DAYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO
(1)
Oleh : HAMID DARMADI*)
Praogram Studi PPKn
Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan
Sosial IKIP-PGRI Pontianak
Jln Ampera No.88 Pontianak 78116
Email:hamiddarmadi@gmail.com
Email:singakancau@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini berjudul “Keseharian Suku Dayak
Asal-Usul dan Penyebarannya di “Bumi Borneo” Kalimantan. Kehadiran tulisan ini
bertujuan mengungkapkan asal usul dan budaya Dayak sebagai salah satu suku
“Asli” yang mendiami “Pulau Borneo” (Kalimantan).. Borneo
terbagi berdasarkan wilayah Administratif masing-masing terdiri dari:
Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan ibu kotanya
Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, Kalimantan Barat ibu
kotanya Pontianak, dan Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor. Suku Dayak,
terbagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub suku
Dayak mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, sesuai dengan sosial
kemasyarakatannya, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak
Malaysia sebagai negara serumpun. Dayak berasal dari kata “Daya” yang artinya
hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan. Suku Dayak memiliki kesamaan
ciri-ciri budaya yang khas antara lain seperti; mandau, sumpit, beliong, rumah
betang/rumah panjang (rumah radank) dan lain-lain. Ciri-ciri khas Dayak lainnya seperti; kepemilikamn
senjata, dan seni budayanya. Agama asli suku Dayak Kaharingan, yang merupakan
agama asli yang lahir dari budaya nenek moyang orang Dayak. Sebagian masyarakat
Dayak masih memegang teguh kepercayaan akan adanya benda-benda gaib pada
tempat-tempat tertentu seperti batu-batuan, pohon-pohonan besar, tanam-taman
dihutan, danau, lubuk, dan lainnya yang menurut kepercayaan mereka memiliki “kekuatan
gaib” dari Jubata dan Batara. Keseharian
hidup orang Dayak secara umumnya berladang, bertani dengan ritualnya. Ketika akan membuka lahan
untuk berladang, bertani mereka mengadakan
ritual kepada Puyang Gana (penguasa tanah), Raja Juata (penguasa Air), Kama”
Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan lain-lain. Disi lain Suku Dayak juga memiliki
upacara “Tiwah” Tiwah adalah ritual yang dilaksanakan untuk mengantar
tulang-belulang orang yang sudah meninggal ke Sandung.
Kata
Kunci: Keseharian,Dayak,Asal-Usul,Seni budaya,Penyebarannya dan Borneo
ABSTRACT
This article titled "Daily Dayak Origin and Spread
in" Earth Borneo "Kalimantan. The presence of this paper aims to
reveal the origin and culture as one of the Dayak tribe "Original"
inhabiting "Borneo Island" (Kalimantan). Borneo is divided by region Administrative, each
consisting of: capital Samarinda in East Kalimantan, South Kalimantan capital
Banjarmasin, the capital of Central Kalimantan Palangkaraya, the capital of
Pontianak in West Kalimantan, and North Borneo Tanjung Selor its capital. Dayak
tribes, divided into 405 sub-sub-tribe (J.U.Lontaan, 1974). Each sub Dayak
customs and cultures have similar, according to the social kemasyarakatannya
both Dayak Dayak in Indonesia as well as in Sabah and Sarawak Malaysia as
allied countries. Dayak is derived from the word "Power" which means
upstream, to mention the people who live in rural or inland. The Dayaks have a
common cultural traits typical among others such as; saber, chopsticks,
beliong, betang / long house (rumah radank) and others. Dayak characteristics
such as; kepemilikamn weapons, and cultural arts. Dayak indigenous religion
Kaharingan, which is the original religion born of the cultural ancestors of
the Dayak. Most of the Dayak people still uphold the belief in the existence of
things unseen in certain places such as rocks, trees were large, plant-park
forest, lakes, pools, and other according to their beliefs have a "magic
power" of Jubata and Batara. Daily life of the Dayaks in general farming,
farming to the ritual. When will open the land for farming, farming they hold a
ritual to Puyang Gana (ruler of the land), King Juata (ruler Air), Kama
"Baba (ruler Army), Jobata, Apet Kuyangh and others. Other Disi Dayak also
have the ceremony "Tiwah" Tiwah is a ritual performed to usher in the
bones of the deceased to Sandung.
Keywords: Daily, Dayak, Origins, arts culture, Spread and Borneo
PENDAHULUAN
Dayak
merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan terbagi
berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing
terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan
ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan
Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung
Selor.
Suku
Dayak, terbagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub
suku Dayak mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, sesuai dengan sosial
kemasyarakatannya,adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas pada
masing-masing sub suku tersebut, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah
dan Sarawak Malaysia.
Etnis
Dayak Kalimantan (J.U. Lontaan, 1974 menyebutkan, terdiri dari 6 suku besar dan
405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh daerah pedalaman Kalimantan.
Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah
berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku
Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga
menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku
Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan
Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama
seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama
tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah
Kabupaten Sintang kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit
(Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak
Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju, Desa dan lainnya, yang
memiliki latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.
Suku
Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah pedalaman Kalimantan baik yang
hidup wilayah Indonesia maupun yang domisili di Sabah Sarak Malaysia. Mereka
hidup menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami
pesisir pulau Kalimantan. Menurut sejarahanya, suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan
Dayak, sering disebut "Nansarunai Usak Jawa",
yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman.
Sebagian besar suku Dayak yang memeluk agama Islam tidak lagi mengakui
dirinya sebagai orang Dayak, tetapi menyebut dirinya sebagai orang “Melayu”
atau orang “Banjar”. Sedangkan orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam
kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan. DiKalimantan
Selatan misalnya mereka , bermukim disekitar daerah Kayu Tangi, Amuntai,
Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi
terus masuk rimba. Orang Dayak yang
memeluk agama Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat adalah seorang Dayak
Maanyan atau Ot Danum. (Sejarah Asal Usul Suku Dayak Kalimantan) namanya di
abadikan sebagai nama Universitas
Lambung Mangkurat di Banjarmasin. (Fridolin Ukur,1971)
Berikut
ini ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara
hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman
sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah
satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal
mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
Upacara Tiwah. Upacara
Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang
dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung
yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang
dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi Suku
Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang
sudah meninggaltersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak
sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai
akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Orang-orang
Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati. Tidak ada orang Dayak di
pulau lain selain Kalimantan, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baik
di pantai-pantai maupun dibagian daratan Akan tetapi tatkala orang Melayu dari
Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang orang Dayak menyingkir lama
kelamaan bertambah jauh ke daerah pedalaman Kalimantan disatu sisi. Disisi lain
masyarakat Dayak memiliki tradisi berladang berpindah. Dari tahun ketahun
mereka mencari hutan yang dinilai subur untuk berladang dan befrcodok tanam
sebagai mata pencaharian demikian seterusnya. Akhirnya tahun berganti tahun,
puluhan tahun, ratusan tahun dan bahkan puluh ribuan tahun akhirnya hampir
seluruh daerah pelosok pedalaman Kalimantan tidak ada yang lepas dari hunian
orang dayak. (Mikhail Coomans 1987: 3: Tjilik Riwut 1993: 231)
Masing-Masing
orang Dayak menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain,
kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan
kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian
Sub eknis Dayak satu dengan lainnya
memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan
sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun mereka
pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol
seseorang (kehormatan) orang Dayak.
Sebagai
catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam
acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat,
dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan
atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses
pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi
pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin
banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin
sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya.
Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami
mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau
sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi
serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.
Etnisitas dan
Keberagamaan Masyarakat Dayak
Kalimantan
Tengah memiliki etnisitas yang relatif berbeda di bandingkan dengan Kalimantan
Barat dan daerah lainnya. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah
adalah ethnis suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dan lain sebagainya.
Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di
Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya sebagai orang Dayak, demikian
juga bagi Dayak yang beragama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan
Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya
setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena
Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika
dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan
cabang agama Hindu.
Provinsi
Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan
suatu culture religius bagi
masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan
tiga suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Tionghua (Cina), Dayak, Melayu . (TIDAYU).
Ada batik TIDAYU da nada tarian TIDAYU. Pada mulanya orang Dayak mendiami daerah
pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing,
kemudian datang pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan
tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian
karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar
barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di
masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang
mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungannya. (sejarah asal usul suku
Dayak).
Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi
masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan
baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual
beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan
Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab
Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai
terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah lebih dahulu
mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena
hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal, ada yang menaruh
simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama
Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada masa
penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu yang kemudian mulai
menyebar di seluruh daerah Kalimantan Barat.
Dayak Muslim
Masyarakat
Dayak yang masuk Islam dan yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut
dengan ”Senganan”, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim
dirinya dengan sebutan orang Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang
mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai
karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah
yang mereka segani. Seiring dengan perkembangan social masyarakat dan kemajuan pengetahuan,
masyarakat Dayak yang beragama islam menyebut dirinya istilah “Dayak Muslim”.
Hal ini patut diberikan apresiasi yang tinggi. Ini artinya mereka sudah kembali
kefitrahnya yaitu “orang Dayak”. Agama boleh berbeda, etnis boleh tidak sama
tetapi asal usul tidak boleh dilupakan sebagai manifestasi dari berbeda-beda namun
tetap satu “Bhinneka Tunggal Ika” itulah Indonesia raya.
Seni Budaya
1. Ciri-Ciri Tari Dayak
Berdasarkan Wilayah Penyebarannya
Orang
Dayak di Kalimantan Barat terbagi atas sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh
kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno
Linguistik dan cirri cultural
gerak tari Dayak di Kalimantan Barat dibagi menjadi empat (4) kelompok besar,
dan kelompok kecil sebagai berikut:
1.
Kendayan/Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe),
Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten
Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Sambas dan sekitarnya. mempunyai
gerak tari, enerjik, stakato, keras.
2.
Ribunic/Jangkang Group/Bidoih/Bidayuh : Dayak
Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn,Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll.
Wilayah penyebarannya di Kabupaten
Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
3.
Iban/Ibanic Group:Dayak Iban dan sub-sub
kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup,
Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten
Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau/malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten
Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas
Hulu, Sarawak, Sabah (Malaysia) dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak
pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
4.
Banuaka "Group : Taman, Tamambaloh dan subnya,
Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri
gerak mirif kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
5.
Kayaanik, punan, bukat dll.
Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih
banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan
berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali
/ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah Kabupaten Ketapang. Dayak
Kabupaten Ketapang, Daerah simpang seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan,
daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning daerah
Manjau dan sekitarnya.
Dayak
Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas, Kabupaten
Bengkayang dan sekitarnya. Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga
Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kabupaten Melawi, yaitu:
dayak Keninjal (mayoritas tanah pinoh antara lain desa ribang rabing, ribang semalan,
madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll) dayak Kebahan (antara lain desa: poring,
nusa kenyikap, Kayu Bunga, dan lain-lain yang memiliki tari alu dan tari
belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga
taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa
balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat, nyanggai,
nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung,
ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di
desa batu buil, sungai raya dll), dayak seberuang (antara lain didesa tanjung
rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok Kalteng), Leboyan. (Sejarah
asal-usul Dayak Kalimantan Barat: J, U. Lontaan Hukum Adat dan Adat Istiadat
Kalimantan Barat 1974),).
2.
Kepercayaan akan Benda-Benda Gaib
Secara
geografik masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan akan tempat-tempat
tertentu, benda-benda tertentu seperti batu-batu, pohon-pohon besar, danau,
lubuk (air sungai yang dalam) dan lain-lainnya ada penguasanya, yang mereka
sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan
yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan
Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana (penguasa tanah), Raja Juata
(penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan
lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya dan
budaya aslinya, sambil mencari tanah yang subur untuk berladang dan bercocok
tanam mereka memisahkan diri masuk hutan keluar hutan semakin jauh kepedalaman
Kalimantan. Semakin subur tanah dan hutan-hutan lebat, semakin banyak mereka
berkumpul guna mempersiapkan diri untuk berladang dan bercocok tanam
3. Tari “Ajat Temuai
Datai” (Tari Menyambut Tamu)
"Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak
Mualang, Dayak Kantuk dan Dayak Desa (Ibanic Group), yang tidak dapat
diartikan secara langsung, karena terdapat kejanggalan jika di diartikan kata
per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan/Permohonan dengan menggelar
ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya: tamu, Datai artinya: Datang.
Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari yang di dalamnya terdapat
Upacara Adat dalam prosesi menyambut tamu atau Tari Menyambut tamu. bertujuan untuk
penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya
kesenian ini yakni dari masa pengayauan/masa lampau, diantara kelompok-kelompok
suku Dayak.
4.
Ngayau
Mengayau,
berasal dari kata “me dan ngayau”. Me berarti melakukan aksi, Ngayau:
pemenggalan kepala musuh, tindakan memenggal kepala musuh (Mengayau terdapat
dalam bahasa Dayak Iban dan Ibanik, juga pada masyarakat Dayak pada umumnya).
Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang
mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala
lawannya (mengayau terdiri dari berbagai macam adatnya seperti: Kayau banyau/ramai/serang,
Kayau Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau
tidak lebih dari tiga orang. Dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari
pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia, merupakan tamu
yang diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi
kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat
Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat atau kekuatan
jiwa yang dapat melindungi siempunya dan sukunya. ( J, U. Lontaan 1974),
Ada
empat tujuan mengayau yaitu: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan
tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu
bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh
memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa
Dayak disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!!!, sebanyak
tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan
memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga
kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh
korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan
apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda
nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan atau kepala
suku agar mempersiapkan acara penyambutan.
Proses
penyambutan ini, melalui empat babak yakni: 1. Ngunsai Beras (menghamburkan
beberapa beras di depan para Bujang Berani / Ksatria / Pahlawan, sambil
membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong), 2.Mancong Buloh yaitu;
Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau
di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai. 3.Ngajat Ngiring Temuai: menari
mengiringi tamu atau memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah
panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari
dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai. 4.Tamak’ Bilik (memasuki rumah
panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu
di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat, setelah melalui prosesi
babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud
menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat ( mengembalikan
semangat perang), kemudian baru diadakan Gawai palak' acara ini untuk
menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian
yang disebut: Tari Ayun Palak, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa
Panglima /Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau),
Tuwak Pangkar Begili (Tidak Pernah Mundur,strateginya jika terkepung, memutar
dan menyerang), Tuwak Sangau Sibi (Setiap saat ingin Mengayau), Tuwak Tali Aran
( senang koleksi kepala musuh semampunya dalam mengayau ),Tuwak Lang Ngindang (selalu
mengintai tempat - tempat pertahanan musuh terlebih dahulu seperti elang, jika
terkepung ia akan meloncat dan melayang mengikuti angin) dan lain sebagainya. (key
Informan: Tokoh Masyarakat Kumpang Bis Belitang Tengah dll.)
5. Pakaian Adat Dayak
Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi terluas di
Indonesia. Luas wilayahnya yang mencapai 146.807 km² (7,53% luas daratan
Indonesia) membuat provinsi ini terluas ke 4, setelah Irian Jaya, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Tengah. Luasnya wilayah Kalimantan Barat membuat
penduduknya memiliki asal-usul yang sangat heterogen. Akan tetapi, suku yang
paling dominan di Provinsi ini adalah suku Dayak dan Suku Melayu. Kedua suku
ini mempengaruhi bagaimana kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang
Kalimantan Barat. Pengaruh tersebut misalnya dapat kita lihat dari pakaian adatnya.
Pakaian Adat Kalimantan Barat Di masa silam, penduduk Kalimantan Barat
mengenakan pakaian adat yang sangat sederhana. Pakaian adat Kalimantan Barat
tersebut bernama King Baba dan King Bibinge. Berikut
ini disuguhkan Pakaian adat Dayak dan Pakaian adat Melayu Kalimantan.
Pakaian
Adat Dayak Pakaian
Adat Melayu
1. Pakaian Adat untuk
Laki-laki Pakaian adat Kalimantan Barat untuk Laki-laki bernama King Baba.
Dalam bahasa Dayak, King berarti pakaian dan Baba berarti laki-laki. Pakaian
ini terbuat dari bahan kulit kayu tanaman ampuro atau kayu kapuo. Kedua jenis
kayu ini adalah tumbuhan endemik Kalimantan yang mempunyai kandungan serat
tinggi.
2.
Untuk membuat king baba, kulit kayu tersebut dipukul-pukul
menggunakan palu bulat di dalam air, sehingga hanya tertinggal seratnya saja.
Setelah lentur, kulit tersebut kemudian dijemur dan dihias dengan
lukisan-lukisan etnik khas Dayak menggunakan bahan pewarna alami. Kulit kayu
dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai rompi tanpa lengan dan sebuah
celana panjang. Sebagai hiasan, serat kulit kayu tersebut juga dibuat menjadi
semacam ikat kepala. Sebagai pelengkap hiasan, biasanya laki-laki adat suku
Dayak di Kalimantan Barat juga akan menyelipkan sehelai bulu burung enggang,
burung khas Borneo yang kini mulai langka. Tak lupa, senjata tradisional berupa
mandau dan perisai juga dikenakan, terlebih ketika mereka hendak berperang.
Oleh karena itu, tak jarang pakaian adat Kalimantan Barat ini juga dikenal dengan
nama pakaian perang.
Burung Enggang atau disebut
juga Rangkong adalah burung dengan paruh menyerupai tanduk sapi dengan warna cerah.
Burung ini merupakan burung endemik di wilayah Kalimantan. Burung Enggang yang di sakralkan orang Dayak
di lukiskan sebagai berikut:
Burung Enggang
3.
Pakaian Adat Perempuan Sama seperti pakaian laki-laki,
pakaian adat Kalimantan Barat untuk para perempuan juga dibuat dari bahan dan
cara yang sama. Namun, desainnya lebih sopan dengan perlengkapan antara lain
penutup dada, stagen, kain bawahan, serta berbagai pernik lain seperti kalung,
manik-manik, dan hiasan bulu burung Enggang di kepalanya. Beberapa perhiasan
lain yang dikenakan di antaranya: Jarat tangan (gelang tangan) adalah gelang
yang dibuat dari pintalan akar tanaman tengang untuk dikenakan di tangan
sebagai penolak bala. Kalung dari bahan-bahan seperti akar kayu atau kulit
(tulang) hewan sebagai penangkal gangguan dari roh-roh halus, terutama sering
digunakan pada bayi. Beragam jenis gelang, di antaranya tjuk bulu tantawan,
tajuk bulu area, kalung manik lawang, galling gading, galang pasan manik,
galang pasan, sa’sawak tali mulung, sa’sawat pirak kurumut, dan posong. Oleh
masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat, kedua jenis pakaian ini selalu
dikenakan baik saat menjalani aktivitas harian, seperti bertani, berburu, atau
saat melakukan upacara adat. Adapun karena bahan-bahannya yang cenderung panas
dan kurang nyaman dikenakan, pakaian adat ini seiring berjalannya waktu mulai
ditinggalkan. Kemajuan peradaban dan pengaruh dari luar daerah membuat
masyarakat Dayak di Kalimantan Barat mulai mencoba beragam jenis pakaian lain
yang lebih nyaman. Beberapa di antaranya adalah: Bulang Buri dan King Buri
adalah pakaian adat yang dibuat dari buri atau kulit kerang laut. Pakaian King
Kabo’ adalah pakaian dari bahan kulit kayu yang hanya berupa cawat dengan
hiasan manik-manik atau pita-pita rumbai.
Pakaian King Tompang adalah pakaian dari bahan kain berwarna
polos yang mulai dikenal sejak ada interaksi dengan orang Melayu. Pakaian
Indulu Manik adalah pakaian dari kain dengan tempelan manik-manik sebagai
hiasan. Buang Kuureng adalah baju kurung dengan lengan panjang berbahan kain
beludru. Dan masih banyak lagi, di antaranya pakaian Bulang Kawat, King Tatak,
Bulang Panosokan, Bulang Kontong. Nah, demikianlah beberapa jenis pakaian adat
Kalimantan Barat dan keterangannya. Dari beragam jenis pakaian di atas, saat
ini yang masih tetap lestari adalah King Baba dan King Bibinge. Kedua pakaian
ini hingga sekarang tetap digunakan terutama oleh suku-suku Dayak Kubu yang
masih tinggal di pedalaman dan bertahan hidup secara nomaden.
6. Dunia Supranatural.
Dunia
Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri menyebut Dayak
sebagai pemakan manusia (kanibal). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah
suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya
Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk
seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur
dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
7.
Mangkok Merah.
Mangkok
merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang
Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima" atau sering
suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang
berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat
sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima
Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan
supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu
bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok
merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima bertindak
memimpin acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai
perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh
pangkalima lalu jika pangka lima tersebut ber Tariu" (memanggil roh
leluhur untuk meminta bantuan dan menyatakan perang) maka orang-orang Dayak
yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya
orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang
yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana
perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di
simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka
kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut
makin sakti.
Mangkok
merah terbuat dari teras bambu (terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam
bentuk bundar. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya
seperti ubi jerangau merah (acorus
calamus) yang melambangkan keberanian (bisa diganti dengan beras kuning),
bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (bisa diganti
dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon
sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai
lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan
dibungkus dengan kain merah.
Menurut
kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari
mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat
ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang
sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak diturunkan dari
langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau" (Palangka artinya
suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari
emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang"
)
8.
Upacara
Tiwah
Sandung rid755.wordpress.com
Upacara Tiwah merupakan satu acara
adat suku Dayak. Tiwah adalah ritual yang dilaksanakan untuk pengantaran
tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di disiapkan sebelumnya.
Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk
menyimpan tulang belulang orang yang sudah meninggal.
Bagi suku Dayak, Upacara Tiwah
adalah momen yang sangat sakral. Pada acara Tiwah ini, sebelum
tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke
tempatnya (Sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong
maupun hiburan lain. sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di
tempatnya (Sandung).
9.
Mandau Sebagai Senjata
Khas Dayak
a. Bilah Mandau
Bilah
mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang
seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya
berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi
lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat
digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi
baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan
lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari
batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta
hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya
dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat
bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi.
Kayu
yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin (sebagian menyebutnya
kayu belian). Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka
besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian,
ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang
hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah
terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi
pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman
dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang
pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat
bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga
mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau
dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
b. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang
(hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung.
Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga,
paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan
berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau
ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial
pemiliknya.
c.
Sarung Mandau
Sarung
mandau biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang
berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai
penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang,
burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau
juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel
pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Nilai Budaya Pembuatan
mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang
pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi
masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni),
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari
bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan
keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari
proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa
nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan
sarat makna.
Semoga
tulisan ini bermanfaat dan berkontribusi melestarikan budaya bangsa yang ber
Bhinndka Tunggal Akhir.Punahnya beberapa adat
budaya dan kesenin harusnya semakin menyadarkan kita sebagai penerus bangsa
untuk tetap melestarikannya. Ini agar anak cucu kita kelak tetap dapat
mengenali budaya yang telah diwariskan nenek moyang di masa Lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred Russel Wallace, 1986. Kepulauan nusantara. Sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam. Jakarta: Komunitas Bambu.
Davis, Joseph Barnard (1867). Thesaurus craniorum: Catalogue of the
skulls of the various races of man, in the collection of Joseph Barnard Davis. Printed for the subscribers.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka.
End, Th. van den (1987). Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita:
sejarah gereja di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-188-2.ISBN 978-979-415-188-4
Foreign missionary chronicle 5.
Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian
Church. p. 87.
Haris, Syamsuddin
(2004). Desentralisasi dan otonomi daerah:
Naskah akademik dan RUU usulan LIPI. Yayasan
Obor Indonesia. p. 188. ISBN 979-98014-1-9.ISBN 978-979-98014-1-8.
J.U.Lontaan
(1974) Sejarah, hukum adat, dan adat istiadat Kalimantan-Barat Ed. 1. Published Pemda Tingkat I Kalbar, Penyalur tunggal, Pilindo Pontianak.
J.U.
Lontaan, (1975). Sejarah hukum
adat dan adat istiadat Kalimantan Barat. Jakarta:
Bumi Restu.
Lathief. H., Upacara adat
kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 -
Social Science - 220 pages
Leeming, David Adams
(2010). Creation myths of the world: an
encyclopedia 1 (2 ed.). ABC-CLIO. p. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9.
MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7.
Schulze, Fritz; Holger Warnk
(2006). Insular Southeast Asia: linguistic and
cultural studies in honour of Bernd Nothofer. Otto
Harrassowitz Verlag. p. 47. ISBN 3447054778. ISBN 9783447054775.
Tegg, Thomas (1829). London encyclopaedia; or, Universal
dictionary of science, art, literature and practical mechanics: comprising a
popular view of the present state of knowledge 4. Printed for Thomas Tegg.
p. 338.
Tjilik
Riwut, (2003). Sanaman mantikei
manaser panatau tatu hiang. Menyelami kekayaan leluhur. Palangkaraya:
Pusaka Lima.
C Wahyu Haryo dan Fandri
Yuniarti. (2010) Meski
di pedalaman mereka punya ponsel.
Tersedia di http://cetak.kompas.com. (Diakses tanggal 6
Maret 2010).
Oktavianus Oki. (2010) Dayak
bukan pemakan manusia. Tersedia di http:// dayakblogs. blogspot.com. (Diakses
tanggal 6 Maret 2010).
http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bx.html Ethnicity and territory in the late colonial imagination
Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan
timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS
Pelangi Aksara. p. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja
Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung
Mulia. p. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9.
Sellato, Bernard (2002). Innermost Bornéo: studies in Dayak
cultures. NUS Press. p. 19. ISBN 2914936028.ISBN 978-2-914936-02-6.
Steenbrink, Karel A. (2003). Catholics in Indonesia, 1808-1942: A
modest recovery 1808-1903. KITLV Press.
p. 149. ISBN 9067181412.ISBN 978-90-6718-141-9
Taburan Penduduk dan Ciri-ciri Asas
Demografi (PDF). Jabatan Perangkaan Malaysia. 2011. ISBN 9789839044548 Check |isbn= value
(bantuan). Diakses tanggal 27 Agustus2012.
The London review of politics, society,
literature, art, & science 11. J.K. Sharpe (1865). p. 121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar