Senin, 06 Juli 2020

Pendidikan Moral Pancasila  Sebagai Mata Pelajaran
Oleh : Hamid Darmadi
Dalam Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984 Pendidikan Moral Pancasila  (PMP) adalah sebuah mata pelajaran wajib dan salah satu dasar pembentukan landasan ideologis dan moral bangsa pada masa Orde Baru (Orba), Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Pada awal Reformasi, PMP diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan kemudian menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Terdapat wacana untuk menghidupkan kembali mata pelajaran tersebut.
Telah disebutkan di atas mata pelajaran PMP identik dengan pemerintahan Orde Baru. Kemudian mata pelajaran tersebut telah berganti nama menjadi “Pendidikan Kewarganegaraan”. Selanjutnya PMP mulai dipelajari di sekolah sejak diberlakukannya kurikulum 1975. Nama mata pelajaran PMP melalui kurikulum 1994  berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berdasarkan kurikulum 1994.  Pemerintah menilai sosialisasi Pancasila paling efektif adalah dengan memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan. Peristiwa G-30-S/PKI atau Gestok pada 1965 membuat Pemerintah ingin memasukkan pelajaran Pancasila. Dalam kurikulum 1968, dikelompokkan beberapa mata pelajaran yang dianggap berkaitan dengan Pancasila, yakni Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Bahasa Daerah, dan Pendidikan Olahraga. Mata pelajaran tersebut digolongkan dalam Pembina Jiwa Pancasila. Pemerintah kala itu benar-benar ingin membuat tafsiran atas Pancasila sesuai dengan keinginannya. Setelah PMP diterapkan sekitar tiga tahun, muncul Tap MPR No II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila alias P4. Isi P4 adalah penjabaran butir-butir Pancasila berdasarkan tafsir pemerintah. Setelah mata pelajaran PMP berubah menjadi PPKn dan kini jadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), pemerintah ingin mengembalikan lagi menjadi PMP.
HA.Rudolf Tilaar dalam 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 (1995:92) menyebut pendidikan sebagai alat politik adalah wajar. Layaknya sebuah alat, keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari hal-hal yang sifatnya metodologis, tetapi juga tentang siapa dan tujuan penggunaannya. Tilaar memberi catatan bahwa kegagalan target pendidikan lebih kerap ditimbulkan oleh hal-hal yang bersifat ideologis.
Sejak masa pemerintahan Sukarno, pendidikan di Indonesia mulai memiliki kecenderungan politis. Pada tahun 1950, untuk pertama kalinya pemerintah membuat sebuah sistem pendidikan menyeluruh atau yang dikenal dengan pendidikan nasional. Di tangan Sukarno, pendidikan nasional kemudian dijadikan alat untuk mendorong manifesto politik yang berlandaskan sosialisme, yang dimulai sejak tahun 1959. Medio 1960-an, Demokrasi Terpimpin ala Sukarno perlahan mulai tergilas oleh pawai parlemen jalanan yang digerakkan oleh mahasiswa dan kelompok angkatan bersenjata. Mereka menilai ideologi yang berkembang telah mencemari Pancasila dan UUD 1945 sehingga perlu diadakan restrukturisasi.
 “Orde Baru merupakan orde yang ingin mengoreksi dan mengadakan introspeksi secara mendasar dan menyeluruh atas praktek pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde Lama,”. Tak lama setelah Orde Baru berkuasa, misi pendidikan dengan cara memurnikan kembali Pancasila dan UUD 1945 perlahan mulai dijalankan. Rezim Soeharto dengan tekun mulai melarang buku-buku Ilmu Kewarganegaraan (Civics) yang dijadikan sarana penyebaran ideologi Sukarno. Memasuki tahun 1970-an, pelajaran Civics resmi dihapus. Penggantinya bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dianggap lebih ideal menghasilkan warga negara bermoral Pancasila yang dapat memenuhi target pembangunan nasional Orde Baru.
1.     Menanamkan Doktrin Ideologi Pancasila
Dalam kondisi politik yang berangsur stabil sesudah Pemilihan Umum 1971, Orde Baru mengeluarkan pola umum pembangunan jangka panjang melalui Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 (tentang GBHN). Sesuai dengan ketetapan tersebut, Pemerintah menetapkan bahwa setiap warga negara wajib menyimak materi Pendidikan Moral yang bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).Di sekolah, PMP diatur dalam Kurikulum 1975. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memastikan setiap sekolah mendapatkan materi PMP sebagai pengganti pelajaran Civics. Sebagaimana P4, PMP memiliki dasar konstitusional karena berlandaskan pada TAP MPR 1973 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.
“Untuk mencapai cita-cita pembangunan jangka panjang, maka kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila,” demikian garis besar PMP dalam TAP MPR 1983 yang dicatat dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi (Muhammadiyahm, 2009: 9).
Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Materi PMP didesain sedemikian rupa dengan tujuan menanamkan doktrin ideologi Pancasila secara sistematis. Menurut Doni Koesoema dalam Pendidikan Karakter (2007:50), langkah ini sangat tepat karena berhasil menyatukan watak bangsa Indonesia di bawah pemerintahan tunggal. “Tanpa pemahaman yang dinamis dan terbuka tentang Pancasila, bangsa kita cenderung kembali pada ikatan-ikatan primordial yang memecah belah,” tulisnya. Namun, implementasi pelajaran PMP juga menuai kritik. Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004:10) menyebut bahwa pergantian pelajaran Civics ke PMP memiliki implikasi politik yang cukup besar. Pelajaran Civics pada praktiknya dianggap tidak berkontribusi kepada penguasa sehingga patut diganti.
Sebaliknya, mata pelajaran PMP justru dinilai dapat membendung sikap kritis siswa sekolah. Melalui cara ini, para siswa didoktrin sejak dini kepada ideologi yang sesuai kehendak rezim. Sepanjang pelaksanaannya, kurikulum Orde Baru yang sentralistik menghasilkan model pengajaran PMP yang hanya berputar pada sistem hapalan butir-butir Pancasila tanpa disertai pemahaman yang dalam.Lebih jauh Darmaningtyas menyatakan bahwa “Mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, tapi tidak diperkenalkan dengan hak-haknya”.

2.     Perubahan Kurikulum 1975 Menjadi Kurikulum 1984

Perubahan Kurikulum 1975 menjadi Kurikulum 1984 secara tidak langsung juga menimbulkan masalah bagi pelaksanaan kegiatan pengajaran PMP. Kekacauan ini timbul karena upaya Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu (1983-1985), yang bersikeras memasukkan pelajaran Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) ke dalam Kurikulum 1984. Materi baru ala Nugroho ini menimbulkan kontroversi karena dinilai tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah Nasional dan PMP. Setelah Nugroho wafat pada tahun 1985, kekacauan dalam mata pelajaran PMP baru diakui oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. “Terus terang saya katakan, saat ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah Nasional. Tumpang tindih tersebut akan mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata pelajaran lain,” kata Fuad dalam Kompas (11/9/1985).
Beban yang ditanggung para murid sebagai dampak politik pendidikan kian bertambah. Mereka tak hanya wajib mempelajari PMP, tapi juga harus mengikuti penataran P4 yang ditetapkan sebagai kegiatan wajib oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1982. Dalam Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (1982), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa “Hakikat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran.”
3.     Menangkal Radikalisme
PMP kembali menjadi pembicaraan hangat di kalangan pendidik sejak tahun November 2018 lalu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewacanakan untuk kembali menghidupkan pelajaran PMP di sekolah.Supriano selaku Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan saat itu menegaskan, rencana tersebut disusun sebagai respons terhadap kemunculan paham radikalisme dan paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Pada Oktober 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu (Prof. Dr. Muhadjir Effendy)  menegaskan tentang akan diterapkan nya kembali pelajaran PMP. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika, rencana ini akan direalisasikan pada tahun 2020 dengan mengadopsi konsep pembelajaran yang  baru. Tidak sedikit yang mendebat keputusan pemerintah yang memisahkan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan Pendidikan Pancasila. Pasalnya, Pendidikan Pancasila sangat rawan dijadikan “alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi nilai-nilai Pancasila dan manipulasi terhadap makna demokrasi yang sebenarnya.”
Pendidikan Moral Pancasila atau PMP adalah sebuah mata pelajaran wajib dan salah satu dasar pembentukan landasan ideologis dan moral rakyat pada masa Orde Baru (Orba). Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Pada awal Reformasi, PMP diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dan kemudian menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Terdapat wacana untuk menghidupkan kembali mata pelajaran tersebut karena PMP PPKn dan PKN identic dengan Pendidikan Budi Pekerti.
Budi Pekerti adalah sebuah mata pelajaran yang pernah ada dalam pendidikan di Indonesia. Mata pelajaran tersebut mengajarkan tentang pembelajaran moral  di sekolah-sekolah. Mata pelajaran tersebut mulai muncul pada akhir 1960an pada masa Orde Baru dengan berlakunya Kurikulum 1968 hingga pertengahan tahun 1980an  saat mata pelajaran tersebut digantikan oleh mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan mata pelajaran agama resmi masing-masing pelajar (IslamKristen Protestasn, Kristen KatolikBuddhaHindu, dan kemudian Konghucu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar