Kamis, 11 Juni 2020


Implementasi  Pendidikan Moral Pancasila  
Oleh : Hamid Darmadi
Arti implementasi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah  pelaksanaan / penerapan. Sedangkan pengertian umum adalah suatu tindakan atau pelaksana rencana yang telah disusun secara cermat dan rinci (matang). Kata implementasi sendiri berasal dari bahasa Inggris “to implement” artinya mengimplementasikan. Tak hanya sekedar aktivitas, implementasi merupakan suatu kegiatan yang direncanakan serta dilaksanakan dengan serius juga mengacu pada norma-norma tertentu guna mencapai tujuan kegiatan.
Dalam kalimat lain implementasi itu sebagai penyedia sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menyebabkan dampak terhadap sesuatu.
Sesuatu tersebut dilakukan agar timbul dampak berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan serta kebijakan yang telah dibuat oleh lembaga pemerintah dalam kehidupan bernegara.
Untuk mendapatkan jawaban yang tepat  brikut ini penjelasan implementasi menurut para ahli sebagai berikut:
1.      Solichin Abdul Wahab (1997). Mplementasi ialah berbagai tindakan yang dilakukan oleh individu, pejabat, kelompok pemerintah, atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang sudah digasikan dalam keputusan kebijakan.
2.      Van Meter & Van Horn. implementasi ialah pelaksanaan tindak oleh individu, pejabat, instansi pemerintah, maupun kelompok swasta dengan tujuan untuk menggapai cita-cita yang telah digariskan dalam keputusan tertentu.
3.      Guntur Setiawan (2004).  Implementasi adalah perluasan dari aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan serta tindakan dengan tujuan untuk menggapainya juga diperlukan jaringan pelaksana berokrasi yang efektif.

Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa Implementasi Pendidikan Moral Pancasila / Kewarganegaraan adalah  pelaksanaan pembelajaran PMP/PKn/PPKn berdasarkasn dasar hukum yang  berbentuk keputusan Pemerintah  (Presiden, Menteri Pendidikan) sederajat atau keputusan pengadilan. Proses pelaksanaannya berlangsung setelah jumlah tahapan seperti tahapan proses undang-undang yang kemudian  dalam bentuk pelaksanaan kebijakan hingga kebijakan korektif bersangkutan. Tujuan mplementasi merupakan tahap dimana sistem informasi sudah digunakan oleh pengguna (sebelum benar-benar bisa digunakan dengan baik oleh pengguna). Sistem wajib melewati tahap pengujian dengan tujuan agar sistem terjamin tanpa kendala fatal yang timbul ketika pengguna memakai sistem tersebut.
Pengamalan Pancasila masa Orde Baru (Orba) merupakan sesuatu yang traumatik bagi sebagian orang. Karena Orba relatif membuat Pancasila sebagai sebuah instrumen kaku di mana semua penerjemahannya dilakukan oleh penguasa. Mereka yang berbeda dengan penguasa dalam hal menerjemahkan Pancasila akan dianggap sebagai anti-Pancasila dan pada akhirnya akan mendapatkan kesulitan dalam mengakses layanan sosial, ekonomi, pendidikan, pemerintahan, dan  politik. Keinginan Orba untuk mewujudkan pemerintahan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang “murni dan konsekuen”, bagi sebagian orang berubah menjadi ‘indoktrinasi Pancasila.’ Pancasila menjadi sangat sakral dan seolah-olah hanya menjadi milik penguasa. Alih-alih menjadi instrumen untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan bersama, Pancasila justru menjadi instrumen penguasa untuk mengendalikan publik sebagaimana maunya penguasa tersebut.
PMP selalu dituding menjadi cara sosialisasi Pancasila yang sesuai dengan kemauan Orba. Bagi para pengritik, PMP adalah cara untuk menciptakan warga negara yang punya kepatuhan tanpa kritik kepada penguasa. Oleh karena itu, PMP harus diubah. Pada saat itu, konsep-konsep pendidikan kewarganegaraan dianggap cocok untuk diterapkan karena memuat pembentukan nilai yang partisipatif daripada dogmatis. Sekilas konsep pendidikan kewarganegaraan memang menarik untuk diterapkan. Namun, pada praktiknya, penerapannya tidak semudah membalik telapak tangan. Isu yang patut dikaji lebih mendalam mengenai Pendidikan Moral Pancasila antara lain adalah :
1.     Masyarakat Indonesia sangat beragam dan belum pada level pelembagaan sosial budaya yang matang. Dalam taraf seperti itu, aspek-aspek negatif sangat terbuka untuk muncul ke permukaan; cenderung menutupi aspek-aspek positifnya. Ada periode di mana dalam masyarakat yang sangat beragam, konsolidasi sosial menghasilkan efek-efek yang tidak diharapkan. Hal ini terjadi karena pembangunan nilai sedang terjadi dan kompetisi kekuasaan sedang berlangsung. Dalam tahap itu, paradigma yang menjadi arus utama adalah kemenangan, bukan kebaikan umum. Itulah sebabnya, dalam masyarakat itu, adanya satu rujukan yang kuat dan solid diperlukan untuk mereduksi potensi-potensi negatif. Pada masa lalu, kepemimpinan yang kuat atau bahkan diktator perlu untuk menyatukan masyarakat. Namun di masa kini, kita tidak perlu diktator, hanya sebuah acuan nilai yang cukup kuat agar semua orang tidak memilih nilai yang justru membuat disintegrasi.
2.     Pendidikan Kewarganegaraan yang disusun merupakan konsep pendidikan berdasarkan asumsi rasionalitas liberal. Ada asumsi bahwa semua orang punya rasionalitas yang cukup untuk membentuk sebuah perilaku yang baik. Sayangnya, masyarakat Indonesia mempunyai rasionalitas yang sangat beragam. Bahkan bukan hanya rasionalitas yang beragam, tetapi juga acuan modernitas dan polarisasi ideologi yang kadang sangat tajam. Kesenjangan rasionalitas ini perlu dijembatani dengan sebuah pemahaman bersama yang sudah disepakati. Para pendiri bangsa kita pun berusaha menciptakan jembatan-jembatan pemikiran untuk memperkenalkan konsep-konsep humanisme dan demokrasi. Dengan jembatan-jembatan pemahaman itu, masyarakat bisa mengerti dan secara kultural bisa mengikuti maksud para pendiri bangsa.

Sesungguhnya factor inilah yang perlu kita sadari bersama oleh seluruh komponen bangsa yang multi kultural ini. Tidak dipungkiri bahwa sebagian masyarakat yang mengritik kembalinya PMP dalam kurikulum sekolah takut karena praktik masa lalu. Pancasila terkena getah Orba. Padahal Orba sebenarnya tidak selalu buruk, dan konsep penerapan Orba tentang Pancasila juga tidak selalu jelek. Ada aspek-aspek yang bisa kita lanjutkan, namun dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu sesuai dengan tuntutan zaman dan perjalnan waktu yang terus berubah.
Konsep kekinian dan hal-hal yang lebih implementatif sepertinya bisa membentuk dan mengarahkan nilai-nilai luhur Pancasila secara lebih efektif. Metodenya tidak lagi dengan menghapalkan sila-sila atau butir-butir Pancasila saja, melainkan dengan praktik-praktik konkret yang mengajarkan pemahaman mengenai toleransi, keberagaman, nasionalisme. Contohnya, Sejak usia dini para peserta didik bisa diajarkan untuk berkunjung ke daerah-daerah lain di luar kampung halamannya untuk bisa berinteraksi dan melihat wilayah Indonesia secara lebih luas. Atau mungkin bisa juga dengan kegiatan menginap bersama warga dan ikut kerja-kerja sosial bersama masyarakat di kampong-kampung. Hal-hal seperti ini idealnya akan dapat memperkaya wawasan kepada peserta didik bahwa Indonesia itu tidak hanya di kampung halamannya saja tempat mereka bersekolah; Indonesia itu sangat beraneka ragam dan majemuk serta terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, etnis, golongan, dan variabel-variabel lainnya.
Melalui pendekatan seperti ini, nilai-nilai toleransi, keberagaman, nasionalisme, tidak hanya merupakan simbol saja, namun akan dimengerti dan juga sekaligus dipraktikan dalam hal-hal yang nyata. Dengan pemikiran seperti itu, perlu didukung kembalinya PMP, dari tingkat sekolah dasar sampai dengan menengah atas. Jika PMP sudah diberlakukan kembali dari usia dini, maka pola pikir dan pemahaman serta implementasi terhadap nilai-nilai kebangsaan dapat lebih mudah untuk dipraktikkan.

1.     Kedudukan dan Fungsi Pendidikan Moral Pancasila
Kedudukan dan fungsi Pancasila mempunyai pemahaman yang sangat luas dan tidak terbatas, baik dilihat dari segala sisi mengenai Pancasila dan fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara dan deologi negara. Menurut Depdiknas, 2003:20, pendidikan ialah sebuah upaya yang dilkukan secara sadar juga teratur sesuai rencana demi menciptakan keadaan belajar dan sebuah tahapan pembelajaran supaya peserta didik dapat secara aktif meningkatkan serta memaksimalkannya
Dengan begitu dapat mempunyai kekuatan dalam jiwa keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang berkarakter, kecerdasan,  berakhlak yang mulia serta memiliki keterampilan yang nantinya diperlukan oleh dirinya didalam kehidupan di lingkungan, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan pada hakikatnya merupakan upaya yang dilakukakn oleh masyarakat dan juga pemerintah untuk mengenalkan tentang sebuah ilmu yang memiliki manfaat bagi keberlangsungan hidup generasi penerus bangsa. Pendidikan Pancasila memiliki fungsi sebagai sarana untuk meningkatkan sikap kesadaran dalam bernegara dan lebih berwawasan nusantara, menciptakan perilaku serta memiliki jiwa cinta tanah air.

2.     Tujuan Pendidikan Moral Pancasila 
Tujuan Pendidikan Moral Pancasila menurut UU No. 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional yang juga tercantum di dalam SK Dirjen Dikti. No.38/DIKTI/ Kep/ 2003, ialah guna menunjukan arah tujuan pada moral dan diharapkan dapat terealisasi di kehidupan bermasyarakat setiap hari, yakni tingkah laku yang memperlihatkan iman serta taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (keyakinannya masing-masing), bertingkah-laku kerakyatan dengan selalu mendahulukan kepentingan umum. Dan bukannya mendahulukan kepentingan individu maupun kelompok dan golongan tertentu sehingga dalam setiap adanya perbedaan pemikiran selalu diarahkan unutk bermusyawarah agar mendukung terwujudnya keadaan yang memiliki keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan begitu, tujuan mempelajari Pancasila adalah agar dalam ddiri pesertadidik/warganegara terciptanya  perilaku di dalam kehidupan sehari-hari, berikut diantaranya mengenai tujuan Pendidikan Moral Pancasila/PPKn/PPKn :
1.     Memiliki keimanan serta ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2.     Memiliki sikap kemanusiaan yang adil juga beradab kepada orang lain dengan selalu memiliki sikap tenggang rasa di tengah kemajemukan bangsa
3.     Menciptakan persatuan bangsa dengan tidak bertindak anarkis yang dapat menjadi penyebab lunturnya Bhinneka Tunggal Ika ditengah masyarakat yang memiliki keberagaman kebudayaan. (baca juga: Fungsi Kebudayaan bagi Masyarakat dan Contohnya)
4.     Menciptakan sikap kerakyatan yang mendahulukan kepentingan umum dan mengutamakan musyawarah untuk mencapai keadaan yang mufakat.
5.     Memberikan dukungan sebagai cara menciptakan keadaan yang berkeadilan sosial dalam masyarakat.

Dengan adanya Pendidikan Pancasila, menjadi sebuah sarana dalam usaha untuk mengerti, memahami serta mendalami makna Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia dan juga mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat sesuai dengan cita-cita serta tujuan nasional seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945.

3.     Eksistensi Pendidikan Moral Pancasila Era Globalisasi 
Eksistensi Pendidikan Moral Pancasila atau yang biasa disingkat PMP telah menjadi topik yang hangat dibicarakan. Penyebabnya adalah wacana PMP yang akan dikembalikan dan dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan. Mungkin anak muda jaman sekarang atau generasi milenial tidak terlalu banyak mengetahui dan mengerti apa itu PMP.  PMP merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sejak tahun 1975. PMP ketika itu menggantikan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang telah masuk dalam kurikulum sekolah di Indonesia sejak tahun 1968. Namun, mata pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan pada masa reformasi PPKn diubah lagi menjadi PKn dengan menghilangkan kata Pancasila yang dianggap sebagai produk orde baru. Lebih lanjut, PMP berisi materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau dikenal dengan sebutan P4.
Dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di  Indonesia telah dilanda berbagai macam krisis yakni krisis kepercayaan, krisis keteladanan, krisis kepemimpinan, krisis kebudayaan dan yang paling utama adalah krisis moral. Dalam kurun waktu satu dekade ini, banyak yang mengatakan bangsa Indonesia mengalami kemunduran moral yang sangat hebat, ditandai dengan tingginya angka free sex atau seks bebas dikalangan remaja, maraknya penggunaan obat-obatan terlarang, seringnya terjadi bentrokan antar warga, antar pelajar, mahasiswa dengan aparat, dan lainnya yang biasa didasari oleh hal-hal sepele. Semakin banyaknya kasus korupsi yang terungkap ke permukaan juga menunjukkan degradasi moral tidak hanya menimpa kalangan masyarakat biasa, tetapi juga para pejabat atau wakil rakyat yang seharusnya dan semestinya menjadi pengayom dan teladan bagi warganya.Bangsa ini nampaknya sudah cukup lelah melihat, menyaksikan, dan mengalami keadaan yang demikian.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) adalah suatu pelajaran yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa mempunyai ajaran moral dan etika baik supaya rakyat Indonesia bermoral dan beretika Pancasila sebagaimana cita-cita bangsa untuk menjadi bangsa yang bermartabat. Kalau dilihat dari segi nama saja, PMP memang dibutuhkan. Pendidikan moral adalah salah satu hal yang penting untuk ditanamkan sejak dini selain pendidikan agama. Dengan didikan moral yang sudah ditanamkan sejak dini, perilaku seseorang akan berpengaruh di masa depan. Kemudian mempelajari bagian Pancasila juga tak kalah pentingnya. Sebagai ideologi negara, Pancasila tak hanya sekedar dipelajari, namun juga diaplikasikan. Kita harus sadar bahwa nilai Pancasila digali dari puncak-puncak kebudayaan, nilai agama, dan adat istiadat bangsa Indonesia sendiri, bukan dikulak dari negara lain. Nilai ini sudah ada sejak bangsa Indonesia lahir.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika Pancasila yang merupakan maha karya para pendahulu bangsa ini untuk mendapatkan predikat sebagai jiwa bangsa. Secara lebih spesifik, nilai Pancasila telah tercermin dalam norma, seperti norma agama, kesusilaan, kesopanan, kebiasaan, dan norma hukum. Oleh karenanya, mari kita membumikan Pendidikan Moral Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, agar apa yang dikatakan oleh Pam Schiller & Tamera Bryant bahwa: “Jika kita meninggalkan pelajaran tentang nilai moral yang sudah kebanyakan berubah, kita sebagai suatu Negara berisiko kehilangan sepotong kedamaian dari budaya bangsa.
Setiap bangsa membutuhkan landasan ideologis, sebuah prinsip dasar yang memberikan kerangka nilai, modal, etika, dan juga kerangka tujuan ideal bangsa itu didirikan. Itulah yang disebut sebagai pandangan hidup bangsa. Tanpa adanya ideologi atau pandangan hidup bangsa itu, sebuah bangsa kehilangan jati diri atau kepribadiannya. Tidak ada acuan nilai dan tidak ada tujuan ideal yang ingin dicapai. Dengan cara berpikir seperti itu, dapat dipahami mengapa langkah pertama yang dilakukan oleh para pendiri bangsa kita untuk mendirikan negara adalah merumuskan terlebih dahulu ideologi bangsa.
Pentingnya ideologi bangsa ini sangat kita rasakan pada era Reformasi. Keinginan untuk mewujudkan demokratisasi di satu sisi, berhadapan dengan banyaknya tuntutan modernitas di sisi lain. Dalam bidang pemerintahan terjadi tarik ulur antara paradigma unitarian dengan paradigma desentralisasi. Dalam bidang sosial budaya, terjadi tarik ulur antara ideologi pasar, ideologi sosialis, radikalisme dan seterusnya. Dalam bidang politik terjadi ledakan partisipasi warga negara namun rendah dalam kesadaran mengenai konsep kebangsaan; semua pihak mengejar kepentingan pribadi dan mengesampingkan landasan etis berpolitik.
Yang terjadi kemudian Indonesia terjebak pada transisi yang berlarut-larut. Banyak fenomena negatif yang kita alami. Salah satu yang begitu mengganggu kita selama empat tahun belakangan ini adalah merajalelanya intoleransi, pemikiran antikeberagaman bahkan radikalisme dan terorisme. Indonesia yang kita kenal saat ini sangat berbeda dengan Indonesia dua puluh tahun lalu. Sampai dekade 90-an, kita masih akrab dengan perbedaan, tidak terkotak-kotak dalam sekat primordialisme dan setuju pada ikatan kebangsaan kita yang berlandaskan keberagaman. Saat ini, kita seperti sengaja dipisahkan oleh marka-marka pembatas sosial, di mana satu kelompok diarahkan untuk membenci kelompok lain, menjebak kita dalam paradigma oposisi yang tak berkesudahan. Ada aktor-aktor yang menikmati permainan sektarian ini. Namun, yang jelas, bangsa Indonesia secara keseluruhan sangat dirugikan. Besar sekali sumber daya yang kita butuhkan untuk mengatasi itu. Meskipun kita beruntung karena masih bisa berdiri sebagai sebuah bangsa, tetapi masifnya eksploitasi primordialisme ini membuat bangsa Indonesia tidak pernah lagi sama seperti sebelumnya. Tampaknya, transisi demokrasi Indonesia memang membutuhkan sebuah kerangka dan landasan kuat agar makin terarah. Pancasila sebenarnya adalah sebuah pandangan hidup ideal. Pancasila yang berintikan pada toleransi, kebinekaan, dan kesetaraan, benar-benar menjadi nilai pemersatu bangsa Indonesia yang beragam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar