Senin, 08 Juni 2020


PEMBELAJARAN  CIVICS  EDUCATION PENDIDIKAN  KEWARGANEGARAAN  PENDIDIKAN MORAL PANCASILA HINGGA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN (PPKn) 
Oleh:Hamid Darmadi

 Dinamika  Pembelajaran Pendidikan Moral
1.     Sejarah Pendidikan Moral Pancasila
Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat Pemerintahan Sukarno atau yang lebih dikenal dengan istilah civics. Penerapan Civics sebagai pelajaran di sekolah-sekolah dimulai pada tahun 1961 dan kemudian berganti nama t menjadi pendidikan Kewargaan negara pada tahun 1968.
Civics sebagai mata pelajaran yang menekankan pada asfek teoritik tentang warga Negara dan Pemerintah serta hubungan antara warga Negara dengan Negara  dengan pemerintah. Secara etimogis Civics berasal dari kata latin civicus yang berarti warga negara dari sebuah Negara kota pada zaman dahulu di Yunani Kuno. Sedangkan memngapa Civics di sebut Ilmu Kewarganegaraan karena dibelakang kata Civics terdapat huruf “S” yang menunjukkan  sebagai sebuah Ilmu Ilmu Kewarganegaraan ini adalah salah satu disiplin ilmu yang memiliki tujuan, metode, dan objek tertentu. Civics merupakan sarana yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk membentuk warga Negara yang memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi oleh karena itu Cicivcs sangat berperan penting dalam upaya mempersiapkan warga Negara Indonesia yang hidup berdasarkan Pancasila, UUD dan 1945 yang berakhlak mulia, berbudipekerti tinggi berazas Pendidikan Moral Pancasila.
Implimentasi Pendidikan Moral Pancasila di Indonesia mengalami berbagai lika liku.  Lika liku perkembangan itu ada yang “manis” namun tidak sedikit pula yang “pahit”. Berikut ini dipaparkan antara lain lika liku itu sebagai berikut:
1.     Pendidikan Moral pada masa perjuangan (masa kolonial dan sebelumnya)
berisikan nilai-nilai adat dan kemasyarakatan. Pendidikan saat itu dilakukan di lembaga-lembaga informal seperti pondok, padepokan, sekolah minggu, sekolah keagamaan dan sejenisnya.
2.     Pendidikan Moral pada awal Indonesia merdeka dilaksanakan melalui pendidikan agama dan budi pekerti.
3.     Pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti tetap dipertahankan.
Namun dalam era berikutnya tumbuh kebutuhan negara untuk menjadikan
warga negara Indonesia yang “baik” (sadar akan dirinya sebagai warganegara, taat,patuh dan loyal kepada negara). Tuntutan itu menandai cikal bakal munculnya Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) di Indonesia .
4.     Secara kronologis implimentasi perjalanan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut;
a.     Munculnya mata pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 1957
b.     Keluar Civics sebagai pengganti Kewarganegaraan tahun 1961
c.      Munculnya mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara tahun 1968
d.     Pendidikan Moral Pancasila (PMP) tahun 1975 dan 1984
e.     Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994
f.       Pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 2004
g.     Berikutnya adalah keluarya Standar Isi dan Standar Kompetensi mata  pelajaran pada tahun 2006. Pelajaran Kewarganegaraan berganti nama menjadi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
h.     Perkembangan terakhir adalah lahirnya Kurikulum 2013  yang menekankan bahwa: Kurikulum 2013 (K-13) adalah kurikulum yang berlaku dalam Sistem Pendidikan Indonesia. Kurikulum ini merupakan kurikulum tetap diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan Kurikulum-2006 yang sering disebut sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang telah berlaku hingga saat tulisan buku ini diselesaikan.
i.       PPKn Thun 2013. Mempunyai ruang lingkup materi yang bersumber pada 4 Pilar Kebangsaan (UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Nilai yang terkandung dalam mata pelajaran ini sangat bagus jika ditinjau dari ruang lingkupnya dan bisa dibilang sebagai mata pelajaran yang hampir sempurna. Jadi, nilai-nilai didapat dari 4 pilar kebangsaan tersebut

Kurikulum 2013 memiliki empat asfek penilaian, yaitu: 1)asfek Pengetahuan, 2)asfek Keterampilan, 3)asfek Sikap, dan 4)asfek Perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan terlihat ada di materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn.  Sedangkan materi yang ditambahkan adalah materi Matematika. Materi pelajaran tersebut (terutama Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) disesuaikan dengan materi pembelajaran Standar Internasional (seperti PISA dan TIMSS) sehingga pemerintah berharap dapat meyeimbangkan pendidikan di dalam dan pendidikan di luar negeri.
Dewasa ini muncul tuntutan perlunya kembali kepada Pendidikan Moral Pancasila/ Pendidikan Budi Pekerti. Namun dalam kenyataannya pendidikan budi pekerti tampaknya tidak muncul dalam bentuk mata pelajaran tersendiri. Pendidikan Budi Pekerti terintegrasi dalam semua mata pelajaran serta melalui pengintegrasian dalam kegiatan-kegiatan di sekola
2.       Pancasila dan  Nilai-Nilai Moral
Secara filosofis, Pancasila berisikan seperangkat nilai–nilai moral. Nilai nilai moral itu bersifat dasar yang meliputi nilai Ketuhanan, nilai. Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan. Nilai–nilai itu dijadikan dasar negara dan ideologi nasional Indonesia. Sebagai lahirnya sarana negara, nilai moral Pancasila menjadi landasan filosofis penyelenggaraan bernegara. Sebagai ideologi, nilai moral Pancasila menjadi cita-cita bernegara. Dalam rangka sosialisasi nilai-nilai moral Pancasila diperlukan media dalam bentuk pendidikan nilai moral Pancasila
Sosialisasi nilai-nilai moral Pancasila dimunculkan melalui mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) berdasarkan pada kurikulum 1975 dan 1984. Sosialisasi tersebut semakin dipertegas dengan munculnya pelajaran. PPKn berdasar Kurikulum 1994. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) berisikan materi dan pengalaman belajar yang diorganisasikan secara spiral/artikulatif  atas dasar butir-butir nilai yang secara konseptual terkandung dalam Pancasila.
Dalam naskah terakhir Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan, nilai-nilai Pancasila tetap merupakan sumber nilai bagi Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini dibuktikan dengan masih terdapatnya asfek nilai-nilai Pancasila sebagai salah satu kajian dalam kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila yang berisikan nilai moral menjadi salah satu sumber bagi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di Indonesia. Nilai-nilai moral tidak hanya terdapat dalam nilai Pancasila, tetapi nilai-nilai moral itu juga terdapat dalam budaya bangsa setempat yang sifatnya partikular. Nilai-nilai ini dapat dikatakan nilai-nilai moral lokal. Nilai-nilai “moral local” dapat pula diangkap sebagai materi pendidikan moral.
3.       Misi - Visi Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education)
Misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membantu pesertadidik, dan masyarakat warganegara Indonesia untuk memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan penuh rasa tanggungjawab.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program study, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Berdasarkan suatu realitas yang dihadapi, bahwa warganegara/mahasiswa adalah sebagai penerus cita-cita bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsa Indonesia.
Visi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya yang bersendikan Pancasila  dan UUD 1945.
Misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni dengan rasa tanggung jawab, bermartabat, dan bermoral. 
Bertolak dari penjabaran visi-misi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya tujuan utama Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, Wawasan Nusantara, serta Ketahanan Nasional dalam diri mahasiswa calon ilmuwan warga negara NKRI yang sedang mengkaji dan akan menguasai IPTEK dan seni. Kualitas warga negara akan ditentukan  terutama oleh keyakinan dan sikap hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara disamping derajat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajarinya. Sedang Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/Dikti/Kep/2006, terdapat visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
a.     Mengembangkan sistem kelembagaan program studi yang memiliki jati diri kependidikan, sehingga mampu menghasilkan tenaga kependidikan yang memiliki keunggulan kompetensi dalam bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan.
b.     Mengembangkan peran kelembagaan Program Studi untuk dapat menjadi salah satu pusat pengembangan dan pembaharuan Pendidikan Kewarganegaraan, sejalan dengan kepentingan nasional dan kesadaran sebagai warga global.
c.      Mengembangkan sistem kelembagaan yang mampu menjadi salah satu institusi yang berperan dalam membangun watak bangsa (nation and character building), demi terwujudnya masyarakat warga (civil society) yang demokratis dan bertanggung jawab.
d.     Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan semangat kebebasan akademik, menjunjung nilai-nilai ke-Indonesia-an dan menginternalisasikan karakter ketakwaan, kemandirian serta kecendekiaan.
e.     Menyelenggarakan dharma pendidikan dan pengajaran yang akademis dan profesional di bidang Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis pada ilmu-ilmu politik, hukum dan moral/filsafat.
f.       Melaksanakan dharma penelitian yang mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mendukung dharma pendidikan pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat, di bidang Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis padaz ilmu-ilmu politik, hukum dan moral/filsafat.
g.     Menyelenggarakan dharma pengabdian kepada masyarakat  yang sesuai  dengan kebutuhan masyarakat dan/atau berdasar hasil penelitian, di bidang Pendidikan Kewarganegaraan yang berbasis pada rumpun keilmuan; politik, hukum dan filsafat moral.

Pendidikan Kewarganegaraan (civics education) mulai mencuat kembali kepermukaan sejak ada rencana perlunya perubahan kurikulum 1994. Dalam draf naskah awal kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001 sampai 2004, dimunculkan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai alternatif pengganti mata pelajaran PPKn. Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru ini lebih ditekankan pada Esensi sebagai pendidikan demokrasi di Indonesia. Dewasa ini tumbuh gagasan yang kuat untuk menempatkan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana utama dan esensi dari pendidikan Demokrasi. (Udin.S,2001). Hal ini sejalan dengan perlunya demokrasi ditegakkan di masa sekarang. Namun secara luas Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia tidak hanya menampung esensi sebagai pendidikan demokrasi. Dari isi Pendidikan Kewarganegaraan yang ada baik Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan maupun Pendidikan Tinggi, maka Pendidikan Kewarganegaraan memiliki misi sebagai berikut;
a.     Pendidikan Kewarganegaraan (Demokrasi)
Pendidikan Kewarganegaraan mengemban tugas menyiapkan peserta didik
menjadi warga negara yang demokratis untuk mendukung tegaknya demokrasi
negara. Dengan Pendidikan Kewarganegaraan maka akan ada sosialisasi,
diseminasi dan penyebarluasan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat. Dewasa
ini tuntutan pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi
menjadi sesuatu yang esensial.
b.     Pendidikan Kewarganegaraan (civisc education).
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti
sesungguhnya yaitu civic education. Berdasar hal ini maka Pendidikan
Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan peserta didik berkenaan dengan peranan , tugas, hak, kewajiban
dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara. Pendapat ini didasarkan pada terminologi dari civic education



c.      Pendidikan Kewarganegaraan (Nilai-Nilai/Karakter).
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membina dan mengembangkan nilai
kewarganegaraan yang dianggap baik yang berujung pada terbentuknya warga negara yang berkarakter yang mencerminkan  nilai-nilai  moral Pancasila 
d.     Pendidikan Kewarganegaraan (Pendidikan Bela Negara/PBN)
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membentuk peserta didik agar memiliki Kesadaran Bela Negara (KBN) sehingga dapat diandalkan untuk menjaga kelangsungan negara dari berbagai ancaman baik dari dalam maupun luar negeri..

Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) sebagai pendidikan nilai mempunyai tugas menanamkan nilai-nilai moral bangsa, nilai-nilai ideologi nasional sehingga mampu membentuk warga negara yang berkarakter baik. Nilai-nilai moral bangsa Indonesia tersebut tentunya tidak lepas dari nilai-nilai Pancasila. Berdasar ini menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan menampung pula misi sebagai pendidikan moral /nilai di Indonesia.
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di masa Orde Baru mengalami kegagalan yang mengakar.Praktik manipulasi pendidikan moral hanya menguntungkan penguasa. Pendidikan berkaitan erat dengan politik. Kebijakan ini menjadi hal yang fundamental bagi setiap sistem pemerintahan di sebuah negara modern. Melalui pendidikan, negara mengharapkan rakyatnya dapat memeluk ideologi yang sejalan dengan pemerintah sehingga tercipta iklim politik yang harmonis. Pakar pendidikan (HAR.Tilaar 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995) (1995:92) menyebut pendidikan sebagai alat politik adalah wajar. Layaknya sebuah alat, keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari hal-hal yang sifatnya metodologis, tetapi juga tentang siapa dan tujuan penggunaannya. Tilaar memberi catatan bahwa kegagalan target pendidikan lebih kerap ditimbulkan oleh hal-hal yang bersifat ideologis.
Sejak masa pemerintahan Sukarno, pendidikan di Indonesia mulai memiliki kecenderungan politis. Pada tahun 1950, untuk pertama kalinya pemerintah membuat sebuah sistem pendidikan menyeluruh atau yang dikenal dengan pendidikan nasional. Di tangan Sukarno, pendidikan nasional kemudian dijadikan alat untuk mendorong manifesto politik yang berlandaskan sosialisme, yang dimulai sejak tahun 1959 Medio 1960-an, Demokrasi Terpimpin ala Presiden Sukarno perlahan mulai tergilas oleh pawai parlemen jalanan yang digerakkan oleh mahasiswa dan kelompok angkatan bersenjata. Mereka menilai ideologi yang berkembang telah mencemari Pancasila dan UUD 1945 sehingga perlu diadakan restrukturisasi.
Orde Baru merupakan orde yang ingin mengoreksi dan mengadakan introspeksi secara mendasar dan menyeluruh atas praktek pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang telah disalaharahkan oleh Orde Lama,” (HAR. Tilaar 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995) Tak lama setelah Orde Baru berkuasa, misi pendidikan dengan cara memurnikan kembali Pancasila dan UUD 1945 perlahan mulai dijalankan. Rezim Soeharto dengan tekun mulai melarang buku-buku Ilmu Kewarganegaraan (Civics) yang dijadikan sarana penyebaran ideologi saat itu. Tahun 1970-an, pelajaran Civics resmi dihapus. Penggantinya bernama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dianggap lebih ideal menghasilkan warga negara bermoral Pancasila yang dapat memenuhi target pembangunan nasional Orde Baru.
Dalam kondisi politik yang berangsur stabil sesudah Pemilihan Umum 1971, Orde Baru mengeluarkan pola umum pembangunan jangka panjang melalui Ketetapan MPR No. IV tahun 1973 (tentang GBHN). Sesuai dengan ketetapan tersebut, Pemerintah menetapkan bahwa setiap warga negara wajib memahami Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Di sekolah, PMP diatur dalam Kurikulum 1975. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memastikan setiap sekolah mendapatkan materi PMP sebagai pengganti pelajaran Civics. Sebagaimana P4, PMP memiliki dasar konstitusional karena berlandaskan pada TAP MPR 1973 yang kemudian disempurnakan pada tahun 1978 dan 1983.
“Untuk mencapai cita-cita pembangunan jangka panjang, maka kurikulum di semua tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila,” Secara garis besarnya PMP dalam TAP MPR 1983 yang dicatat dalam Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (2009:9). Secara umum, PMP berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan UUD 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia. Materi PMP di desain sedemikian rupa dengan tujuan menanamkan doktrin ideologi Pancasila secara sistematis. Langkah ini sangat tepat karena berhasil menyatukan watak bangsa Indonesia di bawah pemerintahan tunggal tanpa pemahaman yang dinamis dan terbuka tentang Pancasila, bangsa Indonesia cenderung kembali pada ikatan-ikatan primordial yang memecah belah,” (Doni Koesoema dalam Pendidikan Karakter 2007:50). Namun, implementasi pelajaran PMP juga menuai kritik. Darmaningtyas dalam Pendidikan yang Memiskinkan (2004:10) menyebutkan bahwa pergantian pelajaran Civics ke PMP memiliki implikasi politik yang cukup besar. Pelajaran Civics pada praktiknya dianggap tidak berkontribusi kepada penguasa sehingga patut diganti.
Sebaliknya, mata pelajaran PMP justru dinilai dapat membendung sikap kritis siswa sekolah. Melalui cara ini, para siswa didoktrin sejak dini kepada ideologi yang sesuai kehendak rezim. Sepanjang pelaksanaannya, kurikulum Orde Baru yang sentralistik menghasilkan model pengajaran PMP yang hanya berputar pada sistem hapalan butir-butir Pancasila tanpa disertai pemahaman yang dalam.  Lebih jauh Darmaningtyas menyatakan bahwa “Mata pelajaran PMP tekanannya hanya menjadi orang yang taat dan patuh pada ideologi negara saja, tapi tidak pernah diperkenalkan dengan hak-haknya. Maka wajar bila kemudian produk pendidikan yang lahir dari mata pelajaran PMP ini adalah orang-orang yang taat, takut, dan sekaligus pengecut, tidak kritis, serta tidak memiliki prinsip sendiri.”
Materi PSPB  ala Nugroho menimbulkan kontroversi karena dinilai tumpang tindih dengan pelajaran Sejarah Nasional dan PMP. Setelah Nugroho wafat pada tahun 1985, kekacauan dalam mata pelajaran PMP baru diakui oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru. “Terus terang saya katakan, saat ini terjadi tumpang tindih antara P4, PSPB, PMP, dan Sejarah Nasional. Tumpang tindih tersebut akan mengakibatkan hilangnya waktu yang bisa dipakai untuk keperluan lain, atau mendesak mata pelajaran lain,” kata Fuad seperti dikutip Kompas (11/9/1985). Beban yang ditanggung para murid sebagai dampak politik pendidikan kian bertambah. Mereka tak hanya wajib mempelajari PMP, tapi juga harus mengikuti penataran P4 yang ditetapkan sebagai kegiatan wajib oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 1982.
Dalam Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila (1982), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu menjelaskan bahwa “Hakikat PMP adalah pelaksanaan P4 melalui jalur pendidikan formal. Di samping pelaksanaan PMP di sekolah-sekolah, di dalam masyarakat umum giat diadakan usaha pemasyarakatan P4 lewat berbagai penataran.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar