Kamis, 02 Maret 2017

http://2.bp.blogspot.com/_D1O2Qmlc1Kk/SqCYABhXBrI/AAAAAAAAABQ/fm5rL81LPkE/S660/DayakWarrior-Tryatna+Anto_Dreamstime.jpg 

 

 

 

 



DAYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO (1)

Oleh : HAMID DARMADI*)
Praogram Studi PPKn
Fakultas Ilmu Pendidikan dan Pengetahuan Sosial  IKIP-PGRI Pontianak
Jln Ampera No.88 Pontianak 78116
Email:hamiddarmadi@gmail.com
Email:singakancau@gmail.com

ABSTRAK
Tulisan ini berjudul “Keseharian Suku Dayak Asal-Usul dan Penyebarannya di “Bumi Borneo” Kalimantan. Kehadiran tulisan ini bertujuan mengungkapkan asal usul dan budaya Dayak sebagai salah satu suku “Asli” yang mendiami “Pulau Borneo” (Kalimantan).. Borneo terbagi berdasarkan wilayah Administratif masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, dan Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor. Suku Dayak, terbagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub suku Dayak mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, sesuai dengan sosial kemasyarakatannya, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak Malaysia sebagai negara serumpun. Dayak berasal dari kata “Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan.   Suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas antara lain seperti; mandau, sumpit, beliong, rumah betang/rumah panjang (rumah radank) dan lain-lain.  Ciri-ciri khas Dayak lainnya seperti; kepemilikamn senjata, dan seni budayanya. Agama asli suku Dayak Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya nenek moyang orang Dayak. Sebagian masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan akan adanya benda-benda gaib pada tempat-tempat tertentu seperti batu-batuan, pohon-pohonan besar, tanam-taman dihutan, danau, lubuk, dan lainnya yang menurut kepercayaan mereka memiliki “kekuatan gaib” dari Jubata dan Batara.  Keseharian hidup orang Dayak secara umumnya berladang, bertani  dengan ritualnya. Ketika akan membuka lahan untuk berladang, bertani  mereka mengadakan ritual kepada Puyang Gana (penguasa tanah), Raja Juata (penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan lain-lain.  Disi lain Suku Dayak juga memiliki upacara “Tiwah” Tiwah adalah ritual yang dilaksanakan untuk mengantar tulang-belulang orang yang sudah meninggal ke Sandung.

Kata Kunci: Keseharian,Dayak,Asal-Usul,Seni budaya,Penyebarannya dan Borneo

ABSTRACT
This article titled "Daily Dayak Origin and Spread in" Earth Borneo "Kalimantan. The presence of this paper aims to reveal the origin and culture as one of the Dayak tribe "Original" inhabiting "Borneo Island" (Kalimantan). Borneo  is divided by region Administrative, each consisting of: capital Samarinda in East Kalimantan, South Kalimantan capital Banjarmasin, the capital of Central Kalimantan Palangkaraya, the capital of Pontianak in West Kalimantan, and North Borneo Tanjung Selor its capital. Dayak tribes, divided into 405 sub-sub-tribe (J.U.Lontaan, 1974). Each sub Dayak customs and cultures have similar, according to the social kemasyarakatannya both Dayak Dayak in Indonesia as well as in Sabah and Sarawak Malaysia as allied countries. Dayak is derived from the word "Power" which means upstream, to mention the people who live in rural or inland. The Dayaks have a common cultural traits typical among others such as; saber, chopsticks, beliong, betang / long house (rumah radank) and others. Dayak characteristics such as; kepemilikamn weapons, and cultural arts. Dayak indigenous religion Kaharingan, which is the original religion born of the cultural ancestors of the Dayak. Most of the Dayak people still uphold the belief in the existence of things unseen in certain places such as rocks, trees were large, plant-park forest, lakes, pools, and other according to their beliefs have a "magic power" of Jubata and Batara. Daily life of the Dayaks in general farming, farming to the ritual. When will open the land for farming, farming they hold a ritual to Puyang Gana (ruler of the land), King Juata (ruler Air), Kama "Baba (ruler Army), Jobata, Apet Kuyangh and others. Other Disi Dayak also have the ceremony "Tiwah" Tiwah is a ritual performed to usher in the bones of the deceased to Sandung.

                    Keywords: Daily, Dayak, Origins, arts culture, Spread and Borneo





PENDAHULUAN
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor.
Suku Dayak, terbagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub suku Dayak mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, sesuai dengan sosial kemasyarakatannya,adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas pada masing-masing sub suku tersebut, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak Malaysia.
Etnis Dayak Kalimantan (J.U. Lontaan, 1974 menyebutkan, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh daerah pedalaman Kalimantan. Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju, Desa dan lainnya, yang memiliki latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.
Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah pedalaman Kalimantan baik yang hidup wilayah Indonesia maupun yang domisili di Sabah Sarak Malaysia. Mereka hidup menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Menurut sejarahanya, suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut "Nansarunai Usak Jawa", yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.
Sebagian besar suku Dayak yang memeluk agama Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tetapi menyebut dirinya sebagai orang “Melayu” atau orang “Banjar”. Sedangkan orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan. DiKalimantan Selatan misalnya mereka , bermukim disekitar daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus masuk rimba. Orang Dayak yang memeluk agama Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat adalah seorang Dayak Maanyan atau Ot Danum. (Sejarah Asal Usul Suku Dayak Kalimantan) namanya di abadikan sebagai  nama Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin. (Fridolin Ukur,1971)
Berikut ini ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
Upacara Tiwah. Upacara  Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah meninggaltersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati. Tidak ada orang Dayak di pulau lain selain Kalimantan, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baik di pantai-pantai maupun dibagian daratan Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang orang Dayak menyingkir lama kelamaan bertambah jauh ke daerah pedalaman Kalimantan disatu sisi. Disisi lain masyarakat Dayak memiliki tradisi berladang berpindah. Dari tahun ketahun mereka mencari hutan yang dinilai subur untuk berladang dan befrcodok tanam sebagai mata pencaharian demikian seterusnya. Akhirnya tahun berganti tahun, puluhan tahun, ratusan tahun dan bahkan puluh ribuan tahun akhirnya hampir seluruh daerah pelosok pedalaman Kalimantan tidak ada yang lepas dari hunian orang dayak. (Mikhail Coomans 1987: 3: Tjilik Riwut 1993: 231)
Masing-Masing orang Dayak menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian Sub eknis Dayak  satu dengan lainnya memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun mereka pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan) orang Dayak.
Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Etnisitas dan Keberagamaan Masyarakat Dayak
Kalimantan Tengah memiliki etnisitas yang relatif berbeda di bandingkan dengan Kalimantan Barat dan daerah lainnya. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dan lain sebagainya. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya sebagai orang Dayak, demikian juga bagi Dayak yang beragama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan cabang agama Hindu.
Provinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan tiga suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Tionghua (Cina), Dayak, Melayu . (TIDAYU). Ada batik TIDAYU da nada tarian TIDAYU. Pada mulanya orang Dayak mendiami daerah pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datang pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungannya. (sejarah asal usul suku Dayak).
            Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah lebih dahulu mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada masa penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu yang kemudian mulai menyebar di seluruh daerah Kalimantan Barat.

Dayak Muslim
Masyarakat Dayak yang masuk Islam dan yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan ”Senganan”, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan orang Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani. Seiring dengan perkembangan social masyarakat dan kemajuan pengetahuan, masyarakat Dayak yang beragama islam menyebut dirinya istilah “Dayak Muslim”. Hal ini patut diberikan apresiasi yang tinggi. Ini artinya mereka sudah kembali kefitrahnya yaitu “orang Dayak”. Agama boleh berbeda, etnis boleh tidak sama tetapi asal usul tidak boleh dilupakan sebagai manifestasi dari berbeda-beda namun tetap satu “Bhinneka Tunggal Ika” itulah Indonesia raya.

Seni Budaya
1.    Ciri-Ciri Tari Dayak Berdasarkan Wilayah Penyebarannya 
Orang Dayak di Kalimantan Barat terbagi atas sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat dibagi menjadi empat (4) kelompok besar, dan kelompok kecil sebagai berikut:
1.    Kendayan/Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Sambas dan sekitarnya. mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.
2.    Ribunic/Jangkang Group/Bidoih/Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn,Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya  di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
3.    Iban/Ibanic Group:Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau/malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Sarawak, Sabah (Malaysia) dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
4.    Banuaka "Group : Taman, Tamambaloh dan subnya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirif kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
5.    Kayaanik, punan, bukat dll.
            Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali /ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah Kabupaten Ketapang. Dayak Kabupaten Ketapang, Daerah simpang seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning daerah Manjau dan sekitarnya.
Dayak Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas, Kabupaten Bengkayang dan sekitarnya. Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal (mayoritas tanah pinoh antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll) dayak Kebahan (antara lain desa: poring, nusa kenyikap, Kayu Bunga, dan lain-lain yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat, nyanggai, nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak seberuang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok Kalteng), Leboyan. (Sejarah asal-usul Dayak Kalimantan Barat: J, U. Lontaan Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974),).

2.    Kepercayaan akan Benda-Benda Gaib
Secara geografik masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan akan tempat-tempat tertentu, benda-benda tertentu seperti batu-batu, pohon-pohon besar, danau, lubuk (air sungai yang dalam) dan lain-lainnya ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana (penguasa tanah), Raja Juata (penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya dan budaya aslinya, sambil mencari tanah yang subur untuk berladang dan bercocok tanam mereka memisahkan diri masuk hutan keluar hutan semakin jauh kepedalaman Kalimantan. Semakin subur tanah dan hutan-hutan lebat, semakin banyak mereka berkumpul guna mempersiapkan diri untuk berladang dan bercocok tanam

3.    Tari “Ajat Temuai Datai” (Tari Menyambut Tamu)
            "Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang, Dayak Kantuk dan  Dayak Desa (Ibanic Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karena terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan/Permohonan dengan menggelar ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya: tamu, Datai artinya: Datang. Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari yang di dalamnya terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut  tamu atau Tari Menyambut tamu. bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan/masa lampau, diantara kelompok-kelompok suku Dayak.

4.    Ngayau
Mengayau, berasal dari kata “me dan ngayau”. Me berarti melakukan aksi, Ngayau: pemenggalan kepala musuh, tindakan memenggal kepala musuh (Mengayau terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan Ibanik, juga pada masyarakat Dayak pada umumnya). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya (mengayau terdiri dari berbagai macam adatnya seperti: Kayau banyau/ramai/serang, Kayau Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak lebih dari tiga orang. Dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia, merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat atau kekuatan jiwa yang dapat melindungi siempunya dan sukunya. ( J, U. Lontaan 1974),
Ada empat tujuan mengayau yaitu: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!!!, sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan atau kepala suku agar mempersiapkan acara penyambutan.
Proses penyambutan ini, melalui empat babak yakni: 1. Ngunsai Beras (menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang Berani / Ksatria / Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong), 2.Mancong Buloh yaitu; Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai. 3.Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu atau memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai. 4.Tamak’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat, setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat ( mengembalikan semangat perang), kemudian baru diadakan Gawai palak' acara ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Palak, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima /Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau), Tuwak Pangkar Begili (Tidak Pernah Mundur,strateginya jika terkepung, memutar dan menyerang), Tuwak Sangau Sibi (Setiap saat ingin Mengayau), Tuwak Tali Aran ( senang koleksi kepala musuh semampunya dalam mengayau ),Tuwak Lang Ngindang (selalu mengintai tempat - tempat pertahanan musuh terlebih dahulu seperti elang, jika terkepung ia akan meloncat dan melayang mengikuti angin) dan lain sebagainya. (key Informan: Tokoh Masyarakat Kumpang Bis Belitang Tengah dll.)

5.    Pakaian Adat Dayak
Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi terluas di Indonesia. Luas wilayahnya yang mencapai 146.807 km² (7,53% luas daratan Indonesia) membuat provinsi ini terluas ke 4, setelah Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Luasnya wilayah Kalimantan Barat membuat penduduknya memiliki asal-usul yang sangat heterogen. Akan tetapi, suku yang paling dominan di Provinsi ini adalah suku Dayak dan Suku Melayu. Kedua suku ini mempengaruhi bagaimana kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang Kalimantan Barat. Pengaruh tersebut misalnya dapat kita lihat dari pakaian adatnya. Pakaian Adat Kalimantan Barat  Di masa silam, penduduk Kalimantan Barat mengenakan pakaian adat yang sangat sederhana. Pakaian adat Kalimantan Barat tersebut bernama King Baba dan King Bibinge. Berikut ini disuguhkan Pakaian adat Dayak dan Pakaian adat Melayu Kalimantan.

Pakaian Adat Kalimantan Barat
 

















                        Pakaian Adat Dayak                           Pakaian Adat Melayu

1.    Pakaian Adat untuk Laki-laki Pakaian adat Kalimantan Barat untuk Laki-laki bernama King Baba. Dalam bahasa Dayak, King berarti pakaian dan Baba berarti laki-laki. Pakaian ini terbuat dari bahan kulit kayu tanaman ampuro atau kayu kapuo. Kedua jenis kayu ini adalah tumbuhan endemik Kalimantan yang mempunyai kandungan serat tinggi. 
2.    Untuk membuat king baba, kulit kayu tersebut dipukul-pukul menggunakan palu bulat di dalam air, sehingga hanya tertinggal seratnya saja. Setelah lentur, kulit tersebut kemudian dijemur dan dihias dengan lukisan-lukisan etnik khas Dayak menggunakan bahan pewarna alami. Kulit kayu dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai rompi tanpa lengan dan sebuah celana panjang. Sebagai hiasan, serat kulit kayu tersebut juga dibuat menjadi semacam ikat kepala. Sebagai pelengkap hiasan, biasanya laki-laki adat suku Dayak di Kalimantan Barat juga akan menyelipkan sehelai bulu burung enggang, burung khas Borneo yang kini mulai langka. Tak lupa, senjata tradisional berupa mandau dan perisai juga dikenakan, terlebih ketika mereka hendak berperang. Oleh karena itu, tak jarang pakaian adat Kalimantan Barat ini juga dikenal dengan nama pakaian perang.
Pakaian Adat Kalimantan Barat dan KeterangannyaBurung Enggang atau disebut juga Rangkong adalah burung dengan paruh menyerupai tanduk sapi dengan warna cerah. Burung ini merupakan burung endemik di wilayah Kalimantan. Burung Enggang yang di sakralkan orang Dayak di lukiskan sebagai berikut:









Burung Enggang









3.    Pakaian Adat Perempuan Sama seperti pakaian laki-laki, pakaian adat Kalimantan Barat untuk para perempuan juga dibuat dari bahan dan cara yang sama. Namun, desainnya lebih sopan dengan perlengkapan antara lain penutup dada, stagen, kain bawahan, serta berbagai pernik lain seperti kalung, manik-manik, dan hiasan bulu burung Enggang di kepalanya. Beberapa perhiasan lain yang dikenakan di antaranya: Jarat tangan (gelang tangan) adalah gelang yang dibuat dari pintalan akar tanaman tengang untuk dikenakan di tangan sebagai penolak bala. Kalung dari bahan-bahan seperti akar kayu atau kulit (tulang) hewan sebagai penangkal gangguan dari roh-roh halus, terutama sering digunakan pada bayi. Beragam jenis gelang, di antaranya tjuk bulu tantawan, tajuk bulu area, kalung manik lawang, galling gading, galang pasan manik, galang pasan, sa’sawak tali mulung, sa’sawat pirak kurumut, dan posong. Oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat, kedua jenis pakaian ini selalu dikenakan baik saat menjalani aktivitas harian, seperti bertani, berburu, atau saat melakukan upacara adat. Adapun karena bahan-bahannya yang cenderung panas dan kurang nyaman dikenakan, pakaian adat ini seiring berjalannya waktu mulai ditinggalkan. Kemajuan peradaban dan pengaruh dari luar daerah membuat masyarakat Dayak di Kalimantan Barat mulai mencoba beragam jenis pakaian lain yang lebih nyaman. Beberapa di antaranya adalah: Bulang Buri dan King Buri adalah pakaian adat yang dibuat dari buri atau kulit kerang laut. Pakaian King Kabo’ adalah pakaian dari bahan kulit kayu yang hanya berupa cawat dengan hiasan manik-manik atau pita-pita rumbai.
Pakaian King Tompang adalah pakaian dari bahan kain berwarna polos yang mulai dikenal sejak ada interaksi dengan orang Melayu. Pakaian Indulu Manik adalah pakaian dari kain dengan tempelan manik-manik sebagai hiasan. Buang Kuureng adalah baju kurung dengan lengan panjang berbahan kain beludru. Dan masih banyak lagi, di antaranya pakaian Bulang Kawat, King Tatak, Bulang Panosokan, Bulang Kontong. Nah, demikianlah beberapa jenis pakaian adat Kalimantan Barat dan keterangannya. Dari beragam jenis pakaian di atas, saat ini yang masih tetap lestari adalah King Baba dan King Bibinge. Kedua pakaian ini hingga sekarang tetap digunakan terutama oleh suku-suku Dayak Kubu yang masih tinggal di pedalaman dan bertahan hidup secara nomaden.



6.    Dunia Supranatural.

dukun suku dayak kalimantan
 













Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri menyebut Dayak sebagai pemakan manusia (kanibal). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

7.    Mangkok Merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima" atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Ritual Mangkok Merah [Image Source]
 













Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima bertindak memimpin acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangka lima tersebut ber Tariu" (memanggil roh leluhur untuk meminta bantuan dan menyatakan perang) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau" (Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang" )

8.    Upacara Tiwah
ritual suku dayak kalimantan
 











Sandung rid755.wordpress.com

Upacara Tiwah merupakan satu acara adat suku Dayak. Tiwah adalah ritual yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di disiapkan sebelumnya. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang orang yang sudah meninggal.
Bagi suku Dayak, Upacara Tiwah adalah momen yang sangat sakral. Pada acara Tiwah ini, sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (Sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

 

9.    Mandau Sebagai Senjata Khas Dayak
a.    Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi.
Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin (sebagian menyebutnya kayu belian). Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
b.    Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
c.    Sarung Mandau
Sarung mandau biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Nilai Budaya Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan berkontribusi melestarikan budaya bangsa yang ber Bhinndka Tunggal Akhir.Punahnya beberapa adat budaya dan kesenin harusnya semakin menyadarkan kita sebagai penerus bangsa untuk tetap melestarikannya. Ini agar anak cucu kita kelak tetap dapat mengenali budaya yang telah diwariskan nenek moyang di masa Lalu.
DAFTAR PUSTAKA

Alfred Russel Wallace, 1986. Kepulauan nusantara. Sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam. Jakarta: Komunitas Bambu.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka.
Foreign missionary chronicle 5. Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian Church. p. 87.
Fridolin Ukur Biography". (2016) bpkgunungmulia.com. Diakses tanggal 25 November 2016.
J.U.Lontaan (1974) Sejarah, hukum adat, dan adat istiadat Kalimantan-Barat Ed. 1. Published  Pemda Tingkat I Kalbar, Penyalur tunggal, Pilindo Pontianak.
J.U. Lontaan, (1975). Sejarah hukum adat dan adat istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumi Restu.
Lathief. H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the world: an encyclopedia 1 (2 ed.). ABC-CLIO. p. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9.
MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press.  ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7.
Schulze, Fritz; Holger Warnk (2006). Insular Southeast Asia: linguistic and cultural studies in honour of Bernd Nothofer. Otto Harrassowitz Verlag. p. 47. ISBN 3447054778ISBN 9783447054775.
Tjilik Riwut, (2003). Sanaman mantikei manaser panatau tatu hiang. Menyelami kekayaan leluhur. Palangkaraya: Pusaka Lima.
C Wahyu Haryo dan Fandri Yuniarti. (2010) Meski di pedalaman mereka punya ponsel. Tersedia di http://cetak.kompas.com. (Diakses tanggal 6 Maret 2010).
Oktavianus Oki. (2010) Dayak bukan pemakan manusia. Tersedia di http:// dayakblogs. blogspot.com. (Diakses tanggal 6 Maret 2010).

Taburan Penduduk dan Ciri-ciri Asas Demografi (PDF). Jabatan Perangkaan Malaysia. 2011. ISBN 9789839044548 Check |isbn= value (bantuan). Diakses tanggal 27 Agustus2012.