Rabu, 08 Februari 2017

AYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO BARAT(1)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7GL-oGdFwBCYta3NykJjBlazSOiSKHfdI26kG24V-8z1CQzQ8jcQ_tvKH0MUM6HqZMH0rBoKUexF1hKV8gwY5g7-oK_OnvkdTDex0tbygdj87Q0lZlM6_j_w6Zod0azaaxZE8jefbc08/s660/DayakWarrior-Tryatna+Anto_Dreamstime.jpg 

 

 

 

 



DAYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI

BORNEO BARAT(1)

Oleh : HAMID DARMADI*)

ABSTRAK
Tulisan ini berjudul “Keseharian Suku Dayak Asal-Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat”. Kehadiran tulisan ini bertujuan mengungkapkan asal usul dan budaya Dayak sebagai salah satu suku “Asli Borneo” yang mendiami Pulau Borneo (Kalimantan) pada umumnya dan Borneo Barat khususnya. Borneo (Kalimantan) terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor.  Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub suku Dayak mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, sesuai dengan sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, dan bahasa yang khas pada masing-masing sub suku tersebut, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak Malaysia.  Etnis Dayak terdiri dari enam rumpun besar, yaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun ini terbagi dalam 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh daerah pedalaman Borneo (Kalimantan). Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama “eksonim”  dan “endonim”. Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya.   Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak Ciri-ciri tersebut ialah “Rumah Betang” (rumah panjang), hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan berbagai seni termasuk seni tari.   Agama asli suku Dayak adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan cabang agama Hindu.  Provinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri dalam proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan tiga suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Tionghua (Cina), Dayak, Melayu . (TIDAYU).  Sebagian Masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan akan adanya benda-benda gaib pada tempat-tempat tertentu benda-benda tertentu seperti batu-batu, pohon-pohon besar, danau, lubuk (air sungai yang dalam) dan lain-lainnya ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain. Masyarakat Dayak juga memiliki seni budaya seperti pakaian adat, tari-tarian, penyembahan dan ritual-ritual berperang ritual-ritual berladang, sperti ketika akan dembuka lahan untuk berladang mereka mengakan ritual kepada Puyang Gana (penguasa tanah), Raja Juata (penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan lain-lain.  Disi lain juga ada upacara Tiwah merupakan satu acara adat suku Dayak. Tiwah adalah ritual yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di disiapkan sebelumnya. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang orang yang sudah meninggal.

Kata Kunci: Dayak, Asal-Usul, Penyebaran dan Borneo (Kalimantan)


ABSTRACT
This article titled "Daily Dayak Origin and Spread in West Borneo Earth". The presence of this paper aims to reveal the origin and culture as one of the Dayak tribe "First Borneo" that inhabit the island of Borneo (Kalimantan) in general and in particular the West Borneo. Borneo (Kalimantan) divided by region Administrative governing each region consisting of: the East Kalimantan capital Samarinda, South Kalimantan capital Banjarmasin, Central Kalimantan capital of Palangkaraya, and West Kalimantan capital Pontianak, North Kalimantan capital city of Tanjung Selor , Dayak groups, divided into 405 sub-sub-tribe (J.U.Lontaan, 1974). Each sub Dayak customs and cultures have similar, according to sociology kemasyarakatannya and differences in customs, culture, and language typical of each of the sub-tribe, either Dayak Dayak in Indonesia as well as in Sabah and Sarawak in Malaysia. Dayak consists of six large clumps, the Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan and Punan. Sixth clump is divided into 405 small sub-tribes, which spread across the hinterlands of Borneo (Kalimantan). The name "Dayak" or "Power" is the "eksonim" and "endonim". The word comes from the word Dayak Power "which means upstream, to mention the people who live in rural or inland generally Kalimantan and West Kalimantan in particular. Although it divides into hundreds of sub-tribe, Dayak ethnic group have the same cultural traits are typical characteristics of such a deciding factor one of a sub-tribe in Borneo can be put into groups Dayak These characteristics are "betang" (longhouse) , the results of material culture such as pottery, saber, chopsticks beliong (ax Dayak) view of nature, livelihood (farming system) and a variety of arts, including dance. Dayak indigenous religion is Kaharingan, which is the original religion born of the local culture before the Indonesian people to know first the Hindu religion. Because Hindus have meyebar widely in the world, especially Indonesia and more widely known, when compared with the Dayak religion, the Religion Kaharingan categorized branch of Hinduism. West Kalimantan province has its own uniqueness in the process alkurturasi cultural or religious culture movement of a local community. In this case the process is closely related to the three largest tribes in West Kalimantan is a Chinese (China), Dayak, Malay. (TIDAYU). Most Dayak still adhere to the belief in the existence of things unseen in certain places certain objects such as rocks, big trees, lakes, pools (river water in) and others there are rulers, they call: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa and others. The Dayak also have art and culture such as traditional clothes, dance, worship and rituals war rituals farming, just as when it will dembuka land for farming them mengakan ritual to Puyang Gana (ruler of the land), King Juata (ruler Air), Kama "Baba (ruler Army), Jobata, Apet Kuyangh and others. Other Disi also Tiwah ceremony is a traditional event Dayak tribe. Tiwah is a ritual performed for delivery of the bones of the dead to Sandung that has been previously prepared. Sandung is a sort of a small house that is made specifically for storing bones of the dead.
Keywords: Dayak, Origins, Spread and Borneo (Kalimantan)



PENDAHULUAN
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing terdiri dari: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor.
Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub suku Dayak mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, sesuai dengan sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas pada masing-masing sub suku tersebut, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak Malaysia.
Etnis Dayak Kalimantan menurut J.U. Lontaan, 19745 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat menyebutkan, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh daerah pedalaman Kalimantan. Mereka menyebut dirinya dengan kelompok yang berasal dari suatu daerah berdasarkan nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, karena berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang (karena suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju, Desa dan lain-lain, yang memiliki latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.
Nama "Dayak" atau "Daya" adalah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (walaupun kini banyak masyarakat Dayak yang telah bermukim di kota kabupaten dan provinsi) yang mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisi nenek moyang mereka.
Pada tahun (1077-1078) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan "Muller-Schwaner". Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, makin lama mereka makin menyingkir ke daerah pedalaman. Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah pedalaman Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka hidup menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut "Nansarunai Usak Jawa", yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak yang memeluk agama Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus masuk rimba. Orang Dayak yang memeluk agama Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat adalah seorang Dayak Maanyan atau Ot Danum. (Sejarah Asal Usul Suku Dayak Kalimantan) namanya di abadikan sebagai  nama Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin.
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963).
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan. Upacara Tiwah. Upacara  Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah meninggaltersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
 Jika kita kilas balik kebelakang menurut asal katanya, Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu. Kata ini untuk menyebut masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya. Ada pelbagai pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini belum ada yang signifikan secara validitas dan reliabilitas. Namun pendapat familiar yang berlaku umum meenyebutkan bahwa orang Dayak ialah salah satu kelompok asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231) Gagasan tentang penduduk asli ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipercaya bahawa nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mikhail Coomans (1987: 3):
Semua suku bangsa Dayak termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Dayak merupakan keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo China ke jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
            Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati. Tidak ada orang Dayak di pulau lain selain Kalimantan, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baik di pantai-pantai maupun dibagian daratan Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang orang Dayak menyingkir lama kelamaan bertambah jauh ke daerah pedalaman Kalimantan disatu sisi. Disisi lain masyarakat Dayak memiliki tradisi berladang berpindah. Dari tahun ketahun mereka mencari hutan yang dinilai subur untuk berladang dan befrcodok tanam sebagai mata pencaharian demikian seterusnya. Akhirnya tahun berganti tahun, puluhan tahun, ratusan tahun dan bahkan puluh ribuan tahun akhirnya hampir seluruh daerah pelosok pedalaman Kalimantan tidak ada yang lepas dari hunian orang dayak. 
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan Keenam rumpun ini terbagi lagi kepada lebih kurang 405 sub suku. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak Ciri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan seni tari.
Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan "daerah asal" orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri orang Dayak).
Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Etnisitas dan Keberagamaan Masyarakat Dayak
Kalimantan Tengah memiliki etnisitas yang relatif berbeda di bandingkan dengan Kalimantan Barat dan daerah lainnya. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dan lain sebagainya. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya sebagai orang Dayak, demikian juga bagi Dayak yang beragama Kristen. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yakni Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, jika dibandingkan dengan agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan cabang agama Hindu.
Provinsi Kalimantan Barat mempunyai keunikan tersendiri terhadap proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sangat berkaitan erat dengan tiga suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Tionghua (Cina), Dayak, Melayu . (TIDAYU). Ada batik TIDAYU da nada tarian TIDAYU. Pada mulanya orang Dayak mendiami daerah pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian datang pedagang dari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan kepada masyarakat Dayak, kemudian karena seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengantar barang-barang dagangan dari dan ke Selat Malaka (merupakan sentral dagang di masa lalu), menyebabkan mereka berkeinginan menetap di daerah baru yang mempunyai potensi dagang yang besar bagi keuntungannya. (sejarah asal usul suku Dayak).
            Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Dayak ketika bersentuhan dengan pendatang yang membawa pengetahuan baru yang asing ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi jual beli barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di kunjungi masyarakat lokal (Dayak) dan pedagang Arab Melayu dari Selat Malaka. Di masa itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para pedagang Melayu yang telah lebih dahulu mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang harmonis terjalin baik, maka masyarakat lokal, ada yang menaruh simpati kepada pedagang Gujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan dikenal pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada masa penerintahan Giri Kusuma yang merupakan kerajan melayu yang kemudian mulai menyebar di seluruh daerah Kalimantan Barat.
Dayak Muslim
Masyarakat Dayak yang masuk Islam dan yang telah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan ”Senganan”, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan sebutan orang Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan mempunyai karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin wilayah yang mereka segani. Seiring dengan perkembangan social masyarakat dan kemajuan pengetahuan, masyarakat Dayak yang beragama islam menyebut dirinya istilah “Dayak Muslim”. Hal ini patut diberikan apresiasi yang tinggi. Ini artinya mereka sudah kembali kefitrahnya yaitu “orang Dayak”. Agama boleh berbeda, etnis boleh tidak sama tetapi asal usul tidak boleh dilupakan sebagai manifestasi dari berbeda-beda namun tetap satu “Bhinneka Tunggal Ika” itulah Indonesia raya.
Seni Budaya
1.    Ciri-Ciri Tari Dayak Berdasarkan Wilayah Penyebarannya 
Orang Dayak di Kalimantan Barat terbagi atas sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat dibagi menjadi empat (4) kelompok besar, dan satu (1) kelompok kecil sebagai berikut:
1.    Kendayan/Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Sambas dan sekitarnya. mempunyai gerak tari, enerjik, stakato, keras.
2.    Ribunic/Jangkang Group/Bidoih/Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn,Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya  di Kabupaten Sanggau Kapuas, mempunyai ciri gerak tangan membuka, tidak kasar dan halus.
3.    Iban/Ibanic Group:Dayak Iban dan sub-sub kecil lainnya, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau/malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah (Malaysia) dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang dominan, tidak keras dan tidak terlalu halus.
4.    Banuaka "Group : Taman, Tamambaloh dan subnya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirif kelompok ibanic, tetapi sedikit lebih halus.
5.    Kayaanik, punan, bukat dll.

Selain terbagi menurut ethno linguistik yang terdata menurut jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, karena menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali /ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah Kabupaten Ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang, Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan, daerah Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, daerah Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dan sebagainya.
Kemudian Dayak daerah Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas,Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, yaitu: dayak Keninjal (mayoritas tanah pinoh antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll) dayak Kebahan (antara lain desa: poring, nusa kenyikap, Kayu Bunga, dan lain-lain yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang hampir punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat, nyanggai, nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa batu buil, sungai raya dll), dayak seberuang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk kelompok Kalteng), Leboyan. (Sejarah asal-usul Dayak Kalimantan Barat: J, U. Lontaan Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974),).

2.    Kepercayaan akan Benda-Benda Gaib
Secara geografik masyarakat Dayak masih memegang teguh kepercayaan mereka percaya setiap tempat-tempat tertentu benda-benda tertentu seperti batu-batu, pohon-pohon besar, danau, lubuk (air sungai yang dalam) dan lain-lainnya ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk sebutan Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih mempunyai penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: misalnya: Puyang Gana (penguasa tanah), Raja Juata (penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh kepercayaan dinamismenya dan budaya aslinya, sambil mencari tanah yang subur untuk berladang dan bercocok tanam mereka memisahkan diri masuk hutan keluar hutan semakin jauh kepedalaman Kalimantan. Semakin subur tanah dan hutan-hutan lebat, semakin banyak mereka berkumpul guna mempersiapkan diri untuk berladang dan bercocok tanam
            Sementara itu masyarakat Dayak yang telah masuk Islam lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap telah mempunyai peradaban tinggi dan lebih maju karena banyak berhubungan dengan dunia luar. (sesuai dengan berjalannya waktu dan kemajuan social,  maka masuklah para misionaris ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang masuk Islam di Kalimantan Barat disebut dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh kepercayaan nenek moyang) di masa lalu, hingga mereka berusaha menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam  memperlihatkan  diri sebagai suku melayu banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan aturan keterikatan dengan adat istiadatnya. Setelah penduduk pendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang beragama Islam, agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau kepercayaan dinamisme lebih identik dengan suku Dayak. Keunikan suku Dayak khususnya Dayak di Kalimantan Barat. Apabila masuk agama Islam mereka tidak lagi menyebut diri mereka sebagai orang Dayak, tetapi penyebut dirinya “:Melayu”. Tidak seperti orang Batak atau orang Jawa, apapun agama yang dipeluknya, dan dimanapun mereka berdomisili tetap menyebut diri sebagai suku aslinya. Sejalan terjadinya urbanisasi ke Kalimantan, menyebabkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, karena semakin banyak di kunjungi pendatang baik local maupun dari luar nusantara lainnya.
Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat setempat diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (istilah yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mandiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung mempertahankan wilayah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keamanan dan perluasan kekuasaan.

3.    Tari “Ajat Temuai Datai” (Tari Menyambut Tamu)
            "Ajat Temuai Datai" diangkat dari bahasa Dayak Mualang, Dayak Kantuk dan  Dayak Desa (Ibanic Group), yang tidak dapat diartikan secara langsung, karena terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat adalah Persembahan/Permohonan dengan menggelar ritual atau Upacara adat, kemudian Temuai artinya: tamu, Datai artinya: Datang. Jika disesuaikan dengan maksud tarian yaitu: Tari yang di dalamnya terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut  tamu atau Tari Menyambut tamu. bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini yakni dari masa pengayauan/masa lampau, diantara kelompok-kelompok suku Dayak.

4.    Ngayau
Mengayau, berasal dari kata me dan Ngayau. Me berarti melakukan aksi, Ngayau: pemenggalan kepala musuh, tindakan memenggal kepala musuh (Mengayau terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan Ibanik, juga pada masyarakat Dayak pada umumnya). Tetapi jika mengayau mengandung pengertian khusus yakni suatu tindakan yang mencari kelompok lainnya (musuh) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya (mengayau terdiri dari berbagai macam adatnya diantaranya:
Kayau banyau/ramai/serang, Kayau Anak yaitu: Mengayau dalam kelompok kecil, Kayau Beguyap yaitu: Mengayau tidak lebih dari tiga orang. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para pahlawan yang pulang dari pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia (musuh), merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh sebab itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak percaya bahwa pada kepala seseorang menyimpan suatu semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi siempunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974),
Ada empat tujuan mengayau yaitu: untuk melindungi pertanian, untuk mendapatkan tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan. Setelah mendapatkan hasil dari mengayau, para pahlawan tidak boleh memasuki wilayah kampungnya, tetapi dengan cara memberikan tanda dalam bahasa Dayak disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!!!, sebanyak tujuh kali yang berarti pahlawan pulang dan menang dalam pengayauan dan memperoleh kepala lawan yang masih segar. Jika teriakan tersebut hanya tiga kali berarti para pahlawan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali berarti para pahlawan tidak mendapatkan apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah memberikan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar mempersiapkan acara penyambutan.
Proses penyambutan ini, melalui empat babak yakni: 1. Ngunsai Beras (menghamburkan beberapa beras di depan para Bujang Berani / Ksatria / Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong), 2.Mancong Buloh yaitu; Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk wilayah rumah panjai. 3.Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu atau memandu tamu sampai kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai. 4.Tamak’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke tempat tertentu setelah merendam kakinya pada sebuah batu di dalam sebuah wadah sebagai simbol pencelap semengat, setelah melalui prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat ( mengembalikan semangat perang), kemudian baru diadakan Gawai palak' acara ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Palak, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima /Tuwak Dayak Mualang masa lalu yaitu: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau), Tuwak Pangkar Begili (Tidak Pernah Mundur,strateginya jika terkepung, memutar dan menyerang), Tuwak Sangau Sibi (Setiap saat ingin Mengayau), Tuwak Tali Aran ( senang koleksi kepala musuh semampunya dalam mengayau ),Tuwak Lang Ngindang (selalu mengintai tempat - tempat pertahanan musuh terlebih dahulu seperti elang, jika terkepung ia akan meloncat dan melayang mengikuti angin) dan lain sebagainya. (key Informan: Tokoh Masyarakat Kumpang Bis Belitang Tengah dll.)

5.    Pakaian Adat Dayak
Kalimantan Barat adalah salah satu provinsi terluas di Indonesia. Luas wilayahnya yang mencapai 146.807 km² (7,53% luas daratan Indonesia) membuat provinsi ini terluas ke 4, setelah Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Luasnya wilayah Kalimantan Barat membuat penduduknya memiliki asal-usul yang sangat heterogen. Akan tetapi, suku yang paling dominan di Provinsi ini adalah suku Dayak dan Suku Melayu. Kedua suku ini mempengaruhi bagaimana kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang Kalimantan Barat. Pengaruh tersebut misalnya dapat kita lihat dari pakaian adatnya. Pakaian Adat Kalimantan Barat  Di masa silam, penduduk Kalimantan Barat mengenakan pakaian adat yang sangat sederhana. Pakaian adat Kalimantan Barat tersebut bernama King Baba dan King Bibinge. Berikut ini disuguhkan Pakaian adat Dayak dan Pakaian adat Melayu Kalimantan.
Pakaian Adat Kalimantan Barat
 


















                        Pakaian Adat Dayak                                   Pakaian Adat Melayu

1.    Pakaian Adat untuk Laki-laki Pakaian adat Kalimantan Barat untuk Laki-laki bernama King Baba. Dalam bahasa Dayak, King berarti pakaian dan Baba berarti laki-laki. Pakaian ini terbuat dari bahan kulit kayu tanaman ampuro atau kayu kapuo. Kedua jenis kayu ini adalah tumbuhan endemik Kalimantan yang mempunyai kandungan serat tinggi. 
2.    Untuk membuat king baba, kulit kayu tersebut dipukul-pukul menggunakan palu bulat di dalam air, sehingga hanya tertinggal seratnya saja. Setelah lentur, kulit tersebut kemudian dijemur dan dihias dengan lukisan-lukisan etnik khas Dayak menggunakan bahan pewarna alami. Kulit kayu dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai rompi tanpa lengan dan sebuah celana panjang. Sebagai hiasan, serat kulit kayu tersebut juga dibuat menjadi semacam ikat kepala. Sebagai pelengkap hiasan, biasanya laki-laki adat suku Dayak di Kalimantan Barat juga akan menyelipkan sehelai bulu burung enggang, burung khas Borneo yang kini mulai langka. Tak lupa, senjata tradisional berupa mandau dan perisai juga dikenakan, terlebih ketika mereka hendak berperang. Oleh karena itu, tak jarang pakaian adat Kalimantan Barat ini juga dikenal dengan nama pakaian perang.

Burung Enggang atau disebut juga Rangkong adalah burung dengan paruh menyerupai tanduk sapi dengan warna cerah. Burung ini merupakan burung endemik di wilayah Kalimantan. Burung Enggang yang di sakralkan orang Dayak di lukiskan sebagai berikut:





Pakaian Adat Kalimantan Barat dan Keterangannya
 











Burung Enggang

3.    Pakaian Adat Perempuan Sama seperti pakaian laki-laki, pakaian adat Kalimantan Barat untuk para perempuan juga dibuat dari bahan dan cara yang sama. Namun, desainnya lebih sopan dengan perlengkapan antara lain penutup dada, stagen, kain bawahan, serta berbagai pernik lain seperti kalung, manik-manik, dan hiasan bulu burung Enggang di kepalanya. Beberapa perhiasan lain yang dikenakan di antaranya: Jarat tangan (gelang tangan) adalah gelang yang dibuat dari pintalan akar tanaman tengang untuk dikenakan di tangan sebagai penolak bala. Kalung dari bahan-bahan seperti akar kayu atau kulit (tulang) hewan sebagai penangkal gangguan dari roh-roh halus, terutama sering digunakan pada bayi. Beragam jenis gelang, di antaranya tjuk bulu tantawan, tajuk bulu area, kalung manik lawang, galling gading, galang pasan manik, galang pasan, sa’sawak tali mulung, sa’sawat pirak kurumut, dan posong. Oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat, kedua jenis pakaian ini selalu dikenakan baik saat menjalani aktivitas harian, seperti bertani, berburu, atau saat melakukan upacara adat. Adapun karena bahan-bahannya yang cenderung panas dan kurang nyaman dikenakan, pakaian adat ini seiring berjalannya waktu mulai ditinggalkan. Kemajuan peradaban dan pengaruh dari luar daerah membuat masyarakat Dayak di Kalimantan Barat mulai mencoba beragam jenis pakaian lain yang lebih nyaman. Beberapa di antaranya adalah: Bulang Buri dan King Buri adalah pakaian adat yang dibuat dari buri atau kulit kerang laut. Pakaian King Kabo’ adalah pakaian dari bahan kulit kayu yang hanya berupa cawat dengan hiasan manik-manik atau pita-pita rumbai.
Pakaian King Tompang adalah pakaian dari bahan kain berwarna polos yang mulai dikenal sejak ada interaksi dengan orang Melayu. Pakaian Indulu Manik adalah pakaian dari kain dengan tempelan manik-manik sebagai hiasan. Buang Kuureng adalah baju kurung dengan lengan panjang berbahan kain beludru. Dan masih banyak lagi, di antaranya pakaian Bulang Kawat, King Tatak, Bulang Panosokan, Bulang Kontong. Nah, demikianlah beberapa jenis pakaian adat Kalimantan Barat dan keterangannya. Dari beragam jenis pakaian di atas, saat ini yang masih tetap lestari adalah King Baba dan King Bibinge. Kedua pakaian ini hingga sekarang tetap digunakan terutama oleh suku-suku Dayak Kubu yang masih tinggal di pedalaman dan bertahan hidup secara nomaden.



6.    Dunia Supranatural.
dukun suku dayak kalimantan
 














Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri menyebut Dayak sebagai pemakan manusia (kanibal). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

7.    Mangkok Merah.
Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima" atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Ritual Mangkok Merah [Image Source]
 












Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima bertindak memimpin acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangka lima tersebut ber Tariu" (memanggil roh leluhur untuk meminta bantuan dan menyatakan perang) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau" (Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang" )

8.    Upacara Tiwah
ritual suku dayak kalimantan
 











Sandung rid755.wordpress.com

Upacara Tiwah merupakan satu acara adat suku Dayak. Tiwah adalah ritual yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di disiapkan sebelumnya. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang orang yang sudah meninggal.
Bagi suku Dayak, Upacara Tiwah adalah momen yang sangat sakral. Pada acara Tiwah ini, sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (Sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

 

9.    Mandau Sebagai Senjata Khas Dayak
a.    Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi.
Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin (sebagian menyebutnya kayu belian). Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
b.    Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
c.    Sarung Mandau
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Nilai Budaya Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di daerah pedalaman, di hutan, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah "Menteng Ueh Mamut", yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah dan pantang mundur. Semoga bermanfaat dan berkontribusi melestarikan budaya bangsa yang ber Bhinndka Tunggal Akhir.
Punahnya beberapa adat budaya dan kesenin Kalimantan Barat harusnya semakin menyadarkan kita sebagai penerus bangsa untuk tetap melestarikannya. Ini agar anak cucu kita kelak tetap dapat mengenali budaya yang telah diwariskan nenek moyang di masa Lalu.


DAFTAR PUSTAKA

Alfred Russel Wallace, 1986. Kepulauan nusantara. Sebuah kisah perjalanan, kajian manusia dan alam. Jakarta: Komunitas Bambu.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka.
Evangelical (1836). "Evangelical magazine and missionary chronicle," 14. s.n. p. 578.
Foreign missionary chronicle 5. Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian Church. p. 87.
Fridolin Ukur Biography". (2016) bpkgunungmulia.com. Diakses tanggal 25 November 2016.
J.U.Lontaan (1974) Sejarah, hukum adat, dan adat istiadat Kalimantan-Barat Ed. 1. Published  Pemda Tingkat I Kalbar, Penyalur tunggal, Pilindo Pontianak.
J.U. Lontaan, (1975). Sejarah hukum adat dan adat istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumi Restu.
Kong, Yuanzhi (2000). Hembing Wijayakusuma, ed. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. p. 54. ISBN 9794613614.ISBN 978-979-461-361-0.
Lathief. H., Upacara adat kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 - Social Science - 220 pages
Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the world: an encyclopedia 1 (2 ed.). ABC-CLIO. p. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9.
Maunati, Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 8.  ISBN  979949298X.ISBN 978-979-9492-98-2.
Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. Malayan miscellanies.
MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press.  ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7.
Schulze, Fritz; Holger Warnk (2006). Insular Southeast Asia: linguistic and cultural studies in honour of Bernd Nothofer. Otto Harrassowitz Verlag. p. 47. ISBN 3447054778ISBN 9783447054775.
Tjilik Riwut, (2003). Sanaman mantikei manaser panatau tatu hiang. Menyelami kekayaan leluhur. Palangkaraya: Pusaka Lima.
University of Calcutta (1869). Calcutta review. 48-49. University of Calcutta. p. 171.
Internet
C Wahyu Haryo dan Fandri Yuniarti. (2010) Meski di pedalaman mereka punya ponsel. Tersedia di http://cetak.kompas.com. (Diakses tanggal 6 Maret 2010).
Oktavianus Oki. (2010) Dayak bukan pemakan manusia. Tersedia di http:// dayakblogs. blogspot.com. (Diakses tanggal 6 Maret 2010).

Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. p. 216.  ISBN  9792116575.ISBN 978-979-21-1657-1.
Taburan Penduduk dan Ciri-ciri Asas Demografi (PDF). Jabatan Perangkaan Malaysia. 2011. ISBN 9789839044548 Check |isbn= value (bantuan). Diakses tanggal 27 Agustus2012.

1 komentar:

  1. BVGAMING | Situs Taruhan Bola Online Deposit 24 Jam Terpercaya Di Indonesia.

    Menyediakan Pasaran Bola Terlengkap Dengan Odds Terbaik Di Asia Dan Eropa. Platform 1 user id Dengan Ratusan permainan Lainnya Yang Lengkap Tersedia.

    Menyediakan Taruhan Bola Online Deposit Via Bank Kaltim, BANK KALSEL (BANK KALIMANTAN SELATAN), Bank Kaltara, BANK KALBAR (BANK KALIMANTAN BARAT), BANK KALTIMTARA (BANK KALIMANTAN TIMUR DAN UTARA), BANK KALTENG (BANK KALIMANTAN TENGAH). BvGaming Juga Menerima Deposit Menggunakan e-Money Linkaja, Ovo, Gopay, Dana, Sakuku. Via Pulsa XL, Telkomsel.

    Dapatkan Penawaran Promo Spesial Terbatas !
    Kunjungi Link : https://bit.ly/regisbvgaming
    Atau Bisa Hubungi Whatsapp : +628122222995

    BalasHapus