Merdeka Belajar Pembelajaran
IPS dalam Era Globalisasi dan Keragaman
Budaya
Bangsa Indonesia
Oleh
: Hamid Darmadi
A.
Merdeka Belajar
1. Ujian
Nasional (UN) akan digantikan oleh Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei
Karakter. Asesmen ini menekankan kemampuan penalaran literasi dan numerik yang
didasarkan pada praktik terbaik tes PISA. Berbeda dengan UN yang dilaksanakan
di akhir jenjang pendidikan, asesmen ini dilaksanakan di kelas 4, 8, dan 11.
Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi sekolah untuk memperbaiki proses
pembelajaran selanjutnya sebelum peserta didik menyelesaikan pendidikannya.
2. Ujian
Sekolah Berstandar Nasional (USBN) diserahkan ke sekolah. Menurut Kemendikbud,
sekolah diberikan keleluasaan dalam menentukan bentuk penilaian, seperti
portofolio, karya tulis, atau bentuk penugasan lainnya.
3. Penyederhanaan RPP.
RPP cukup dibuat satu halaman saja. Melalui penyederhanaan administrasi,
diharapkan waktu guru dalam pembuatan administrasi dapat dialihkan untuk
kegiatan belajar dan peningkatan kompetensi.
4. Dalam
PPDB,
sistem zonasi diperluas (tidak termasuk daerah 3T. Bagi peserta didik yang
melalui jalur
afirmasi dan prestasi, diberikan
kesempatan yang lebih banyak dari sistem PPDB . Pemerintah daerah
diberikan kewenangan secara teknis untuk menentukan daerah zonasi ini.
B.
Perlunya
Merdeka Belajar
Mengapa Perlu dilakukan Merdeka
Belajar. Pasalnya, Penelitian
Programme
for International Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil penilaian pada siswa
Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah; untuk bidang matematika dan
literasi, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 Negara.
Menyikapi hal itu, Mendikbud
membuat gebrakan penilaian dalam kemampuan minimum, meliputi literasi,
numerasi, dan kurvei karakter.
Literasi bukan hanya mengukur kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan
menganalisis isi bacaan beserta memahami konsep di baliknya.
Numerasi, yang dinilai bukan hanya pelajaran matematika, tetapi
penilaian terhadap kemampuan siswa dalam menerapkan konsep numerik dalam kehidupan
nyata.
Survei Karakter, bukan sebuah tes, untuk mengetahui sejauh mana penerapan asas-asas (nilai-nilai) Pancasila Peserta
didik.
C.
Pembelajaran IPS dalam Era
Globalisasi dan Keragaman Budaya
·
Pembelajaran IPS dalam Era
Globalisasi
Pendidikan global merupakan upaya untuk menanamkan suatu
pandangan (perspective) tentang dunia kepada para siswa dengan memfokuskan
bahwa terdapat saling keterkaitan antar budaya, umat manusia dan kondisi planet
bumi. Globalisasi inti dari kata global yang artinya bumi atau dunia.
Globalisasi artinya suatu keadaan atau kondisi di mana isu dan masalah yang
menyangkut bangsa dan Negara atau bahkan seluruh dunia. pengertian lain dari
kata Global yang bermakna keseluruhan.
Menurut Tye dalam bukunya “Global Education”: From
Thought To Action, pemahaman terhadap globalisasi merupakan proses
belajar tentang masalah-masalah dan isu-isu yang melintasi batasan-batasan
Negara (nation) dan tentang sistem keterhubungan dalam lingkungan, budaya,
ekonomi, politik, dan teknologi. dan di samping itu, untuk memahami lebih
mendalam diperlukan perspektif atau sudut pandang dan pendekatan terhadap
kenyataan bahwa sementara individu dan kelompok-kelompok memiliki kebutuhan dan
keinginan-keinginan yang sama (Skeel, 1995:136).
Anderson mengatakan bahwa tidak ada satupun Negara di dunia yang
mampu menolak bahkan menghindari globalisasi, tidak ada pilihan lain kecuali
menyesuaikan diri dengan langkah melakukan perubahan. Perubahan yang penting,
antara lain menyesuaikan sistem pendidikan dalam arti penyesuaian seperlunya
agar dapat mengantisipasi realita yang ada. Seharusnya pendidikan nasional
dapat mampu mengantisipasi satu langkah lebih maju dibandingkan segi kehidupan
lainnya.
Pendidikan tidak hanya memberikan pengertian, dan keterampilan
untuk hidup secara efektif dalam masyarakat global dewasa ini, tetapi juga
harus memberikan kemampuan untuk memanfaatkan dengan sebaik-baiknya peluang di
masa akan datang dan mampu menghargai masa lampau.
Pemahaman terhadap globalisasi merupakan suatu proses cara
memandang dunia dengan hubungan-hubungan yang terjadi di dalamnya. Pemahaman
tersebut menurut King dan kawan-kawan harus mengandung hal-hal berikut :
1. Pengertian terhadap bumi beserta manusia sebagai bagian dari
jaringan yang memiliki keterkaitan.
2. Kepedulian terhadap pilihan-pilihan yang bersifat individu,
nasional maupun universal. Namun demikian keputusan yang diambil haruslah demi
tatanan dunia yang lebih baik di masa akan datang.
3. Menerima bahwa bangsa-bangsa lain memiliki pandangan-pandangan
yang berbeda dan mungkin lebih senang pada pilihan-pilihan lain.
Guru
dapat dikatakan suatu profesi, dalam menjalani profesi guru hendaknya selalu
meningkatkan kemampuan. Seperti yang dikatakan Zainal Asri ( 2010 ), mengajar
butuh seni dan bakat, tugas tersebut merupakan penghargaan yang cukup mulia
apabila benar-benar diminati atas kesadaran yang tinggi sebagai pendidik.
Pembelajaran IPS menuntut para Guru untuk menciptakan bebagai cara agar
pembelajaran ini menarik bagi siswa.
Pendidikan
global adalah salah satu sarana agar siswa mengerti bahwa, mereka adalah bagian
dari masyarakat dunia, sekalipun demikian tidak berarti tidak harus mengingkari
dirinya sebagai warga dari sebuah bangsa. Demikian juga sebaliknya, sebagai
warga Negara yang baik seharusnya menjadi warga dunia yang baik. Sebagai
contoh :
Seorang warga dunia yang baik akan menaati peraturan-peraturan
yang berlaku di antaranya mengajarkan peserta didik agar membuang sampah pada
tempatnya sehingga tidak akan terjadi banjir dikemudian hari. Kepatuhan
terhadap peraturan membuang sampah [ada tempatnya, secara tidak langsung
sekaligus telah menjadi warga Negara dunia yang baik karena telah ikut
membersihkan lingkungan dan menjaga agar terhindar dari banjir. Ditarik
suatu gambaran dari contoh di atas, bahwa menjadi warga Negara yang baik
seharusnya menjadi warga dunia yang baik pula. Pendidikan global mencoba lebih
banyak menerangkan persamaan dari pada perbedaan perbedaan yang dimiliki oleh
berbagai bangsa. Disamping itu, berusaha memberikan penekanan untuk berpikir
tentang negerinya sendiri, terutama berhubungan dengan masalah-masalah dan
isu-isu yang mampu melintasi batas-batas Negara.
Indonesia memerlukan sumber daya
manusia yang unggul sebagai modal utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi
sumber daya tersebut pendididkan memiliki peran yang sangat penting. Pendidikan
merupakan suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Suatu usaha
pendidikan menyangkut tiga unsure pokok, yaitu input, proses, dan output. Input
pendidikan adalah peserta didik dengan berbagai cirri-ciri yang ada
pada peserta didik. Proses pendidikan terkait berbagai hal seperti
pendidik, kurikulum, gedung, buku, metode mengajar. Output atau hasil
pendidikan dapat berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan (Widiyarti
&Suranto, t.t. , hal 1).
Pendidikan IPS adalah
seleksi dan rekonstruksi dari disiplin ilmu pendidikan dan disiplin ilmu-ilmu
sosial, humaniora, yang diorganisir dan disajikan secara psikologis dan ilmiah
untuk tujuan pendidikan (Somantri, 2001, hal. 191).
Untuk menghadapi
tantangan dan dinamika masyarakat dan globalisasi, maka perlu konsolidasi
kurikulum yang meliputi :
1. Penetrasi jati diri pendidikan IPS ke dalam primary
structure.
2. Mata kuliah yang tidak begitu penting disederhanakan dan
menampilkan pendidikan global.
3. Semua mata kuliah disiplin ilmu diperkuat sehingga setaraf
dengan mata kuliah di universitas untuk mendukung primary structure.
4. Diadakan mata kuliah yang berorientasi pada bisnis dan bahasa
asing.
5. Perlu ada monitoring yang intensif terhadap perkembangan
pembangunan nasional, globalisasi sebagai bahan untuk memperkaya kurikulum
FPIPS dengan pengetahuan fungsional (functional knowledge) (Somantri,
2001, hal. 190).
Di tengan iklim globalisasi, pendidikan IPS tetap diperlukan,
baik sebagai penopang identitas nasional maupun pemecahan masalah local,
regional, nasional, dan global. Masalah akan selalu ada, dalam mengatasi segala
kendala yang muncul di era globalisasi dibutuhkan keterlibatan semua pihak.
Masalah dalam pendidikan IPS, baik dari kurikulum, pengembangan perguruan
tinggi, kemampuan guru dalam pembelajaran, kebijakan pemerintah, peran
masyarakat itu sendiri harus bekerja sinergis, karena hasil yang didapatkan akan
dirasakan oleh seluruh lapisan. Dan keberhasilan yang akan diperoleh, juga akan
menjadi buah yang manis yang bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Willard M. Kniep (1986) mengemukakan bahwa isi pendidikan global
dirumuskan dari realitas sejarah dan kondisi saat ini yang menggambarkan dan
menunjukkan dunia sebagai masyarakat global. Dari hasil analisisnya ini, Kniep
(1986, h.437) memperkenalkan empat unsur kajian yang dianggap esensial dan
mendasar bagi pendidikan global : (1) kajian tentang nilai manusia (the
study og human values); (2) kajian tentang sistem global (the
study og global systems); (3) kajian tentang masalah-masalah dan
isu-isu global (the study of global problems and issues); (4)
kajian tentang sejarah hubungan dan saling ketergantungan antar orang, budaya
dan bangsa (the study of the history of contacts and interdependence
among peoples, cultures, and nations).
Kniep
(1986, h.422-444) mengemukakan empat kategori pemikiran isi pendiddikan global
yang dapat menjadi masukan untuk kurikulum :
1. Isu-isu Perdamaian dan Keamanan. Menciptakan keamanan dan
mempertahankan perdamaian telah menjadi pemikiran bangsa-bangsa sepanjang
sejarah karena sistem internasional tidak mempunyai pusat otoritas untuk
melaksanakan hukum dan menyelesaikan konflik dengan suatu sistem kedaulatan
bangsa-bangsa.
2. Isu-isu Pembangunan. Studi tentaang isu-isu pembangunan akan
mengajak para siswa dalam perjuangan rakyat dan bangsa untuk memperoleh
kebutuhan dasar: mencapai pertumbuhan ekonomi nasional, dan memperluas
kebebasan politik, ekonomi dan sosial mereka.
3. Isu-isu Lingkungan. Isu-isu lingkungan terutama berkaitan dengan
akibat-akibat eksploitasi sumber daya manusia dan pengelolaan kekayaan bumi.
Pendidikan global akan memberi kesempatan kepada para siswa untuk melihat
perannya dalam isu-isu dan masalah-maslah global demikian pula peran orang dan
sistem lainnya.
4. Isu-isu Hak Asasi Manusia. Pada dasarnya, masyarakat global
seyogianya peduli terhadap konsep-konsep hak asasi manusia universal di tengah
adanya penyalahgunaan terhadap hak asasi manusia. Sehingga memberikan pada para
siswa untuk mengerti tentang hak-hak manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
·
Keragaman Budaya
Indonesia
Keragaman budaya
mengandung dua arti, yaitu keragaman artinya ketidaksamaan, perbedaan dan
budaya berarti dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik
manusia dengan belajar.Dengan demikian, keanekaragaman budaya dapat
diartikan sebagai suatu keadaan dimana suatu masyarakat memiliki lebih dari
suatu perangkat gagasan, dan hasil karya. (Koentjaraningrat, 1980:193).
Keanekaragaman
budaya diantaranya mengambil wujud perbedaan ras, dan etnik yang dimiliki
sebuah masyarakat. keanekaragaman budaya bisa diperkenalkan sejak usia Sekolah
Dasar, di Indonesia sejak kelas 3, dimulai dengan memperkenalkan
perbedaan-perbedaan yang ada pada siswa di kelasnya. Misalnya, perbedaan jenis
kelamin, latar belakang pekerjaan orangtua, dan kemampuan belajar. Pelajaran
IPS akan menjadi menarik jika para siswa didorong mengenali berbagai perbedaan
diantara mereka, tetapi tanpa melupakan kesamaan dan kebersamaan sebagai
anggota kelas tersebut. Menurut Skeel, pelajaran IPS pada dasarnya mengutamakan
atau memperbolehkan perbedaan dalam persamaan atau persamaan dalam perbedaan.
1.
Dalam masyarakat yang
memiliki keanekaragaman budaya timbul berbagai masalah dan isu diantaranya
adalah pembaruan, prasangka, dan etnosentrisme (melahirkan superioritas dan
inferioritas).
2.
Dua hal yang terakhir sebenarnya
lebih bersifat bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembaruan (asimilasi).
3.
Menurut
Koentjaraningrat pembaruan adalah proses sosial yang timbul apabila ada hal-hal
berikut :
· Goongan-golongan
manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda Saling bergaul secara
intensif untuk waktu yang lama. Kebudayaan-kebudayaan golongan
tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur-unsurnya berubah
wujud menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.
·
Faktor-faktor yang menghambat pembaruan, antara lain :
1.
Kurang pengetahuan
terhadap kebudayaan yang dihadapi.
2.
Sifat takut terhadap
ketakutan dari kebudayaan lain atau inferioritas.
3.
Memandang terlalu
tinggi terhadap kebudayaan sendiri dan memandang rendah terhadap kebudayaan
lain atau perasaan superiorasi.
Persiapan Pembelajaran Masa New
Normal
Oleh : Hamid Darmadi
Beberapa bulan terakhif ini kita
hidup dalam masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)
yang memaksa kita bekerja, belajar, dan beribadahpun dari rumah. Ketika sebelum Covid menggigit, ketika ketemu kawan, sahabag,
kolega, guru, dosen dan sesame siswa
harus saling salam, senyum dan sapa. Ketika sebelum Covid menggigit, kita boleh
duduk di kendaran (angkut), kursi, meja sekolah dan sebagainya berdampingan, sekarang dibatassi akibat social distancing, physical
distancing dan sebagainya, Kalau dulu kita tidak pernah menggunakan
“masker” (kecuali dalam hal-hal tertentu) sekrng di denda atau diberi sanksi
jika tidak menggunakan ‘masker” . Ini semua akibat wabah pandemic Covid menggigit. Kini pandemic
covid sedikit demi sedikit berlalu. Guru, Dosen/pendidik dituntut kembali
melaksanakan pembelajaran. Apakah pembelajaran ‘Daring, Luring, Hybred
Learning, di sekolah, dikampus dan sebagainya, sangat tergantung kepada kondisi
dan lokasi sekolah / pembelajaran itu dilakukan.
Sekarang ini kita mulai
memasuki tatanan kehidupan (New Nomarl) normal baru.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menyebutkan
“New Normal” adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan
aktivitas secara normal namun dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan
guna mencegah terjadinya penularan COVID-19 (Bramasta,2020).Dengan kata lain “New
Normal” adalah kehidupan normal yang
baru, artinya kehidupan yang kita jalani secara normal tetapi dengan pola hidup
yang baru. Pola hidup baru itu terkait dengan penerapan protokol
kesehatan seperti physical distancing, rajin cuci tangan
dengan sabun atau hand sanitizer, memakai masker, dan pola makan
bergizi. Ini akan terjadi dalam semua asfek kehidupan masyarakat di Indonesia.
Pembelajaran yang akan kita
laksanaka masa “New Normal” ini tidak lepas dari protokol kesehatan
atau social distancing. Timbul
pertanyaan; Bagaimana proses pembelajaran dilakukan pada masa “New
Normal” ini? dan Pembelajaran seperti apa yang tepat diterapkan
pada masa “New Normal” ini?
Realitas yang terjadi saat ini,
bahwa pada umumnya pembelajaran yang terjadi pada masa pandemi COVID-19
adalah distance learning atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).
PJJ ini dilakukan baik melalui pembelajaran dalam jaringan (daring) atau pembelajaran di luar
jaringan (luring). Bahkan ditemukan sebagian besar pembelajaran menggunakan
kombinasi daring dan luring.
Pandemi COVID-19 telah
“memaksa” seluruh komponen pendidikan di Indonesia melaksanakan PJJ.
Implementasi PJJ telah mengenalkan pembelajaran daring dan luring.
Pembelajaran daring adalah pembelajaran dimana siswa dan guru, dosen terkoneksi
dalam jaringan internet (online). Sedangkan luring
pembelajaran tidak memanfaatkan jaringan internet (offline).
Sistem pembelajaran kita saat
ini telah berubah. Pembelajaran di dalam kelas semula dengan tatap
muka menjadi tatap maya dengan menggunakan teknologi seperti video
conference atau web conference, Zoom Meeting dan sebagainya. Begitu juga pembelajaran
di luar kelas juga manfaatkan berbagai teknologi. Siswa
secara mandiri mencari informasi dengan melihat di televisi atau video,
membaca di media cetak maupun online, dan mendengarkan radio
atau prodcast. Namun sayangnya dalam belajar dari rumah ini kegiatan belajar
mandiri secara kolaboratif antar siswa, mahasiswa minim terjadi. Hal ini karena
keterbatasan media pembelajaran kolaboratif secara online. Disamping
juga tidak semua guru, dosen familiar dalam memanfaatkan media pembelajaran
kolaboratif secara online. Sehingga
yang terjadi kemudian
adalah kolaborasi antara siswa dengan keluarga, bisa dengan ayah, ibu, adik,
atau kakak, saudara dan sebagainya. Kondisi seperti itu kadangkala menimbulkan
permasalahan karena belum tentu terdapat kesepadanan antara kolaborator. Implikasinya
terjadi terjadi pada siswa, mahasiswa
seperti banyak keluhan dan kebosanan belajar dari rumah.
Kondisi psikologis siswa,
mahasiswa yang terjadi dalam pelaksanaan belajar dari rumah inilah yang mendorong
siswa ingin segera kembali belajar secara normal di sekolah. Keinginan
sebagian besar siswa ini selaras dengan kebijakan pemerintah dengan menerapkan
kebijakan “New Normal” pada masa pandemi COVID-19.
Bagaimana persiapan pelaksanaan pembelajaran pada masa“New
Normal” yang akan dilakukan sekolah, kampus, guru, dosen?
Bagaimana kebijakan terkait regulasi dan kurikulum perlu disiapkan oleh
pemerintah masa new normal?.
Seperti diketahui, meski belum ada aturan
jelas bagaimana kebijakan di bidang lalu lintas dan transportasi, tapi beberapa
poin dalam protokol new normal yang
diterbitkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih mengacu pada kebijakan
seperti di PSBB.
Baca
juga: Tanpa SIKM, Pemudik Bisa Masuk Jakarta Setelah 7 Juni 2020
Mulai
menjaga kebersihan, sampai menjaga jarak sosial aliasphysical
distancing. Tidak hanya itu, masyarakat pun diminta untuk
mengupayakan menggunakan kendaraan pribadi dan tak disaranan menggunakan
transportasi umum guna menghindari terpapar Covid-19.
Bertolak dari uraian di atas sedikitnya ada tiga bahasan utama yang perlu dikemukakan
dalam konteks ini. Pertama, bagaimana protokol
kesehatan New Normal dalam pembelajaran /pelayanan
pendidikan? Kedua, bagaimana menyiapkan skenario atas dampak New
Normal bagi "publik/warga pendidikan siswa,mahasiswa, guru,
dosen". Ketiga, bagaimana menanamkan budaya New
Normal dalam sistem kurikulum pendidikan.
Terkait protokol kesehatan New Normal Pendidikan
harus dimulai dari sosialisasi SOP (Sistem Operasional Prosedur) kesehatan yang
masif kepada publik, baik itu siswa,mahasiswa, guru,dosen otoritas pendidikan,
dan unsur terkait. Sejumlah protokol yang harus disiapkan seperti pemenuhan
sarana dan prasarana sekolah, baik ruang kelas dan ruang guru yang pro terhadap
pencegahan Covid-19 (jarak/kontak fisik, masker, sanitizer,
desinfektan, pelindung wajah dll), pembiasaan pola PHBS (Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat) di sekolah/kampus, pemenuhan cek kesehatan siswa dan guru secara
intens (mengaktifkan Unit kesehatan Sekolah), membekali latihan mitigasi
komprehensif pencegahan Covid-19 bagi guru/dosen, siswa/mahasiswa, dan orangtua
atau publik , serta konsisten dalam penerapan kebijakan dengan dasar utama
keselamatan bersama.
Sedangkan dalam
pembahasan dampak
Covid.19 terhadap dunia pendidikan yang akan merubah tatanan yang sudah
ada. Sedikitnya ada lima asfek yang wajib diperhatikan secara serius. Pertama, aspek siswa dan mahasiswa sebagai
"instrumen utama" pendidikan wajib menjadi prioritas. Menyiapkan
mereka dengan pola pendidikan berbasis "pencegahan Covid" menjadi
satu keniscayaan. Selain itu, mengidentifikasi problem bagi siswa yang
berbeda-beda, apalagi dikaitkan dengan siswa di Zona Tiga T Daerah Tertinggal,
Terdalam, dan Terluar bahkan Terpinggir, yang masih saja memiliki keluhan siswa
dan mahasiswa yang tak memiliki kemampuan biaya yang cukup (membeli pulsa,
kuota internet, dsb) apabila saluran pendidikan menggunakan jalur daring/online.
Belum lagi kita masuk dalam persoalan peserta didik berkebutuhan khusus
atau disabilitas. Maka diperlukan kajian verifikasi problem mendalam
terhadap kebutuhan siswa ini termasuk dalam aspek psikis/psikologi, kesehatan
(pemenuhan vitamin), pemenuhan pendidikan dll.
Asfek kedua adalah guru dan
dosen. Faktanya guru dan dosen merupakan pihak yang sangat
"terdisrupsi" ditengah wabah saat ini. Sejumlah guru atau dosen
khususnya honorer atau swasta juga banyak mengeluhkan berkurangnya
pemasukan yang mereka terima dan ancaman "dirumahkan". Ditambah para
guru/dosen yang memang secara sarana sangat terbatas tetapi pengabdian mereka
tidak diragukan. Belum lagi menyoal guru/dosen yang masih belum "update"
atau belum memiliki kompetensi mumpuni dalam menggunakan aplikasi atau konsep
pembelajaran online.
Aspek ketiga adalah orangtua. Kita
sadar bahwa tidak semua orangtua memiliki kemampuan dan kesiapan yang sama
menghadapi New Normal. Apalagi dalam konteks pembelajar
daring/online, siswa SD dan SMP akan sangat tergantung dengan peran
orangtua saat belajar di rumah (online). Dalam segi waktu, orangtua yang
harus bekerja di rumah atau di luar rumah dibebankan untuk mendampingi dari
pagi sampai siang kegiatan belajar anak-anak mereka, apalagi terhadap sejumlah
pelajaran yang sulit dan memerlukan pendampingan orangtua. Akhirnya orangtua
dituntut belajar ekstra untuk dapat mengimbangi pelajaran. Memang pendidikan di
rumah adalah sejatinya pendidikan pertama dan utama. Untuk itu, diperlukan
kesiapan yang lebih kuat. Sedangkan bagi mahasiswa diperlukan perubahan pola
belajar yang mapan agar bisa menyesuaikan dengan keadaan. Dari aspek orangtua,
yang paling sering dikeluhkan adalah biaya pendidikan yang masih ditarik aktif
oleh sekolah termasuk sebagian besar mahasiswa ini menyebabkan sebagian orang
tua merasa keberatan padahal covid berdampak pada ekonomi mereka, terlebih
lagi bagi anaknya yang sekolah swasta, penarikan iuran sekolah tetap
"normal' seperti biasa ini belum ada solusi konkrit dari
pemerintah.mahasiswapun mengeluhkan hal yang sama.
Aspek keempat adalah aspek
kebijakan pemerintah/dinas pendidikan/ sekolah/ kampus. Problem-nya
adalah kondisi setiap sekolah/kampus sangat berbeda. Fasilitas, sarana,
manajemen SDM, dan kebijakan pimpinan berbeda beda, dan ini sangat memengaruhi
penerapan New Normal di lapangan. Penyelenggara pendidikan di
pusat dan daerah dituntut menciptkan inovasi, kreativitas dan komitmen tinggi
demi terlaksananya program New Normal. Jangan lagi ada
kebijakan yang tak berbasis pada nilai keadilan. Mengakomodir suara "warga
pendidikan" dan terus melakukan perbaikan-perbaikan dengan sentuhan solusi
praktis yang jitu adalah keniscayaan demi masa depan pendidikan yang
lebih baik.
Aspek kelima yakni arah manajemen
resiko perubahan. Adanya New Normal merupakan dampak yang
harus diterima secaralegowo oleh semua pihak meskipun akan banyak
perubahan-perubahan yang terjadi. Sehingga diperlukan adanya latihan dan
pembentukan sikap, kesadaran bahkan memunculkan "budaya baru"
pada blue print pendidikan di masa yang akan datang. Sedangkan
dalam pembahasan ketiga yakni penting ke depan menyusun konsep
atau sistem pendidikan "baru", kurikulum berbasis kesiapan saat dan
pasca pandemi bagi sekolah dan kampus adalah salah satu alternatif yang harus
dilakukan oleh kementerian pendidikan. Setidaknya strategi seperti membangun
kecerdasan intelegensi berbasis teknologi di sekolah atau kampus, membaca
berbagai peluang dan mengeksplor taktik menjadi hal penting untuk
menyikapi New Normal ini. Termasuk mengimprovisasi pendidikan
berbasis karakter melalui IT dengan tetap mengembangkan moral, sosial dan
emosional yang berintegritas. Model pendidikan berbasis teknologi inilah yang
akan menjadi jawaban atas tantangan pendidikan di masa mendatang.
Pada
dasarnya New Normal dalam pembelajaran/pelayanan pendidikan
adalah upaya strategis pendidikan atau proses belajar mengajar tetap eksis.
Nelson Mandella pernah mengatakan: “Education is the most powerfull weapon
which you can use to change te world” (pendidikan adalah senjata
paling ampuh yang bisa kita gunakan
untukmengubah dunia) Sebab kita tak bisa melupakan bahwa
pendidikan sebagai sum-sum utama masa depan bangsa. Dengan pendidikan lah
kita akan berhasil meraih cita cita, keluar dari segala problematika kehidupan
dan menjadi insan mulia serta menyiapkan generasi terbaik demi kehidupan serta
peradaban yang lebih baik negeriini.