Senin, 08 Juni 2020




PEMBELAJARAN  CIVICS  EDUCATION PENDIDIKAN  KEWARGANEGARAAN  PENDIDIKAN MORAL PANCASILA HINGGA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn)
Oleh:Hamid Darmadi
Pendidikan Moral Pancasila Sebagai Mata Pelajaran
Dalam Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984 Pendidikan Moral Pancasila  (PMP) adalah sebuah mata pelajaran wajib dan salah satu dasar pembentukan landasan ideologis dan moral bangsa pada masa Orde Baru (Orba), Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Pada awal Reformasi, PMP diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan kemudian menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Terdapat wacana untuk menghidupkan kembali mata pelajaran tersebut.
Telah disebutkan di atas mata pelajaran PMP identik dengan pemerintahan Orde Baru. Kemudian mata pelajaran tersebut telah berganti nama menjadi “Pendidikan Kewarganegaraan”. Selanjutnya PMP mulai dipelajari di sekolah sejak diberlakukannya kurikulum 1975. Nama mata pelajaran PMP melalui kurikulum 1994  berubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berdasarkan kurikulum 1994.  Pemerintah menilai sosialisasi Pancasila paling efektif adalah dengan memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan. Peristiwa G-30-S/PKI atau Gestok pada 1965 membuat Pemerintah ingin memasukkan pelajaran Pancasila. Dalam kurikulum 1968, dikelompokkan beberapa mata pelajaran yang dianggap berkaitan dengan Pancasila, yakni Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Bahasa Daerah, dan Pendidikan Olahraga. Mata pelajaran tersebut digolongkan dalam Pembina Jiwa Pancasila. Pemerintah kala itu benar-benar ingin membuat tafsiran atas Pancasila sesuai dengan keinginannya. Setelah PMP diterapkan sekitar tiga tahun, muncul Tap MPR No II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila alias P4. Isi P4 adalah penjabaran butir-butir Pancasila berdasarkan tafsir pemerintah. Setelah mata pelajaran PMP berubah menjadi PPKn dan kini jadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), pemerintah ingin mengembalikan lagi menjadi PMP.
HA.Rudolf Tilaar dalam 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 (1995:92) menyebut pendidikan sebagai alat politik adalah wajar. Layaknya sebuah alat, keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari hal-hal yang sifatnya metodologis, tetapi juga tentang siapa dan tujuan penggunaannya. Tilaar memberi catatan bahwa kegagalan target pendidikan lebih kerap ditimbulkan oleh hal-hal yang bersifat ideologis.
Sejak masa pemerintahan Sukarno, pendidikan di Indonesia mulai memiliki kecenderungan politis. Pada tahun 1950, untuk pertama kalinya pemerintah membuat sebuah sistem pendidikan menyeluruh atau yang dikenal dengan pendidikan nasional. Di tangan Sukarno, pendidikan nasional kemudian dijadikan alat untuk mendorong manifesto politik yang berlandaskan sosialisme, yang dimulai sejak tahun 1959. Medio 1960-an, Demokrasi Terpimpin ala Sukarno perlahan mulai tergilas oleh pawai parlemen jalanan yang digerakkan oleh mahasiswa dan kelompok angkatan bersenjata. Mereka menilai ideologi yang berkembang telah mencemari Pancasila dan UUD 1945 sehingga perlu diadakan restrukturisasi.
 “Orde Baru merupakan orde yang ingin mengoreksi dan mengadakan introspeksi secara mendasar dan menyeluruh atas praktek pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde Lama,”. Tak lama setelah Orde Baru berkuasa, misi pendidikan dengan cara memurnikan kembali Pancasila dan UUD 1945 perlahan mulai dijalankan. Rezim Soeharto dengan tekun mulai melarang buku-buku Ilmu Kewarganegaraan (Civics) yang dijadikan sarana penyebaran ideologi Sukarno. Memasuki tahun 1970-an, pelajaran Civics resmi dihapus. Penggantinya bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dianggap lebih ideal menghasilkan warga negara bermoral Pancasila yang dapat memenuhi target pembangunan nasional Orde Baru.
1.     Menanamkan Doktrin Ideologi Pancasila
Dalam kondisi politik yang berangsur stabil sesudah Pemilihan Umum 1971, Orde Baru mengeluarkan pola umum pembangunan jangka panjang melalui Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 (tentang GBHN). Sesuai dengan ketetapan tersebut, Pemerintah menetapkan bahwa setiap warga negara wajib menyimak materi Pendidikan Moral yang bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).Di sekolah, PMP diatur dalam Kurikulum 1975. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memastikan setiap sekolah mendapatkan materi PMP sebagai pengganti pelajaran Civics. Sebagaimana P4, PMP memiliki dasar konstitusional karena berlandaskan pada TAP MPR 1973 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.
“Untuk mencapai cita-cita pembangunan jangka panjang, maka kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila,” demikian garis besar PMP dalam TAP MPR 1983 yang dicatat dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi (Muhammadiyahm, 2009: 9).
Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Materi PMP didesain sedemikian rupa dengan tujuan menanamkan doktrin ideologi Pancasila secara sistematis. Menurut Doni Koesoema dalam Pendidikan Karakter (2007:50), langkah ini sangat tepat karena berhasil menyatukan watak bangsa Indonesia di bawah pemerintahan tunggal. “Tanpa pemahaman yang dinamis dan terbuka tentang Pancasila, bangsa kita cenderung kembali pada ikatan-ikatan primordial yang memecah belah,” tulisnya. Namun, implementasi pelajaran PMP juga menuai kritik. Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004:10) menyebut bahwa pergantian pelajaran Civics ke PMP memiliki implikasi politik yang cukup besar. Pelajaran Civics pada praktiknya dianggap tidak berkontribusi kepada penguasa sehingga patut diganti.
Sebaliknya, mata pelajaran PMP justru dinilai dapat membendung sikap kritis siswa sekolah. Melalui cara ini, para siswa didoktrin sejak dini kepada ideologi yang sesuai kehendak rezim. Sepanjang pelaksanaannya, kurikulum Orde Baru yang sentralistik menghasilkan model pengajaran PMP yang hanya berputar pada sistem hapalan butir-butir Pancasila tanpa disertai pemahaman yang dalam.Lebih jauh Darmaningtyas menyatakan bahwa “Mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, tapi tidak diperkenalkan dengan hak-haknya”.

2.     Perubahan Kurikulum 1975 Menjadi Kurikulum 1984

Perubahan Kurikulum 1975 menjadi Kurikulum 1984 secara tidak langsung juga menimbulkan masalah bagi pelaksanaan kegiatan pengajaran PMP. Kekacauan ini timbul karena upaya Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu (1983-1985), yang bersikeras memasukkan pelajaran Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa (PSPB) ke dalam Kurikulum 1984. Materi baru ala Nugroho ini menimbulkan kontroversi karena dinilai tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah Nasional dan PMP. Setelah Nugroho wafat pada tahun 1985, kekacauan dalam mata pelajaran PMP baru diakui oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. “Terus terang saya katakan, saat ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah Nasional. Tumpang tindih tersebut akan mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata pelajaran lain,” kata Fuad dalam Kompas (11/9/1985).
Beban yang ditanggung para murid sebagai dampak politik pendidikan kian bertambah. Mereka tak hanya wajib mempelajari PMP, tapi juga harus mengikuti penataran P4 yang ditetapkan sebagai kegiatan wajib oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1982. Dalam Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (1982), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjelaskan bahwa “Hakikat PMP tiada lain adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran.”
3.     Menangkal Radikalisme
PMP kembali menjadi pembicaraan hangat di kalangan pendidik sejak tahun November 2018 lalu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mewacanakan untuk kembali menghidupkan pelajaran PMP di sekolah.Supriano selaku Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan saat itu menegaskan, rencana tersebut disusun sebagai respons terhadap kemunculan paham radikalisme dan paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Pada Oktober 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu (Prof. Dr. Muhadjir Effendy)  menegaskan tentang akan diterapkan nya kembali pelajaran PMP. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika, rencana ini akan direalisasikan pada tahun 2020 dengan mengadopsi konsep pembelajaran yang  baru. Tidak sedikit yang mendebat keputusan pemerintah yang memisahkan materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan Pendidikan Pancasila. Pasalnya, Pendidikan Pancasila sangat rawan dijadikan “alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktrinasi nilai-nilai Pancasila dan manipulasi terhadap makna demokrasi yang sebenarnya.”
Pendidikan Moral Pancasila atau PMP adalah sebuah mata pelajaran wajib dan salah satu dasar pembentukan landasan ideologis dan moral rakyat pada masa Orde Baru (Orba). Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Pada awal Reformasi, PMP diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dan kemudian menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) Terdapat wacana untuk menghidupkan kembali mata pelajaran tersebut karena PMP PPKn dan PKN identic dengan Pendidikan Budi Pekerti.
Budi Pekerti adalah sebuah mata pelajaran yang pernah ada dalam pendidikan di Indonesia. Mata pelajaran tersebut mengajarkan tentang pembelajaran moral  di sekolah-sekolah. Mata pelajaran tersebut mulai muncul pada akhir 1960an pada masa Orde Baru dengan berlakunya Kurikulum 1968 hingga pertengahan tahun 1980an  saat mata pelajaran tersebut digantikan oleh mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan mata pelajaran agama resmi masing-masing pelajar (IslamKristen Protestasn, Kristen KatolikBuddhaHindu, dan kemudian Konghucu).

A.    Pengertian Pendidikan Moral Pancasila
Secara etimplogi, moral berasal dari kata  mos (mores) atau  kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Dalam perwujudannya moral dapat berupsa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, negara, dan bangsa. Sebagaimana nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya.
Nilai, norma, dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai asfek kehidupan Nilai nilai Pancasila adalah nilai moral.Oleh karena itu nilai pancasila juga dapat di wujudkan ke dalam norma norma moral (etik).Norma norma etik tersebut selanjutnya dapat di gunakan sebagai acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam dasawarsa terakhir ini  ada kcenderungan Pendidikan Moral Pancasila belum efektif dan teraktualisasi secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Implikasinya, bangsa Indonesia mengalami banyak kemunduran moral yang ditandai dengan tingginya angka freesex atau seks bebas di kalangan remaja, maraknya penggunaan obat-obatan terlarang, seringnya terjadi bentrokan antar warga, antar pelajar, mahasiswa, antar mahasisw dengan aparat, geng motor, pembunuhan di angkot, taxi online, begal motor, pembunuhan oleh anak terhadap seorang anak kecil, dan seterusnya yang didasari oleh hal-hal sepele, serta semakin banyaknya kasus korupsi yang terungkap ke permukaan juga menunjukan degradasi moral yang  tidak saja terjadi di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga terjadi pada para pejabat yang seharusnya menjadi contoh-teladan bagi warganya.
Pendidikan Moral Pancasila  yang berkarakter adalah kunci untuk perbaikan moral, menjunjung peradaban bangsa tinggi, berintegritas dan kemanusiaan. Pendidikan Moral Pancasila adalah Sikap saling menghargai antar manusia dan menghormati sebagai manusia yang bermoral dan beretika sesuai dengan Pancasila (Darmadi Hamid:2009). Pendidikan Moral Pancasila amat penting dilaksanakan dan diterapkan dikalangan remaja agar supaya generasi muda bisa bermoral dan beretika baik sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan Moral Pancasila adalah menghargai dan menghormati sesama manusia sesuai dengan nilai nilai yang terkandung dalam nilai pancasila supaya bisa mendidik masyarakat, khususnya siswa agar memiliki karakter dan moral yang tinggi.
Memperhatikan dinamika kehidupan bermasyarakat yang berkembang saat ini, ada kecenderungan Pendidikan Moral diabaikan. Masyarakat saat ini lebih dimanjakan oleh teknologi yang berbagai macam hingga melupakan pentingnya moral dalam kehidupannya. Padahal moral berkaitan dalam interaksi antar orang di masyarakat. Moral tidak lepas dari norma-norma di masyarakat. Misalnya norma kesopanan,ada moral yang terdapat saat seseorang berkomunikasi dengan orang lain.
Moral dalam dunia pendidikan merupakan indikator optimisme dalam pembangunan masyarakat Indonesia ke depan. Moral menuntut pelaksanaan apa yang baikdan penolakan apa yang buruk. (Zuriah,2008:12). Seseorang yang paham dengan moral bisa membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Seseorang yang bermoral akan disegani serta dihargai masyarakat karena berhasil memahami nilai-nilai serta norma yang dikehendaki masyarakat. Masyarakat lebih merasa nyaman “hidup” berdampingan dengan seseorang yang memahami pendidikan moral. Seseorang yang bermoral akan menjauhi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat. (Zuriah,2008:13-19).
Nilai Pancasila yang digali dari bumi Indonesia sendiri merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia. Kemudian, ditingkatkan kembali menjadi Dasar Negara yang secara yuridis formal ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah Indonesia merdeka. Secara spesifik, nilai Pancasila telah tercermin dalam norma seprti norma agama, kesusilaan, kesopanan, kebiasaan, serta norma hukum. Dengan demikian, nilai Pancasila secara individu hendaknya dimaknai sebagai cermin perilaku hidup sehari-hari yang terwujud dalam cara bersikap dan dalam cara bertindak.  Suseno (1998) pendidikan pada masa orde lama, pada pemeritahan orla ingin Pendidikan Moral Pancasila menjadi pedoman tingkah laku masyarakat agar  menjadi pribadi manusia Indonesia yang bermoral pancasila seperti yang termuat dalam UU No.20 tahun 2003.
Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional   (Sisdiknas)    disebugtkan bahwa; Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia serta tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Telah disebutkan di atas bahwa Moral berasal dari kata  mos (mores) atau kesusilaan, tabiat, dan kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakat, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika terjadi sebaliknya, maka pribadi itu dianggap “tidak bermoral”. Dalam perwujudannya moral dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, negara, dan bangsa. Sebagaimana nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma, dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya. Nilai nilai Pancasila adalah nilai moral.Oleh karena itu nilai Pancasila juga dapat di wujudkan ke dalam norma norma moral (etik).Norma norma etik tersebut selanjutnya dapat di gunakan sebagai pedoman/acuan dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendidikan moral adalah pendidikan untuk menjadikan anak manusia bermoral atau bermanusiawi. Artinya pendidikan moral adalah pendidikan yang bukan saja mengajarkan tentang akademik, namun juga non akademik khususnya tentang sikap dan bagaimana perilaku yang baik diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Moral menjadi baik sering mempersyaratkan sebuah tindakan nyata dari kemauan, suatu mobilitas energi moral untuk melakukan apa yang menurut kita harus dilakukan, kemauan memerlukan emosi berada di bawah kontrol nalar. Kemauan nalar memerlukan penglihatan dan pemikiran tentang semua dimensi dari sebuah situasi. Kemauan diperlukan agar kewajiban diletakkan mendahului kesenangan. Kemauan membutuhkan kemampuan untuk menolak godaan, teguh menghadapi tekanan teman sebaya, dan melawan arus. Kemauan adalah inti dari kebranian moral.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) adalah sebuah mata pelajaran dan salah satu dasar pembentukan ideology dan Karakter bangsa. Sesungguhnya, Pendidikan Moral Pancasila  mengandung materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945,  dan Sejarah bangsa Indonesia.  Pada awal Reformasi, PMP diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan tidak lama kemudian menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Pendidikan Moral Pancasila   berbicara  tentang  ukuran baik-buruknya seseorang, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat, dan warga negara Suseno (1998)  Berkenaan dengan itu Ouska dan Whellan (1997) menyebutkan bahwa Moral adalah prinsip baik-buruk yang ada dan melekat dalam diri individu/seseorang.
Pendidikan Moral adalah suatu tuntutan perilaku yang baik yang harus dimiliki oleh setiap individu sebagai warganegra bangsa Indonesia yang bermoral, yang tercermin dalam pemikiran, sikap, dan tingkah laku. Sedangkan Moral Pancasila adalah Tingkah laku atau sikap yang menyangkut baik buruknya perbuatan manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila. Moral merupakan salah satu perilaku yang sangat erat dengan kehidupan manusia, melalui moral kita dapat mengetahui di saat kita merasakan rasa saat sifat moral itu sendiri tumbuh dan berkembang pada kehidupan kita. Melalui pengetahuan kita dapat mengaplikasikan moral tersebut, selagi ada batasan batasan/ perilaku perilaku yang tidak melanggar peraturan yang ada. pendidikan moral pancasila adalah Sikap saling menghargai antar manusia dan menghormati sebagai manusia yang bermoral dan beretika sesuai dengan pancasila. Pendidikan moral pancasila ini sangat penting dilaksanakan dan diterapkan dikalangan remaja supaya generasi muda bisa bermoral dan beretika baik sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi Pendidikan moral pancasila adalah menghargai dan menghormati sesama manusia sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam nilai Pancasila agar bisa mendidik masyarakat khususnya siswa supaya bermoral yang baik.
   Pendidikan Moral Pancasila sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk itu perlu adanya campur tangan  Pemerintah agar supaya Pendidikan Moral Pancasila ini bisa digunakan dalam kehidupan sehari hari demi terciptanya manusia yang berbudi luhur dan bermoral Pancasila sesuai cita-cita bangsa. Pendidikan Moral Pancasila bertujuan menanamkan  sikap saling menghargai antar sesama manusia, sikap manusia dengan lingkungannya, sikap manusia dengan biota hidup di sekitarnya, serta menujukkan “ucap, patrap dan perilaku terpuji” sebagai manusia yang bermoral dan beretika sesuai dengan konsep dasar Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks ini Pendidikan Moral Pancasila sangat penting dilaksanakan dan diterapkan dikalangan generasi muda bangsa Indonesia agar generasi muda bangsa Indonesia bermoral dan beretika baik sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi Negara. Pendidikan Moral Pancasila mengamanahkan nangsa Indonesia  menghargai dan menghormati sesama manusia sesuai dengan nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila agar mewaraiskan nilai-nilai moral kepada masyarakat khususnya siswa agar bermoral yang baik (Darmadi Hamid 2009).
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) mulai diajarkam melalui Kurikulum 1975 menjadi bagian dari pelajaran yang pernah diterima siswa sejak SD sampai SMA dan Kejuruan di era Orde Baru. Bagi mahasiswa, mendapatkan pelajaran itu melalui P4. Selanjutnya, PMP dihapus dan digantikan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berdasarkan kurikulum 1994.
1.     Kronologis  Pembelajaran PMP di Sekolah
Telah disebutkan di atas bahwa Secara kronologis mata pelajaran PMP diajarkan dalam Kurikulum 1975  dan Kurikulum 1984.  Ketika Kurikulum 1975 berjalan, muncul Ketetapan MPR Nomor II tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4). Pelajaran PMP kemudian merujuk pada tafsiran Pancasila dalam P4. Nama mata pelajaran ini diubah lewat Kurikulum 1994 menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Namun perubahan PMP jadi PPKn hanya sebatas pergantian nama. Mata pelajaran PPKn tetap mengisi jadwal pelajaran siswa hingga ditetapkannya UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003. Mata pelajaran PPKn kemudian berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) tanpa Pendidikan Moral
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia bermula dari gagasan Presiden Sukarno. Pada tahun 1957, pemerintahan Presiden Sukarno menginisiasi adanya mata pelajaran yang dikenal dengan nama Civics. Civics diterapkan di pendidikan sekolah mulai tahun 1961, (Dr Baso Madiong SH MH, Dr Zainuddin Mustapa, dan Andi Gunawan Ratu Chakti dalam buku 'Pendidikan Kewarganegaraan: Civic Education'). Mata pelajaran Civic kala itu memuat pidato kenegaraan Presiden Sukarno hingga sejarah pergerakan nasional, di samping mengenai Pancasila. Nama pelajaran itu juga dikenal dengan 'Kewarganegaraan'. Namun di tahun 1961 pula Dr Sahardjo SH mengusulkan agar namanya diubah jadi 'Kewargaan Negara' yang menekankan pada kata 'Warga' di UUD 1945.
Pada tahun 1968, pelajaran Civics memiliki materi berbeda di tiap jenjang. Untuk tingkat SD namanya adalah 'Pendidikan Kewarganegaraan' yang mempelajari sejarah dan geografi Indonesia, tingkat SMP juga bernama 'Pendidikan Kewarganegaraan' namun ditambah dengan materi tentang konstitusi, pada tingkat SMA materinya ditambah mengenai UUD 1945. Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto mulai memerintah pada tahun 1966. Di tahun itu buku Kewarganegaraan yang ditulis Supardo dkk dilarang jadi buku pegangan di sekolah-sekolah. Hingga akhirnya pemerintah membuat kurikulum tentang pendidikan Kewarganegaraan tahun 1968.
Saat ini pelajaran PMP menjadi perbincangan hangat di sejumlah media. PMP merupakan mata pelajaran wajib di era 70-80-an. Saat itu, semua lapisan pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi wajib mendapatkan mata pelajaran ini. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) saat itu Supriono mengatakan, pihaknya mengaktifkan kembali mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Munculnya wacana diaktifkan kembali PMP disebut-sebut karena salah satu alasanya adalah maraknya isu hoaks PKI (Partai Komunis Indonesia) yang hingga sekarang masih tersebar di masyarakat.
Permasalahan munculnya paham-paham radikalisme dan berbagai paham lain yang bertentangan dengan norma Pancasila sebagai dasar negara menjadikan salah satu alasan Pendidikan Moral Pancasila ini kembali diterapkan. Pancasila digunakan sebagai pondasi untuk membentengi seseorang dari paham-paham radikal yang merusak bangsa. "PMP akan kembalikan lagi karena ini banyak yang harus dihidupkan kembali, bahwa Pancasila itu  luar biasa buat bangsa Indonesia, itu mungkin yang akan kita lakukan," (Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Supriano dalam upacara peringatan hari guru di gedung Kemendiknas, Jakarta Pusat, Senin 26 November, Selasa 27/11/2018).
2.     Pendidikan Moral Pancasila Era Orde Lama
Pada Era Orde Lama Pendidikan Moral Pancasila belum sepenuhnya bisa dilaksanakan karena dilihat dari segi keadaan negara Indonesia yang baru saja merdeka dan masih memerlukan banyak dukungan dari berbagai komponen bangsa. Secara teoritis Pendidikan Moral Pancasila pada masa Orde Lama sudah cukup baik karena Ir Soekarno ingin Pendidikan Moral yang berbasis nilai nilai dari Pancasila itu dilakukan oleh rakyat Indonesia. Oleh karena itu Presiden Soekarno bercita-cita mengembangkan Pendidikan Moral Pancasila sebagai suatu pelajaran yang bisa membuat rakyat Indonesia pada khususnya bisa mempunyai ajaran moral baik dan etika yang baik agar rakyat Indonesia menjadi masyarakat yang bermoral dan beretika Pancasila sebagaimana cita cita bangsa indonesia untuk menjadikan bangsa yang besar dan bermartabat. 
Dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara, nilai Pancasila merupakan standar hidup bangsa yang berideologi Pancasila. Nilai ini sudah pernah dikemas dan disosialisasikan melalui P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila), dan dianjurkan disekolah-sekolah. Secara historis, nilai-nilai Pancasila digali dari sari-sari kebudayaan, nilai agama, dan adat istiadat bangsa Indonesia sendiri, bukan dicangkok dari negara lain. Nilai ini sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika Pancasila mendapat predikat sebagai jiwa bangsa Indonesia. 
Nilai Pancasila yang digali dari bumi Indonesia sendiri merupakan pandangan /panutan hidup bangsa Indonesia. Kemudian, ditingkatkan kembali menjadi Dasar Negara yang secara yuridis formal ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka. Secara spesifik, nilai Pancasila itu telah tercermin dalam norma seprti norma agama, kesusilaan, kesopanan, kebiasaan, serta norma hukum. Dengan demikian, nilai Pancasila secara individu hendaknya dimaknai sebagai cermin perilaku hidup sehari-hari yang terwujud dalam cara bersikap dan dalam bertindak. Suseno (1998) pendidikan pada  pemeritahan Orde Lama ingin Pendidikan Moral Pancasila menjadi pedoman tingkah laku masyarakat agar menjadi pribadi yang bermoral Pancasila.
3.     Pendidikan Moral Pancasila Era Orde Baru
Pada era Orde Baru muncul tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan. Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada masa Orde Lama, dimana Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat pembenar Pemerintah Orde Baru di bawah otoritas penguasa saat itu. Selama Orde Baru, pendidikan sebagai instrumen pembentukan karakter warga negara nampak wujudnya dalam standar-standartisasi karakter warganegara. standartisasi yang menrcerminkan civics vitures kebajikan-kebajikan (warga negara) yang disarikan dalam mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila).
Pembelajaran Pendidikan Moral Pancasila menurun dikarenakan doktrin Orde baru Tafsir ideologis dalam bidang pendidikan pada era Orde Baru mulai menampakan kekuatannya secara formal, GBHN 1973 menyebutkan perlunya "Kurikulum di semua tingkat pendidikan yang berisikan Pendidikan Moral Pancasila...." Apabila dicermati, nampak jelas bahwa Pancasila ditafsirkan dalam masing-masing pokok bahasan pokok bahasan dan bahan pengajaran,dengan nuansa Civrcs Kurikulum 1968. Tafsir ideologi nasional dalam PMP makin indoktrinatif ketika MPR menetapkan Pedoman Penghayatand an Pengamalan Pancasila (P4) mengharuskan setiap warga negara dan apararur negara untuk melaksanakannya.
Dalam bidang pendidikan, P4 seakan-akan menjadi "roh" dan “mata air:-" dari mata pelajaran PMP sampai dengan  berubahnya menjadi  Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kurikulum 1994. Tidak salah jika dikatakan bahwa "Citirynship educationh as oftenn fleoedt he inlercsot f thotei n poweri n particalars odcc and tbhu has been a macro indoctnnatioane establishmeonft ideologtcahle gemorryatt hert ban of educaliotl' (Cogan, 1998, seperudrkuup Nfuchson, 2004:30). Hal ltu menimpa Pendidikan Kewarganeagraan di Indonesia, khususnya selama Orde Baru. Darji Darmodiharjo, (1980) menyebutkan Pendidikan Moral era Orde Baru ingin menciptkaan bangsa yang tertib bermoral serta bersatu agar menjadi bangsa yang kuat dan sejahtera, sesuai dengan UU yang berlaku dan sesuai dengan Nilai-Nilai Pancasila. Pendidikan Moral Pancasila era orde baru lebih ditekankan untuk membuat masyarakat indonesia lebih tertib bermoral agar menjadi bangsa yang kuat dan bermoral Pancasila.
4.     Pendidikan Moral Pancasila Era Reformasi
  Pada Era reflormsi Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan Maha karya pendahulu bangsa Indonesia yang tergali dari jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dari berbagai kajian didapat beberapa kandungan dan keterkaitan antara sila tersebut sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan dikarenakan antar sila-sila tersebut saling menjiwai satu dengan yang lainnya. Ini dengan sendirinya menjadi ciri khas dari semua kegiatan serta aktivitas desah nafas dan jatuh bangunnya perjalanan sejarah bangsa yang telah melewati masa-masa sulit dari jaman penjajahan hingga saat ini.  Pancasila sebagai dasar negara, merupakan ”roh” kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman kepada Pancasila.
   Bagaimana bentuk implementasi Pancasila dalam sejarah  bangsa Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang setelah reformasi mulai tergradiasi. Tahun 1999 setelah terjadinya pergantian Era Orde Baru menjadi reformasi keadaan pendidikan pada saat itu kurang baik, akhirnya pemerintah mengambil tindakan cepat mengatasi itu agar moral bangsa indonesia tidak luntur karena terjadinya pergantian masa orde baru ke reformasi. Era reformasi Pendidikan Moral Pancasila cenderung mengacu pada nilai moralnya saja, sehingga Pendidikan Moral Pancasila pada saat itu cukup berkembang dengan baik karena dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang undangan. Keadaan Pendidikan Moral Pancasila pada masa reformasi Lebih ditekankan pada nilai moral yang mengacu pada nilai nilai yang terkandung didalam Pancasila, sebagaimana pendidikan moral itu berguna bagi bangsa dan Negara (Margono, 2012) Pendidikan Moral Pancasila pada masa reformasi lebih ditekankan pada nilai moralnya, sehingga masyarakat bisa lebih memahami etika bermoral yang baik dan beasaskan sesuai dengan nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar