A.
KINERJA GURU
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda
terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran (Darmadi
Hamid, 2010). Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan
banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas
dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara pada
ketidakmampuan guru di dalam melaksanaan proses pembelajaran di sekolah,
sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih
mengarah kepada sisi kelemahan guru, maka hal itu tidak sepenuhnya dibebankan
kepada guru, dan mungkin ada system yang berlaku kurang btepat, baik sengaja
ataupun tidak disengaja berpengaruh terhadap permasalahan pendidikan.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan,
bagaimana kinerja guru bisa berdampak kepada pendidikan yang bermutu. Kita
melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan kurikulum pendidikan
yang sering berubah, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru
itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi
guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan
tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki
kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru professional.
Kinerja guru juga sangat ditentukan oleh output atau
keluaran dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), sebagai institusi
penghasil tenaga guru, LPTK juga memiliki tanggungjawab yang signifikan dalam
menciptakan guru berkualitas, yang pada suatu ketika berdampak kepada
pembentukan SDM yang berkualitas pula (Darmadi Hamid,2010). Oleh sebab itu LPTK juga memiliki andil besar di dalam mempersiapkan
guru seperti yang disebutkan diatas, berkualitas, berwawasan serta mampu
membentuk SDM mandiri, cerdas, bertang-gungjawab dan berkepribadian. Harapan ke
depan, terbentuk sinergi baru dalam
lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnnya
kinerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada dipersekolahan.
Kinerja guru yang positif akan terbentuk bilamana masing-masing struktur
memiliki tanggungjawab dan memahami tugas dan kewajiban masing-masing.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan seperti
sekarang ini menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah pendidikan
akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang
diberikan dapat menjadi sisi tawar di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan
tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru
sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak
terhadap kinerja guru yang bersangkutan. Apapun kritik yang diberikan, apakah
bernilai positif atau negative kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti
bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadikan
kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan perilaku
pendidikan yang diuharapkan. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan,
tanpa itu sukar bagi guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama
ini, dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan
lebih lanjut.
Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat
sumber daya manusianya, dan indicator sumber daya manusia ditentukan oleh
tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka
semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab
itu indicator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja guru. Bila kita amati di
lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal di dalam menjalan tugas
dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar, pembimbing dan pelatih. Akan tetapi
barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, hal ini
secara akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.
Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa
tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa
tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan
loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas
kependidikannya di luar kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa
tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum
melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan
akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan
dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi
pembelajaran.
Kinerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan
tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus
belajar, tanpa itu maka guru akan ketinggalan, dan kerdil dalam ilmu pengetahuan.
Pada kondisi kini kita dihadapkan pada era global, yang
semuanya serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif. Kinerja guru akan
menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah
itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan
bermakna bila dibarengi dengan semangat kerja yang bersih dan ikhlas, serta
selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk
dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan
kearah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari
kinerja hari kemarin, dan kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini.
B. PENINGKATAN MUTU
PENDIDIKAN
Tuntutan terhadap
lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin
ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam
pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan
(termasuk
perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu
persaingan antar lembaga pendidikan dan
pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi
perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan
kompleksitas, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan
segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik
lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Untuk
mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan perlunya “Paradigma baru pendidikan” yang
difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Keempat pilar
manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu
(Wirakartakusumah,1998).
1. Mutu Pendidikan
Mutu
adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan
berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama
baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari
produk atau jasa yang memuaskan
kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara
kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan
proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan bisa
berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau
mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.
2. Otonomi Pendidikan
Pengertian
otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian
dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti sebagai bentuk pendelegasian kewenangan
seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/ staf
non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar
akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya, paling tidak bahwa guru/ pengajar semestinya
diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar
sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
3. Akuntabilitas Pendidikan
Akuntabilitas
diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang
memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga
pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan
kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi dari semua fihak
yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya.
4. Akreditasi Pendidikan
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses
evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan. Hasil akreditasi perlu
diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang
bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan
akreditasi dilakukan oleh suatu badan independen yang berwenang. Pelaksanaan
akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).
5. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi
adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang
menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga
pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi
tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa
dilakukan secara internal dan eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat
bila dilakukan secara berkesinambungan.
C. MENGHASILKAN MUTU PENDIDIKAN
Untuk bisa
menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) terdapat empat usaha mendasar yang
harus dilakukan oleh para pendidik dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1.
Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win
solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang
berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini
terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang
saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang
dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2.
Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi
instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap
orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya
mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan
kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3. Setiap pimpinan harus berorientasi
pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu
terpadu dalam pendidikan bukanlah suatu
proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan
terus menerus.
4. Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai
mutu yang ditetapkan, haruslah dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur
pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan
yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu
kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk
menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan
tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada
pelangggannya yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar dalam lembaga
pendidikan.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur
paling tidak empat kelompok (Sallis,1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa
merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut
klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang
langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Kedua,
para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu
orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut
sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan
lainnya yang ketiga bersifat
tersier adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna
output pendidikan (tertiary external
customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan
masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari intern lembaga; mereka itu adalah para
guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan
lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor
dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat
dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat
dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk
maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka
akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).
Seperti disebut diatas bahwa
program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan,
maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan kebutuhan dan
harapan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka
sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program
peningkatan mutu layanan pendidikan.
D. TEKNOLOGI INFORMASI DAN PROFESIONALISME GURU
Hampir
semua orang sependapat bahwa teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah
kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih
efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk,
teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Sebagai teknologi, kedua sisi tersebut
keberadaanya sangat tergantung pada pemakainya.
Adi Sasono (1999) mengidentifikasi beberapa kenyataan
berikut yang bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini
diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, karena apabila keliru, suatu bangsa akan
mengalami kemandekan informasi akibatnya bisa terjadi fatal berupa :
1. Teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang
ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi disisi
lain hirarki sosial yang ada dapat dipertahankan oleh teknologi dan bahkan
diperkuat lagi.
2. Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat
mengundang atau sebaliknya meniadakan
kontribusi insani. Pemakaian secara tidak tepat akan suatu teknologi dapat
mengarah pada “dehumanisasi”.
3. Komputer sebagai suatu teknologi bisa terancam fungsinya sebagai alat
otomasi yang ditujukan untuk memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja
dalam mengambil keputusan. Sebaliknya sistim yang dirancang secara demokaratis
akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi
kemandirian masyarakat.
4. Komputer sebagai teknologi dapat digunakan untuk mengotomasi produksi
sehingga membebaskan manusia dari upaya-upaya fisik proses produksi yang
membosankan. Disisi lain, komputer juga dapat digunakan untuk mengintegrasikan
mesin dan pekerja pada tingkat keterlibatan intelektual dan produtifitas yang
lebih tinggi, yang disebut dengan istilah “to informate”. Istilah ini
bukan sekedar alternatif bagi otomatisasi dalam makna yang umum, namun lebih
merupakan suatu cara yang lebih baik dalam otomatisasi yang mempertimbangkan
potensi sumberdaya insani dalam lingkungan kerja bersama-sama dengan
mempertimbangkan potensi teknikal komputer secara sinergis.
Menurut Adi Sasono (1999) revolusi teknologi informasi
yang pesat telah mengaburkan batas-batas tradional yang membedakan bisnis,
media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong permaknaan ulang
perdagangan dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek
kehidupan, pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertaiment,
pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar
masyarakat dan antar individu. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua
bangsa, masyarakat dan individu.
Revolusi informasi global adalah keberhasilannya
menyatukan kemampuan komputasi,
televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari
suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar
pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan
penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan
komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan
berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image),
grafik, dan teks ( Sasono, 1999).
Pada dasarnya, adanya teknologi informasi telah
memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah,
terjangkau, dan memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat. Teknologi
yang semacam ini harus dimiliki oleh rakyat secara luas untuk dapat membantu
rakyat mengorganisir diri secara modern dan efisien, sehingga pada gilirannya
rakyat yang mendapat manfaat terbesar .
Dalam
rangka meningkatkan profesionalisme
guru, terjadinya revolusi teknologi informasi seperti diatas adalah sebuah
tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang
demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan
sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk
menyesuaikan hal demikian ini. Adanya revolusi informasi harus dapat
dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan
sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu
kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai
pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. FKIP dan STKIP yang
mempersiapkan tenaga pendidikan/ keguruan harus mampu melakukan tindakan yang tepat, sesuai dengan tuntutan
perkembangan teknologi informasi dan
kebutuhan masyarakat.
Profesionalisme guru perlu
didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan
sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI)
sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan
struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi
yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Salah satu dari
kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan menggunakan teknologi informasi
yang terus-menerus berkembang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat. Keahlian yang
bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah
dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional. Disinilah peran Perguruan Tinggi seperti FKIP. STKIP
dan Organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting. Kerjasama antara keduanya menjadi sangat
diperlukan. FKIP dan STKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam
memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, selain harus
bekerjasama dengan lembaga profesi guru, dan alumni (baik secara kelembagaan
maupun secara personal).
Untuk
itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup
dan berperanannya organisasi profesi
guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya
penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan
pengembangan profesi masing-masing.
E. Tantangan Dunia
Pendidikan
Salah satu
esensi dari proses pendidikan tidak lain adalah penyajian informasi. Dalam
menyajikan informasi, haruslah komunikatif. Dalam komunikasi pada umumnya,
demikian pula dalam pendidikan, informasi yang tepat disajikan adalah informasi
yang dibutuhkan , yakni yang bermakna, dalam arti : (1) secara ekonomis
menguntungkan. (2) secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) secara
sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada, dan
(4) sesuai atau sejalan dengan
kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada
Konsep
“bermakna” ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat
diserap dan dilaksanakan sasaran/peserta didik. Karena itu, Williams (1984)
menyebutkan bahwa komunikasi adalah saling pertukaran simbol-simbol yang
bermakna. Williams menekankan bahwa : (1) kita tidak dapat saling bertukar
makna, (2) kita hanya secara fisik bertukar simbol, dan (3) komunikasi tidak
akan terjadi, kecuali kita berbagi makna untuk simbol-simbol tertentu.
Dalam
memberikan/menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya kepada peserta
didik), bukan informasi yang kita ketahui yang disampaikan, tetapi yang kita
sampaikan adalah informasi yang benar-benar bermakna dan dibutuhkan sasaran. Informasi
yang dibutuhkan dan bermakna adalah informasi yang mampu membantu/mempercepat
pengambilan keputusan untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki.
Untuk itulah maka, pemilihan informasi harus benar-benar selektif dengan mempertimbangkan
jenis teknologi mana yang tepat dipilih sebagai medianya.
Sejarah,
kini dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, kembali
menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur
interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih efisien. Dalam dunia pendidikan, revolusi informasi
akan mempengaruhi jenis pilihan teknologi dalam pendidikan, bahkan, revolusi
ini secara pasti akan merasuki semua aspek kehidupan (termasuk pendidikan).
Inilah yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.
Siapkah lembaga pendidikan kita menyambutnya?!
Dunia
pendidikan harus menyiapkan seluruh
unsur dalam sistim pendidikan agar tidak
tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan tersebut. Melalui penerapan dan
pemilihan yang tepat teknologi informasi
(sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang
berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara
konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki
secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga
pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini
akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan
penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat,
sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Bagi lingkungan lembaga kependidikan seperti FKIP dan STKIP, penerapan
teknologi dalam pendidikan di era global informasi tidak lain adalah bentuk
aplikasi jenis-jenis teknologi informasi
mutakhir dalam praktek pendidikan. Proses belajar mengajar yang menerapkan teknologi informasi mutakhir dapat berupa
penggunaan media elektronik seperti radio, TV, internet dan sistim jaringan
komputer, serta bentuk-bentuk teledukasi lainnya.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan
harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi
peningkatan mutu pendidikan kita.
PENUTUP
Memperhatikan uraian di atas, maka untuk peningkatan mutu pendidikan dan
lulusan FKIP dan STKIP yang mampu mengikuti tuntutan perkembangan perlu
dirumuskan suatu sistem manajemen mutu pendidikan guru yang tepat.
Sebagai suatu rambu-rambu, lembaga pendidikan tenaga kependidikan
haruslah mengikuti arah paradigma baru pendidikan yaitu mengedepankan layanan
mutu dengan membuka diri terhadap penerapan prinsip otonomi pendidikan, siap
menerapkan akuntanbilitas publik, siap diakreditasi bahkan mengusahakannya, dan
dari waktu ke waktu melakukan evaluasi diri untuk perubahan yang lebih
baik agar menghasilkan suatu lembaga dan
lulusan yang bermutu. FKIP dan STKIP harus melakukan usaha-usaha mendasar
manajemen mutu yakni memperhatikan segala tuntutan dan kebutuhan “stakeholder”, mendorong motivasi
instrinsik dalam lembaga untuk mengejar mutu, dan secara terus menerus
melakukan perbaikan, serta menjalin kerjasama dari semua unsur yang terlibat
dalam proses pencapaian mutu tersebut. FKIP dan STKIP harus mampu membawa semua unsur intern lembaga menempatkan diri
sebagai lembaga “jasa” yang harus dapat “melayani” fihak-fihak yang berkepentingan menjadi terpuaskan dan
terlayani kebutuhannya dengan baik.
Adanya revolusi teknologi informasi, mendorong bagi FKIP dan STKIP untuk
meningkatkan profesionalisme lulusan melalui usaha-usaha penyiapan calon
guru/tenaga kependidikan lainnya untuk dapat menguasai dan menyesuaikan
terhadap tuntutan perubahan akibat revolusi teknologi informasi tersebut.
Kesiapan dan keterbukaan akan terjadinya pola hubungan peserta didik – guru,
teknologi instruksional dan lain-lainnya, harus diantisipasi melalui
perubahan-perubahan didalam FKIP dan STKIP itu sendiri.
Kerjasama FKIP dan STKIP dengan organisasi profesi (seperti PGRI) dan
alumni sangatlah penting, terutama dalam merumuskan dan meningkatkan kompetensi
guru, termasuk memberikan layanan “inservice
training” bagi guru-guru/tenaga kependidikan lainnya yang memerlukan
penyegaran kemampuannya.
Dalam fungsi lembaga pendidikan sebagai penyampai informasi, FKIP dan
STKIP perlu memilih media-media pendidikan yang tepat agar selalu dapat
mengejar ketinggalan dengan mengacu pada informasi yang dibutuhkan dan bermakna
bagi peserta didik (Darmadi Hamid,2010). Untuk itu, maka pilihan atas teknologi
informasi yang mutakhir sudah menjadi suatu keharusan yang tidak dapat
dihindari. Semoga bermanfaat. Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi
Kalimantan Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Darmadi Hamid (2010) Kemampuan Dasar Mengajar : Konsep
Dasar Teori dan Praktek Bandung; Alfabeta
Karsidi, Ravik, 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam
Pendidikan, Bahan Ceramah di Pondok Assalam, Surakarta 19 Februari.
Sasono, Adi, 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika
Perubahan, Malakah Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan, Hotel Sangri-La, Jakarta 5-7 Desember.
Sallis,
Edward, 1993. Total Quality Management in
Education, Kogam Page, London.
Slamet,
Margono, 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu
Terpadu, IPB Bogor.
William,
Frederick, 1984. The News Communication, Los Angeles : Wadsworth, Inc.
Wirakartakusumah,
1998. Pengertian Mutu Dalam Pendidikan, Lokakarya MMT IPB, Kampus Dermaga
Bogor, 2-6 Maret
Tidak ada komentar:
Posting Komentar