DAYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI
BORNEO BARAT(1)
Oleh : HAMID DARMADI*)
ABSTRAK
Tulisan ini berjudul
“Keseharian Suku Dayak Asal-Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat”.
Kehadiran tulisan ini bertujuan mengungkapkan asal usul dan budaya Dayak
sebagai salah satu suku “Asli Borneo” yang mendiami Pulau Borneo (Kalimantan)
pada umumnya dan Borneo Barat khususnya. Borneo (Kalimantan) terbagi berdasarkan wilayah
Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan
Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin,
Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya
Pontianak, Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor. Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam 405
sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub suku Dayak mempunyai adat
istiadat dan budaya yang mirip, sesuai dengan sosiologi kemasyarakatannya dan
perbedaan adat istiadat, budaya, dan bahasa yang khas pada masing-masing sub
suku tersebut, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak
Malaysia. Etnis Dayak terdiri dari enam rumpun besar, yaitu
Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun
ini terbagi dalam 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh daerah pedalaman
Borneo (Kalimantan). Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama
“eksonim” dan “endonim”. Kata Dayak
berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang
tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat
khususnya. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku,
kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas Ciri-ciri
tersebut menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat
dimasukkan ke dalam kelompok Dayak Ciri-ciri tersebut ialah “Rumah Betang”
(rumah panjang), hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong
(kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan
berbagai seni termasuk seni tari. Agama
asli suku Dayak adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari
budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu.
Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal
luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan
dikategorikan cabang agama Hindu. Provinsi
Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri dalam proses alkurturasi cultural atau perpindahan
suatu culture religius masyarakat
setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan tiga suku
terbesar di Kalimantan Barat yaitu Tionghua (Cina), Dayak, Melayu . (TIDAYU). Sebagian Masyarakat Dayak masih memegang teguh
kepercayaan akan adanya benda-benda gaib pada tempat-tempat tertentu
benda-benda tertentu seperti batu-batu, pohon-pohon besar, danau, lubuk (air
sungai yang dalam) dan lain-lainnya ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata,
Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain. Masyarakat Dayak juga memiliki seni
budaya seperti pakaian adat, tari-tarian, penyembahan dan ritual-ritual
berperang ritual-ritual berladang, sperti ketika akan dembuka lahan untuk
berladang mereka mengakan ritual kepada Puyang Gana (penguasa tanah), Raja
Juata (penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan
lain-lain. Disi lain
juga ada upacara Tiwah merupakan satu acara adat suku Dayak. Tiwah
adalah ritual yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah
meninggal ke Sandung yang sudah di disiapkan sebelumnya. Sandung adalah tempat
semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang
orang yang sudah meninggal.
Kata Kunci: Dayak, Asal-Usul, Penyebaran dan Borneo
(Kalimantan)
ABSTRACT
This article titled "Daily Dayak Origin and
Spread in West Borneo Earth". The presence of this paper aims to reveal
the origin and culture as one of the Dayak tribe "First Borneo" that
inhabit the island of Borneo (Kalimantan) in general and in particular the West
Borneo. Borneo (Kalimantan) divided by region Administrative governing each
region consisting of: the East Kalimantan capital Samarinda, South Kalimantan
capital Banjarmasin, Central Kalimantan capital of Palangkaraya, and West
Kalimantan capital Pontianak, North Kalimantan capital city of Tanjung Selor ,
Dayak groups, divided into 405 sub-sub-tribe (J.U.Lontaan, 1974). Each sub
Dayak customs and cultures have similar, according to sociology kemasyarakatannya
and differences in customs, culture, and language typical of each of the
sub-tribe, either Dayak Dayak in Indonesia as well as in Sabah and Sarawak in
Malaysia. Dayak consists of six large clumps, the Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum,
Iban, Murut, Klemantan and Punan. Sixth clump is divided into 405 small
sub-tribes, which spread across the hinterlands of Borneo (Kalimantan). The
name "Dayak" or "Power" is the "eksonim" and
"endonim". The word comes from the word Dayak Power "which means
upstream, to mention the people who live in rural or inland generally
Kalimantan and West Kalimantan in particular. Although it divides into hundreds
of sub-tribe, Dayak ethnic group have the same cultural traits are typical
characteristics of such a deciding factor one of a sub-tribe in Borneo can be
put into groups Dayak These characteristics are "betang" (longhouse)
, the results of material culture such as pottery, saber, chopsticks beliong
(ax Dayak) view of nature, livelihood (farming system) and a variety of arts,
including dance. Dayak indigenous religion is Kaharingan, which is the original
religion born of the local culture before the Indonesian people to know first
the Hindu religion. Because Hindus have meyebar widely in the world, especially
Indonesia and more widely known, when compared with the Dayak religion, the
Religion Kaharingan categorized branch of Hinduism. West Kalimantan province
has its own uniqueness in the process alkurturasi cultural or religious culture
movement of a local community. In this case the process is closely related to
the three largest tribes in West Kalimantan is a Chinese (China), Dayak, Malay.
(TIDAYU). Most Dayak still adhere to the belief in the existence of things
unseen in certain places certain objects such as rocks, big trees, lakes, pools
(river water in) and others there are rulers, they call: Jubata, Petara, Ala
Taala, Penompa and others. The Dayak also have art and culture such as
traditional clothes, dance, worship and rituals war rituals farming, just as
when it will dembuka land for farming them mengakan ritual to Puyang Gana
(ruler of the land), King Juata (ruler Air), Kama "Baba (ruler Army),
Jobata, Apet Kuyangh and others. Other Disi also Tiwah ceremony is a
traditional event Dayak tribe. Tiwah is a ritual performed for delivery of the
bones of the dead to Sandung that has been previously prepared. Sandung is a
sort of a small house that is made specifically for storing bones of the dead.
Keywords: Dayak, Origins, Spread and Borneo
(Kalimantan)
PENDAHULUAN
Dayak
merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan terbagi
berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing
terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan
ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan
Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung
Selor.
Kelompok
Suku Dayak, terbagi lagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974).
Masing-masing sub suku Dayak mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip,
sesuai dengan sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya,
maupun bahasa yang khas pada masing-masing sub suku tersebut, baik Dayak di
Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak Malaysia.
Etnis
Dayak Kalimantan menurut J.U. Lontaan, 19745 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat
Istiadat Kalimantan Barat menyebutkan, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub
suku kecil, yang menyebar di seluruh daerah pedalaman Kalimantan. Mereka
menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan
nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal
katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut
sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang
Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan
Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh
yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan
menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena
suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit
(Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak
Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju, Desa dan lain-lain, yang
memiliki latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.
Nama
"Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan
diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang
diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang
artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau
perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini
banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan provinsi)
yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh
tradisi nenek moyang mereka.
Pada tahun
(1077-1078) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian
nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia
mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan
yang sekarang disebut pegunungan "Muller-Schwaner". Suku Dayak
merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari
Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, makin lama mereka makin menyingkir ke
daerah pedalaman. Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa
pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Suku Dayak
hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah pedalaman Kalimantan dalam rentang
waktu yang lama, mereka hidup menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir
dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa
suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan.
Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut "Nansarunai Usak Jawa",
yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut
mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala
dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak yang memeluk agama Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai
orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar.
Sedangkan orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam kembali menyusuri sungai,
masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan, bermukim di
daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan
Watang Balangan. Sebagain lagi terus masuk rimba. Orang Dayak yang memeluk agama Islam kebanyakan
berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung
Mangkurat adalah seorang Dayak Maanyan atau Ot Danum. (Sejarah Asal Usul
Suku Dayak Kalimantan) namanya di abadikan sebagai nama Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin.
Tidak hanya
dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun
1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di
kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa
datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan
tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan
kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang
Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak
seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal
abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo
mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah
pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya
singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan
Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas.
Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu,
sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto
kertodipoero,1963).
Dibawah ini
ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini,
dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang
masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan
budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak
berasal dari pedalaman Kalimantan. Upacara
Tiwah. Upacara Tiwah merupakan
acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk
pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat.
Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk
mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah
bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang
orang yang sudah meninggaltersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya
(sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan
lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya
(Sandung).
Jika kita kilas balik kebelakang menurut asal katanya, Dayak berasal dari kata "Daya"
yang artinya hulu. Kata ini untuk menyebut masyarakat yang tinggal di pedalaman
atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya. Ada pelbagai
pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini belum ada yang
signifikan secara validitas dan reliabilitas. Namun pendapat familiar yang
berlaku umum meenyebutkan bahwa orang Dayak ialah salah satu kelompok asli terbesar
dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231) Gagasan
tentang penduduk asli ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipercaya bahawa nenek moyang orang Dayak
berasal dari China Selatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mikhail Coomans
(1987: 3):
Semua suku
bangsa Dayak termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari
daratan Asia. Suku bangsa Dayak merupakan keturunan daripada imigran yang
berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat
itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo China ke jazirah Malaysia yang
menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin
ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan
Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman
es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil
sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau
tersebut.
Orang-orang Dayak ialah
penduduk pulau Kalimantan yang sejati. Tidak ada orang Dayak di pulau lain
selain Kalimantan, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baik di
pantai-pantai maupun dibagian daratan Akan tetapi tatkala orang Melayu dari
Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang orang Dayak menyingkir lama
kelamaan bertambah jauh ke daerah pedalaman Kalimantan disatu sisi. Disisi lain
masyarakat Dayak memiliki tradisi berladang berpindah. Dari tahun ketahun
mereka mencari hutan yang dinilai subur untuk berladang dan befrcodok tanam
sebagai mata pencaharian demikian seterusnya. Akhirnya tahun berganti tahun,
puluhan tahun, ratusan tahun dan bahkan puluh ribuan tahun akhirnya hampir
seluruh daerah pelosok pedalaman Kalimantan tidak ada yang lepas dari hunian
orang dayak.
Dewasa ini
suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot
Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan Keenam rumpun ini terbagi lagi kepada
lebih kurang 405 sub suku. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok
suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas Ciri-ciri tersebut
menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke
dalam kelompok Dayak Ciri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya
material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan
terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan seni tari.
Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar
yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan "daerah
asal" orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan
Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan
lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain,
kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan
kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian,
satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut
sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari
pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau
juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri orang Dayak).
Sebagai
catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam
acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat,
dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan
atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses
pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi
pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin
banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin
sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya.
Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami
mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau
sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi
serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.
Etnisitas dan Keberagamaan Masyarakat
Dayak
Kalimantan
Tengah memiliki etnisitas yang relatif berbeda di bandingkan dengan Kalimantan
Barat dan daerah lainnya. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah
adalah ethnis suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dan lain sebagainya.
Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di
Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya sebagai orang Dayak, demikian
juga bagi Dayak yang beragama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan
Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya
setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena
Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas,
jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan
cabang agama Hindu.
Provinsi
Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan
suatu culture religius bagi
masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan
tiga suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Tionghua (Cina), Dayak, Melayu . (TIDAYU).
Ada batik TIDAYU da nada tarian TIDAYU. Pada mulanya orang Dayak mendiami daerah
pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing,
kemudian datang pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan
tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian
karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar
barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di
masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai
potensi dagang yang besar bagi keuntungannya. (sejarah asal usul suku Dayak).
Hal tersebut menjadi daya tarik
tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang
membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya
proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural,
menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat
lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system
religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang
Melayu yang telah lebih dahulu mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam
dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka
masyarakat lokal, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut
yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun
1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada masa penerintahan Giri Kusuma yang
merupakan kerajan melayu yang kemudian mulai menyebar di seluruh daerah Kalimantan
Barat.
Dayak Muslim
Masyarakat
Dayak yang masuk Islam dan yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut
dengan ”Senganan”, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim
dirinya dengan sebutan orang Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang
mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai
karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah
yang mereka segani. Seiring dengan perkembangan social masyarakat dan kemajuan pengetahuan,
masyarakat Dayak yang beragama islam menyebut dirinya istilah “Dayak Muslim”.
Hal ini patut diberikan apresiasi yang tinggi. Ini artinya mereka sudah kembali
kefitrahnya yaitu “orang Dayak”. Agama boleh berbeda, etnis boleh tidak sama
tetapi asal usul tidak boleh dilupakan sebagai manifestasi dari berbeda-beda
namun tetap satu “Bhinneka Tunggal Ika” itulah Indonesia raya.
Seni
Budaya
1. Ciri-Ciri Tari Dayak Berdasarkan Wilayah
Penyebarannya
Orang Dayak
di Kalimantan Barat terbagi atas sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh
kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno
Linguistik dan cirri cultural
gerak tari Dayak di Kalimantan Barat dibagi menjadi empat (4) kelompok besar,
dan satu (1) kelompok kecil sebagai berikut:
1. Kendayan/Kanayatn Grop : Dayak Bukit
(ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di
Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Sambas dan
sekitarnya. mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.
2. Ribunic/Jangkang Group/Bidoih/Bidayuh :
Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn,Jangkang, Kembayan, Simpakng,
dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten
Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
3. Iban/Ibanic Group:Dayak Iban dan
sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun,
Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya
di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau/malenggang dan sekitarnya
(perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten
Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah (Malaysia) dan Brunai Darusalam.
mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
4. Banuaka "Group : Taman,
Tamambaloh dan subnya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di
Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirif kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih
halus.
5. Kayaanik, punan, bukat dll.
Selain
terbagi menurut ethno linguistik yang
terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum
teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan berpencar dan terbagi
menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali /ayek-ayek, terdapat dialur
jalan tayan kearah Kabupaten Ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang, Daerah
simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan,
Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dan
sebagainya.
Kemudian
Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas,Kabupaten
Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap
dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian
Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal (mayoritas tanah pinoh antara lain desa
ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll) dayak
Kebahan (antara lain desa: poring, nusa kenyikap, Kayu Bunga, dan lain-lain
yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak
Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak
pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa
sungai bakah/sungai mangat, nyanggai, nanga raya dll),dayak limai (antara lain
desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak
ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak
seberuang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk
kelompok Kalteng), Leboyan. (Sejarah asal-usul Dayak Kalimantan Barat: J, U.
Lontaan Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974),).
2. Kepercayaan akan Benda-Benda Gaib
Secara
geografik masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan mereka percaya
setiap tempat-tempat tertentu benda-benda tertentu seperti batu-batu,
pohon-pohon besar, danau, lubuk (air sungai yang dalam) dan lain-lainnya ada
penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan
lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai
penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana
(penguasa tanah), Raja Juata (penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat),
Jobata, Apet Kuyangh dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh
kepercayaan dinamismenya dan budaya aslinya, sambil mencari tanah yang subur
untuk berladang dan bercocok tanam mereka memisahkan diri masuk hutan keluar
hutan semakin jauh kepedalaman Kalimantan. Semakin subur tanah dan hutan-hutan
lebat, semakin banyak mereka berkumpul guna mempersiapkan diri untuk berladang
dan bercocok tanam
Sementara itu masyarakat Dayak yang
telah masuk Islam lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah
mempunyai peradaban tinggi dan lebih maju karena banyak berhubungan dengan
dunia luar. (sesuai dengan berjalannya waktu dan kemajuan social, maka masuklah para misionaris ke pedalaman).
Pada umumnya masyarakat Dayak yang masuk Islam di Kalimantan Barat disebut
dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan
nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku
dayak yang masuk Islam
memperlihatkan diri sebagai suku
melayu banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama
barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk
pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang beragama Islam, agama
islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan
dinamisme lebih identik dengan suku Dayak. Keunikan suku Dayak khususnya Dayak
di Kalimantan Barat. Apabila masuk agama Islam mereka tidak lagi menyebut diri
mereka sebagai orang Dayak, tetapi penyebut dirinya “:Melayu”. Tidak seperti
orang Batak atau orang Jawa, apapun agama yang dipeluknya, dan dimanapun mereka
berdomisili tetap menyebut diri sebagai suku aslinya. Sejalan terjadinya
urbanisasi ke Kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai,
karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun dari luar
nusantara lainnya.
Untuk
mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat
setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang
dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam
suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar
pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada
kalanya penembahan tersebut tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi
keamanan dan perluasan kekuasaan.
3. Tari “Ajat Temuai Datai” (Tari Menyambut
Tamu)
"Ajat Temuai Datai" diangkat
dari bahasa Dayak Mualang, Dayak Kantuk dan
Dayak Desa (Ibanic Group),
yang tidak dapat diartikan secara langsung, karena terdapat kejanggalan jika di
diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan/Permohonan
dengan menggelar ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya: tamu, Datai
artinya: Datang. Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari yang di dalamnya
terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut tamu atau Tari Menyambut tamu. bertujuan untuk
penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya
kesenian ini yakni dari masa pengayauan/masa lampau, diantara kelompok-kelompok
suku Dayak.
4. Ngayau
Mengayau,
berasal dari kata me dan Ngayau. Me berarti melakukan aksi, Ngayau: pemenggalan
kepala musuh, tindakan memenggal kepala musuh (Mengayau terdapat dalam bahasa
Dayak Iban dan Ibanik, juga pada masyarakat Dayak pada umumnya). Tetapi jika
mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok
lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya (mengayau
terdiri dari berbagai macam adatnya diantaranya:
Kayau banyau/ramai/serang, Kayau Anak
yaitu: Mengayau dalam kelompok kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak lebih
dari tiga orang. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang
pulang dari pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia (musuh),
merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu
menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat
Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan
suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi siempunya dan
sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat
1974),
Ada
empat tujuan mengayau yaitu: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan
tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu
bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh
memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa
Dayak disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!!!, sebanyak
tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan
memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga
kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh
korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan
apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda
nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun
kepala sukunya agar mempersiapkan acara penyambutan.
Proses
penyambutan ini, melalui empat babak yakni: 1. Ngunsai Beras (menghamburkan
beberapa beras di depan para Bujang Berani / Ksatria / Pahlawan, sambil
membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong), 2.Mancong Buloh yaitu;
Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau
di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai. 3.Ngajat Ngiring Temuai: menari
mengiringi tamu atau memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah
panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari
dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai. 4.Tamak’ Bilik (memasuki rumah
panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu
di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat, setelah melalui prosesi
babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud
menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat ( mengembalikan
semangat perang), kemudian baru diadakan Gawai palak' acara ini untuk
menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian
yang disebut: Tari Ayun Palak, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa
Panglima /Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau),
Tuwak Pangkar Begili (Tidak Pernah Mundur,strateginya jika terkepung, memutar
dan menyerang), Tuwak Sangau Sibi (Setiap saat ingin Mengayau), Tuwak Tali Aran
( senang koleksi kepala musuh semampunya dalam mengayau ),Tuwak Lang Ngindang (selalu
mengintai tempat - tempat pertahanan musuh terlebih dahulu seperti elang, jika
terkepung ia akan meloncat dan melayang mengikuti angin) dan lain sebagainya. (key
Informan: Tokoh Masyarakat Kumpang Bis Belitang Tengah dll.)
5. Pakaian Adat Dayak
Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi terluas di
Indonesia. Luas wilayahnya yang mencapai 146.807 km² (7,53% luas daratan
Indonesia) membuat provinsi ini terluas ke 4, setelah Irian Jaya, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Tengah. Luasnya wilayah Kalimantan Barat membuat
penduduknya memiliki asal-usul yang sangat heterogen. Akan tetapi, suku yang
paling dominan di Provinsi ini adalah suku Dayak dan Suku Melayu. Kedua suku
ini mempengaruhi bagaimana kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang
Kalimantan Barat. Pengaruh tersebut misalnya dapat kita lihat dari pakaian adatnya.
Pakaian Adat Kalimantan Barat Di masa silam, penduduk Kalimantan Barat
mengenakan pakaian adat yang sangat sederhana. Pakaian adat Kalimantan Barat
tersebut bernama King Baba dan King Bibinge. Berikut
ini disuguhkan Pakaian adat Dayak dan Pakaian adat Melayu Kalimantan.
Pakaian Adat Dayak Pakaian Adat Melayu
1. Pakaian
Adat untuk Laki-laki Pakaian adat Kalimantan Barat untuk Laki-laki bernama King
Baba. Dalam bahasa Dayak, King berarti pakaian dan Baba berarti laki-laki.
Pakaian ini terbuat dari bahan kulit kayu tanaman ampuro atau kayu kapuo. Kedua
jenis kayu ini adalah tumbuhan endemik Kalimantan yang mempunyai kandungan
serat tinggi.
2.
Untuk membuat king baba, kulit kayu tersebut dipukul-pukul
menggunakan palu bulat di dalam air, sehingga hanya tertinggal seratnya saja.
Setelah lentur, kulit tersebut kemudian dijemur dan dihias dengan
lukisan-lukisan etnik khas Dayak menggunakan bahan pewarna alami. Kulit kayu
dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai rompi tanpa lengan dan sebuah
celana panjang. Sebagai hiasan, serat kulit kayu tersebut juga dibuat menjadi
semacam ikat kepala. Sebagai pelengkap hiasan, biasanya laki-laki adat suku Dayak
di Kalimantan Barat juga akan menyelipkan sehelai bulu burung enggang, burung
khas Borneo yang kini mulai langka. Tak lupa, senjata tradisional berupa mandau
dan perisai juga dikenakan, terlebih ketika mereka hendak berperang. Oleh
karena itu, tak jarang pakaian adat Kalimantan Barat ini juga dikenal dengan
nama pakaian perang.
Burung Enggang atau disebut juga Rangkong adalah burung
dengan paruh menyerupai tanduk sapi dengan warna cerah. Burung ini merupakan
burung endemik di wilayah Kalimantan. Burung
Enggang yang di sakralkan orang Dayak di lukiskan sebagai berikut:
Burung Enggang
3.
Pakaian Adat Perempuan Sama seperti pakaian laki-laki,
pakaian adat Kalimantan Barat untuk para perempuan juga dibuat dari bahan dan
cara yang sama. Namun, desainnya lebih sopan dengan perlengkapan antara lain
penutup dada, stagen, kain bawahan, serta berbagai pernik lain seperti kalung,
manik-manik, dan hiasan bulu burung Enggang di kepalanya. Beberapa perhiasan
lain yang dikenakan di antaranya: Jarat tangan (gelang tangan) adalah gelang
yang dibuat dari pintalan akar tanaman tengang untuk dikenakan di tangan
sebagai penolak bala. Kalung dari bahan-bahan seperti akar kayu atau kulit
(tulang) hewan sebagai penangkal gangguan dari roh-roh halus, terutama sering
digunakan pada bayi. Beragam jenis gelang, di antaranya tjuk bulu tantawan,
tajuk bulu area, kalung manik lawang, galling gading, galang pasan manik,
galang pasan, sa’sawak tali mulung, sa’sawat pirak kurumut, dan posong. Oleh
masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat, kedua jenis pakaian ini selalu
dikenakan baik saat menjalani aktivitas harian, seperti bertani, berburu, atau
saat melakukan upacara adat. Adapun karena bahan-bahannya yang cenderung panas
dan kurang nyaman dikenakan, pakaian adat ini seiring berjalannya waktu mulai
ditinggalkan. Kemajuan peradaban dan pengaruh dari luar daerah membuat
masyarakat Dayak di Kalimantan Barat mulai mencoba beragam jenis pakaian lain
yang lebih nyaman. Beberapa di antaranya adalah: Bulang Buri dan King Buri
adalah pakaian adat yang dibuat dari buri atau kulit kerang laut. Pakaian King
Kabo’ adalah pakaian dari bahan kulit kayu yang hanya berupa cawat dengan
hiasan manik-manik atau pita-pita rumbai.
Pakaian King Tompang adalah
pakaian dari bahan kain berwarna polos yang mulai dikenal sejak ada interaksi
dengan orang Melayu. Pakaian Indulu Manik adalah pakaian dari kain dengan
tempelan manik-manik sebagai hiasan. Buang Kuureng adalah baju kurung dengan
lengan panjang berbahan kain beludru. Dan masih banyak lagi, di antaranya
pakaian Bulang Kawat, King Tatak, Bulang Panosokan, Bulang Kontong. Nah,
demikianlah beberapa jenis pakaian adat Kalimantan Barat dan keterangannya.
Dari beragam jenis pakaian di atas, saat ini yang masih tetap lestari adalah
King Baba dan King Bibinge. Kedua pakaian ini hingga sekarang tetap digunakan
terutama oleh suku-suku Dayak Kubu yang masih tinggal di pedalaman dan bertahan
hidup secara nomaden.
6. Dunia Supranatural.
Dunia
Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas
kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri menyebut Dayak
sebagai pemakan manusia (kanibal). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah
suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya
Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk
seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur
dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
7. Mangkok Merah.
Mangkok merah
merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak
merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima" atau sering suku
Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa
mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari
penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu.
Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang
luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal
dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah
tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima bertindak memimpin
acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam
acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika
pangka lima tersebut ber Tariu" (memanggil roh leluhur untuk meminta
bantuan dan menyatakan perang) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga
akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil
bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang
yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga
biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana
perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di
simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka
kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut
makin sakti.
Mangkok merah
terbuat dari teras bambu (terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk
bundar. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya
seperti ubi jerangau merah (acorus
calamus) yang melambangkan keberanian (bisa diganti dengan beras kuning),
bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (bisa diganti
dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon
sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai
lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan
dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita
turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu.
Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak
pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar
etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang
konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut
kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari
mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat
ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang
sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak diturunkan dari
langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau" (Palangka artinya
suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari
emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang"
)
8.
Upacara Tiwah
Sandung
rid755.wordpress.com
Upacara
Tiwah merupakan satu acara adat suku Dayak. Tiwah adalah ritual yang dilaksanakan
untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di
disiapkan sebelumnya. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang
dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang orang yang sudah meninggal.
Bagi
suku Dayak, Upacara Tiwah adalah momen yang sangat sakral. Pada acara
Tiwah ini, sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan
diletakkan ke tempatnya (Sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian,
suara gong maupun hiburan lain. sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di
letakkan di tempatnya (Sandung).
9.
Mandau Sebagai Senjata Khas Dayak
a. Bilah Mandau
Bilah mandau
terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti
parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk
datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya
dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat
digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi
baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan
lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari
batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta
hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya
dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat
bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi.
Kayu yang
digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin (sebagian menyebutnya kayu
belian). Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka
besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian,
ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang
hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah
terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi
pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman
dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang
pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat
bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga
mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau
dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
b. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu
mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh
permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh
burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa
bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini
dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial
pemiliknya.
c.
Sarung
Mandau
Sarung mandau
(kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi
tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan
sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung
baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat.
Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit
yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan.
Nilai Budaya Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya
mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara
lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan
tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga
memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran
tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan
kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau
yang indah dan sarat makna.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup
berkelompok yang tinggal di daerah pedalaman, di hutan, di gunung, dan
sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu
yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan
memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang
Dayak adalah "Menteng Ueh Mamut", yang berarti seseorang yang
memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah dan pantang mundur.
Semoga bermanfaat dan berkontribusi melestarikan budaya bangsa yang ber
Bhinndka Tunggal Akhir.
Punahnya beberapa adat budaya dan kesenin Kalimantan Barat harusnya
semakin menyadarkan kita sebagai penerus bangsa untuk tetap melestarikannya.
Ini agar anak cucu kita kelak tetap dapat mengenali budaya yang telah
diwariskan nenek moyang di masa Lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred
Russel Wallace, 1986. Kepulauan
nusantara. Sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Davis, Joseph Barnard (1867). Thesaurus craniorum:
Catalogue of the skulls of the various races of man, in the collection of
Joseph Barnard Davis. Printed for the subscribers.
Departemen Pendidikan
Nasional, 2005. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka.
End, Th. van den (1987). Ragi Carita 1, Jilid 1
dari Ragi carita: sejarah gereja di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-415-188-2.ISBN 978-979-415-188-4
Foreign missionary
chronicle 5. Board of Foreign Missions and of
the Board of Missions of the Presbyterian Church. p. 87.
Haris, Syamsuddin (2004). Desentralisasi dan
otonomi daerah: Naskah akademik dan RUU usulan LIPI. Yayasan Obor Indonesia.
p. 188. ISBN 979-98014-1-9.ISBN 978-979-98014-1-8.
J.U.Lontaan (1974) Sejarah, hukum
adat, dan adat istiadat Kalimantan-Barat Ed. 1. Published Pemda Tingkat I Kalbar, Penyalur tunggal, Pilindo Pontianak.
J.U. Lontaan, (1975). Sejarah hukum adat dan adat
istiadat Kalimantan Barat. Jakarta:
Bumi Restu.
Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk
Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. Diakses tanggal 27
Agustus 2012.
Kong, Yuanzhi (2000). Hembing Wijayakusuma, ed. Muslim Tionghoa Cheng
Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia.
p. 54. ISBN 9794613614.ISBN 978-979-461-361-0.
Lathief. H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di
Mancong. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the
world: an encyclopedia 1 (2
ed.). ABC-CLIO. p. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9.
Maunati, Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 8. ISBN 979949298X.ISBN 978-979-9492-98-2.
MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of
Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7.
Schulze, Fritz; Holger Warnk (2006). Insular Southeast
Asia: linguistic and cultural studies in honour of Bernd Nothofer. Otto Harrassowitz Verlag.
p. 47. ISBN 3447054778. ISBN 9783447054775.
Tegg, Thomas (1829). London encyclopaedia;
or, Universal dictionary of science, art, literature and practical mechanics:
comprising a popular view of the present state of knowledge 4. Printed for Thomas Tegg. p. 338.
Tjilik Riwut, (2003). Sanaman mantikei manaser panatau
tatu hiang. Menyelami kekayaan leluhur. Palangkaraya: Pusaka Lima.
Internet
C Wahyu Haryo dan Fandri
Yuniarti. (2010) Meski di pedalaman mereka punya ponsel. Tersedia di http://cetak.kompas.com. (Diakses tanggal 6
Maret 2010).
Oktavianus Oki. (2010) Dayak bukan pemakan manusia.
Tersedia di http:// dayakblogs.
blogspot.com. (Diakses tanggal 6
Maret 2010).
Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. p. 216. ISBN 9792116575.ISBN 978-979-21-1657-1.
http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bx.html Ethnicity and territory
in the late colonial imagination
Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan
Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. PT LKiS Pelangi Aksara.
p. 61. ISBN 9798451163.ISBN 978-979-8451-16-4
Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh
banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. p. 42. ISBN 9789799290588. ISBN 979-9290-58-9.
Sellato, Bernard (2002). Innermost Bornéo:
studies in Dayak cultures. NUS Press. p. 19. ISBN 2914936028.ISBN 978-2-914936-02-6.
Steenbrink, Karel A. (2003). Catholics in
Indonesia, 1808-1942: A modest recovery 1808-1903. KITLV Press. p. 149. ISBN 9067181412.ISBN 978-90-6718-141-9
Taburan Penduduk dan
Ciri-ciri Asas Demografi (PDF). Jabatan Perangkaan Malaysia. 2011. ISBN 9789839044548 Check |isbn= value (bantuan). Diakses tanggal 27 Agustus2012.
The London review of
politics, society, literature, art, & science 11. J.K. Sharpe (1865). p. 121.
Wood, John George (1870). Uncivilized races of
men in all countries of the world: being a comprehensive account of their
manners and customs, and of their physical, social, mental, moral and religious
characteristics
BVGAMING | Situs Taruhan Bola Online Deposit 24 Jam Terpercaya Di Indonesia.
BalasHapusMenyediakan Pasaran Bola Terlengkap Dengan Odds Terbaik Di Asia Dan Eropa. Platform 1 user id Dengan Ratusan permainan Lainnya Yang Lengkap Tersedia.
Menyediakan Taruhan Bola Online Deposit Via Bank Kaltim, BANK KALSEL (BANK KALIMANTAN SELATAN), Bank Kaltara, BANK KALBAR (BANK KALIMANTAN BARAT), BANK KALTIMTARA (BANK KALIMANTAN TIMUR DAN UTARA), BANK KALTENG (BANK KALIMANTAN TENGAH). BvGaming Juga Menerima Deposit Menggunakan e-Money Linkaja, Ovo, Gopay, Dana, Sakuku. Via Pulsa XL, Telkomsel.
Dapatkan Penawaran Promo Spesial Terbatas !
Kunjungi Link : https://bit.ly/regisbvgaming
Atau Bisa Hubungi Whatsapp : +628122222995