Harus diakui mutu guru berimplikasi terhadap mutu luaran suatu lembaga pendidikan, namun guru bukan satu-satunya komponen yang menentukan. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana mutu guru dianggap rendah dewasa ini?
Membicarakan pendidikan ibarat meramu fenomena hidup yang tidak pernah usai. Pendidikan selalu menarik dan memberi gairah untuk dibicarakan. Selain sebagai bagian kehidupan yang amat fundamental, juga menyangkut investasi masa depan suatu bangsa. Karena menariknya, tidak heran jika banyak orang yang urung rembuk membicarakannya. Bahkan orang yang tidak memahami seluk beluk pendidikan sekali pun sangat berani melontarkan komentar mengenai pendidikan dan berbagai masalahnya.
Beberapa waktu lalu dunia pendidikan dikejutkan oleh fenomena kegagalan siswa dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Kini akan dihadapi lagi dengan berbagai kontraversi. Berbagai kalangan pun angkat bicara dan mengarahkan telunjuk kepada sasaran yang sepanjang zaman selalu menjadi kambing hitam, yakni guru. Guru mendapat hadiah luar biasa berupa tuduhan yang sangat memojokkan eksistensinya. Bahkan tidak sedikit pernyatan yang bernada memilukan (mungkin sekaligus memalukan) yang diarahkan kepada profesi yang teramat mulia dengan predikat oleh masyarakat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Seorang "pengamat" dalam dialog Radio Celebes beberapa tahun lalu (10/7/2005), mengemukakan dengan nada amat sinis bahwa bagaimana guru akan berhasil mengajar jika yang ada dalam pikiran guru hanya pelunasan pembayaran kredit/cicilan barang-barang untuk pemenuhan kebutuhan karena ingin mengikuti gaya hidup masa kini, sementara mereka belum mampu. Pernyataan Sekretaris Forum Pengkajian Aspirasi Guru (FK-PAGI) Makassar (di sebuah media, 10/06/2005) menanggapi kegagalan siswa dalam UAN sebagai akibat dari rendahnya mutu guru, dan berbagai pernyataan lainnya yang arahnya sama menunjuk guru sebagai komponen yang paling bertanggung jawab atas kegagalan siswa dalam AUN. Berbagai pernyataan yang sangat konstruktif dilontarkan atas fenomena ini perlu disambut baik untuk dapat disikapi secara bersama. Kita harus mengakui kegagalan itu. Namun, ada yang menggelitik naluri keguruan penulis sehingga tergerak untuk menyatakan kembali kearifan pendidikan kita dan mendudukkannya pada kerangka acuan yang sesungguhnya.
Harus diakui bahwa peran guru dalam dunia pendidikan sangat besar. Akan tetapi, pendidikan harus dilihat sebagai suatu sistem, yang setiap komponen memegang peran yang sangat penting. Undang Undang Sisdiknas pasal 7,8, dan 9 sangat jelas mengamanatkan bahwa pendidikan adalah kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan pemerintah daerah. Selain itu, dalam paradigma belajar mungkin perlu dipertegas kembali bahwa pembicaraan perihal belajar dan mengajar tidak dapat dilepaskan dari siswa-guru. Ada hal menarik yang dapat dicermati apabila dua kutub ini diperbincangkan lebih jauh. Kenyataan masih tetap menunjukkan bahwa sentra belajar berada pada guru, sedangkan siswa lebih dimaknai sebagai objek yang diajar. Masih dianggap bahwa hidup matinya siswa dan ada di tangannya. Guru berposisi sebagai orang serba tahu sedangkan siswa senantiasa ada dalam jurang ketidaktahuan.
Berdasarkan kenyataan tersebut muncul gambaran bahwa siswa belajar apabila guru mengajar. Akan tetapi, justru sebaliknya yang sangat penting untuk dinyatakan adalah guru belum mengajar kalau siswa belum belajar atau guru baru dapat mengajar apabila siswa belajar. Pandangan pembalikan yang penting tersebut tampaknya bersifat lebih arif. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa kegiatan mengajar adalah kegiatan yang sebenarnya lebih bermakna mengkondisikan agar peristiwa belajar berlangsung. Kenyataan tersebut tidak berbeda dengan paham kaum konstruktivisme yang menyatakan bahwa belajar adalah peristiwa ketika pebelajar (orang yang belajar) secara terus-menerus membangun gagasan baru atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Dalil tersebut sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa titik pusat hakikat belajar sebagai pengetahuan pemahaman terwujud dalam bentuk pemberian makna oleh pebelajar pada pengalamannya melalui berbagai bentuk pengkajian yang memerlukan pengerahan berbagai keterampilan kognitif dalam mengolah informasi yang diperoleh melalui indra. Oleh karena itu, kegiatan belajar bergeser dari menerima informasi ke arah membangun pengetahuan. Wawasan pebelajar yang harus dikembangkan tidak hanya wawasan kognitif saja tetapi juga menyentuh wawasan afektif, psikomotor, dan metakognitif yakni kemampuan tentang belajar bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn).
Yang menarik dari konsep di atas adalah bahwa guru bukan jaminan siswa menjadi pandai. Seandainya karena guru siswa menjadi pandai, maka bisa jadi semua siswa akan pandai karena tidak seorang pun guru yang tidak menghendaki anaknya pandai, kecuali kalau guru itu "guru palsu". Logika dan cara pandang sederhana dapat dibuktikan kekuatan guru dalam mutu pendidikan, ketika suatu kondisi diubah di mana semua guru sekolah unggulan yang berpasilitas memadai, misalnya, dipindahkan ke sekolah daerah sangat terpencil yang sangat minim fasilitas dengan siswa tetap, maka apakah terjadi perubahan signifikans dari mutu kedua sekolah tersebut? Jawabannya tentu dapat diramalkan bahwa, kita tidak bisa berharap banyak dari guru yang bagus dengan sarana minim plus siswa dengan potensi seadanya. Berangkat konsep dan dari ilustrasi di atas, tidak arif kiranya jika penyebab kegagalan pendidikan selalu dihujamkan hanya kepada guru.
Selama ini mungkin memang kita kurang rasional dalam melihat persolan pendidikan. Penilaian terhadap pendidikan masih dipandang sebagai bentuk sepenggal-sepenggal. Bisa jadi selama ini pemahaman bahwa pendidikan sebagai sebuah sistem hanya sebagai teori. Implikasinya, kita tidak berpikir rasional untuk membangun pendidikan dengan menganut pemahaman kekuatan sistem. Kalau kita sepakat bahwa pendidikan sebagai suatu sistem, maka pertanyaan mendasar adalah sejauh mana setiap komponen memainkan perannya dalam membangun pendidikan? Sejauh mana pemerintah mengarahkan kepedulian terhadap pembangunan pendidikan? Sejauh mana masyarakat termasuk orang tua memberi kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan, dan bagaimana kualitas guru dalam mengembang tugas kependidikan? Termasuk bagaimana kesiapan input pendidikan kita untuk diproses menjadi autput yang handal? Dalam tulisan singkat ini dicoba membedah eksisitensi komponen pendidikan untuk melihat di mana letak subtansi permasalah yang dihadapi pendidiksan kita agar tidak hanya menjadikan guru sebagai kambing hitam.
Kepediulian Pemerintah
Dalam konteks komitmen, banyak aspek yang terkait pada tataran membangun pendidikan. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa perangkat pendidikan tanggung jawab pemerintah. Mari kita tengok perangkat pendidikan dewasa ini. Sejauh mana sarana dapat memberi kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidik? Sarana perpustkaan, buku ajar, gedung sekolah, laboratorium, apakah sudah memberi kontribusi cukup untuk menjamin mutu pendidikan? Apakah ratusan gedung sekolah yang tidak layak merupakan pencerminan kepedulian?
Pertanyaan ini tentu tidak perlu dijawab tetapi perlu pikiran rasional untuk melihat fenomena yang ada. Yang kerap menjadi nada sumbang bagi para praktisi pendidikan sejati adalah perhatian/ kepedulian pemerintah yang sangat minim dalam membangun pendidikan. Penghargaan terhadap bidang pendidikan masih sangat rendah di banding bidang lainnya seperti olahraga dan seni. Selain itu, kesungguhan pemerintah untuk melakukan investasi pada bidang pendidikan untuk kemamjuan bangsa ini belum sepenuh hati. Ini terbukti dari prioritas pembiayaan pendidikan yang masih sangat rendah. Apakah kondisi ini sudah cukup mendapat kajian mendalam sehubungan dengan pendefenisian mutu pendidikan kita? Jawabnya tentu terpulang pada pikiran rasional kita.
Partisipasi Masyarakat
Kita semua adalah masyarakat. Apa yang telah kita berikan kepada pendidikan? Bukankah selama ini justru masyarakat menyatakan pertanyaan sebaliknya: Apa yang telah diberikan pendidikan kepada masyarakat? Kontribusi apa telah diberikan masyarakat, termasuk orang tua untuk membangun pendidikan: dana, tenaga, pikiran? Sejau hmana masayarakat dan orang tua menjadi mitra sekolah untuk membangun pendidikan?. Cara pandang ini tentu harus didudukkan pada kerangka yang sesungguhnya bahwa pendidikan adalah kewajiban bersama seluruh komponen bangsa. Masayakat diharapkan menjadi pemilik, penyedia, dan penyelenggara pendidikan baik langsung maupun tidak langsung. Sekolah adalah milik masyarakat. Dengan demikian, jika sekolah tidak berhasil menelorkan alumni yang unggul tentu juga merupakan kegagalan masyarakat. Sebuah ironi yang selalu diusung oleh para politisi yang seperti pahlawan kesiangan adalah sekolah gratis. Ini sangat bertentangan dengan filosofi pendidikan. Negera sedang berkembang seperti Indonesia belum saatnya gratis. Masyarakat diharapkan berpartisipasi secara maksimal yang tentunya dengan sistem yang tidak kaku. Selama ini memang banyak persoalan karena sistem yang kaku tidak menganut konsep partisipasi tetapi kewajiban mutlak sehingga membuat masyarakat merasa berat. Kalau ditata dengan sistem yang baik maka tidak ada yang merasa berat karena kata partisipasi memberi kekuatan untuk tidak ada yang berat.
Meskipun tidak selamanya mutu hasil/luaran suatu sekolah ditentukan oleh inputnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bibit yang unggul dapat menghasilkan buah yang unggul jika prosesnya unggul. Pertanyaannya sekarang adalah sejau hmana masyarakat dan orang tua memahami dan merasa bertanggung jawab atas kualitas input tersebut? Kegiatan penerimaan siswa baru (PSB) saja, selalu menjadi masalah karena orang tua tidak memberi kontribusi positif. Sistem penerimaan murid baru yang telah dirancang dengan baik, misalnya umur tertentu, tetapi orang tua tetap memaksakan kehendak untuk menggunakan cara-cara non prosedural. Belum lagi banyaknya praktik masuk sekolah lewat jendela. Semua ini berarti orang tua/masyarakat tidak memberi kontribusi positif terhadap upaya menciptakan input yang baik untuk diproses dalam suatu sekolah, akibatnya tentu berdampak pada output yang berimplikasi pada mutu pendidikan. Jika masyarakat mendukung sistem ini dengan kesadaran sebagai tanggung jawab bersama, tentu kita dapat mengurangi dampak dari input yang kurang bermutu sehingga dapat diproses dengan baik dan menghasilkan luaran dengan baik.
Meskipun tidak selamanya mutu hasil/luaran suatu sekolah ditentukan oleh inputnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bibit yang unggul dapat menghasilkan buah yang unggul jika prosesnya unggul. Pertanyaannya sekarang adalah sejau hmana masyarakat dan orang tua memahami dan merasa bertanggung jawab atas kualitas input tersebut? Kegiatan penerimaan siswa baru (PSB) saja, selalu menjadi masalah karena orang tua tidak memberi kontribusi positif. Sistem penerimaan murid baru yang telah dirancang dengan baik, misalnya umur tertentu, tetapi orang tua tetap memaksakan kehendak untuk menggunakan cara-cara non prosedural. Belum lagi banyaknya praktik masuk sekolah lewat jendela. Semua ini berarti orang tua/masyarakat tidak memberi kontribusi positif terhadap upaya menciptakan input yang baik untuk diproses dalam suatu sekolah, akibatnya tentu berdampak pada output yang berimplikasi pada mutu pendidikan. Jika masyarakat mendukung sistem ini dengan kesadaran sebagai tanggung jawab bersama, tentu kita dapat mengurangi dampak dari input yang kurang bermutu sehingga dapat diproses dengan baik dan menghasilkan luaran dengan baik.
Harus diakui bahwa mutu guru berimplikasi terhadap mutu luaran suatu lembaga pendidikan, namun guru bukan satu-satunya komponen yang menentukan. Pertanyaannya sekarang adalah; sejauh mana mutu guru dianggap rendah dewasa ini? Cara pandang dan indikator apa, serta data apa yang digunakan untuk dapat menyatakan mutu guru kita rendah? Yang pasti dewasa ini adalah jumlah guru memang masih sangat sedikit dibanding dengan rasio siswa. Berbicara menganai guru, tentu tidak terlepas pula dari peran dan komitmen pemerintah termasuk masyarakat. Mutu dan jumlah guru, sangat ditentukan oleh kepedualian pemerintah, orang tua, dan masyarakat sebagaimana amanat UU Sisdiknas. Sejauh mana kontribusi pemerintah, masyarakat dan orang tua terhadap persoalan guru?
Dalam suatu pertemuan ilmiah bersama dengan staf ahli mendiknas beberapa waktu silam, ada pertanyaan rasional dan menggelitik dalam kaitannya dengan mutu pendidikan yang dilontarkan salah seorang bahwa: Apa yang dapat diharapkan jika di sebuah sekolah desa terpencil yang hanya ada dua orang guru dari enam kelas, dengan fasilitas yang amat sederhana? Staf ahli menteri hanya manggut-manggut membayangkan fenomen yang banyak terjadi seantero negeri ini. Ini pertanda permakluman yang menyatakan secara rasional hakikat permasalahan yang dihadapi pendidikan, karena pertanyaan seperti itu tentu tidak membutuhkan jawaban secara politis jika hendak membangun pendidikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi kita akan mengahadapi empat taraf otonomi dalam pendidikan kita yang membutuhkan waktu yang cukup panjang yaitu pra formal, formal, transisional, dan otonomi.
Dalam suatu pertemuan ilmiah bersama dengan staf ahli mendiknas beberapa waktu silam, ada pertanyaan rasional dan menggelitik dalam kaitannya dengan mutu pendidikan yang dilontarkan salah seorang bahwa: Apa yang dapat diharapkan jika di sebuah sekolah desa terpencil yang hanya ada dua orang guru dari enam kelas, dengan fasilitas yang amat sederhana? Staf ahli menteri hanya manggut-manggut membayangkan fenomen yang banyak terjadi seantero negeri ini. Ini pertanda permakluman yang menyatakan secara rasional hakikat permasalahan yang dihadapi pendidikan, karena pertanyaan seperti itu tentu tidak membutuhkan jawaban secara politis jika hendak membangun pendidikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi kita akan mengahadapi empat taraf otonomi dalam pendidikan kita yang membutuhkan waktu yang cukup panjang yaitu pra formal, formal, transisional, dan otonomi.
Jika kita menengok standar pelayanan minimal pendidikan (SPM), rasanya SPM pendidikan yang telah diteorikan oleh pemerintah masih sangat jauh dari kemungkiunan untuk terealisai. Apa maknanya semua itu? Tentu merupakan jawaban pasti penyebab rendahnya mutu pendidikan. Jika diurai, di dalam SPM sangat jelas terlihat bahwa semua komponen mempunyai peran yang penting dalam menentukan mutu pendidikan. Ini juga memberi indikasi bahwa pendidikan dewasa ini memang cukup rumit dan masih harus merangkak tertatih-taih menuju arah yang labih baik, jika kita tidak membangun pendidikan sebagai sebuah sistem yang utuh.
Demikian beberapa pikiran rasional melihat wajah pendidikan kita yang oleh banyak kalangan dinyatakan masih suram. Penting untuk direnungkan, bahwa kita adalah masyarakat, kita adalah pemerintah, kita adalah orang tua semua adalah penentu wajah pendidikan kita, bukan hanya guru. Mari kita mendukung eksistensi guru dan tidak mengkambingh hitamkannya dengan partisipasi serta mengarahkan kepdualian yang tinggi penuh tanggung jawab moral-kemanusiaan, selain sebagai tanggung jawab sebagai warga negara. Nyatakan dalam nurani: Apa yang dapat kita berikan untuk pendidikan, jangan tanyakan apa yang akan diterima dari pendidikan. Kesadaran akan pendidikan seperti ini semoga dapat memunculkan kuncup-kuncup baru dengan masa depan yang lebih baik. Siapa pun pemerintah, siapun masyarakat, anak-anak kita harus memperoleh pendidikan yang terbaik, karena hanya dengan pendidikan kita dapat mengubah wajah bangsa ini.
ini kan tulisan saya tulisan saya pernahh dimuat di tribun timur Makassar Pak, pernah jadi masalah ketika saya penyaji dalam sebuah diskusi ini karena bapak tidak cantumkan sumbernya
BalasHapus