PEMBELAJARAN
CIVICS EDUCATION PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN MORAL PANCASILA HINGGA PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn)
Oleh:Hamid Darmadi
Dinamika Pembelajaran Pendidikan Moral
1.
Sejarah Pendidikan
Moral Pancasila
Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan
di Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat Pemerintahan Sukarno atau
yang lebih dikenal dengan istilah civics.
Penerapan Civics sebagai
pelajaran di sekolah-sekolah dimulai pada tahun 1961 dan kemudian berganti nama
t menjadi pendidikan Kewargaan negara pada tahun 1968.
Civics sebagai mata pelajaran
yang menekankan pada asfek teoritik tentang warga Negara dan Pemerintah serta
hubungan antara warga Negara dengan Negara dengan pemerintah. Secara etimogis Civics berasal dari kata latin civicus
yang berarti warga negara dari sebuah Negara kota pada zaman dahulu di Yunani
Kuno. Sedangkan memngapa Civics di sebut Ilmu Kewarganegaraan karena dibelakang
kata Civics
terdapat huruf “S” yang
menunjukkan sebagai sebuah Ilmu Ilmu
Kewarganegaraan ini adalah salah satu disiplin ilmu yang memiliki tujuan,
metode, dan objek tertentu. Civics
merupakan sarana yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk membentuk warga
Negara yang memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi oleh karena
itu Cicivcs sangat berperan penting
dalam upaya mempersiapkan warga Negara Indonesia yang hidup berdasarkan
Pancasila, UUD dan 1945 yang berakhlak mulia, berbudipekerti tinggi berazas
Pendidikan Moral Pancasila.
Implimentasi
Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia mengalami berbagai lika liku. Lika liku perkembangan itu ada yang “manis”
namun tidak sedikit pula yang “pahit”. Berikut ini dipaparkan antara lain lika
liku itu sebagai berikut:
1. Pendidikan Moral pada
masa perjuangan (masa kolonial dan sebelumnya)
berisikan nilai-nilai adat dan kemasyarakatan. Pendidikan saat itu dilakukan di lembaga-lembaga informal seperti pondok, padepokan, sekolah minggu, sekolah keagamaan dan sejenisnya.
berisikan nilai-nilai adat dan kemasyarakatan. Pendidikan saat itu dilakukan di lembaga-lembaga informal seperti pondok, padepokan, sekolah minggu, sekolah keagamaan dan sejenisnya.
2. Pendidikan Moral
pada awal Indonesia merdeka dilaksanakan melalui pendidikan agama dan budi
pekerti.
3. Pendidikan agama dan
pendidikan budi pekerti tetap dipertahankan.
Namun dalam era berikutnya tumbuh kebutuhan negara untuk menjadikan
warga negara Indonesia yang “baik” (sadar akan dirinya sebagai warganegara, taat,patuh dan loyal kepada negara). Tuntutan itu menandai cikal bakal munculnya Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) di Indonesia .
Namun dalam era berikutnya tumbuh kebutuhan negara untuk menjadikan
warga negara Indonesia yang “baik” (sadar akan dirinya sebagai warganegara, taat,patuh dan loyal kepada negara). Tuntutan itu menandai cikal bakal munculnya Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) di Indonesia .
4. Secara kronologis implimentasi
perjalanan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dapat disebutkan sebagai
berikut;
a. Munculnya mata
pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 1957
b. Keluar Civics sebagai pengganti Kewarganegaraan
tahun 1961
c. Munculnya mata
pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara tahun 1968
d. Pendidikan Moral
Pancasila (PMP) tahun 1975 dan 1984
e. Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994
f. Pelajaran
Kewarganegaraan pada tahun 2004
g. Berikutnya adalah
keluarya Standar Isi dan Standar Kompetensi mata pelajaran pada tahun 2006. Pelajaran
Kewarganegaraan berganti nama menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
h.
Perkembangan
terakhir adalah lahirnya Kurikulum 2013
yang menekankan bahwa: Kurikulum 2013 (K-13) adalah kurikulum yang berlaku dalam Sistem Pendidikan
Indonesia. Kurikulum ini merupakan kurikulum tetap diterapkan oleh
pemerintah untuk menggantikan Kurikulum-2006 yang sering disebut sebagai Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan yang telah berlaku hingga saat tulisan
buku ini diselesaikan.
i.
PPKn Thun 2013. Mempunyai ruang lingkup materi yang bersumber
pada 4 Pilar Kebangsaan (UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI).
Nilai yang terkandung dalam mata pelajaran ini sangat bagus jika ditinjau dari
ruang lingkupnya dan bisa dibilang sebagai mata pelajaran yang hampir sempurna.
Jadi, nilai-nilai didapat dari 4 pilar kebangsaan tersebut
Kurikulum 2013 memiliki empat asfek penilaian, yaitu: 1)asfek Pengetahuan, 2)asfek Keterampilan, 3)asfek Sikap, dan
4)asfek Perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran
terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang
dirampingkan terlihat ada di materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn. Sedangkan materi yang
ditambahkan adalah materi Matematika. Materi pelajaran tersebut (terutama Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam)
disesuaikan dengan materi pembelajaran Standar Internasional (seperti PISA dan
TIMSS) sehingga pemerintah berharap dapat meyeimbangkan
pendidikan di dalam dan
pendidikan di luar negeri.
Dewasa
ini muncul tuntutan perlunya kembali kepada Pendidikan Moral Pancasila/
Pendidikan Budi Pekerti. Namun dalam kenyataannya pendidikan budi pekerti
tampaknya tidak muncul dalam bentuk mata pelajaran tersendiri. Pendidikan Budi
Pekerti terintegrasi dalam semua mata pelajaran serta melalui pengintegrasian
dalam kegiatan-kegiatan di sekola
2. Pancasila dan
Nilai-Nilai Moral
Secara
filosofis, Pancasila berisikan seperangkat nilai–nilai moral. Nilai nilai moral
itu bersifat dasar yang meliputi nilai Ketuhanan, nilai. Kemanusiaan, nilai
Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan. Nilai–nilai itu dijadikan dasar
negara dan ideologi nasional Indonesia. Sebagai lahirnya sarana negara, nilai
moral Pancasila menjadi landasan filosofis penyelenggaraan bernegara. Sebagai ideologi,
nilai moral Pancasila menjadi cita-cita bernegara. Dalam rangka sosialisasi
nilai-nilai moral Pancasila diperlukan media dalam bentuk pendidikan nilai
moral Pancasila
Sosialisasi nilai-nilai moral Pancasila dimunculkan melalui mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) berdasarkan pada kurikulum 1975 dan 1984. Sosialisasi tersebut semakin dipertegas dengan munculnya pelajaran. PPKn berdasar Kurikulum 1994. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila.
Sosialisasi nilai-nilai moral Pancasila dimunculkan melalui mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) berdasarkan pada kurikulum 1975 dan 1984. Sosialisasi tersebut semakin dipertegas dengan munculnya pelajaran. PPKn berdasar Kurikulum 1994. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila.
Dalam
naskah terakhir Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan, nilai-nilai Pancasila
tetap merupakan sumber nilai bagi Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini
dibuktikan dengan masih terdapatnya asfek nilai-nilai Pancasila sebagai salah
satu kajian dalam kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini menunjukkan
bahwa Pancasila yang berisikan nilai moral menjadi salah satu sumber bagi
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Nilai-nilai moral tidak
hanya terdapat dalam nilai Pancasila, tetapi nilai-nilai moral itu juga terdapat
dalam budaya bangsa setempat yang sifatnya partikular. Nilai-nilai ini dapat
dikatakan nilai-nilai moral lokal. Nilai-nilai “moral local” dapat pula
diangkap sebagai materi pendidikan moral.
3.
Misi - Visi Pendidikan
Kewarganegaraan (Civics Education)
Misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membantu pesertadidik, dan masyarakat
warganegara Indonesia untuk memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten
mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah
air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi
dan seni dengan penuh rasa tanggungjawab.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan adalah merupakan sumber
nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program study,
guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia
seutuhnya. Berdasarkan
suatu realitas yang dihadapi, bahwa warganegara/mahasiswa adalah sebagai penerus cita-cita bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius,
berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsa
Indonesia.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan
pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya yang
bersendikan Pancasila dan UUD 1945.
Misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membantu
mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan
nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air dalam
menguasai, menerapkan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dengan rasa tanggung jawab,
bermartabat, dan
bermoral.
Bertolak
dari penjabaran visi-misi di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tujuan utama Pendidikan Kewarganegaraan
adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku
yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, Wawasan
Nusantara, serta Ketahanan Nasional dalam diri mahasiswa calon ilmuwan warga
negara NKRI yang sedang mengkaji dan akan menguasai IPTEK dan seni. Kualitas warga negara akan ditentukan
terutama oleh keyakinan dan sikap hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
disamping derajat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajarinya.
Sedang Berdasarkan
Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/Dikti/Kep/2006, terdapat visi dan misi Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai berikut:
a.
Mengembangkan
sistem kelembagaan program studi yang memiliki jati diri kependidikan, sehingga
mampu menghasilkan tenaga kependidikan yang memiliki keunggulan kompetensi
dalam bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan.
b.
Mengembangkan peran kelembagaan Program Studi
untuk dapat menjadi salah satu pusat pengembangan dan pembaharuan Pendidikan
Kewarganegaraan, sejalan dengan kepentingan nasional dan kesadaran sebagai
warga global.
c.
Mengembangkan
sistem kelembagaan yang mampu menjadi salah satu institusi yang berperan dalam
membangun watak bangsa (nation and character building), demi terwujudnya
masyarakat warga (civil society) yang demokratis dan bertanggung jawab.
d.
Melaksanakan
Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan semangat kebebasan akademik, menjunjung
nilai-nilai ke-Indonesia-an dan menginternalisasikan karakter ketakwaan,
kemandirian serta kecendekiaan.
e.
Menyelenggarakan
dharma pendidikan dan pengajaran yang akademis dan profesional di bidang
Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis pada ilmu-ilmu politik, hukum dan
moral/filsafat.
f.
Melaksanakan
dharma penelitian yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dapat mendukung dharma pendidikan pengajaran serta pengabdian
kepada masyarakat, di bidang Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis padaz
ilmu-ilmu politik, hukum dan moral/filsafat.
g.
Menyelenggarakan
dharma pengabdian kepada masyarakat yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dan/atau berdasar hasil penelitian, di bidang Pendidikan
Kewarganegaraan yang berbasis pada rumpun keilmuan; politik, hukum
dan filsafat moral.
Pendidikan
Kewarganegaraan (civics education)
mulai mencuat kembali kepermukaan sejak ada rencana perlunya perubahan
kurikulum 1994. Dalam draf naskah awal kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001
sampai 2004, dimunculkan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai alternatif
pengganti mata pelajaran PPKn. Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru ini
lebih ditekankan pada Esensi sebagai pendidikan demokrasi di Indonesia. Dewasa
ini tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan Demokrasi. (Udin.S,2001). Hal
ini sejalan dengan perlunya demokrasi ditegakkan di masa sekarang. Namun secara
luas Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia tidak hanya menampung esensi
sebagai pendidikan demokrasi. Dari isi Pendidikan Kewarganegaraan yang ada baik
Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan maupun Pendidikan Tinggi, maka Pendidikan
Kewarganegaraan memiliki misi sebagai berikut;
a. Pendidikan
Kewarganegaraan (Demokrasi)
Pendidikan
Kewarganegaraan mengemban tugas menyiapkan peserta didik
menjadi warga negara yang demokratis untuk mendukung tegaknya demokrasi
negara. Dengan Pendidikan Kewarganegaraan maka akan ada sosialisasi,
diseminasi dan penyebarluasan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat. Dewasa
ini tuntutan pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi
menjadi sesuatu yang esensial.
menjadi warga negara yang demokratis untuk mendukung tegaknya demokrasi
negara. Dengan Pendidikan Kewarganegaraan maka akan ada sosialisasi,
diseminasi dan penyebarluasan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat. Dewasa
ini tuntutan pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi
menjadi sesuatu yang esensial.
b. Pendidikan Kewarganegaraan
(civisc education).
Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti
sesungguhnya yaitu civic education. Berdasar hal ini maka Pendidikan
Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan peserta didik berkenaan dengan peranan , tugas, hak, kewajiban
dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara. Pendapat ini didasarkan pada terminologi dari civic education
sesungguhnya yaitu civic education. Berdasar hal ini maka Pendidikan
Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan peserta didik berkenaan dengan peranan , tugas, hak, kewajiban
dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara. Pendapat ini didasarkan pada terminologi dari civic education
c. Pendidikan
Kewarganegaraan (Nilai-Nilai/Karakter).
Pendidikan
Kewarganegaraan bertujuan membina dan mengembangkan nilai
kewarganegaraan yang dianggap baik yang berujung pada terbentuknya warga negara yang berkarakter yang mencerminkan nilai-nilai moral Pancasila
kewarganegaraan yang dianggap baik yang berujung pada terbentuknya warga negara yang berkarakter yang mencerminkan nilai-nilai moral Pancasila
d. Pendidikan Kewarganegaraan
(Pendidikan Bela Negara/PBN)
Pendidikan
Kewarganegaraan bertujuan membentuk peserta didik agar memiliki Kesadaran Bela Negara
(KBN) sehingga dapat diandalkan untuk menjaga kelangsungan negara dari berbagai
ancaman baik dari dalam maupun luar negeri..
Pendidikan Kewarganegaraan (PKN)
sebagai pendidikan nilai mempunyai tugas menanamkan nilai-nilai moral bangsa,
nilai-nilai ideologi nasional sehingga mampu membentuk warga negara yang
berkarakter baik. Nilai-nilai moral bangsa Indonesia tersebut tentunya tidak
lepas dari nilai-nilai Pancasila. Berdasar ini menunjukkan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan menampung pula misi sebagai pendidikan moral /nilai di
Indonesia.
Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) di masa Orde Baru mengalami kegagalan yang mengakar.Praktik
manipulasi pendidikan moral hanya menguntungkan penguasa. Pendidikan berkaitan erat dengan
politik. Kebijakan ini menjadi hal yang fundamental bagi setiap sistem
pemerintahan di sebuah negara modern. Melalui pendidikan, negara mengharapkan
rakyatnya dapat memeluk ideologi yang sejalan dengan pemerintah sehingga
tercipta iklim politik yang harmonis. Pakar pendidikan (HAR.Tilaar 50
Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995) (1995:92) menyebut
pendidikan sebagai alat politik adalah wajar. Layaknya sebuah alat,
keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari hal-hal yang sifatnya
metodologis, tetapi juga tentang siapa dan tujuan penggunaannya. Tilaar memberi
catatan bahwa kegagalan target pendidikan lebih kerap ditimbulkan oleh hal-hal
yang bersifat ideologis.
Sejak masa pemerintahan Sukarno,
pendidikan di Indonesia mulai memiliki kecenderungan politis. Pada tahun 1950,
untuk pertama kalinya pemerintah membuat sebuah sistem pendidikan menyeluruh
atau yang dikenal dengan pendidikan nasional. Di tangan Sukarno, pendidikan
nasional kemudian dijadikan alat untuk mendorong manifesto politik yang
berlandaskan sosialisme, yang dimulai sejak tahun 1959 Medio 1960-an, Demokrasi
Terpimpin ala Presiden Sukarno perlahan mulai tergilas oleh pawai parlemen jalanan
yang digerakkan oleh mahasiswa dan kelompok angkatan bersenjata. Mereka menilai
ideologi yang berkembang telah mencemari Pancasila dan UUD 1945 sehingga perlu
diadakan restrukturisasi.
Orde Baru merupakan orde yang ingin
mengoreksi dan mengadakan introspeksi secara mendasar dan menyeluruh atas
praktek pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde
Lama,” (HAR. Tilaar 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995)
Tak lama setelah Orde Baru berkuasa, misi pendidikan dengan cara memurnikan
kembali Pancasila dan UUD 1945 perlahan mulai dijalankan. Rezim Soeharto dengan
tekun mulai melarang buku-buku Ilmu Kewarganegaraan (Civics) yang dijadikan sarana penyebaran ideologi saat itu. Tahun
1970-an, pelajaran Civics resmi
dihapus. Penggantinya bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dianggap
lebih ideal menghasilkan warga negara bermoral Pancasila yang dapat memenuhi
target pembangunan nasional Orde Baru.
Dalam kondisi politik yang berangsur
stabil sesudah Pemilihan Umum 1971, Orde Baru mengeluarkan pola umum
pembangunan jangka panjang melalui Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 (tentang
GBHN). Sesuai dengan ketetapan tersebut, Pemerintah menetapkan bahwa setiap
warga negara wajib memahami Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Di sekolah, PMP diatur dalam Kurikulum 1975. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia memastikan setiap sekolah mendapatkan materi PMP sebagai
pengganti pelajaran Civics.
Sebagaimana P4, PMP memiliki dasar konstitusional karena berlandaskan pada TAP
MPR 1973 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.
“Untuk mencapai cita-cita pembangunan
jangka panjang, maka kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan
Pendidikan Moral Pancasila,” Secara garis besarnya PMP dalam TAP MPR 1983 yang
dicatat dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (2009:9). Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran
tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia.
Materi PMP di desain sedemikian rupa dengan tujuan menanamkan doktrin ideologi
Pancasila secara sistematis. Langkah ini sangat tepat karena berhasil
menyatukan watak bangsa Indonesia di bawah pemerintahan tunggal tanpa pemahaman
yang dinamis dan terbuka tentang Pancasila, bangsa Indonesia cenderung kembali
pada ikatan-ikatan primordial yang memecah belah,” (Doni Koesoema dalam Pendidikan
Karakter 2007:50). Namun, implementasi pelajaran PMP juga menuai
kritik. Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004:10)
menyebutkan bahwa pergantian pelajaran Civics
ke PMP memiliki implikasi politik yang cukup besar. Pelajaran Civics pada praktiknya dianggap tidak
berkontribusi kepada penguasa sehingga patut diganti.
Sebaliknya, mata pelajaran PMP justru
dinilai dapat membendung sikap kritis siswa sekolah. Melalui cara ini, para
siswa didoktrin sejak dini kepada ideologi yang sesuai kehendak rezim.
Sepanjang pelaksanaannya, kurikulum Orde Baru yang sentralistik menghasilkan
model pengajaran PMP yang hanya berputar pada sistem hapalan butir-butir
Pancasila tanpa disertai pemahaman yang dalam. Lebih jauh Darmaningtyas menyatakan bahwa
“Mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada
ideologi negara saja, tapi tidak pernah diperkenalkan dengan hak-haknya. Maka
wajar bila kemudian produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini
adalah orang-orang yang taat, takut, dan sekaligus pengecut, tidak kritis,
serta tidak memiliki prinsip sendiri.”
Materi PSPB ala Nugroho menimbulkan kontroversi karena
dinilai tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah Nasional dan PMP. Setelah
Nugroho wafat pada tahun 1985, kekacauan dalam mata pelajaran PMP baru diakui
oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. “Terus terang
saya katakan, saat ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah
Nasional. Tumpang tindih tersebut akan mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa
dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata pelajaran lain,” kata Fuad
seperti dikutip Kompas (11/9/1985). Beban yang ditanggung para
murid sebagai dampak politik pendidikan kian bertambah. Mereka tak hanya wajib
mempelajari PMP, tapi juga harus mengikuti penataran P4 yang ditetapkan sebagai
kegiatan wajib oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1982.
Dalam Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (1982),
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu menjelaskan bahwa “Hakikat PMP
adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan
PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha
pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar