Setiap hari kamu melakukan kegiatan-kegiatan yang
sudah terpola, seperti mandi, makan, tidur, bermain, belajar, dan sekolah.
Kegiatan-kegiatan itu kamu lakukan secara otomatis dan terkendali dengan baik.
Apakah pengendalian? Siapa yang melakukan pengendalian? Mari kita bahas pada
subpokok bahasan berikut ini.
1. Pengertian Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial dilakukan untuk menjamin bahwa
nilainilai dan norma sosial yang berlaku ditaati oleh anggota masyarakat. Hal
ini menyangkut manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bersama dalam kelompok
atau masyarakat. Dalam pergaulan sehari-hari, perilaku manusia selalu diatur
oleh nilai dan norma sosial yang memberi batas pada kelakuannya. Tujuan
pengaturan itu dimaksudkan agar tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu
kelompok tidak merugikan pihak lain. Pelanggaran terhadap nilai dan norma
sosial yang berlaku akan menimbulkan pertentangan-pertentangan antara berbagai
kepentingan dari bermacam-macam pihak, sehingga terjadi guncangan-guncangan di
dalam masyarakat.
Dengan demikian, pengendalian sosial dapat diartikan
sebagai suatu proses yang direncanakan atau yang tidak direncanakan
yang bertujuan untuk mengajak, membimbing, bahkan memaksa warga masyarakat agar
mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku . Apabila
pengendalian sosial dijalankan secara efektif, maka perilaku individu akan
konsisten dengan tipe perilaku yang diharapkan. Untuk mengetahui lebih jauh
mengenai hakikat pengendalian sosial, kita dapat memahami definisi pengendalian
sosial yang dikemukakan para sosiolog berikut ini.
a. Peter L. Berger
Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang
digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang menyimpang.
b. Bruce J. Cohen
Pengendalian sosial adalah cara-cara atau metode yang
digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak
kelompok atau masyarakat luas tertentu.
c. Joseph S. Roucek
Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses
pengawasan yang direncanakan atau tidak direncanakan yang bertujuan mengajak,
mendidik, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi norma dan nilai
yang berlaku.
Berdasarkan pengertian di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa pengendalian sosial meliputi sistem dan proses yang
mendidik, mengajak, dan memaksa.
a. Mendidik, dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat
perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma. Sikap dan
tindakan ini didapat melalui pendidikan formal maupun informal.
b. Mengajak, bertujuan untuk mengarahkan agar perbuatan seseorang
didasarkan pada norma-norma yang berlaku, dan tidak menuruti kemauannya
sendiri-sendiri.
c. Memaksa, bertujuan untuk memengaruhi secara tegas agar
seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, apabila tidak akan
dikenai sanksi.
2. Ciri dan Tujuan Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial sangat penting demi kelangsungan
hidup suatu masyarakat. Lalu, apakah yang menjadi ciri dan tujuan pengendalian
sosial?
a. Ciri-Ciri Pengendalian Sosial
Merujuk pada definisi di atas kita dapat
mengidentifikasi ciri-ciri yang terdapat dalam pengendalian sosial, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1) Suatu cara atau metode tertentu terhadap
masyarakat.
2) Bertujuan mencapai keserasian antara stabilitas
dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi di dalam suatu masyarakat.
3) Dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap
kelompok lainnya atau oleh suatu kelompok terhadap individu.
4) Dilakukan secara timbal balik meskipun terkadang
tidak disadari oleh kedua belah pihak.
b. Tujuan Pengendalian Sosial
Secara sederhana, tujuan pengendalian sosial dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1) Tujuan eksploratif, karena dimotivasikan oleh
kepentingan diri, baik secara langsung maupun tidak.
2) Tujuan regulatif, dilandaskan pada kebiasaan atau adat istiadat.
3) Tujuan kreatif atau konstruktif, diarahkan pada perubahan
sosial yang dianggap bermanfaat.
3. Jenis Pengendalian Sosial
Dalam kehidupan bersama di masyarakat, pengendalian
sosial berfungsi untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang teratur dan
sesuai dengan norma-norma yang telah disepakati bersama. Guna mewujudkan maksud
tersebut kita mengenal beberapa jenis pengendalian sosial yang didasarkan pada
sifat dan tujuannya, resmi dan tidaknya, serta siapa yang melakukan
pengendalian.
a. Menurut Sifat dan Tujuan
Dilihat dari sifat dan tujuannya, kita mengenal
pengendalian preventif, pengendalian represif, serta pengendalian gabungan
antara pengendalian preventif dan represif.
1) Pengendalian preventif, merupakan usaha yang dilakukan
untuk mencegah terjadinya penyimpangan terhadap norma dan nilai sosial yang
berlaku di masyarakat. Dengan demikian pengendalian ini dilakukan sebelum
terjadinya penyimpangan dengan maksud untuk melakukan pencegahan sedini mungkin
guna menghindari kemungkinan terjadinya tindakan penyimpangan. Usahausaha
pengendalian preventif dapat dilakukan melalui pendidikan dalam keluarga dan masyarakat
(informal), serta pendidikan di sekolah (formal). Misalnya pemasangan
rambu-rambu lalu lintas guna mencegah ketidaktertiban dan kecelakaan di jalan
raya.
2) Pengendalian represif, merupakan usaha untuk
mengembalikan keserasian, keteraturan, dan keharmonisan yang terganggu akibat
adanya pelanggaran norma atau perilaku menyimpang. Jadi, pengendalian ini
dilakukan setelah terjadi pelanggaran. Tujuannya adalah untuk menyadarkan pihak
yang berperilaku menyimpang tentang akibat dari perbuatannya, sekaligus agar ia
mematuhi norma-norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Misalnya seorang
guru yang mencoret pekerjaan (ulangan) salah satu siswanya karena ketahuan
menyontek.
3) Pengendalian gabungan, merupakan usaha yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif) sekaligus mengembalikan
penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma sosial (represif). Usaha
pengendalian yang memadukan ciri preventif dan represif ini dimaksudkan agar
suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari norma, dan kalaupun terjadi,
penyimpangan itu tidak sampai merugikan orang yang bersangkutan maupun orang
lain.
b. Menurut Resmi dan Tidak
Dilihat dari resmi dan tidaknya, kita mengenal
pengendalian resmi dan pengendalian tidak resmi.
1) Pengendalian resmi adalah pengawasan yang
didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi. Misalnya pengawasan yang
dilakukan oleh sekolah terhadap semua warga sekolah agar perilakunya sesuai
dengan peraturan sekolah.
2) Pengendalian tidak resmi adalah pengendalian yang
dilakukan sendiri oleh warga masyarakat dan dilaksanakan demi terpeliharanya
peraturan-peraturan yang tidak resmi milik masyarakat. Dikatakan tidak resmi
karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas dan tidak ditemukan
dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan oleh warga masyarakat. Contohnya
dalam masyarakatmu terdapat kesepakatan pemberlakuan jam malam bagi tamu.
Apabila kamu melanggar, maka kamu akan ditegur warga masyarakat yang lain,
seperti tetangga atau ketua RT.
c. Menurut Siapa yang Melakukan Pengendalian
Dilihat dari siapa yang melakukan pengendalian, kita
mengenal pengendalian institusional dan pengendalian berpribadi.
1) Pengendalian institusional adalah
pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga
(institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kaidah-kaidah lembaga itu tidak
saja mengontrol anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada di
luar lembaga itu.
2) Pengendalian berpribadi adalah
pengaruh baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang
berpengaruh itu dapat dikenal.
4. Cara Pengendalian Sosial
Proses pengendalian sosial dalam masyarakat agar dapat
berjalan dengan lancar, efektif, dan mencapai tujuan yang diinginkan diperlukan
cara. Kita mengenal empat cara pengendalian sosial, yaitu dengan menggunakan
kekerasan, tanpa menggunakan kekerasan, formal, dan informal.
a. Pengendalian Tanpa Kekerasan (Persuasi)
Pengendalian ini biasanya dilakukan terhadap suatu
masyarakat yang relatif hidup dalam keadaan tenteram. Sebagian besar nilai dan
norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri warga masyarakat.
Pengendalian ini dilakukan dengan pemberian ceramah umum atau keagamaan,
pidato-pidato pada acara resmi, dan lain-lain.
b. Pengendalian dengan Kekerasan (Koersi)
Pengendalian ini dilakukan bagi masyarakat yang kurang
tenteram atau apabila cara pengendalian tanpa kekerasan tidak berhasil.
Misalnya menindak tegas para pengedar, bandar, pemakai narkoba, dan pihak-pihak
terkait dengan menjatuhi hukuman penjara. Jenis pengendalian dengan kekerasan
ini ada dua, yaitu kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi ( compulsion ) adalah
situasi yang diciptakan sedemikian rupa sehingga seseorang terpaksa taat atau
mengubah sifatnya dan menghasilkan kepatuhan yang tidak langsung. Misalnya
pemberlakuan hukuman penjara untuk mengendalikan perbuatan mencuri.
2) Pervasi ( pervasion ) adalah
penanaman norma-norma yang ada secara berulang-ulang dan terus-menerus dengan
harapan bahwa hal tersebut dapat meresap ke dalam kesadaran seseorang. Misalnya
bahaya narkoba yang dapat disampaikan secara berulang-ulang dan terusmenerus
melalui media massa.
c. Pengendalian Formal
Pengendalian secara formal dapat dilakukan melalui
hukuman fisik, lembaga pendidikan, dan lembaga keagamaan.
1) Hukuman Fisik
Model pengendalian ini dilakukan oleh lembaga-lembaga
resmi yang diakui oleh semua lapisan masyarakat, seperti kepolisian, sekolah,
dan yang lainnya. Misalnya menghukum siswa agar berdiri di depan kelas karena
tidak mengerjakan tugas atau PR.
2) Lembaga Pendidikan
Pengendalian sosial melalui lembaga pendidikan formal,
nonformal, maupun informal mengarahkan perilaku seseorang agar sesuai dengan
norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
3) Lembaga Keagamaan
Setiap agama mengajarkan hal-hal yang baik kepada para
penganutnya. Ajaran tersebut terdapat dalam kitab suci masing-masing agama.
Pemeluk agama yang taat pada ajaran agamanya akan senantiasa menjadikan ajaran
itu sebagai pegangan dan pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku, serta
berusaha mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dia juga merasa apabila
tingkah lakunya melanggar dari ketentuan-ketentuan ajaran agamanya pasti
berdosa.
d. Pengendalian Informal
Pengendalian sosial secara tidak resmi (informal)
dapat dilakukan melalui desas-desus, pengucilan, celaan, dan ejekan.
1) Desas-desus (gosip) adalah berita yang menyebar
secara cepat dan tidak berdasarkan fakta (kenyataan) atau buktibukti yang kuat.
Dengan beredarnya gosip orang-orang yang telah melakukan pelanggaran akan
merasa malu dan berusaha untuk memperbaiki perilakunya.
2) Pengucilan adalah suatu tindakan pemutusan hubungan sosial
dari sekelompok orang terhadap seorang anggota masyarakat yang telah melakukan
pelanggaran terhadap nilai dan norma yang berlaku.
3) Celaan adalah tindakan kritik atau tuduhan terhadap suatu
pandangan, sikap, dan perilaku yang tidak sejalan (tidak sesuai) dengan
pandangan, sikap, dan perilaku anggota kelompok pada umumnya.
4) Ejekan adalah tindakan membicarakan seseorang dengan
menggunakan kata-kata kiasan, perumpamaan, atau kata-kata yang berlebihan serta
bermakna negatif. Mungkin juga dengan menggunakan kata-kata yang artinya
berlawanan dengan yang dimaksud.
5. Pola Pengendalian Sosial
Di masyarakat, proses pengendalian sosial umumnya
dilakukan dengan pola-pola seperti berikut ini.
a. Pengendalian Kelompok terhadap Kelompok
Pengendalian ini terjadi apabila suatu kelompok
mengawasi perilaku kelompok yang lain. Misalnya DPR RI dalam acara dengar
pendapat dengan Menteri Kehutanan dan staf Departemen Kehutanan, meminta agar
pengawasan hutan benar-benar ditingkatkan, sehingga penebangan hutan secara
liar tidak terulang kembali. Contoh itu memperlihatkan bahwa pengendalian
sosial dari kelompok terhadap kelompok terjadi antara kelompok sebagai suatu
kesatuan dan bukan menyangkut pribadipribadi dari anggota kelompok yang
bersangkutan.
b. Pengendalian Kelompok terhadap Anggotanya
(Individu)
Pengendalian ini terjadi apabila suatu kelompok
menentukan perilaku para anggotanya. Misalnya sekolah memberi teguran kepada
salah seorang siswa karena telah melakukan pelanggaran tata tertib sekolah.
Contoh lainnya adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang mengawasi jalannya
pemerintahan yang diselenggarakan oleh presiden.
c. Pengendalian Pribadi terhadap Pribadi Lainnya
Pengendalian ini terjadi apabila individu mengadakan
pengawasan terhadap individu lainnya. Contoh pengen-dalian sosial ini dapat
kamu pahami dalam peristiwa berikut ini. A sebagai individu, menegur B yang
merupakan sahabatnya, supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah. Dalam peristiwa kecil di atas, A telah melakukan pengendalian sosial.
Hal semacam itu juga pasti pernah kamu lakukan ketika teman-temanmu melakukan
hal yang tidak semestinya, misalnya mencontek waktu ujian, menggosip, mencuri
uang teman, ingin mengonsumsi narkotika, dan berkelahi. Atau sebaliknya kamu
sendiri pernah ditegur oleh orang-orang di sekitarmu, seperti teman, Bapak,
Ibu, dan guru, ketika kamu melakukan hal-hal
yang tidak semestinya dilakukan.
d. Pengendalian Individu terhadap Kelompok
Pengendalian sosial jenis ini terjadi misalnya, ketika
seorang guru sedang mengawasi para siswa yang sedang mengerjakan ujian. Dalam
peristiwa itu guru melakukan pengendalian sosial terhadap kelompok (para
siswa).
6. Agen (Media) Pengendalian Sosial
Beberapa pranata sosial yang berperan sebagai agen
pengendalian sosial di antaranya adalah kepolisian, pengadilan, tokoh adat,
tokoh agama, tokoh masyarakat, sekolah, keluarga, dan mahasiswa.
a. Kepolisian
Polisi merupakan aparat resmi pemerintah yang bertugas
menertibkan keamanan. Secara umum tugas polisi adalah memelihara ketertiban
masyarakat serta menangkap dan menahan setiap anggota masyarakat yang dituduh
atau dicurigai melakukan kejahatan yang meresahkan masyarakat.
b. Pengadilan
Pengadilan merupakan suatu badan yang dibentuk oleh
negara untuk menangani, menyelesaikan, dan mengadili setiap perbuatan yang
melanggar hukum. Dalam mengadili
sekaligus memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Unsur-unsur aparat yang berhubungan dengan pengadilan, antara
lain hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. Dapatkah kamu menyebutkan tugas
masing-masing?
c. Tokoh Adat
Kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dan berkembang
dalam masyarakat, memiliki nilai dan dijunjung tinggi oleh anggotanya, serta
bersifat magis religius mengenai nilai-nilai budaya, norma-norma hukum, dan
aturan-aturan yang mengikat disebut adat. Adat biasanya disebut juga sebagai
aturan tradisional. Pihak yang berperan menegakkan adat adalah tokoh adat.
Peranan tokoh adat sangat penting untuk membina serta mengendalikan sikap dan
tingkah laku warga masyarakat agar sesuai dengan ketentuan adat. Bentuk
pengendalian sosial ini, antara lain penetapan sanksi berupa denda, pengucilan
dari lingkungan adat, atau teguran.
d. Tokoh Agama
Orang yang memiliki pemahaman luas tentang suatu agama
dan menjalankan pengaruhnya sesuai dengan pemahaman tersebut dinamakan tokoh
agama. Orang yang termasuk tokoh agama adalah pendeta, ulama, biksu, ustadz,
pastor, kyai, dan brahmana bagi umat Hindu. Tokoh agama ini sangat berpengaruh
di lingkungannya karena nilai-nilai dan norma-norma yang ditanamkannya
berkaitan dengan perdamaian, sikap saling mengasihi, saling menghargai, saling
mencintai, saling menghormati antarsesama manusia, kebaikan, dan lain
sebagainya.
e. Tokoh Masyarakat
Setiap orang yang dianggap berpengaruh dalam kehidupan
sosial suatu masyarakat disebut sebagai tokoh masyarakat. Tokoh ini dapat
mencakup golongan terpandang atau terkemuka dalam masyarakat, seperti penguasa,
cendekiawan, dan ketua adat. Seseorang dianggap 'tokoh' karena mempunyai
kelebihan tertentu dan dapat menjadi panutan atau contoh di lingkungan
masyarakatnya.
f. Sekolah
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki
peranan dalam pengendalian sosial. Guru-guru senantiasa mendidik dan menegur
murid-muridnya agar mau menaati tata tertib yang berlaku di sekolah.
Sebaliknya, apabila ada murid yang melanggar, guru memiliki kewajiban untuk
memberikan sanksi kepada murid tersebut.
g. Keluarga
Setiap orang tua pasti mengendalikan perilaku
anak-anaknya agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Caranya dengan mendidik, menasihati, dan turut menyosialisasikan nilai dan
norma yang ada.
h. Mahasiswa
Mahasiswa dapat selalu memonitor semua kebijakan
pemerintah dan berusaha untuk melakukan counter terhadap kebijakan
yang tidak sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakat. Misalnya dengan
melakukan demonstrasi.
7. Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat mengidentifikasikan fungsi pengendalian sosial
sebagai berikut.
a. Mempertebal Keyakinan Masyarakat tentang Kebaikan
Norma
Norma diciptakan oleh masyarakat sebagai petunjuk
hidup bagi anggotanya dalam bersikap dan bertingkah laku, agar tercipta
ketertiban dan keteraturan dalam hidup bermasyarakat. Untuk mempertebal
keyakinan ini dapat ditempuh melalui pendidikan di lingkungan keluarga,
masyarakat, maupun sekolah. Pendidikan di lingkungan keluarga merupakan cara
yang paling pokok untuk meletakkan dasar keyakinan akan norma pada diri anak
sejak dini. Selanjutnya, seiring dengan pertambahan usia anak, maka lingkungan
sosialisasinya juga semakin luas, sehingga masyarakat dan sekolah juga turut
berperan dalam mempertebal keyakinan terhadap norma-norma.
Selain itu juga dapat dilakukan dengan sugesti sosial.
Cara ini dilakukan dengan memengaruhi alam pikiran seseorang melalui
cerita-cerita, dongeng-dongeng, karya-karya orang besar, atau perjuangan
pahlawan. Misalnya cerita mengenai seorang anak yang taat beribadah. Tujuannya
memberikan gambaran pada seseorang untuk dapat mengambil hikmah dari hal-hal
tersebut.
Cara lainnya adalah dengan menonjolkan kelebihan
normanorma pada saat mengenalkan dan menanamkannya pada diri anak. Maksudnya
agar anak tertarik untuk mempelajari, menghayati, dan mengamalkan norma-norma
itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
b. Memberikan Imbalan kepada Warga yang Menaati Norma
Pemberian imbalan ini bertujuan untuk menumbuhkan
semangat dalam diri orang-orang yang berbuat baik agar mereka tetap melakukan
perbuatan yang baik dan menjadi contoh bagi warga lain. Imbalan ini dapat
berupa pujian dan penghormatan. Apabila perbuatan tersebut sangat berpengaruh
terhadap kehidupan sosial, maka imbalan yang diberikan dapat berupa penghargaan
yang lebih tinggi.
c. Mengembangkan Rasa Malu
Dapat dipastikan bahwa setiap orang mempunyai 'rasa
malu'. Terutama apabila telah melakukan kesalahan dengan melanggar norma
sosial. Masyarakat yang secara agresif mencela setiap perbuatan yang menyimpang
dari norma-norma dengan melemparkan gosip dan gunjingan akan memengaruhi jiwa
seseorang yang melakukan penyimpangan tersebut. Sifat demikian menimbulkan
kesadaran dalam diri seseorang bahwa perbuatannya mendatangkan malu. Oleh
karena itu ia akan menjauhkan diri dari perbuatan menyimpang itu.
d. Mengembangkan Rasa Takut
Rasa takut mengakibatkan seseorang menghindarkan diri
dari suatu perbuatan yang dinilai mengandung risiko. Oleh karena itu orang akan
berkelakuan baik, taat kepada tata kelakuan atau adat istiadat karena sadar
bahwa perbuatan yang menyimpang dari norma-norma akan berakibat tidak baik bagi
dirinya maupun orang lain. Rasa takut biasanya muncul dalam diri seseorang
karena adanya 'ancaman'. Misalnya, seseorang yang mencuri atau membunuh diancam
dengan hukuman penjara. Selain itu, hampir semua agama mengajarkan kepada
umatnya untuk selalu berbuat baik karena perbuatan yang tidak sesuai dengan
norma-norma
akan mendapatkan hukuman di akhirat.
e. Menciptakan Sistem Hukum
Setiap negara memiliki sistem hukum yang berisi
perintah dan larangan yang dilengkapi dengan sanksi yang tegas. Hukum mengatur
semua tindakan setiap warga masyarakatnya, agar tercipta ketertiban dan
keamanan.
Di sini, perwujudan pengendalian sosialnya dengan
hukuman pidana, kompensasi, terapi, dan konsolidasi.
1) Hukuman pidana, diberlakukan bagi orang-orang yang melanggar
peraturan-peraturan negara, seperti membunuh, mencuri, dan merampok.
2) Kompensasi adalah kewajiban pihak yang melakukan kesalahan
untuk membayar sejumlah uang kepada pihak yang dirugikan akibat kesalahan
tersebut. Misalnya, orang yang mencemarkan nama baik orang lain dapat dituntut
di pengadilan dengan ganti rugi berupa sejumlah uang.
3) Terapi adalah inisiatif untuk memperbaiki diri sendiri
dengan bantuan pihak-pihak tertentu. Misalnya pengguna narkotika yang masuk ke
panti rehabilitasi ketergantungan narkoba.
4) Konsolidasi adalah upaya untuk menyelesaikan dua pihak yang
bersengketa, baik secara kompromi maupun dengan mengundang pihak ketiga sebagai
penengah (mediator).
PERILAKU MENYIMPANG
Tindakan manusia tidak selamanya sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Adakalanya terjadi penyimpangan
terhadap nilai dan norma yang ada. Tindakan manusia yang menyimpang dari nilai
dan norma atau peraturan disebut dengan perilaku menyimpang. Apakah perilaku
menyimpang itu? Pernahkah kamu melakukan tindakantindakan yang termasuk dalam
kategori perilaku menyimpang?
Ada banyak perilaku menyimpang yang terjadi di
masyarakat. Dari yang sederhana atau kecil sampai yang kompleks yang akibatnya
sangat meresahkan masyarakat. Apa yang kamu ketahui mengenai perilaku
menyimpang?
1. Pengertian Perilaku Menyimpang
Pagi itu di sebuah perempatan, lampu lalu lintas
sedang menyala merah. Karena kesiangan dan takut terlambat sampai di sekolah,
Damar justru menambah laju kecepatan sepeda motornya dan menerobos lampu merah.
Tindakan Damar itu diketahui polisi dan akhirnya dia ditilang. Berdasarkan
cerita di atas, bagaimana pendapatmu terhadap tindakan yang dilakukan Damar?
Tindakan Damar merupakan salah satu contoh sederhana adanya penyimpangan
terhadap aturan-aturan yang ada di masyarakat. Masih banyak lagi jenisjenis
penyimpangan yang terjadi di masyarakat.
Dalam kenyataan sehari-hari, tidak semua orang
bertindak berdasarkan norma-norma dan nilai sosial yang berlaku dalam
masyarakat. Tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang
berlaku dalam masyarakat dinamakan perilaku menyimpang. Penyimpangan terjadi
apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mematuhi norma atau patokan dan
nilai yang sudah baku di masyarakat. Penyimpangan terhadap norma-norma atau
nilai-nilai masyarakat disebut deviasi ( deviation ),
sedangkan pelaku atau individu yang melakukan penyimpangan ini disebut dengan
devian ( deviant ).
Berikut ini pengertian perilaku menyimpang menurut
pandangan beberapa ahli.
a. James Vander Zenden
Menyebutkan bahwa penyimpangan adalah perilaku yang
oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas
toleransi.
b. Robert M.Z. Lawang
Mengungkapkan penyimpangan adalah semua tindakan yang
menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha
dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang
menyimpang itu.
c. Bruce J. Cohen
Mengatakan bahwa perilaku menyimpang adalah setiap
perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak
masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat.
d. Paul B. Horton
Mengutarakan bahwa penyimpangan adalah setiap perilaku
yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau
masyarakat.
e. Lewis Coser
Mengemukakan bahwa perilaku menyimpang merupakan salah
satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan sosial.
2. Proses Pembentukan Perilaku Menyimpang
Bagaimanakah sebenarnya pembentukan perilaku
menyimpang dalam masyarakat? Dan faktor-faktor apa sajakah yang turut
memengaruhinya? Mari kita bahas dalam subpokok bahasan ini.
a. Faktor Biologis
Cesare Lombrosso, seorang kriminolog dari Italia, dalam bukunya Crime,
Its Causes and Remedies (1918) memberikan gambaran tentang perilaku
menyimpang yang dikaitkan dengan bentuk tubuh seseorang. Dengan tegas,
Lombrosso mengatakan bahwa ditinjau dari segi biologis penjahat itu keadaan
fisiknya kurang maju apabila dibandingkan dengan keadaan fisik orang-orang
biasa. Lombrosso berpendapat bahwa orang yang jahat dicirikan dengan ukuran
rahang dan tulang-tulang pipi panjang, kelainan pada mata yang khas, tangan
beserta jari-jarinya dan jari-jari kaki relatif besar, serta susunan gigi yang
abnormal.
Sementara itu William Sheldon, seorang
kriminolog Inggris dalam bukunya Varieties of Delinquent Youth (1949)
membedakan bentuk tubuh manusia yang mempunyai kecenderungan melakukan
penyimpangan ke dalam tiga bentuk, yaitu endomorph, mesomorph,
dan ectomorph yang masing-masing memiliki ciri-ciri tertentu.
1) Endomorph (Bulat dan Serba Lembek)
Orang dengan bentuk tubuh ini menurut kesimpulannya
dapat terpengaruh untuk melakukan perilaku menyimpang, karena sangat mudah
tersinggung dan cenderung suka menyendiri.
2) Mesomorph (Atletis, Berotot Kuat, dan Kekar)
Orang dengan bentuk tubuh seperti ini sering
menunjukkan sifat kasar dan bertekad untuk menuruti hawa nafsu atau
keinginannya. Bentuk demikian ini biasanya identik dengan orang jahat yang
paling sering melakukan perilaku menyimpang.
3) Ectomorph (Kurus Sekali dan Memperlihatkan Kelemahan
Daya)
Orang yang seperti ini selalu menunjukkan kepasrahan,
akan tetapi apabila mendapat penghinaan-penghinaan yang luar biasa tekanan
jiwanya dapat meledak, dan barulah akan terjadi perilaku menyimpang darinya.
b. Faktor Psikologis
Banyak ahli sosiologi yang cenderung untuk menerima
sebab-sebab psikologis sebagai penyebab pembentukan perilaku menyimpang.
Misalnya hubungan antara orang tua dan anak yang tidak harmonis. Banyak orang
meyakini bahwa hubungan antara orang tua dan anak merupakan salah satu ciri
yang membedakan orang 'baik' dan orang 'tidak baik'. Sikap orang tua yang
terlalu keras maupun terlalu lemah seringkali menjadi penyebab deviasi pada
anak-anak.
c. Faktor Sosiologis
Dari sudut pandang sosiologi, telah banyak teori yang
dikembangkan untuk menerangkan faktor penyebab perilaku menyimpang. Misalnya,
ada yang menyebutkan kawasan kumuh ( slum ) di kota besar
sebagai tempat persemaian deviasi dan ada juga yang mengatakan bahwa
sosialisasi yang buruk membuat orang berperilaku menyimpang. Selanjutnya
ditemukan hubungan antara 'ekologi' kota dengan kejahatan, mabuk-mabukan,
kenakalan remaja, dan bunuh diri. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan
diuraikan beberapa sebab atau proses terjadinya perilaku menyimpang ditinjau
dari faktor sosiologis.
1) Penyimpangan sebagai Hasil Sosialisasi yang Tidak
Sempurna
Menurut teori sosialisasi, perilaku manusia, baik yang
menyimpang maupun yang tidak dikendalikan oleh norma dan nilai yang dihayati.
Apabila sosialisasi tidak sempurna akan menghasilkan perilaku yang menyimpang.
Sosialisasi yang tidak sempurna timbul karena nilai-nilai atau norma-norma yang
dipelajari kurang dapat dipahami dalam proses sosialisasi, sehingga seseorang
bertindak tanpa memperhitungkan risiko yang akan terjadi.
Contohnya anak sulung perempuan, dapat berperilaku seperti
laki-laki sebagai akibat sosialisasi yang tidak sempurna di lingkungan
keluarganya. Hal ini terjadi karena ia harus bertindak sebagai ayah, yang telah
meninggal. Di pihak lain, media massa, terutama sering menyajikan gaya hidup
yang tidak sesuai dengan anjuran-anjuran yang disampaikan dalam keluarga atau
sekolah. Di dalam keluarga telah ditanamkan perilaku pemaaf, tidak balas
dendam, mengasihi, dan lain-lain, tetapi di televisi selalu ditayangkan adegan
kekerasan, balas dendam, fitnah, dan sejenisnya. Nilai-nilai kebaikan yang
ditawarkan oleh keluarga dan sekolah harus berhadapan dengan nilai-nilai lain
yang ditawarkan oleh media massa, khususnya televisi. Proses sosialisasi
seakan-akan tidak sempurna karena adanya saling pertentangan antara agen sosialisasi
yang satu dengan agen yang lain, seperti antara sekolah dan keluarga berhadapan
dengan media massa. Lama kelamaan seseorang akan terpengaruh dengan cara-cara
yang kurang baik, sehingga terjadilah penyimpanganpenyimpangan dalam
masyarakat.
2) Penyimpangan sebagai Hasil Sosialisasi dari Nilai-
Nilai Subkebudayaan Menyimpang
Shaw dan Mc. Kay mengatakan bahwa
daerah-daerah yang tidak teratur dan tidak ada organisasi yang baik akan
cenderung melahirkan daerah kejahatan. Di daerahdaerah yang demikian, perilaku
menyimpang (kejahatan) dianggap sebagai sesuatu yang wajar yang sudah tertanam
dalam kepribadian masyarakat itu. Dengan demikian, proses sosialisasi tersebut
merupakan proses pembentukan nilai-nilai dari subkebudayaan yang menyimpang.
Contohnya di daerah lingkungan perampok terdapat nilai
dan norma yang menyimpang dari kebudayaan setempat. Nilai dan norma sosial itu
sudah dihayati oleh anggota kelompok sebagai proses sosialisasi yang wajar.
Perilaku menyimpang seperti di atas merupakan penyakit mental yang banyak
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan itu kita mengenal
konsep anomie yang dikemukakan oleh Emile Durkheim . Anomie adalah
keadaan yang kontras antara pengaruh subkebudayaan-subkebudayaan dengan
kenyataan sehari-hari dalam masyarakat. Indikasinya adalah masyarakat
seakan-akan tidak mempunyai aturan-aturan yang dijadikan pegangan atau pedoman
dan untuk ditaati bersama.
Akibat tidak adanya keserasian dan keselarasan,
normanorma dalam masyarakat menjadi lumpuh dan arahnya menjadi samar-samar.
Apabila hal itu berlangsung lama dalam masyarakat, maka besar pengaruhnya
terhadap proses sosialisasi. Anggota masyarakat akan bingung dan sulit
memperoleh pedoman. Akhirnya, mereka memilih cara atau jalan sendiri-sendiri.
Jalan yang ditempuh tidak jarang berupa perilaku-perilaku yang menyimpang.
3) Proses Belajar yang Menyimpang
Mekanisme proses belajar perilaku menyimpang sama
halnya dengan proses belajar terhadap hal-hal lain yang ada di masyarakat.
Proses belajar itu dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan
menyimpang. Misalnya, seorang anak yang sering mencuri uang dari tas temannya
mula-mula mempelajari cara mengambil uang tersebut mulai dari cara yang paling
sederhana hingga yang lebih rumit. Cara ini dipelajarinya melalui media maupun
secara langsung dari orang yang berhubungan dengannya. Penjelasan ini
menerangkan bahwa untuk menjadi penjahat kelas 'kakap', seseorang harus
mempelajari terlebih dahulu bagaimana cara yang paling efisien untuk
beroperasi.
4) Ikatan Sosial yang Berlainan
Dalam masyarakat, setiap orang biasanya berhubungan
dengan beberapa kelompok yang berbeda. Hubungan dengan kelompok-kelompok
tersebut akan cenderung membuatnya mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok
yang paling dihargainya. Dalam hubungan ini, individu tersebut akan memperoleh
pola-pola sikap dan perilaku kelompoknya. Apabila pergaulan itu memiliki
pola-pola sikap dan perilaku yang menyimpang, maka kemungkinan besar ia juga
akan menunjukkan pola-pola perilaku menyimpang. Misalnya seorang anak yang
bergaul dengan kelompok orang yang sering melakukan aksi kebut-kebutan di jalan
raya. Kemungkinan besar dia juga akan melakukan tindakan serupa.
5) Ketegangan antara Kebudayaan dan Struktur Sosial
Setiap masyarakat tidak hanya memiliki tujuan-tujuan
yang dianjurkan oleh kebudayaannya, tetapi juga caracara yang diperkenankan
oleh kebudayaannya itu untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Apabila seseorang tidak diberi peluang untuk menggunakan caracara ini dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kemungkinan besar akan terjadi perilaku
menyimpang. Misalnya dalam sebuah perusahaan, pengusaha memberikan upah kepada
buruhnya di bawah standar UMK. Hal itu apabila dibiarkan berlarut-larut, maka
ada kemungkinan si buruh akan melakukan penyimpangan, seperti melakukan
demonstrasi atau mogok kerja.
3. Bentuk-Bentuk Perilaku Menyimpang
Di masyarakat kita mengenal bentuk-bentuk penyimpangan
yang terdiri atas penyimpangan individual ( individual deviation ),
penyimpangan kelompok ( group deviation ), dan penyimpangan
gabungan dari keduanya ( mixture of both deviation ).
Terkadang ada pula yang menambahkan dengan penyimpangan primer ( primary
deviation ) dan penyimpangan sekunder ( secondary deviation ).
a. Penyimpangan Individual ( Individual Deviation )
Penyimpangan ini biasanya dilakukan oleh orang yang
telah mengabaikan dan menolak norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Orang seperti itu biasanya mempunyai kelainan atau mempunyai
penyakit mental sehingga tidak dapat mengendalikan dirinya. Contohnya seorang
anak yang ingin menguasai warisan atau harta peninggalan orang tuanya. Ia
mengabaikan saudarasaudaranya yang lain. Ia menolak norma-norma pembagian
warisan menurut adat masyarakat maupun menurut norma agama. Ia menjual semua
peninggalan harta orang tuanya untuk kepentingan diri sendiri.
Penyimpangan yang bersifat individual sesuai dengan
kadar penyimpangannya dibedakan atas pembandel, pembangkang, perusuh atau
penjahat, dan munafik.
1) Pembandel, yaitu penyimpangan karena tidak patuh pada nasihat
orang tua agar mengubah pendiriannya yang kurang baik.
2) Pembangkang, yaitu penyimpangan karena tidak taat pada peringatan
orang-orang.
3) Pelanggar, yaitu penyimpangan karena melanggar norma-norma umum
yang berlaku. Misalnya orang yang melanggar rambu-rambu lalu lintas pada saat
di jalan raya.
4) Perusuh atau penjahat, yaitu penyimpangan karena
mengabaikan norma-norma umum sehingga menimbulkan kerugian harta benda atau
jiwa di lingkungannya. Misalnya pencuri, penjambret, penodong, dan lain-lain.
5) Munafik, yaitu penyimpangan karena tidak menepati janji,
berkata bohong, berkhianat, dan berlagak membela.
b. Penyimpangan Kelompok ( Group Deviation )
Penyimpangan ini dilakukan oleh sekelompok orang yang
tunduk pada norma kelompoknya, namun bertentangan dengan norma masyarakat yang
berlaku. Penyimpangan ini terjadi dalam subkebudayaan menyimpang yang umumnya
telah memiliki norma, nilai, sikap, dan tradisi sendiri, sehingga cenderung
untuk menolak norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang lebih luas.
Contohnya kelompok orang yang menyelundupkan serta menyalahgunakan narkotika
dan obat-obatan terlarang lainnya, teroris, kelompok preman, dan separatis.
Mereka memiliki aturan-aturan sendiri yang harus dipatuhi oleh anggotanya.
Dalam melakukan aksinya, mereka memiliki aturan
permainan yang cermat, termasuk dalam membentuk jaringan yang kuat untuk
melakukan kejahatannya, sehingga sulit dilacak dan dibongkar pihak yang
berwenang, dalam hal ini kepolisian.
c. Penyimpangan Campuran ( Mixture of Both Deviation )
Sebagian remaja yang putus sekolah (penyimpangan
individual) dan pengangguran yang frustasi (penyimpangan individual), biasanya
merasa tersisih dari pergaulan dan kehidupan masyarakat. Mereka sering berpikir
seperti anak orang berkecukupan, yang akhirnya menempuh jalan pinta untuk hidup
enak. Di bawah pimpinan seorang tokoh yang terpilih karena kenekatan dan
kebrutalannya, mereka berkelompok dalam 'organisasi rahasia' (penyimpangan
kelompok) dengan memiliki norma yang mereka buat sendiri. Pada dasarnya norma
yang mereka buat bertentangan dengan norma yang berlaku umum di masyarakat.
Penyimpangan seperti itu ada yang dilakukan oleh suatu
golongan sosial yang memiliki organisasi yang rapi, sehingga individu ataupun
kelompok di dalamnya taat dan tunduk kepada norma golongan yang secara
keseluruhan mengabaikan norma yang berlaku. Misalnya gank-gankanak
nakal. Kelompok semacam itu dapat berkembang menjadi semacam kelompok mafia
dunia kejahatan yang terdiri atas preman-preman yang sangat meresahkan masyarakat.
d. Penyimpangan Primer ( Primary Deviation )
Penyimpangan ini dilakukan oleh seseorang, di mana
hanya bersifat temporer atau sementara dan tidak berulang-ulang. Individu yang
melakukan penyimpangan ini masih dapat diterima oleh masyarakat karena hidupnya
tidak didominasi oleh pola perilaku menyimpang tersebut dan di lain kesempatan
tidak akan melakukannya lagi. Misalnya seorang siswa yang terlambat masuk
sekolah karena ban sepeda motornya bocor, seseorang yang menunda pembayaran
pajak karena alasan keuangan yang tidak mencukupi, atau pengemudi kendaraan
bermotor yang sesekali melanggar rambu-rambu lalu lintas.
e. Penyimpangan Sekunder ( Secondary Deviation )
Penyimpangan ini dilakukan oleh seseorang secara
terusmenerus, sehingga akibatnya pun cukup parah serta mengganggu orang lain.
Dalam penyimpangan ini, seseorang secara khas memperlihatkan perilaku
menyimpang yang secara umum dikenal sebagai seorang yang menyimpang. Masyarakat
tidak dapat menerima dan tidak menghendaki individu semacam itu hidup bersama
dalam masyarakat mereka. Misalnya seorang siswa yang sering tidak masuk sekolah
tanpa keterangan. Contoh lainnya adalah seseorang yang sering mabuk-mabukan
baik di rumah, di pesta, maupun di tempat umum serta seseorang yang sering
melakukan pencurian, perampokan, dan tindak kriminal lainnya.
Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut harus diatasi
karena penyimpangan menyangkut masalah mental perilaku. Misalnya, melalui
berbagai penataran, pendidikan keagamaan, pemulihan disiplin, serta
pelatihan-pelatihan lainnya.
4. Ciri-Ciri Perilaku Menyimpang
Kita tahu bahwa perilaku menyimpang merupakan tindakan
yang tidak dikehendaki oleh masyarakat karena telah melanggar norma atau
aturan-aturan yang berlaku. Namun tetap saja perilaku menyimpang itu ada dalam
masyarakat. Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
suatu tindakan dikatakan sebagai perilaku menyimpang. Tahukah kamu, ciri-ciri
apa sajakah yang dimaksud? MenurutPaul B. Horton, penyimpangan sosial
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Penyimpangan Harus Dapat Didefinisikan
Suatu perbuatan anggota masyarakat dapat dikatakan
menyimpang apabila memang didefinisikan sebagai menyimpang. Perilaku menyimpang
bukanlah semata-mata ciri tindakan yang dilakukan orang, melainkan akibat dari
adanya peraturan dan penerapan sanksi yang dilakukan oleh orang lain terhadap
perilaku tersebut. Singkatnya, penilaian menyimpang tidaknya suatu perilaku
harus berdasar kriteria tertentu dan diketahui penyebabnya.
b. Penyimpangan Bisa Diterima Bisa juga Ditolak
Perilaku menyimpang ada yang positif dan negatif.
Positif, apabila penyimpangan yang diterima bahkan dipuji dan dihormati,
seperti penemuan baru oleh para ahli itu kadangkadang bertentangan budaya
masyarakat. Sedangkan penyimpangan negatif adalah penyimpangan yang ditolak
oleh masyarakat, seperti perampokan, pembunuhan terhadap etnis tertentu, dan
menyebarkan teror dengan bom atau gas beracun.
c. Penyimpangan Relatif dan Mutlak
Dalam masyarakat, tidak ada seorang pun yang masuk
dalam kategori sepenuhnya penurut (konformis) ataupun sepenuhnya penyimpang
(orang yang benar-benar menyimpang). Orang yang termasuk kedua kategori itu
justru akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya.
Pada dasarnya semua orang normal sesekali pernah
melakukan tindakan menyimpang, tetapi pada batas-batas tertentu yang bersifat
relatif untuk setiap orang. Perbedaannya hanya pada frekuensi dan kadar
penyimpangannya saja. Secara umum, penyimpangan yang dilakukan tiap orang
cenderung relatif. Bahkan orang yang tadinya penyimpang mutlak lambat laun
harus berkompromi dengan lingkungannya.
d. Penyimpangan terhadap Budaya Nyata ataukah Budaya
Ideal
Budaya ideal adalah segenap peraturan hukum yang
berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam kenyataan di masyarakat, banyak
anggota masyarakat yang tidak patuh terhadap segenap peraturan resmi tersebut.
Jadi antara budaya nyata dengan budaya ideal selalu terjadi kesenjangan.
Artinya, peraturan yang telah menjadi pengetahuan umum dalam kenyataan
sehari-hari cenderung banyak dilanggar. Contohnya peraturan mengenai penggunaan
helm pada saat mengendarai sepeda motor. Banyak masyarakat yang melanggar
peraturan tersebut, di mana kita dapat melihat di jalan-jalan banyak orang
mengendarai sepeda motor tanpa memakai helm.
e. Terdapat Norma-Norma Penghindaran dalam
Penyimpangan
Norma penghindaran ini muncul apabila pada suatu
masyarakat terdapat nilai atau norma yang melarang suatu perbuatan yang ingin
sekali diperbuat oleh banyak orang. Apakah norma penghindaran itu? Pola
perbuatan yang dilakukan orang untuk memenuhi keinginan mereka, tanpa harus
menentang nilai-nilai tata kelakuan secara terbuka. Jadi, norma-norma
penghindaran merupakan suatu bentuk penyimpangan perilaku yang bersifat
setengah melembaga ( semi-institusionalized ).
f. Penyimpangan Sosial Bersifat Adaptif (Menyesuaikan)
Tidak selamanya penyimpangan sosial menjadi ancaman
bagi kehidupan masyarakat, karena kadang-kadang dapat dianggap sebagai alat
pemelihara stabilitas sosial. Perilaku apa yang kita harapkan dari orang lain,
apa yang orang lain inginkan dari kita, serta wujud masyarakat seperti apa yang
pantas bagi sosialisasi anggotanya. Di lain pihak, perilaku menyimpang
merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan kebudayaan dengan perubahan
sosial. Tidak ada masyarakat yang mampu bertahan dalam kondisi statis untuk
jangka waktu yang lama. Masyarakat yang terisolasi sekalipun akan mengalami
perubahan. Ledakan penduduk, perubahan teknologi, serta hilangnya kebudayaan
lokal dan tradisional mengharuskan banyak orang menerapkan norma-norma baru.
5. Sifat-Sifat Perilaku Menyimpang
Dalam masyarakat kita mengenal dua sifat perilaku
menyimpang yaitu perilaku menyimpang yang bersifat positif dan perilaku
menyimpang yang bersifat negatif.
a. Penyimpangan yang Bersifat Positif
Penyimpangan yang bersifat positif adalah penyimpangan
yang tidak sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku, tetapi
mempunyai dampak positif terhadap sistem sosial. Atau dengan kata lain,
penyimpangan yang terarah pada nilai-nilai sosial yang ideal (didambakan)
walaupun cara atau tindakan yang dilakukan itu seolah-olah atau tampaknya
menyimpang dari norma yang berlaku, padahal sebenarnya tidak. Seseorang
dikatakan menyimpang secara positif apabila dia berusaha merealisasikan suatu
citacita, namun masyarakat pada umumnya menolak atau tidak dapat menerima
caranya. Akibatnya orang tersebut akan menerima celaan dari masyarakat.
Dapatkah kamu menyebutkan contoh-contohnya?
b. Penyimpangan yang Bersifat Negatif
Penyimpangan negatif adalah kecenderungan bertindak ke
arah nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan akibatnya selalu buruk. Jenis
tindakan seperti ini dianggap tercela dalam masyarakat. Si pelaku bahkan bisa
dikucilkan dari masyarakat. Bobot penyimpangan negatif itu diukur menurut
kaidah susila dan adat istiadat, sehingga sanksi yang diberikan kepada
pelanggarnya dinilai lebih berat daripada pelanggaran terhadap tata cara dan
sopan santun. Contohnya pencurian, perampokan, pelacuran, dan pemerkosaan.
6. Tipe-Tipe Perilaku Menyimpang
Menurut Robert M.Z. Lawang, perilaku menyimpang
dapat digolongkan menjadi empat tipe, yaitu tindakan kriminal atau kejahatan,
penyimpangan seksual, penyimpangan dalam bentuk pemakaian atau konsumsi secara
berlebihan, serta penyimpangan dalam gaya hidup (lifestyle ).
a. Tindakan Kriminal atau Kejahatan
Tindakan kriminal merupakan suatu bentuk penyimpangan
yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap nilai dan norma atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku di masyarakat. Kita mengenal dua
jenis kejahatan seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yaitu violent offenses dan property offenses .
1) Violent offenses atau kejahatan
yang disertai dengan kekerasan pada orang lain, seperti pembunuhan,
penganiayaan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. 2) Property offenses atau
kejahatan yang menyangkut hak milik orang lain, seperti perampasan, pencurian
tanpa kekerasan, dan lain sebagainya. Sementara itu Light, Keller, dan Callhoun dalam
bukunya yang berjudul Sociology (1989) membedakan kejahatan
menjadi empat tipe, yaitu crime without victim, organized
crime, white collar crime, dan corporate crime.
1) White Collar Crime (Kejahatan Kerah Putih)
Kejahatan ini mengacu pada kejahatan yang dilakukan
oleh orang yang terpandang atau berstatus tinggi dalam hal pekerjaannya.
Contohnya penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan, manipulasi data
keuangan sebuah perusahaan (korupsi), dan lain sebagainya.
2) Crime Without Victim (Kejahatan Tanpa Korban)
Kejahatan tidak menimbulkan penderitaan pada korban
secara langsung akibat tindak pidana yang dilakukan. Contohnya berjudi, mabuk,
dan hubungan seks yang tidak sah tetapi dilakukan secara sukarela.
3) Organized Crime (Kejahatan Terorganisir)
Kejahatan ini dilakukan secara terorganisir dan
berkesinambungan dengan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu
yang diinginkan (biasaya lebih ke materiil) dengan jalan menghindari hukum.
Contohnya penyedia jasa pelacuran, penadah barang curian, perdagangan perempuan
ke luar negeri untuk komoditas seksual, dan lain sebagainya.
4) Corporate Crime (Kejahatan Korporasi)
Kejahatan ini dilakukan atas nama organisasi formal
dengan tujuan menaikkan keuntungan dan menekan kerugian. Lebih lanjut Light,
Keller, dan Callhoun membagi tipe kejahatan korporasi ini menjadi empat, yaitu
kejahatan terhadap konsumen, kejahatan terhadap publik, kejahatan terhadap
pemilik perusahaan, dan kejahatan terhadap karyawan.
b. Penyimpangan Seksual
Penyimpangan seksual adalah perilaku seksual yang
tidak lazim dilakukan oleh masyarakat. Adapun beberapa jenis perilaku ini di
antaranya adalah sebagai berikut.
1) Perzinaan, yaitu hubungan seksual di luar nikah.
2) Homoseksual, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan
sesama jenis. Homoseksual dibedakan atas lesbian dan homoseks. Lesbian adalah
sebutan bagi wanita yang melakukan hubungan seksual dengan sesama wanita,
sedangkan homoseks adalah sebutan bagi pria yang melakukan hubungan seksual
dengan sesama pria.
3) Kumpul kebo, yaitu hidup bersama seperti suami istri, namun
tanpa ada ikatan pernikahan.
4) Sadomasochist , yaitu pemuasan nafsu
seksual dengan melakukan penyiksaan terhadap pasangannya.
5) Paedophilia , yaitu memuaskan
keinginan seksual yang dilampiaskan kepada anak kecil.
6) Sodomi, yaitu hubungan seksual yang dilakukan melalui
anus atau dubur.
7) Gerontophilia , yaitu hubungan seksual
yang dilakukan dengan orang-orang lanjut usia.
c. Penyimpangan dalam Bentuk Pemakaian atau Konsumsi
Berlebihan
Penyimpangan ini biasanya diidentikkan dengan
pemakaian dan pengedaran narkoba atau obat-obatan terlarang serta alkoholisme.
Hal ini lebih banyak terjadi pada kaum remaja karena perkembangan emosi mereka
yang belum stabil dan cenderung ingin mencoba serta adanya rasa keingintahuan
yang besar terhadap suatu hal.
Menurut Dr. Graham Baliane (Kartini
Kartono, 1992) kaum muda atau remaja lebih mudah terjerumus pada penggunaan
narkotika karena faktor-faktor sebagai berikut.
1) Ingin membuktikan keberaniannya dalam melakukan
tindakan berbahaya.
2) Ingin menunjukkan tindakan menentang terhadap orang
tua yang otoriter.
3) Ingin melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh
pengalaman emosional.
4) Ingin mencari dan menemukan arti hidup.
5) Ingin mengisi kekosongan dan kebosanan.
6) Ingin menghilangkan kegelisahan.
7) Solidaritas di antara kawan.
Ingin tahu.
Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol secara
berlebih dilarang oleh hukum karena dapat mendorong terjadinya tindak kriminal
yang lain. Selain dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Bahaya
terhadap diri sendiri, antara lain dapat merusak organ-organ tubuh, sehingga tidak
berfungsi sempurna, bahkan susunan syaraf yang berfungsi sebagai pengendali
daya pikir turut pula dirusak. Akibatnya tidak dapat berpikir secara rasional
dan cenderung untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari nilai
dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
d. Penyimpangan dalam Bentuk Gaya Hidup
Di masyarakat, kita bisa menemukan berbagai gaya hidup
yang antara orang yang satu dengan orang yang lain mungkin terdapat
perbedaan-perbedaan. Gaya hidup setiap orang bisa dipengaruhi oleh lingkungan,
pendapatan, kemampuan pribadi, dan lain-lain. Namun demikian gaya hidup
seseorang juga dapat menimbulkan suatu penyimpangan dalam masyarakat. Gaya
hidup yang bagaimanakah itu? Ada dua bentuk penyimpangan dalam gaya hidup yang
lain dari biasanya, yaitu sikap organisasi dan sikap eksentrik.
1) Sikap arogansi adalah kesombongan terhadap sesuatu
yang dimilikinya seperti kekayaan, kekuasaan, dan kepandaian. Atau bisa saja
sikap itu dilakukan untuk menutupi kekurangannya.
2) Sikap eksentrik adalah perbuatan yang menyimpang
dari biasanya, sehingga dianggap aneh. Misalnya anak lakilaki memakai
anting-anting, berambut panjang.
7. Teori-Teori Perilaku Menyimpang
Dalam sosiologi dikenal berbagai teori yang membahas
perilaku menyimpang, yaitu Teori Pergaulan Berbeda, Teori Fungsi, dan Teori
Tipologi Adaptasi.
a. Teori Pergaulan Berbeda ( Differential Association )
Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland .
Menurut teori ini, penyimpangan bersumber dari pergaulan dengan sekelompok
orang yang telah menyimpang. Penyimpangan diperoleh melalui proses alih
budaya (cultural transmission) . Melalui proses ini seseorang
mempelajari suatu subkebudayaan menyimpang (deviant subculture).
Contohnya perilaku siswa yang suka bolos sekolah.
Perilaku tersebut dipelajarinya dengan melakukan pergaulan dengan orang-orang
yang sering bolos sekolah. Melalui pergaulan itu ia mencoba untuk melakukan
penyimpangan tersebut, sehingga menjadi pelaku perilaku menyimpang.
b. Teori Labelling
Teori ini dikemukakan oleh Edwin M. Lemert .
Menurut teori ini, seseorang menjadi penyimpang karena proses labelling yang
diberikan masyarakat kepadanya. Maksudnya adalah pemberian julukan atau cap
yang biasanya negatif kepada seseorang yang telah melakukan penyimpangan
primer (primary deviation ) misalnya pencuri, penipu,
pemerkosa, pemabuk, dan sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap cap itu, si
pelaku penyimpangan kemudian mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan
mengulangi lagi penyimpangannya sehingga terjadi dengan penyimpangan sekunder ( secondary
deviation) . Alasannya adalah sudah terlanjur basah atau kepalang
tanggung.
c. Teori Fungsi
Teori ini dikemukakan oleh Emile Durkheim .
Menurut teori ini, keseragaman dalam kesadaran moral semua anggota masyarakat
tidak dimungkinkan karena setiap individu berbeda satu sama lain.
Perbedaan-perbedaan itu antara lain dipengaruhi oleh faktor lingkungan, fisik,
dan keturunan. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat orang yang berwatak jahat
akan selalu ada, dan kejahatanpun juga akan selalu ada. Durkheim bahkan
berpandangan bahwa kejahatan perlu bagi masyarakat, karena dengan adanya
kejahatan, maka moralitas dan hukum dapat berkembang secara normal.
d. Teori Konflik
Teori ini dikembangkan oleh penganut Teori
Konflik Karl Marx . Para penganut teori ini berpandangan bahwa
kejahatan terkait erat dengan perkembangan kapitalisme. Sehingga perilaku
menyimpang diciptakan oleh kelompokkelompok berkuasa dalam masyarakat untuk
melindungi kepentingan mereka sendiri. Pandangan ini juga mengatakan bahwa
hukum merupakan cerminan kepentingan kelas yang berkuasa dan sistem peradilan
pidana mencerminkan nilai dan kepentingan mereka.
e. Teori Tipologi Adaptasi
Dengan menggunakan teori ini, Robert K. Merton mencoba
menjelaskan penyimpangan melalui struktur sosial. Menurut teori ini, struktur
sosial bukan hanya menghasilkan perilaku yang konformis saja, tetapi juga
menghasilkan perilaku menyimpang. Dalam struktur sosial dijumpai tujuan atau
kepentingan, di mana tujuan tersebut adalah halhal yang pantas dan baik. Selain
itu, diatur juga cara untuk meraih tujuan tersebut. Apabila tidak ada kaitan
antara tujuan (cita-cita) yang ditetapkan dengan cara untuk mencapainya, maka
akan terjadi penyimpangan.
Dalam hal ini Merton mengemukakan tipologi cara-cara
adaptasi terhadap situasi, yaitu konformitas, inovasi, ritualisme, pengasingan
diri, dan pemberontakan (keempat yang terakhir merupakan perilaku menyimpang).
Perhatikan tabel di bawah ini.
Tanda '+' berarti ada penyelarasan, di mana warga
masyarakat menerima nilai-nilai sosiobudaya atau norma-norma yang ada,
sedangkan tanda '-' berarti menolaknya. Adapaun tanda '+/-' menunjuk pada
pola-pola perilaku yang menolak serta menghendaki nilai-nilai dan norma-norma
yang baru.
Keterangan:
1. Konformitas ( conformity ) , merupakan
cara adaptasi dimana pelaku mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan oleh
masyarakat. Misalnya Gaelan belajar dengan sungguh-sungguh agar nilai
ulangannya bagus.
2. Inovasi ( inovation ), terjadi apabila
seseorang menerima tujuan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang diidamkan
masyarakat, tetapi menolak norma dan kaidah yang berlaku. Misalnya untuk
memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM), Arif tidak mengikuti ujian, melainkan
melalui calo.
3. Ritualisme ( ritualism ), terjadi
apabila seseorang menerima cara-cara yang diperkenankan secara kultural, namun
menolak tujuan-tujuan kebudayaan. Misalnya, walaupun tidak mempunyai keahlian
atau keterampilan di bidang komputer, Mita berusaha untuk mendapatkan
ijazah itu agar diterima kerja di perusahaan asing.
4. Pengasingan diri ( retreatism ), timbul
apabila seseorang menolak tujuan-tujuan yang disetujui maupun cara-cara
pencapaian tujuan tersebut. Dengan kata lain, pengasingan diri terjadi apabila
nilai-nilai sosial budaya yang berlaku tidak dapat dicapai melalui cara-cara yang
telah ditetapkan. Misalnya tindakan siswa yang membakar gedung sekolahnya
karena tidak lulus Ujian Akhir Nasional.
5. Pemberontakan ( rebellion ), terjadi
apabila seseorang menolak sarana maupun tujuan yang disahkan oleh kebudayaan
dan menggantikannya dengan yang lain. Misalnya pemberontakan G 30S/PKI yang
ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis.
Saya lebih cenderung pada pengendalian sosial persuasif.. Karena tentunya ditegur telbih dahulu baru diberikan tindakan tegas
BalasHapus