Harus diakui mutu guru berimplikasi
terhadap mutu luaran suatu lembaga pendidikan, namun guru bukan satu-satunya
komponen yang menentukan. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana mutu guru
dianggap rendah dewasa ini?
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda
terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran (Darmadi
Hamid, 2010). Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan
banyak orang, dan tentunya tidak lain berkaitan dengan kinerja dan totalitas
dedikasi dan loyalitas pengabdiannya. Sorotan tersebut lebih bermuara pada
ketidakmampuan guru di dalam melaksanaan proses pembelajaran di sekolah, sehingga
bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah
kepada sisi kelemahan guru, maka hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada
guru, dan mungkin ada system yang berlaku kurang btepat, baik sengaja ataupun
tidak disengaja berpengaruh terhadap permasalahan pendidikan.
Membicarakan pendidikan ibarat meramu
fenomena hidup yang tidak pernah usai. Pendidikan selalu menarik dan memberi
gairah untuk dibicarakan. Selain sebagai bagian kehidupan yang amat
fundamental, juga menyangkut investasi masa depan suatu bangsa. Karena
menariknya, tidak heran jika banyak orang yang urung rembuk membicarakannya.
Bahkan orang yang tidak memahami seluk beluk pendidikan sekali pun sangat
berani melontarkan komentar mengenai pendidikan dan berbagai masalahnya. Beberapa
waktu lalu dunia pendidikan dikejutkan oleh fenomena kegagalan siswa dalam
Ujian Akhir Nasional (UAN). Kini akan dihadapi lagi dengan berbagai
kontraversi. Berbagai kalangan pun angkat bicara dan mengarahkan telunjuk
kepada sasaran yang sepanjang zaman selalu menjadi kambing hitam, yakni guru.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan,
bagaimana kinerja guru bisa berdampak kepada pendidikan yang bermutu. Kita
melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan kurikulum
pendidikan yang sering berubah, maka secara langsung atau tidak akan berdampak
kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban
psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat
perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh
guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru
professional.
Guru mendapat hadiah luar biasa berupa
tuduhan yang sangat memojokkan eksistensinya. Bahkan tidak sedikit pernyatan
yang bernada memilukan (mungkin sekaligus memalukan) yang diarahkan kepada
profesi yang teramat mulia dengan predikat oleh masyarakat sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa. Seorang "pengamat" dalam dialog Radio Celebes
beberapa tahun lalu mengemukakan dengan nada amat sinis bahwa bagaimana guru
akan berhasil mengajar jika yang ada dalam pikiran guru hanya pelunasan
pembayaran kredit/cicilan barang-barang untuk pemenuhan kebutuhan karena ingin
mengikuti gaya hidup masa kini, sementara mereka belum mampu.
Pernyataan Sekretaris Forum Pengkajian
Aspirasi Guru (FK-PAGI) Makassar (di sebuah media, beberapa waktu
lalu menanggapi kegagalan
siswa dalam UAN sebagai akibat dari rendahnya mutu guru, dan berbagai
pernyataan lainnya yang arahnya sama menunjuk guru sebagai komponen yang paling
bertanggung jawab atas kegagalan siswa dalam UAN. Berbagai pernyataan yang sangat
konstruktif dilontarkan atas fenomena ini perlu disambut baik untuk dapat
disikapi secara bersama. Kita harus mengakui kegagalan itu. Namun, ada yang
menggelitik naluri keguruan penulis sehingga tergerak untuk menyatakan kembali
kearifan pendidikan kita dan mendudukkannya pada kerangka acuan yang
sesungguhnya. Harus diakui bahwa peran guru dalam dunia pendidikan sangat
besar. Akan tetapi, pendidikan harus dilihat sebagai suatu sistem, yang setiap
komponen memegang peran yang sangat penting.
Undang Undang Sisdiknas pasal 7,8, dan
9 sangat jelas mengamanatkan bahwa pendidikan adalah kewajiban warga negara,
orang tua, masyarakat, pemerintah, dan pemerintah daerah. Selain itu, dalam
paradigma belajar mungkin perlu dipertegas kembali bahwa pembicaraan perihal
belajar dan mengajar tidak dapat dilepaskan dari siswa-guru. Ada hal menarik
yang dapat dicermati apabila dua kutub ini diperbincangkan lebih jauh.
Kenyataan masih tetap menunjukkan bahwa sentra belajar berada pada guru,
sedangkan siswa lebih dimaknai sebagai objek yang diajar. Masih dianggap bahwa
hidup matinya siswa dan ada di tangannya. Guru berposisi sebagai orang serba
tahu sedangkan siswa senantiasa ada dalam jurang ketidaktahuan.
Berdasarkan kenyataan tersebut muncul
gambaran bahwa siswa belajar apabila guru mengajar. Akan tetapi, justru
sebaliknya yang sangat penting untuk dinyatakan adalah guru belum mengajar
kalau siswa belum belajar atau guru baru dapat mengajar apabila siswa belajar.
Pandangan pembalikan yang penting tersebut tampaknya bersifat lebih arif.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa kegiatan mengajar adalah kegiatan yang
sebenarnya lebih bermakna mengkondisikan agar peristiwa belajar berlangsung.
Kenyataan tersebut tidak berbeda
dengan paham kaum konstruktivisme yang menyatakan bahwa belajar adalah
peristiwa ketika pebelajar (orang yang belajar) secara terus-menerus membangun
gagasan baru atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang
senantiasa disempurnakan. Dalil tersebut sejalan dengan pendapat yang mengatakan
bahwa titik pusat hakikat belajar sebagai pengetahuan pemahaman terwujud dalam
bentuk pemberian makna oleh pebelajar pada pengalamannya melalui berbagai
bentuk pengkajian yang memerlukan pengerahan berbagai keterampilan kognitif
dalam mengolah informasi yang diperoleh melalui indra. Oleh karena itu,
kegiatan belajar bergeser dari menerima informasi ke arah membangun
pengetahuan. Wawasan pebelajar yang harus dikembangkan tidak hanya wawasan
kognitif saja tetapi juga menyentuh wawasan afektif, psikomotor, dan
metakognitif yakni kemampuan tentang belajar bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn).Yang menarik
dari konsep di atas adalah bahwa guru bukan jaminan siswa menjadi pandai.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan seperti
sekarang ini menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah pendidikan
akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang
diberikan dapat menjadi sisi tawar di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan
tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru
sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak
terhadap kinerja guru yang bersangkutan. Apapun kritik yang diberikan, apakah
bernilai positif atau negative kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti
bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadikan
kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan perilaku
pendidikan yang diuharapkan. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan,
tanpa itu sukar bagi guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama
ini, dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan
lebih lanjut.
Seandainya karena guru siswa menjadi
pandai, maka bisa jadi semua siswa akan pandai karena tidak seorang pun guru
yang tidak menghendaki anaknya pandai, kecuali kalau guru itu "guru
palsu". Logika dan cara pandang sederhana dapat dibuktikan kekuatan guru
dalam mutu pendidikan, ketika suatu kondisi diubah di mana semua guru sekolah
unggulan yang berpasilitas memadai, misalnya, dipindahkan ke sekolah daerah
sangat terpencil yang sangat minim fasilitas dengan siswa tetap, maka apakah
terjadi perubahan signifikans dari mutu kedua sekolah tersebut? Jawabannya
tentu dapat diramalkan bahwa, kita tidak bisa berharap banyak dari guru yang
bagus dengan sarana minim plus siswa dengan potensi seadanya. Berangkat konsep
dan dari ilustrasi di atas, tidak arif kiranya jika penyebab kegagalan
pendidikan selalu dihujamkan hanya kepada guru.
Selama ini mungkin memang kita kurang
rasional dalam melihat persolan pendidikan. Penilaian terhadap pendidikan masih
dipandang sebagai bentuk sepenggal-sepenggal. Bisa jadi selama ini pemahaman
bahwa pendidikan sebagai sebuah sistem hanya sebagai teori. Implikasinya, kita
tidak berpikir rasional untuk membangun pendidikan dengan menganut pemahaman
kekuatan sistem. Kalau kita sepakat bahwa pendidikan sebagai suatu sistem, maka
pertanyaan mendasar adalah sejauh mana setiap komponen memainkan perannya dalam
membangun pendidikan? Sejauh mana pemerintah mengarahkan kepedulian terhadap
pembangunan pendidikan? Sejauh mana masyarakat termasuk orang tua memberi
kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan, dan bagaimana kualitas
guru dalam mengembang tugas kependidikan? Termasuk bagaimana kesiapan input
pendidikan kita untuk diproses menjadi autput yang handal? Dalam tulisan
singkat ini dicoba membedah eksisitensi komponen pendidikan untuk melihat di
mana letak subtansi permasalah yang dihadapi pendidiksan kita agar tidak hanya
menjadikan guru sebagai kambing hitam. Kepediulian Pemerintah
Dalam konteks komitmen, banyak aspek
yang terkait pada tataran membangun pendidikan. Secara sederhana dapat
dinyatakan bahwa perangkat pendidikan tanggung jawab pemerintah. Mari kita
tengok perangkat pendidikan dewasa ini. Sejauh mana sarana dapat memberi
kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidik? Sarana perpustkaan, buku ajar,
gedung sekolah, laboratorium, apakah sudah memberi kontribusi cukup untuk
menjamin mutu pendidikan? Apakah ratusan gedung sekolah yang tidak layak
merupakan pencerminan kepedulian?
Pertanyaan ini tentu tidak perlu
dijawab tetapi perlu pikiran rasional untuk melihat fenomena yang ada. Yang
kerap menjadi nada sumbang bagi para praktisi pendidikan sejati adalah
perhatian/kepedulian pemerintah yang sangat minim dalam membangun pendidikan.
Penghargaan terhadap bidang pendidikan masih sangat rendah di banding bidang
lainnya seperti olahraga dan seni. Selain itu, kesungguhan pemerintah untuk
melakukan investasi pada bidang pendidikan untuk kemamjuan bangsa ini belum
sepenuh hati. Ini terbukti dari prioritas pembiayaan pendidikan yang masih
sangat rendah. Apakah kondisi ini sudah cukup mendapat kajian mendalam
sehubungan dengan pendefenisian mutu pendidikan kita?
Jawabnya tentu terpulang pada pikiran
rasional kita.
Partisipasi Masyarakat Kita semua adalah masyarakat. Apa yang telah kita berikan kepada pendidikan? Bukankah selama ini justru masyarakat menyatakan pertanyaan sebaliknya: Apa yang telah diberikan pendidikan kepada masyarakat? Kontribusi apa telah diberikan masyarakat, termasuk orang tua untuk membangun pendidikan: dana, tenaga, pikiran? Sejau hmana masayarakat dan orang tua menjadi mitra sekolah untuk membangun pendidikan?. Cara pandang ini tentu harus didudukkan pada kerangka yang sesungguhnya bahwa pendidikan adalah kewajiban bersama seluruh komponen bangsa. Masayakat diharapkan menjadi pemilik, penyedia, dan penyelenggara pendidikan baik langsung maupun tidak langsung. Sekolah adalah milik masyarakat. Dengan demikian, jika sekolah tidak berhasil menelorkan alumni yang unggul tentu juga merupakan kegagalan masyarakat. Sebuah ironi yang selalu diusung oleh para politisi yang seperti pahlawan kesiangan adalah sekolah gratis. Ini sangat bertentangan dengan filosofi pendidikan. Negera sedang berkembang seperti Indonesia belum saatnya gratis. Masyarakat diharapkan berpartisipasi secara maksimal yang tentunya dengan sistem yang tidak kaku. Selama ini memang banyak persoalan karena sistem yang kaku tidak menganut konsep partisipasi tetapi kewajiban mutlak sehingga membuat masyarakat merasa berat. Kalau ditata dengan sistem yang baik maka tidak ada yang merasa berat karena kata partisipasi memberi kekuatan untuk tidak ada yang berat. Meskipun tidak selamanya mutu hasil/luaran suatu sekolah ditentukan oleh inputnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bibit yang unggul dapat menghasilkan buah yang unggul jika prosesnya unggul.
Partisipasi Masyarakat Kita semua adalah masyarakat. Apa yang telah kita berikan kepada pendidikan? Bukankah selama ini justru masyarakat menyatakan pertanyaan sebaliknya: Apa yang telah diberikan pendidikan kepada masyarakat? Kontribusi apa telah diberikan masyarakat, termasuk orang tua untuk membangun pendidikan: dana, tenaga, pikiran? Sejau hmana masayarakat dan orang tua menjadi mitra sekolah untuk membangun pendidikan?. Cara pandang ini tentu harus didudukkan pada kerangka yang sesungguhnya bahwa pendidikan adalah kewajiban bersama seluruh komponen bangsa. Masayakat diharapkan menjadi pemilik, penyedia, dan penyelenggara pendidikan baik langsung maupun tidak langsung. Sekolah adalah milik masyarakat. Dengan demikian, jika sekolah tidak berhasil menelorkan alumni yang unggul tentu juga merupakan kegagalan masyarakat. Sebuah ironi yang selalu diusung oleh para politisi yang seperti pahlawan kesiangan adalah sekolah gratis. Ini sangat bertentangan dengan filosofi pendidikan. Negera sedang berkembang seperti Indonesia belum saatnya gratis. Masyarakat diharapkan berpartisipasi secara maksimal yang tentunya dengan sistem yang tidak kaku. Selama ini memang banyak persoalan karena sistem yang kaku tidak menganut konsep partisipasi tetapi kewajiban mutlak sehingga membuat masyarakat merasa berat. Kalau ditata dengan sistem yang baik maka tidak ada yang merasa berat karena kata partisipasi memberi kekuatan untuk tidak ada yang berat. Meskipun tidak selamanya mutu hasil/luaran suatu sekolah ditentukan oleh inputnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa bibit yang unggul dapat menghasilkan buah yang unggul jika prosesnya unggul.
Pertanyaannya sekarang adalah sejau
hmana masyarakat dan orang tua memahami dan merasa bertanggung jawab atas
kualitas input tersebut? Kegiatan penerimaan siswa baru (PSB) saja, selalu
menjadi masalah karena orang tua tidak memberi kontribusi positif. Sistem
penerimaan murid baru yang telah dirancang dengan baik, misalnya umur tertentu,
tetapi orang tua tetap memaksakan kehendak untuk menggunakan cara-cara non
prosedural. Belum lagi banyaknya praktik masuk sekolah lewat jendela. Semua ini
berarti orang tua/masyarakat tidak memberi kontribusi positif terhadap upaya
menciptakan input yang baik untuk diproses dalam suatu sekolah, akibatnya tentu
berdampak pada output yang berimplikasi pada mutu pendidikan.
Jika masyarakat mendukung sistem ini
dengan kesadaran sebagai tanggung jawab bersama, tentu kita dapat mengurangi
dampak dari input yang kurang bermutu sehingga dapat diproses dengan baik dan
menghasilkan luaran dengan baik. Harus diakui bahwa mutu guru berimplikasi
terhadap mutu luaran suatu lembaga pendidikan, namun guru bukan satu-satunya
komponen yang menentukan. Pertanyaannya sekarang adalah; sejauh mana mutu guru
dianggap rendah dewasa ini? Cara pandang dan indikator apa, serta data apa yang
digunakan untuk dapat menyatakan mutu guru kita rendah? Yang pasti dewasa ini
adalah jumlah guru memang masih sangat sedikit dibanding dengan rasio siswa.
Berbicara menganai guru, tentu tidak terlepas pula dari peran dan komitmen
pemerintah termasuk masyarakat. Mutu dan jumlah guru, sangat ditentukan oleh
kepedualian pemerintah, orang tua, dan masyarakat sebagaimana amanat UU
Sisdiknas. Sejauh mana kontribusi pemerintah, masyarakat dan orang tua terhadap
persoalan guru?
Dalam suatu pertemuan ilmiah bersama
dengan staf ahli mendiknas beberapa waktu silam, ada pertanyaan rasional dan
menggelitik dalam kaitannya dengan mutu pendidikan yang dilontarkan salah
seorang bahwa: Apa yang dapat diharapkan jika di sebuah sekolah desa terpencil
yang hanya ada dua orang guru dari enam kelas, dengan fasilitas yang amat
sederhana? Staf ahli menteri hanya manggut-manggut membayangkan fenomen yang
banyak terjadi seantero negeri ini. Ini pertanda permakluman yang menyatakan
secara rasional hakikat permasalahan yang dihadapi pendidikan, karena
pertanyaan seperti itu tentu tidak membutuhkan jawaban secara politis jika
hendak membangun pendidikan dengan sungguh-sungguh. Apalagi kita akan
mengahadapi empat taraf otonomi dalam pendidikan kita yang membutuhkan waktu
yang cukup panjang yaitu pra formal, formal, transisional, dan otonomi. Jika
kita menengok standar pelayanan minimal pendidikan (SPM), rasanya SPM pendidikan
yang telah diteorikan oleh pemerintah masih sangat jauh dari kemungkinan untuk
terealisai. Apa maknanya semua itu? Tentu merupakan jawaban pasti penyebab
rendahnya mutu pendidikan. Jika diurai, di dalam SPM sangat jelas terlihat
bahwa semua komponen mempunyai peran yang penting dalam menentukan mutu
pendidikan. Ini juga memberi indikasi bahwa pendidikan dewasa ini memang cukup
rumit dan masih harus merangkak tertatih-taih menuju arah yang labih baik, jika
kita tidak membangun pendidikan sebagai sebuah sistem yang utuh.
Demikian beberapa pikiran rasional
melihat wajah pendidikan kita yang oleh banyak kalangan dinyatakan masih suram.
Penting untuk direnungkan, bahwa kita adalah masyarakat, kita adalah
pemerintah, kita adalah orang tua semua adalah penentu wajah pendidikan kita,
bukan hanya guru. Mari kita mendukung eksistensi guru dan tidak mengkambingh
hitamkannya dengan partisipasi serta mengarahkan kepdualian yang tinggi penuh
tanggung jawab moral-kemanusiaan, selain sebagai tanggung jawab sebagai warga negara.
Nyatakan dalam nurani: Apa yang dapat kita berikan untuk pendidikan, jangan
tanyakan apa yang akan diterima dari pendidikan. Kesadaran akan pendidikan
seperti ini semoga dapat memunculkan kuncup-kuncup baru dengan masa depan yang
lebih baik. Siapa pun pemerintah, siapun masyarakat, anak-anak kita harus
memperoleh pendidikan yang terbaik, karena hanya dengan pendidikan kita dapat
mengubah wajah bangsa ini.Semoga. Penulis adalah Ketua Dewan Pendidfikan Provinsi
Kalimantan Barat
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
BalasHapusSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^