Senin, 10 September 2012

Membangun Kinerja Guru dan Mutu Pendidikan Oleh: Hamid Darmadi




Harus diakui mutu guru berimplikasi terhadap mutu luaran suatu lembaga pendidikan, namun guru bukan satu-satunya komponen yang menentukan. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana mutu guru dianggap rendah dewasa ini?

Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran (Darmadi Hamid, 2010). Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara pada ketidakmampuan guru di dalam melaksanaan proses pembelajaran di sekolah, sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi kelemahan guru, maka hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada system yang berlaku kurang btepat, baik sengaja ataupun tidak disengaja berpengaruh terhadap permasalahan pendidikan.

Membicarakan pendidikan ibarat meramu fenomena hidup yang tidak pernah usai. Pendidikan selalu menarik dan memberi gairah untuk dibicarakan. Selain sebagai bagian kehidupan yang amat fundamental, juga menyangkut investasi masa depan suatu bangsa. Karena menariknya, tidak heran jika banyak orang yang urung rembuk membicarakannya. Bahkan orang yang tidak memahami seluk beluk pendidikan sekali pun sangat berani melontarkan komentar mengenai pendidikan dan berbagai masalahnya. Beberapa waktu lalu dunia pendidikan dikejutkan oleh fenomena kegagalan siswa dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Kini akan dihadapi lagi dengan berbagai kontraversi. Berbagai kalangan pun angkat bicara dan mengarahkan telunjuk kepada sasaran yang sepanjang zaman selalu menjadi kambing hitam, yakni guru.

Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan, bagaimana kinerja guru bisa berdampak kepada pendidikan yang bermutu. Kita melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan kurikulum pendidikan yang sering berubah, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru professional.

Guru mendapat hadiah luar biasa berupa tuduhan yang sangat memojokkan eksistensinya. Bahkan tidak sedikit pernyatan yang bernada memilukan (mungkin sekaligus memalukan) yang diarahkan kepada profesi yang teramat mulia dengan predikat oleh masyarakat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Seorang "pengamat" dalam dialog Radio Celebes beberapa tahun lalu mengemukakan dengan nada amat sinis bahwa bagaimana guru akan berhasil mengajar jika yang ada dalam pikiran guru hanya pelunasan pembayaran kredit/cicilan barang-barang untuk pemenuhan kebutuhan karena ingin mengikuti gaya hidup masa kini, sementara mereka belum mampu.

Pernyataan Sekretaris Forum Pengkajian Aspirasi Guru (FK-PAGI) Makassar (di sebuah media, beberapa waktu lalu menanggapi kegagalan siswa dalam UAN sebagai akibat dari rendahnya mutu guru, dan berbagai pernyataan lainnya yang arahnya sama menunjuk guru sebagai komponen yang paling bertanggung jawab atas kegagalan siswa dalam UAN. Berbagai pernyataan yang sangat konstruktif dilontarkan atas fenomena ini perlu disambut baik untuk dapat disikapi secara bersama. Kita harus mengakui kegagalan itu. Namun, ada yang menggelitik naluri keguruan penulis sehingga tergerak untuk menyatakan kembali kearifan pendidikan kita dan mendudukkannya pada kerangka acuan yang sesungguhnya. Harus diakui bahwa peran guru dalam dunia pendidikan sangat besar. Akan tetapi, pendidikan harus dilihat sebagai suatu sistem, yang setiap komponen memegang peran yang sangat penting.

Undang Undang Sisdiknas pasal 7,8, dan 9 sangat jelas mengamanatkan bahwa pendidikan adalah kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan pemerintah daerah. Selain itu, dalam paradigma belajar mungkin perlu dipertegas kembali bahwa pembicaraan perihal belajar dan mengajar tidak dapat dilepaskan dari siswa-guru. Ada hal menarik yang dapat dicermati apabila dua kutub ini diperbincangkan lebih jauh. Kenyataan masih tetap menunjukkan bahwa sentra belajar berada pada guru, sedangkan siswa lebih dimaknai sebagai objek yang diajar. Masih dianggap bahwa hidup matinya siswa dan ada di tangannya. Guru berposisi sebagai orang serba tahu sedangkan siswa senantiasa ada dalam jurang ketidaktahuan.

Berdasarkan kenyataan tersebut muncul gambaran bahwa siswa belajar apabila guru mengajar. Akan tetapi, justru sebaliknya yang sangat penting untuk dinyatakan adalah guru belum mengajar kalau siswa belum belajar atau guru baru dapat mengajar apabila siswa belajar. Pandangan pembalikan yang penting tersebut tampaknya bersifat lebih arif. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa kegiatan mengajar adalah kegiatan yang sebenarnya lebih bermakna mengkondisikan agar peristiwa belajar berlangsung.

Kenyataan tersebut tidak berbeda dengan paham kaum konstruktivisme yang menyatakan bahwa belajar adalah peristiwa ketika pebelajar (orang yang belajar) secara terus-menerus membangun gagasan baru atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Dalil tersebut sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa titik pusat hakikat belajar sebagai pengetahuan pemahaman terwujud dalam bentuk pemberian makna oleh pebelajar pada pengalamannya melalui berbagai bentuk pengkajian yang memerlukan pengerahan berbagai keterampilan kognitif dalam mengolah informasi yang diperoleh melalui indra. Oleh karena itu, kegiatan belajar bergeser dari menerima informasi ke arah membangun pengetahuan. Wawasan pebelajar yang harus dikembangkan tidak hanya wawasan kognitif saja tetapi juga menyentuh wawasan afektif, psikomotor, dan metakognitif yakni kemampuan tentang belajar bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn).Yang menarik dari konsep di atas adalah bahwa guru bukan jaminan siswa menjadi pandai.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan seperti sekarang ini menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi sisi tawar di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak terhadap kinerja guru yang bersangkutan. Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negative kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadikan kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan perilaku pendidikan yang diuharapkan. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan, tanpa itu sukar bagi guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini, dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.
Seandainya karena guru siswa menjadi pandai, maka bisa jadi semua siswa akan pandai karena tidak seorang pun guru yang tidak menghendaki anaknya pandai, kecuali kalau guru itu "guru palsu". Logika dan cara pandang sederhana dapat dibuktikan kekuatan guru dalam mutu pendidikan, ketika suatu kondisi diubah di mana semua guru sekolah unggulan yang berpasilitas memadai, misalnya, dipindahkan ke sekolah daerah sangat terpencil yang sangat minim fasilitas dengan siswa tetap, maka apakah terjadi perubahan signifikans dari mutu kedua sekolah tersebut? Jawabannya tentu dapat diramalkan bahwa, kita tidak bisa berharap banyak dari guru yang bagus dengan sarana minim plus siswa dengan potensi seadanya. Berangkat konsep dan dari ilustrasi di atas, tidak arif kiranya jika penyebab kegagalan pendidikan selalu dihujamkan hanya kepada guru.

Selama ini mungkin memang kita kurang rasional dalam melihat persolan pendidikan. Penilaian terhadap pendidikan masih dipandang sebagai bentuk sepenggal-sepenggal. Bisa jadi selama ini pemahaman bahwa pendidikan sebagai sebuah sistem hanya sebagai teori. Implikasinya, kita tidak berpikir rasional untuk membangun pendidikan dengan menganut pemahaman kekuatan sistem. Kalau kita sepakat bahwa pendidikan sebagai suatu sistem, maka pertanyaan mendasar adalah sejauh mana setiap komponen memainkan perannya dalam membangun pendidikan? Sejauh mana pemerintah mengarahkan kepedulian terhadap pembangunan pendidikan? Sejauh mana masyarakat termasuk orang tua memberi kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan, dan bagaimana kualitas guru dalam mengembang tugas kependidikan? Termasuk bagaimana kesiapan input pendidikan kita untuk diproses menjadi autput yang handal? Dalam tulisan singkat ini dicoba membedah eksisitensi komponen pendidikan untuk melihat di mana letak subtansi permasalah yang dihadapi pendidiksan kita agar tidak hanya menjadikan guru sebagai kambing hitam. Kepediulian Pemerintah

Dalam konteks komitmen, banyak aspek yang terkait pada tataran membangun pendidikan. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa perangkat pendidikan tanggung jawab pemerintah. Mari kita tengok perangkat pendidikan dewasa ini. Sejauh mana sarana dapat memberi kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidik? Sarana perpustkaan, buku ajar, gedung sekolah, laboratorium, apakah sudah memberi kontribusi cukup untuk menjamin mutu pendidikan? Apakah ratusan gedung sekolah yang tidak layak merupakan pencerminan kepedulian?

Pertanyaan ini tentu tidak perlu dijawab tetapi perlu pikiran rasional untuk melihat fenomena yang ada. Yang kerap menjadi nada sumbang bagi para praktisi pendidikan sejati adalah perhatian/kepedulian pemerintah yang sangat minim dalam membangun pendidikan. Penghargaan terhadap bidang pendidikan masih sangat rendah di banding bidang lainnya seperti olahraga dan seni. Selain itu, kesungguhan pemerintah untuk melakukan investasi pada bidang pendidikan untuk kemamjuan bangsa ini belum sepenuh hati. Ini terbukti dari prioritas pembiayaan pendidikan yang masih sangat rendah. Apakah kondisi ini sudah cukup mendapat kajian mendalam sehubungan dengan pendefenisian mutu pendidikan kita?

Jawabnya tentu terpulang pada pikiran rasional kita.
Partisipasi Masyarakat Kita semua adalah masyarakat. Apa yang telah kita berikan kepada pendidikan? Bukankah selama ini justru masyarakat menyatakan pertanyaan sebaliknya: Apa yang telah diberikan pendidikan kepada masyarakat? Kontribusi apa telah diberikan masyarakat, termasuk orang tua untuk membangun pendidikan: dana, tenaga, pikiran? Sejau hmana masayarakat dan orang tua menjadi mitra sekolah untuk membangun pendidikan?. Cara pandang ini tentu harus didudukkan pada kerangka yang sesungguhnya bahwa pendidikan adalah kewajiban bersama seluruh komponen bangsa. Masayakat diharapkan menjadi pemilik, penyedia, dan penyelenggara pendidikan baik langsung maupun tidak langsung. Sekolah adalah milik masyarakat. Dengan demikian, jika sekolah tidak berhasil menelorkan alumni yang unggul tentu juga merupakan kegagalan masyarakat. Sebuah ironi yang selalu diusung oleh para politisi yang seperti pahlawan kesiangan adalah sekolah gratis. Ini sangat bertentangan dengan filosofi pendidikan. Negera sedang berkembang seperti Indonesia belum saatnya gratis. Masyarakat diharapkan berpartisipasi secara maksimal yang tentunya dengan sistem yang tidak kaku. Selama ini memang banyak persoalan karena sistem yang kaku tidak menganut konsep partisipasi tetapi kewajiban mutlak sehingga membuat masyarakat merasa berat. Kalau ditata dengan sistem yang baik maka tidak ada yang merasa berat karena kata partisipasi memberi kekuatan untuk tidak ada yang berat. Meskipun tidak selamanya mutu hasil/luaran suatu sekolah ditentukan oleh inputnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bibit yang unggul dapat menghasilkan buah yang unggul jika prosesnya unggul.

Pertanyaannya sekarang adalah sejau hmana masyarakat dan orang tua memahami dan merasa bertanggung jawab atas kualitas input tersebut? Kegiatan penerimaan siswa baru (PSB) saja, selalu menjadi masalah karena orang tua tidak memberi kontribusi positif. Sistem penerimaan murid baru yang telah dirancang dengan baik, misalnya umur tertentu, tetapi orang tua tetap memaksakan kehendak untuk menggunakan cara-cara non prosedural. Belum lagi banyaknya praktik masuk sekolah lewat jendela. Semua ini berarti orang tua/masyarakat tidak memberi kontribusi positif terhadap upaya menciptakan input yang baik untuk diproses dalam suatu sekolah, akibatnya tentu berdampak pada output yang berimplikasi pada mutu pendidikan.

Jika masyarakat mendukung sistem ini dengan kesadaran sebagai tanggung jawab bersama, tentu kita dapat mengurangi dampak dari input yang kurang bermutu sehingga dapat diproses dengan baik dan menghasilkan luaran dengan baik. Harus diakui bahwa mutu guru berimplikasi terhadap mutu luaran suatu lembaga pendidikan, namun guru bukan satu-satunya komponen yang menentukan. Pertanyaannya sekarang adalah; sejauh mana mutu guru dianggap rendah dewasa ini? Cara pandang dan indikator apa, serta data apa yang digunakan untuk dapat menyatakan mutu guru kita rendah? Yang pasti dewasa ini adalah jumlah guru memang masih sangat sedikit dibanding dengan rasio siswa. Berbicara menganai guru, tentu tidak terlepas pula dari peran dan komitmen pemerintah termasuk masyarakat. Mutu dan jumlah guru, sangat ditentukan oleh kepedualian pemerintah, orang tua, dan masyarakat sebagaimana amanat UU Sisdiknas. Sejauh mana kontribusi pemerintah, masyarakat dan orang tua terhadap persoalan guru?

Dalam suatu pertemuan ilmiah bersama dengan staf ahli mendiknas beberapa waktu silam, ada pertanyaan rasional dan menggelitik dalam kaitannya dengan mutu pendidikan yang dilontarkan salah seorang bahwa: Apa yang dapat diharapkan jika di sebuah sekolah desa terpencil yang hanya ada dua orang guru dari enam kelas, dengan fasilitas yang amat sederhana? Staf ahli menteri hanya manggut-manggut membayangkan fenomen yang banyak terjadi seantero negeri ini. Ini pertanda permakluman yang menyatakan secara rasional hakikat permasalahan yang dihadapi pendidikan, karena pertanyaan seperti itu tentu tidak membutuhkan jawaban secara politis jika hendak membangun pendidikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi kita akan mengahadapi empat taraf otonomi dalam pendidikan kita yang membutuhkan waktu yang cukup panjang yaitu pra formal, formal, transisional, dan otonomi. Jika kita menengok standar pelayanan minimal pendidikan (SPM), rasanya SPM pendidikan yang telah diteorikan oleh pemerintah masih sangat jauh dari kemungkinan untuk terealisai. Apa maknanya semua itu? Tentu merupakan jawaban pasti penyebab rendahnya mutu pendidikan. Jika diurai, di dalam SPM sangat jelas terlihat bahwa semua komponen mempunyai peran yang penting dalam menentukan mutu pendidikan. Ini juga memberi indikasi bahwa pendidikan dewasa ini memang cukup rumit dan masih harus merangkak tertatih-taih menuju arah yang labih baik, jika kita tidak membangun pendidikan sebagai sebuah sistem yang utuh.

Demikian beberapa pikiran rasional melihat wajah pendidikan kita yang oleh banyak kalangan dinyatakan masih suram. Penting untuk direnungkan, bahwa kita adalah masyarakat, kita adalah pemerintah, kita adalah orang tua semua adalah penentu wajah pendidikan kita, bukan hanya guru. Mari kita mendukung eksistensi guru dan tidak mengkambingh hitamkannya dengan partisipasi serta mengarahkan kepdualian yang tinggi penuh tanggung jawab moral-kemanusiaan, selain sebagai tanggung jawab sebagai warga negara. Nyatakan dalam nurani: Apa yang dapat kita berikan untuk pendidikan, jangan tanyakan apa yang akan diterima dari pendidikan. Kesadaran akan pendidikan seperti ini semoga dapat memunculkan kuncup-kuncup baru dengan masa depan yang lebih baik. Siapa pun pemerintah, siapun masyarakat, anak-anak kita harus memperoleh pendidikan yang terbaik, karena hanya dengan pendidikan kita dapat mengubah wajah bangsa ini.Semoga. Penulis adalah Ketua Dewan Pendidfikan Provinsi Kalimantan Barat



Minggu, 09 September 2012

KINERJA, PENINGKATAN MUTU DAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN




A.   KINERJA GURU
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran (Darmadi Hamid, 2010). Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara pada ketidakmampuan guru di dalam melaksanaan proses pembelajaran di sekolah, sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi kelemahan guru, maka hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada system yang berlaku kurang btepat, baik sengaja ataupun tidak disengaja berpengaruh terhadap permasalahan pendidikan.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan, bagaimana kinerja guru bisa berdampak kepada pendidikan yang bermutu. Kita melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan kurikulum pendidikan yang sering berubah, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru professional.
Kinerja guru juga sangat ditentukan oleh output atau keluaran dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK juga memiliki tanggungjawab yang signifikan dalam menciptakan guru berkualitas, yang pada suatu ketika berdampak kepada pembentukan SDM yang berkualitas pula (Darmadi Hamid,2010). Oleh sebab itu LPTK juga memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru seperti yang disebutkan diatas, berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk SDM mandiri, cerdas, bertang-gungjawab dan berkepribadian. Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnnya kinerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada dipersekolahan. Kinerja guru yang positif akan terbentuk bilamana masing-masing struktur memiliki tanggungjawab dan memahami tugas dan kewajiban masing-masing.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan seperti sekarang ini menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi sisi tawar di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak terhadap kinerja guru yang bersangkutan. Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negative kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadikan kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan perilaku pendidikan yang diuharapkan. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan, tanpa itu sukar bagi guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini, dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebih lanjut.
Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indicator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu indicator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja guru. Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal di dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar, pembimbing dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, hal ini secara akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.
Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi pembelajaran.

Kinerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan ketinggalan, dan kerdil dalam ilmu pengetahuan. Pada kondisi kini kita dihadapkan pada era global, yang semuanya serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif. Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan semangat kerja yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini.

B.   PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
            Tuntutan terhadap lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga  pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleksitas, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan perlunya “Paradigma baru pendidikan” yang difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu (Wirakartakusumah,1998).

1.    Mutu Pendidikan
Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa  yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.
 
2.    Otonomi Pendidikan
Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti  sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/ staf non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya,  paling tidak bahwa guru/ pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
3.    Akuntabilitas Pendidikan
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya.
 
4.    Akreditasi Pendidikan
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan. Hasil akreditasi perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan independen yang berwenang. Pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).
 
5.    Evaluasi Pendidikan
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal dan eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara berkesinambungan.
 
C.   MENGHASILKAN MUTU PENDIDIKAN
Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan oleh para pendidik dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1.    Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2.    Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3.    Setiap pimpinan harus berorientasi  pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu  dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus.
4.    Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, haruslah dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.
 
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis,1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut.  Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary  external customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal  dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).
Seperti  disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan kebutuhan dan harapan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.
 
 
D.   TEKNOLOGI INFORMASI DAN PROFESIONALISME GURU
Hampir semua orang sependapat bahwa teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk,  teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian.  Sebagai teknologi, kedua sisi tersebut keberadaanya sangat tergantung pada pemakainya.
Adi Sasono (1999) mengidentifikasi beberapa kenyataan berikut yang bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya,  karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami kemandekan informasi akibatnya bisa terjadi fatal  berupa :
1.    Teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi disisi lain hirarki sosial yang ada dapat dipertahankan oleh teknologi dan bahkan diperkuat lagi.
2.    Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat mengundang atau  sebaliknya meniadakan kontribusi insani. Pemakaian secara tidak tepat akan suatu teknologi dapat mengarah pada “dehumanisasi”.
3.    Komputer sebagai suatu teknologi bisa terancam fungsinya sebagai alat otomasi yang ditujukan untuk memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja dalam mengambil keputusan. Sebaliknya sistim yang dirancang secara demokaratis akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi kemandirian masyarakat.
4.    Komputer sebagai teknologi dapat digunakan untuk mengotomasi produksi sehingga membebaskan manusia dari upaya-upaya fisik proses produksi yang membosankan. Disisi lain, komputer juga dapat digunakan untuk mengintegrasikan mesin dan pekerja pada tingkat keterlibatan intelektual dan produtifitas yang lebih tinggi, yang disebut dengan istilah “to informate”. Istilah ini bukan sekedar alternatif bagi otomatisasi dalam makna yang umum, namun lebih merupakan suatu cara yang lebih baik dalam otomatisasi yang mempertimbangkan potensi sumberdaya insani dalam lingkungan kerja bersama-sama dengan mempertimbangkan potensi teknikal komputer secara sinergis.
 
Menurut Adi Sasono (1999) revolusi teknologi informasi yang pesat telah mengaburkan batas-batas tradional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong permaknaan ulang perdagangan dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek kehidupan, pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertaiment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.
Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan  komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks ( Sasono, 1999).
Pada dasarnya, adanya teknologi informasi telah memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah, terjangkau, dan memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat. Teknologi yang semacam ini harus dimiliki oleh rakyat secara luas untuk dapat membantu rakyat mengorganisir diri secara modern dan efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat terbesar .

            Dalam rangka  meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi seperti diatas adalah sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak.  Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian ini. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. FKIP dan STKIP yang mempersiapkan tenaga pendidikan/ keguruan harus mampu melakukan tindakan  yang tepat, sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi  dan kebutuhan masyarakat.
        Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Salah satu dari kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan menggunakan teknologi informasi yang terus-menerus berkembang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan  masyarakat. Keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional. Disinilah  peran Perguruan Tinggi seperti FKIP. STKIP dan Organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting.  Kerjasama antara keduanya menjadi sangat diperlukan. FKIP dan STKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, selain harus bekerjasama dengan lembaga profesi guru, dan alumni (baik secara kelembagaan maupun secara personal).
Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi  guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
 
E.    Tantangan Dunia Pendidikan
Salah satu esensi dari proses pendidikan tidak lain adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, haruslah komunikatif. Dalam komunikasi pada umumnya, demikian pula dalam pendidikan, informasi yang tepat disajikan adalah informasi yang dibutuhkan , yakni yang bermakna, dalam arti : (1) secara ekonomis menguntungkan. (2) secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada, dan (4)  sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada
Konsep “bermakna” ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat diserap dan dilaksanakan sasaran/peserta didik. Karena itu, Williams (1984) menyebutkan bahwa komunikasi adalah saling pertukaran simbol-simbol yang bermakna. Williams menekankan bahwa : (1) kita tidak dapat saling bertukar makna, (2) kita hanya secara fisik bertukar simbol, dan (3) komunikasi tidak akan terjadi, kecuali kita berbagi makna untuk simbol-simbol tertentu.
Dalam memberikan/menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya kepada peserta didik), bukan informasi yang kita ketahui yang disampaikan, tetapi yang kita sampaikan adalah informasi yang benar-benar bermakna dan dibutuhkan sasaran. Informasi yang dibutuhkan dan bermakna adalah informasi yang mampu membantu/mempercepat pengambilan keputusan untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki. Untuk itulah maka, pemilihan informasi harus benar-benar selektif dengan mempertimbangkan jenis teknologi mana yang tepat dipilih sebagai medianya.
Sejarah, kini dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih efisien.  Dalam dunia pendidikan, revolusi informasi akan mempengaruhi jenis pilihan teknologi dalam pendidikan, bahkan, revolusi ini secara pasti akan merasuki semua aspek kehidupan (termasuk pendidikan). Inilah yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu. Siapkah lembaga pendidikan kita menyambutnya?!
Dunia pendidikan harus  menyiapkan seluruh unsur  dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan yang tepat teknologi informasi  (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Bagi lingkungan lembaga kependidikan seperti FKIP dan STKIP, penerapan teknologi dalam pendidikan di era global informasi tidak lain adalah bentuk aplikasi jenis-jenis  teknologi informasi mutakhir dalam praktek pendidikan. Proses belajar mengajar yang menerapkan  teknologi informasi mutakhir dapat berupa penggunaan media elektronik seperti radio, TV, internet dan sistim jaringan komputer, serta bentuk-bentuk teledukasi lainnya.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
 

PENUTUP
Memperhatikan uraian di atas, maka untuk peningkatan mutu pendidikan dan lulusan FKIP dan STKIP yang mampu mengikuti tuntutan perkembangan perlu dirumuskan suatu sistem manajemen mutu pendidikan guru yang tepat.
Sebagai suatu rambu-rambu, lembaga pendidikan tenaga kependidikan haruslah mengikuti arah paradigma baru pendidikan yaitu mengedepankan layanan mutu dengan membuka diri terhadap penerapan prinsip otonomi pendidikan, siap menerapkan akuntanbilitas publik, siap diakreditasi bahkan mengusahakannya, dan dari waktu ke waktu melakukan evaluasi diri untuk perubahan yang lebih baik  agar menghasilkan suatu lembaga dan lulusan yang bermutu. FKIP dan STKIP harus melakukan usaha-usaha mendasar manajemen mutu yakni memperhatikan segala tuntutan dan kebutuhan “stakeholder”, mendorong motivasi instrinsik dalam lembaga untuk mengejar mutu, dan secara terus menerus melakukan perbaikan, serta menjalin kerjasama dari semua unsur yang terlibat dalam proses pencapaian mutu tersebut. FKIP dan STKIP harus mampu membawa  semua unsur intern lembaga menempatkan diri sebagai  lembaga “jasa” yang harus  dapat “melayani” fihak-fihak yang  berkepentingan menjadi terpuaskan dan terlayani kebutuhannya dengan baik.
Adanya revolusi teknologi informasi, mendorong bagi FKIP dan STKIP untuk meningkatkan profesionalisme lulusan melalui usaha-usaha penyiapan calon guru/tenaga kependidikan lainnya untuk dapat menguasai dan menyesuaikan terhadap tuntutan perubahan akibat revolusi teknologi informasi tersebut. Kesiapan dan keterbukaan akan terjadinya pola hubungan peserta didik – guru, teknologi instruksional dan lain-lainnya, harus diantisipasi melalui perubahan-perubahan didalam FKIP dan STKIP itu sendiri.
Kerjasama FKIP dan STKIP dengan organisasi profesi (seperti PGRI) dan alumni sangatlah penting, terutama dalam merumuskan dan meningkatkan kompetensi guru, termasuk memberikan layanan “inservice training” bagi guru-guru/tenaga kependidikan lainnya yang memerlukan penyegaran kemampuannya.
Dalam fungsi lembaga pendidikan sebagai penyampai informasi, FKIP dan STKIP perlu memilih media-media pendidikan yang tepat agar selalu dapat mengejar ketinggalan dengan mengacu pada informasi yang dibutuhkan dan bermakna bagi peserta didik (Darmadi Hamid,2010). Untuk itu, maka pilihan atas teknologi informasi yang mutakhir sudah menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Darmadi Hamid (2010) Kemampuan Dasar Mengajar : Konsep Dasar Teori dan Praktek Bandung; Alfabeta
Karsidi, Ravik, 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah di Pondok Assalam, Surakarta 19 Februari.
Sasono, Adi, 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Malakah Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan,  Hotel Sangri-La, Jakarta 5-7 Desember.
Sallis, Edward, 1993. Total Quality Management in  Education, Kogam Page, London.
Slamet, Margono, 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, IPB Bogor.
William, Frederick, 1984. The News Communication, Los Angeles : Wadsworth, Inc.
Wirakartakusumah, 1998. Pengertian Mutu Dalam Pendidikan, Lokakarya MMT IPB, Kampus Dermaga Bogor, 2-6 Maret