bangsa Birma dan Bangsa Fhilipina untuk menghadapi Inggris, sedangkan Fhilipina untuk menghadapi Amerika serikat. Tetapi Indonesia agak lambat akan diberi hadiah “Kemerdekaan” karena Indonesia ternyata tidak jadi merupakan front menghadapi Australia.
            Tetapi dalam rangka tahap terakhir strategisnya tatkala kekalahan sudah ada diambang pintu, Jepang akhirnya merasa perlu untuk memberikan “Kemerdekaan” kepada Bangsa Indonesia untuk memperoleh dukungannya dalam usaha perangnya. Menurut strateginya itu, mereka akan mengadakan pertahanan terakhir di Indonesia dan bertolak dari situ akan berusaha memperoleh dukungannya dalam usaha perangnya. Menurut strateginya itu, mereka akan mengadakan pertahanan terakhir di Indonesia dan bertolak dari situ akan berusaha memperoleh perdamaian yang merupakan hasil negosiasi. Segala Rencana itu akhirnya tidak terlaksana karena penggunaan Bom atom oleh orang Amerika telah memaksa orang Jepang menyerah tanpa syarat. Dalam pada itu Bangsa Indonesia telah menggenggam nasibnya ditangannya sendiri dan memproklamasikan kemerdekaanya lepas sama sekali dari setiap campur tangan pihak Jepang.Dalam rangka pemberian “kemerdekaan” itu pemerintah pendudukan Jepang di Jawa membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan penyelidik Persiapan Kemerdekaan. (Disingkat “Badan Penyelidik” ). Sejumlah tokoh-tokoh Indonesia dijadikan anggota badan itu, sedangkan dua orang lagi, yakni dr.Radjiman Wedyodiningrat dan R.P. Soeroso diangkat masing-masing menjadi Ketua dan Ketua Muda (merangkap Kepala Kantor atau Kepala Sekretariat) dengan seorang Jepang sebagai Ketua Muda yang lain.
            Pada tanggal 28 Mei 1945, Panglima Tentara Keenambelas Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Kumakici Harada, melantik para anggota Badan Penyelidik itu dan pada keesokan harinya dimulailah persidangan pertama yang berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni. Dalam kata pembukaan, Ketua dr.Radjiman Wedyodiningrat meminta pandangan para anggota mengenai dasar negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk itu. Ternyata ada tiga anggota yang memenuhi permintaan Ketua, yakni secara khusus membicarakan dasar negara, yakni berturut – turut Mr.Muh. Yamin (pada tanggal 29 Mei, yakni pertama dari sidang pertama), Prof.Dr. Supomo (pada tanggal 31 Mei) dan akhirnya Ir. Sukarno (pada tanggal 1 Juni, yakni hari terakhir daripada persidangan Pertama.
Muh. Yamin memulai pidatonya antara lain dengan kata-kata sebagai berikut: “……Kewajiban yang terpikul diatas kepala dan kedua belah bahu kita, ialah suatu kewajiban yang sangat teristimewa. Kewajiban untuk ikut ialah menyelidiki bahan-bahan yang akan menjadi dasar (kursif saya, NN) dan susunan negara yang akan terbentuk dalam suasana kemerdekaan ….”Jadi jelas bahwa pidatonya itu semata-mata adalah mengenai dasar negara dan yang bersangkutan dengan dasar negara.
           
Supomo memulai pidatonya dengan kalimat sebagai berikut : “Paduka Tuan Ketua, hadirin yang terhormat Soal yang kita bicarakan ialah, bagaimanakah akan dasar-dasarnya Negara Indonesia Merdeka” Sedangkan kata-kata penutupnya antara lain adalah “…. Sekian saja Paduka Tuan Ketua, tentang dasar-dasar yang hendaknya dipakai untuk mendirikan Indonesia Merdeka”…Dengan Demikian kiranya juga jelas, bahwa Supomopun memusatkan Pembicaraannya kepada dasar negara Indonesia merdeka.
           
Dari uraian di atas  dapat disimpulkan bahwa Bung Karno bukanlah orang pertama dan bukan orang yang satu-satunya yang menetengahkan suatu konsepsi mengenai dasar negara Indonesia merdeka. Keistimewaan pidato beliau pada tanggal 1 Juni itu adalah, bahwa kecuali berisi pandangan atau usul mengenai dasar negara Indonesia Merdeka, juga berisi usul mengenai nama Dasar negara itu, yakni Pancasila, Trisila, atau Ekasila. “Saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila……..”. Dan setelah menetengahkan kemungkinan diperasnya Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan,mana yang tuan-tuan pilih : Tri sila, Eka sila, atau Pancasila ?”. Jadi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila (disamping nama Trisila dan Ekasila yang terpilih).
            Dengan selesainya rapat tanggal 1 Juni itu selesailah pula seluruh persidangan pertama Badan Penyelidik. Rupa-rupanya telah dibentuk suatu panitia kecil dibawah pimpinan Bung Karno dengan anggota-anggota lainnya Bung Hatta, Sutardjo Kartohadi kusumo, Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandarhadinata, Muh. Yamin dan A.A.Maramis, kesemuanya berjumlah delapan orang, panitia kecil itu bertugas menampung saran-saran, usul-usul dan konsepsi-konsepsi para anggota yang oleh ketua telah diminta untuk diserahkan melalui Sekretariat. Pada rapat pertama persidangan kedua Badan Penyelidik pada tanggal 10 Juli 1945 Panitia Kecil itu dimintai laporan oleh Ketua Radjiman yang telah pula  dipenuhi oleh ketuanya Bung Karno.
            Panitia Kecil, seperti yang dilaporkan oleh ketuanya, pada tanggal 22 Juni mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan dengan 38 anggota Badan Penyelidik, yang sebagian diantaranya sedang menhhadiri sidang Cuo Sangiin (sebuah penasehat yang dibentuk oleh pemerintah Pendudukan Jepang). Pertemuan anatara Panitia Kecil dengan anggota-anggota Dokuritsu Junbi Cosakai”. Pada pertemuan itu telah ditampung lebih lanjut saran-saran dan usul-usul lisan dari pihak anggota badan Penyelidik.Pertemuan itulah yang telah membentuk sebuah panitia kecil lain, yang kemudian terkenal dengan sebutan Panitia Sembilan yang terdiri atas Bung Karno, Bung Hatta, Muh. Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyosodan Haji Agus Salim. Panitia Sembilan dibentuk karena kebutuhan untuk mencari modus antara apa yang mencari modus antara apa yang disebut “golongan Islam” dengan apa yang disebut “golongan kebangsaan” mengenai soal agama dan negara. Persoalan ini rupa-rupanya sudah timbul selama persidangan pertama, dan mungkin suda sebelumnya  juga. Panitia berhasil mencapai modus itu yang diberi bentuk suatu rancangan pembukaan hokum dasar. Inilah yang dikenal dengan nama yang diberikan oleh Muh. Yamin, yakni Piagam Jakarta.
            Rumusan Panitia Sembilan itu diterima baik dan dilaporkan oleh Panitia Kecil dan dilaporkan kepada sidang pleno Badan Penyelidik. Rapat itu kemudian membentuk sebuah Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang juga diketuai oleh Bung Karno dengan anggota-anggota lainnya A.A. Maramis, Oto Iskandardinata, Poeroebojo, Agus Salim, Ahmad Subardjo, Supomo, Maria Ulfah santoso, Wachid Hasjim, Parada harahap, Latuharhary, Susanto Tirtoprodjo, Sartono, Wongsonegoro, Wuryaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Husein Djajadiningrat dan Sukiman, seluruhnya berjumlah 19 orang. Kepada panitia inilah segala persoalan Undang-Undang Dasar diserahkan, termasuk soal pembukaan atau preambulenya.
            Dalam rapatnya tanggal 11 Juli, Panitia Perancang Undang-Undang dasar dengan suara bulat menyetujui isi Preambule yang diambil dari Piagam Jakarta. Selanjutnya dibentuk sebuah “panitia kecil perancang undang-undang dasar” yang diketuai oleh Prof. Dr. Supomo dengan anggota-anggota lain Wongsonegoro, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Singgih, Agus Salim dan Sukiman, Kesemuanya tujuh orang, diantaranya yang lima orang semuanya Sarjana Hukum. Dua hari kemudian, pada tanggal 13 Juli, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (yang lengkap) mengadakan sidangnya untuk menerima laporan panitia kecilnya. Kemudian dibentuk sebuah panitia penghalus bahasa yang terdiri atas Husein Djayadiningrat, Agus Salim dan Supomo untuk menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan undang-undang dasar yang sudah dibahas itu. Pada tanggal 14 Juli 1945 rapat pleno Badan Penyelidik dalam rangka persidangan keduanya dilanjutkan untuk menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Bung Karno selaku Ketua Panitia melaporkan tiga hasil panitia, yakni :
  1. Pernyataan Indonesia Merdeka
  2. Pembukaan Undang-Undang Dasar.
  3. Undang-Undang Dasarnya sendiri (batang tubuhnya)

Adapun Konsep pernyataan Indonesia Merdeka disusun dengan mengambil Tiga alinea pertama Piagam Jakarta dengan sisipan yang panjang sekali, terutama diantara alinea pertama dan alinea kedua. Sedangkan konsep pembukaan Undang-Undang dasar hampir seluruhnya diambil dari alenia ke empat (dan terakhir) Piagam Jakarta. Setelah didiskusikan kurang lebih satu jam lamanya, konsep pernyataan kemerdekaan dan konsep pembukaan Undang-Undang dasar itu diterima oleh sidang. Pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Soekarno Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersidang untuk secara resmi menyusun undang-undang dasar Indonesia Merdeka. Pada hari itu juga Panitia persiapan itu berhasil menetapkan secara sah Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang meliputi, baik Pembukaan maupun Batang Tubuhnya . Undang-Undang Dasar itulah yang kita  kenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar 1945 dan yang kini tetap berlaku dan yang telah kita ikrarkan untuk kita pertahankan sepanjang masa.
Adapun pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan itu adalah konsep yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang kemudian kita kenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Konsep itu diterima dengan suatu perubahan penting, yakni sila pertama dari pada dasar negara yang tercantum didalam Pembukaan itu, yang semula berbunyi : “Ke – Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya” diganti dengan : “Ketuhanan Yang Maha Esa”.Demikianlah keseluruhan proses perumusan Dasar Negara yang kini untuk selama-lamanya terpatri didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Marilah sekarang kita teliti tokoh-tokoh mana yang berperanan didalam proses perumusan.

C.     Penggali Utama Dasar Negara Indonesia Merdeka

Bung Karno bukanlah orang pertama dan satu-satunya yang mengajukan gagasan – gagasan mengenai dasar negara sesuai dengan permintaan Ketua Badan Penyelidik, Dr Radjiamn Wedyodiningrat. Sekurang – kurangnya ada dua orang lain yang juga mengajukan gagasan – gagasan mengenai dasar Negara, lagi pula pengajuannya lebih dulu dari Bung Karno yang menyampaikannya baru pada tanggal 1Juni 1945. Mereka itu adalah Mr. Muh Yamin yang mengajukan gagasan – gagasannya  pada tanggal 29 Mei dan Prof.Dr.Supomo yang mengajukan konsepsinya pada tanggal 31 Mei 1945

Bahwa Mr Muh.Yamin mengucapkan Pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945 pada rapat pertama  dalam rangka Persidangan Pertama Badan Penyelidik, Tidak ada seorang pun yang menyanggkal.Yang menjadi persoalan hanyalah apa yang dipidatokannya itu .Menurut pembacaan yang  cermat terhadap laporan notulistis sebagaimana yang termuat didalam buku Prof .Mr. H. Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang – undang dasar 1945, edisi 1, 1959, Muh. Yamin menyampaikan konsepsimya mengenai dasar negara itu secara lisan dan kemudian menyusulinya denagan suatu “ Rancangan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia” ‘ yang meliputi pula suatu pembukaan . Dapat kita lihat , bahwa rumusan dasar negara didalam pidato lisan dengan rumusan  dalam konsep tertulis Rancangan Undang – Undang Dasar itu berbeda. Ada pula yang mempertanyakan salah satu kalimat pada bagian akhir pidato Yamin pada tanggal 29 Mei itu. Yakni kalimat yang berbunyi : “Tuan Ketua ! Habislah pembitjaraan tentang asas kemanusiaan , kebangsaaan , kesejahteraan dan dasar jang tiga  ( kursif saya,NN) jang diberkati keracmatan Tuhan, yang akan dibentuk. Yang dimaksud Kn oleh Yamin dengan “dasar yang tiga” kiranya adalah permusyawaratan, perwakilan dan kebijaksanaan, yang sama – sama menjadi asa “Peri Kerakyatan”. Dengan demikian 5 asas yang disimpulkan oleh Yamin pada akhir pidato lisannya adalah : 1.Kemanusiaan, 2. Kebangsaaan, 3. Kesejahteraaan, 4. Peri kerakyatan, dan  5. Kerakhmatan Tuhan.

Adanya dua konsep dasar negara dari Muh. Yamin ini rupa-rupanya tidak diketahui secara luas dikalangan masyarakat. Juga tidak diketahui secara luas, bahwa yang mirip dengan rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta adalah rumusan M.Yamin yang tertulis. Rumusan yang lisan tidak terlalu mirip. Dalam Notulen Panitia Lima (Dr. Moh. Hatta, Prof. Mr. Ahmad Subardjo Djojoadisury, Mr. Alex Andrias Maramis, Prof. Mr. Abdul Gaffar Pringgodigdo, dan Prof. Mr. Sunario) atas pertanyaan Prof. Mr. Subardjo : “Pidato M.Yamin itu diucapkan tidak tanggal 29 Mei 1945?” Bung Hatta menjawab : “Diucapkan, tetapi bukan itu, ada pula pokok – pokoknya tetapi lain. Kalau inikan mengikuti Pancasila saja !” Tuduhan Bung Hatta kepada Muh. Yamin sebagaimana yang disampaikannya juga kepada saya, adalah bahwa rumusan Yamin yang mirip dengan rumusan yang autentik sekarang ini (yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) adalah konsep yang diucapkan didepan sidang panitia kecil. Konsep itu yang kemudian diakukan sebagai konsep yang disampaikan pada tanggal 29 Mei 1945. Ini menurut Bung Hatta. Nampaknya Bung Hatta tidak membedakan antara Konsepsi Yamin yang lisan dengan yang tulisan.
            Dengan mengakui Kredibilitas buku Muh. Yamin dan dengan memperhatikan interpretasi Bung Hatta, saya berpendapat, bahwa belum tentu Muh. Yamin telah beritikat begitu buruk. Yang terjadi menurut interpretasi saya adalah, bahwa pidato lisan Yamin itu ada dan memang juga ada dan isinya sama dengan yang tercantum dalam buku Yamin, serta juga diedarkan dalam bentuk tertulis kepada para anggota Badan Penyelidik. Ketika duduk dalam panitia kecil yang diketuai Bung Karno dan bertugas menampung saran, usul, konsepsi dan catatan segenap anggota yang telah diajukan,  Yamin juga membacakan rumusannya yang tertulis itu, karena ketua panitia memintanya untuk menyusun suatu preambule. Naskah Yamin itu rupa-rupanya yang menjadi kertas –kerja Panitia Sebilan untuk menyusun dokumen yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Dengan demikian terbukti, bahwa konsepsi Yamin merupakan (setidak-tidaknya salah satu) bahan bagi perumusan Piagam Jakarta yang dengan perubahan pada sila pertamanya akhirnya menjadi Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan autentik. Saya anggap terbukti pula, bahwa Yamin adalah orang pertama yang mengetengahkan konsepsi mengenai dasar negara dalam rapat badan Penyelidik (meskipun tanpa nama pancasila). Kiranya sukar untuk menyangkal, bahwa antara konsepsi lisan Yamin dengan konsepsi tulisannya tentulah ada korelasinya, bagaimanapun sifat korelasi itu.
            Demikian pula saya anggap terbukti, bahwa Prof. Dr. Supomo ada mengucapkan pidato mengenai dasar negara pada tanggal 31 Mei 1945. Tidak ada seorangpun yang pernah membantah hal itu. Saya juga percaya, bahwa isi pidatonya adalah seperti yang tertulis dalam buku Yamin . Kecuali kalau ada anggapan yang dicari-cari, bahwa Yamin telah memalsukan seluruh pidato Supomo itu dengan tujuan tertentu. Supomo adalah ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar . Prof. Ahmad Subardjo , salah seorang anggota Panitia Kecil itu, menyatakan kepada saya, bahwa arsitek dari pada batang tubuh UUD 1945 adalah Prof. Dr. Supomo, menurut lampiran buku Yamin ternyata pada tanggal 4 April 1942 Prof. Supomo bersama dengan Mr. Ahmad Subardjo dan Mr. A. A. Maramis telah pernah menyiapkan suatu naskah kerangka Undang-Undang Dasar untuk Indonesia. Dalam pada itu uraian Prof. Supomo selaku ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar didepan Sidang Badan Penyelidik begitu meyakinkan, sehingga tidak ada yang meragukan kepemimpinan intelektualnya di dalam Panitia itu. Lagipula penjelasan resmi UUD 1945 adalah buah tangan Prof. Supomo. Kalau kita lihat bahwa dasar-dasar yang diajukan Prof. Supomo untuk Indonesia Merdeka adalah “persatuan”, “kekeluargaan”, “keseimbangan lahir dan batin”, “Musyawarah” dan “keadilan Rakyat”, maka kiranya dapat kita simpulkan, bahwa konsepsinya telah pula memperoleh tempat didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
            Dari kesemuanya itu dapat disimpulkan, bahwa penggali utama dasar negara Republik Indonesia adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Bung Karno (menurut urutan Kronologisnya). Dengan demikian bearti bahwa Bung Karno adalah salah seorang penggali Pancasila Dasar Negara.Kesimpulan itu dapat pula ditarik dari laporan Panitia Lima  khususnya yang menyangkut jawaban yang diberikan atas pertanyaan dr. Radjiman Wedyodiningrat selaku Ketua Badan Penyelidik. “Terutama (kursif dari saya, NN) Bung Karno memberikan Jawabannya yang berisikan satu uraian tentang lima sila”. Kata “terutama” menunjukkan bahwa Bung Karno memberikan jawaban mengenai dasar negara (lampiran 10). Dalam pada itu Bung Hatta didalam “surat wasiat” kepada Guntur Soekarno putera menulis mengenai jawaban atas pertanyaan dr. Radjiman sebagai berikut: “Salah seorang daripada anggota Panitia penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia itu, yang menjawab pertanyaan itu ialah Bung Karno ………..”
“Salah seorang” berarti bukan  satu-satunya ! bahwa nama Pancasila dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945, kiranya tidak ada seorangpun yang mempersoalkan. Buktinya begitu menonjol, sehingga hal itu merupakan sesuatu “notoir feit”. Bahwa Bung Karno lah yang pertama dan satu-satunya yang mengucapkan suatu pidato pidato mengenai dasar negara Indonesia Merdeka sekaligus dengan usul nama Pancasila, kiranya juga tidak ada yang menyangsikan. Yang merupakan kontroversal adalah, bahwa ada orang yang mengatakan, bahwa pidato Bung Karno 1 Juni 1945, kiranya tidak ada seorangpun yang mempersoalkan. Buktinya begitu menonjol, sehingga hal itu merupakan sesuatu “notoir feit” Bahwa Bung Karnolah yang pertama dan satu-satunya yang mengucapkan suatu pidato mengenai dasar negara Indonesia Merdeka sekaligus dengan usul nama Pancasila, kiranya juga tidak ada yang menyangsikan. Yang merupakan kontroversial adalah, bahwa ada orang yang mengatakan, bahwa pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu adalah konsepsi yang pertama dan satu-satunya mengenai dasar negara yang akhirnya berkembang menjadi Pancasila Dasar Negara yang sah dan autentik sebagaimana yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai bagian daripada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah yang tidak terbukti. Kecuali jika kita mau menggelapkan pidato Muh. Yamin dan Supomo. Dalam pada itu Bung Karno sendiri dalam Pidato pada peringatan “lahirnya Pancasila” di Istana Negara pada tanggal 5 Juni 1958 berkata antara lain “ …….. saya buka pembentuk dan pentjipta Pantja sila, melainkan sekadar salah seorang penggali dari pada Panca – Sila itu.”
Jadi kalau ada orang yang mengatakan, bahwa tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila, maka kita harus menanyakan terlebih dahulu : Pancasila yang mana ?  Kalau jawabannya adalah Pancasila Bung Karno, maka hal itu dapat dibenarkan. Tetapi jika yang dimaksud dengan Pancasila adalah Pancasila Dasar Negara yang sah dan autentik (sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945), maka hal itu tidak benar. Karena Pancasila Dasar Negara itu tidak hanya bersumber kepada konsepsi-konsepsi lain, dalam hal ini konsepsi Yamin dan konsepsi Supomo, yang kemudian diolah oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehingga memperoleh bentuknya yang autentik sekarang ini.
Sebagai sejarawan ada sesuatu hal yang tercatat dalam rangka meneliti peranan pelbagai tokoh didalam sesuatu episode sejarah. Karena sejarah itu merupakan suatu ilmu yang sangat manusiawi dalam pendekatannya, karena baik obyek maupun subyeknya adalah manusia lagipula sumbernyapun adalah manusia, baik manusia sebagai penghasil sumber lisan maupun tulisan, maka faktor manusia dalam penelitian amat menonjol peranannya. Mengenai usaha mengusut penggali Pancasila Dasar Negara ini terasa betapa subyektifnya manusia, baik sebagai pelaku dan saksi, maupun manusia sebagai peneliti. Karena begitu menonjol dan menjulangnya tokoh Bung Karno, maka dikalangan pemujanya, seolah-olah tak ada tempat buat orang lain untuk berperanan disampingnya. Meskipun bukti-bukti sudah menumpuk, masih saja dicari dalih dan alasan untuk menyisihkan orang lain dari sisinya yang dikhawatirkan akan mengurangi kebesarannya. Seolah-olah Bung Karno akan berkurang kebesarannya hanya karena ada orang lain yang juga berperan disampingnya. Demikianlah peranan Muh. Yamin dan Supomo seolah-olah tidak ditolelir disamping peranan Bung Karno dan semua bukti kearah itu digilas.
Nampak pula betapa besar peranan suka –tidak-suka pribadi atau personal likes and dislikes dikalangan sesama pelaku sendiri. Nampak bahwa pribadi Yamin disoroti dengan sinar yang negatif, yang memberinya warna yang buruk dan menimbulkan kecurigaan terhadap intergritas wataknya. Dari sekian banyaknya wawancara , saya memperoleh kesan, bahwa Muh. Yamin memang mempunyai watak yang sulit. Ia rupa-rupanya tidak terlalu soepel dalam pergaulan. Ada yang mengatakan ia licik , pembohong, ada yang mengatakan ia adalah een vervelende vent dan lain-lain. Ada yang menyatakan, bahwa wajahnya itu saja sudah tidak menyenangkan.Sudah barang tentu personal equation (penilaian pribadi) terhadap sumber atau pengarang sumber adalah penting bagi sejarawan. Tetapi taraf popularitas pelaku sebagai sumber dikalangan orang-orang sejamannya tidaklah terlalu relevan bagi kredibilitasnya. Sejarawan wajib meneliti setiap kasus yang menyangkut seorang pelaku sebagai sumber hanya berdasarkan reputasinya (yang negatif) dikalangan orang-orang sejamannya.
Konkritnya, meskipun Muh. Yamin tidak disukai oleh Bung Hatta (yang terbukti dari pendapat beliau pada berbagai kesempatan termasuk dalam sidang-sidang Panitia Lima), dan juga tidak disukai oleh Dr. Rajiman Wedyodiningrat (yang terbukti dari sikapnya selama memimpin sidang-sidang Badan penyelidik khususnya ketika timbul persoalan mengenai usul keanggotaan Yamin didalam Panitia Perancang Undang-Undang Dasar), dan meskipun Yamin mempunyai karier politik yang berliku-liku, kesemuanya itu tidak mengurangi nilainya sebagai sumber atas dasar pengujian kita terhadap kredibilitasnya, khusus mengenai persoalan siapa saja penggali Pancasila Dasar Negara. Dan kesemuanya itu bukanlah karena secara pribadi menyukai Muh.Yamin ataupun menyukai Supomo dan sebaliknya secara pribadi tidak menyukai Bung Karno, melainkan semata-mata karena kewajiban professional sebagai sejarawan yang harus dipenuhi.
Dapat pula dikonstatasikan bahwa ada sejarawan yang sudah lupa pada ketentuan-ketentuan metode sejarah dan mencampuradukkan opini pelaku dengan fakta. Rupa-rupanya tidak diketahui beda antara point of fact dan point of opinion. Demikianlah ada yang menjejerkan sederetan nama-nama tokoh yang mengatakan, bahwa Bung Karnolah yang merumuskan Pancasila. Padahal tokoh-tokoh itu tidak menyaksikan jalannya sidang Badan Penyelidik. Artinya, mereka itu bukan saksi, sehingga keterangannya adalah opini, bukan fakta. Sejarawan wajib menguji setiap sumber atas kebijakannya sendiri.