Rabu, 25 Juli 2018

Perumusan Pancasila Dasar Negara


Perumusan Pancasila Dasar Negara
A.     Proses Perumusan Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara
Dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan dibentuklah BPUPKI pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, membahas tentang rumusan dasar negara. Tampil tiga tokoh tersebut sebagai berikut:
Pertama : Tanggal 29 Mei 1945 Moh. Yamin mengemukakan 5 dasar negara Indonesia Indonesia merdeka sebagai berikut (dalam pidato).
1.      Peri Kebangsaan
2.      Peri Kemanusiaan
3.      Peri Ke-Tuhanan
4.      Peri Kerakyatan
5.      Kesejahteraan rakyat
Pada akhir pidatonya beliau menyerahkan rancangan (secara tertulis)
1.      Ke-Tuhanan Yang maha Esa
2.      Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.      Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4.      Kerakyatan yang dipimpin  oleh hikmat kebijaksanaan dalam
5.      permusyawaratan/ Perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
Kedua: Tanggal 31 Mei 1945 Prof. Dr. Supomo mengemukakan usulan dasar negara Indonesia yaitu:
1.      Persatuan
2.      Kekeluargaan
3.      Kesimbangan lahir dan batin
4.      Musyawarah
5.      Keadilan rakyat
Ketiga: Tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya mengenai lima hal yang menjadi dasar negara merdeka, yaitu:
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme atau kemanusiaan
3.      Mufakat atau demokrasi
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Ke-Tuhanan yang berkebudayaan
  • BPUPKI dan Sidang BPUPKI
  • Proklamasi Kemerdekaan dan Sidang PPKI
·        Masa Setelah Proklamasi Kemerdekaan

B.     Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
            Dalam uraian ini yang dimaksudkan dengan Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia. Karena itu dalam uraian ini pokok pembahasannya akan disebutkan dalam satu nafas : “Pancasila Dasar Negara”. Pertanyaannya dalam rangka menegaskan identitas Pancasila ini adalah : Yang manakah rumusan Pancasila Dasar Negara yang otentik itu? Jawabannya adalah : Rumusan  Pancasila dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Maka segera dapat kita tanyakan pula : apakah dasar hukumnya kita mengatakan bahwa Pancasila yang otentik itu terdapat dalam pembukaan UUD 1945? Jawabannya adalah  berdasarkan pada :
1.      Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996, tanggal 5 Juni 1996.
2.      Ketetapan MPR No. V/MPR/1973, tanggal 22 Maret 1973
3.      Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tanggal 22 maret 1978. 

Penegasan mengenai tempat dimana Pancasila Dasar Negara itu dirumuskan serta juga rumusannya itu sendiri, dengan jelas tercantum di dalam Ketetapan MPRS No. XX Tahun 1966 yang diperkuat oleh Ketetapan MPR No. V Tahun 1966 dilengkapi dengan Ketetapan MPR No. II tahun 1978 yang sangat terkenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau disebut juga Eka Prasetya Panca Karsa yang lebih dikenal dengan sebutan: “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”.

1.      Bung Karno dan Rumusan Pancasila

            Menurut kenyataannya perbincangan mengenai Pancasila dalam aspek sejarahnya, khususnnya yang menyangkut “hari lahirnya”, tidak dapat dilepaskan dari kontroversi mengenai tokoh Bung Karno. Karena itu kenyataannya itu harus dihadapi dengan terbuka dan transfaransi.Khalayak cenderung secara emosional mengaitkan “hari lahir” Pancasila itu dengan Pro dan Kontra Bung Karno. Sikap seperti itu jelaslah tidak menguntungkan bagi kejernihan persoalan.    Kiranya sikap yang tepat terhadap ”tokoh sejarah” adalah sikap yang seimbang, yang “balanced”. Terlepas daripada sikap umum pribadi kita masing-masing terhadap seorang tokoh sejarah, apakah senang atau tidak senang (dan hal ini adalah sesuatu hal yang wajar), namun kita seyogyanya menilai segenap prilaku dan peranan tokoh itu secara diskriminatif. Mana-mana yang kita nilai positif harus kita akui sedemikian, dan mana-mana yang kita nilai negatif, harus pula kita akui sedemikian.
            Khususnya mengenai Bung Karno, kiranya kita dapat menerima baik sikap Presiden Soeharto yang terungkap di dalam sambutan beliau pada upacara peresmian makam Bung Karno di Blitar pada tanggal 21 Juni 1997 yang mengatakan : “Karena itu sudah sepantasnya kita memberikan penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya dan selama -lamanya kepada Proklamator Kemerdekaan itu.Memang, dengan ketetapan MPRS No. XXXIII Tahun 1967, MPR (S) sebagai penjelmaan Rakyat yang memegang kedaulatan negara telah mencabut kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno, karena beliau dinyatakan tidak dapat memenuhi pertanggung jawaban konstitusional, sebagaimana layaknya seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
            Itu adalah kenyataan sejarah dan kita tidak dapat meniadakan sejarah. Keputusan yang demikian diambil oleh rakyat yang memegang kedaulatan rakyat, justru harus rakyat yang menegakkan kehidupan Konstitusionil berdasarkan Undang-Undang Dasar 194, yang justru menjadi jaminan bagi kelangsungan dan kekokohan Negara Republik Indonesia yang telah diproklamirkan pada tahun 1945. Dengan mengambil keputusan yang demikian, kita justru ingin memastikan terjaminnya wujud cita-cita Kemerdekaan.Namun adalah juga kenyataan sejarah, bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia . Ini adalah kenyataan sejarah . Dan kita tidak dapat meniadakan sejarah. Jadi pada satu pihak kita harus memberikan penghormatan dan penghargaan yang setinnggi - tingginya dan selama – lamanya kepada Bung Karno (dan Bung Hatta ) sebagai Proklamator Kemerdekaan kita dan juga atas jasa – jasa beliau berdua sebagai pemimpin–pemimpin Pergerakan Nasional yang mengantarkan Bangsa Indonesia kepada pintu gerbang Kemerdekaan dengan penuh pengorbanannya. Dilain pihak, Bung Karno telah pernah menjalankan kebijaksanaan yang dinilai tidak positif oleh Rakyat, sehingga kekuasaan Pemerintah Negara dicabut dari padanya, wajiblah kita belajar dari sejarah dan mencegah terulangnya kembali kekeliruan itu. Maka haruslah kita dalami, apa sesungguhnya yang dianggap negatif itu ? Jika kita dalami persoalannya, ternyata garis kebijaksanaan yang digugat itu menyangkut lembaran hitam sejarah bangsa ini yaitu peristiwa G-30-S/ PKI .
            Dalam Konsiderans Ketetapan MPRS No XXXIII / MPRS /1967 yang mengenai “Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno” itu tercantum antara lain adalah ; “Bahwa keseluruhan Pidato Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul “Nawaksara” dan Surat Presiden Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tertanggal 10 Januari No. 01/ Pres / 1967 tentang Pelengkap Nawaksara, tidak memenuhi harapan Rakyat pada umumnya, anggota – anggota Majelis Permusya-waratan Rakyat Sementara pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas pertanggungan jawab tentang kebijaksanaan Presiden mengenai Pemberontakan Kontra Revolusi G-30-S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan pemerosotan ahklak”..., dst.
Dalam Pasal 3 Melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan Politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini menarik kembali Mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan Pemerintah Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945”. Itu semuanya tidak enak untuk didengar oleh mereka yang mengikuti Bung Karno tanpa reserve, namun perlu diketengahkan sebagai faktor yang menjulang tinggi didalam persoalan pengamanan Pancasila dari ancaman Ideologi Marxisme – Leninisme sebagaimana yang dimaksudkan oleh Ketetapan MPRS No. XXV / MPRS / 1996. Dengan demikian peranan Presiden Soekarno pada Jaman Orde Lama itu beliau memberikan keleluasaan bergerak kepada PKI, dengan menyingkirkan kekuatan–kekuatan Pancasilais yang dapat mengimbangi kaum komunis itu dengan predikat “kontra revolusioner”. “Marhaenis gadungan”, dan lain sebagainya,suatu kebijaksanaan yang akhirnya bermuara pada peristiwa  Lubang Buaya G-30-S/PKI.

2.      Proses Perumusan Dasar Negara

            Sekarang tiba saatnya kita menelusuri perumusan dasar negara kita Pancasila. Untuk Menghindarkan kesimpang – siuran yang justru ingin kita jernihkan, seyogyanya pada taraf ini nama Pancasila jangan dipersoalkan dulu.  Seperti kita ketahui bersama, proses perumusan dasar negara itu, berlangsung pada bagian akhir jaman pendudukan Jepang. Dalam rangka merangkul bangsa-bangsa Asia yang negerinya mereka duduki, orang jepang telah memberikan “kemerdekaan” kepada bangsa Birma dan Bangsa Fhilipina untuk menghadapi Inggris, sedangkan Fhilipina untuk menghadapi Amerika serikat. Tetapi Indonesia agak lambat akan diberi hadiah “Kemerdekaan” karena Indonesia ternyata tidak jadi merupakan front menghadapi Australia.
            Tetapi dalam rangka tahap terakhir strategisnya tatkala kekalahan sudah ada diambang pintu, Jepang akhirnya merasa perlu untuk memberikan “Kemerdekaan” kepada Bangsa Indonesia untuk memperoleh dukungannya dalam usaha perangnya. Menurut strateginya itu, mereka akan mengadakan pertahanan terakhir di Indonesia dan bertolak dari situ akan berusaha memperoleh dukungannya dalam usaha perangnya. Menurut strateginya itu, mereka akan mengadakan pertahanan terakhir di Indonesia dan bertolak dari situ akan berusaha memperoleh perdamaian yang merupakan hasil negosiasi. Segala Rencana itu akhirnya tidak terlaksana karena penggunaan Bom atom oleh orang Amerika telah memaksa orang Jepang menyerah tanpa syarat. Dalam pada itu Bangsa Indonesia telah menggenggam nasibnya ditangannya sendiri dan memproklamasikan kemerdekaanya lepas sama sekali dari setiap campur tangan pihak Jepang.Dalam rangka pemberian “kemerdekaan” itu pemerintah pendudukan Jepang di Jawa membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan penyelidik Persiapan Kemerdekaan. (Disingkat “Badan Penyelidik” ). Sejumlah tokoh-tokoh Indonesia dijadikan anggota badan itu, sedangkan dua orang lagi, yakni dr.Radjiman Wedyodiningrat dan R.P. Soeroso diangkat masing-masing menjadi Ketua dan Ketua Muda (merangkap Kepala Kantor atau Kepala Sekretariat) dengan seorang Jepang sebagai Ketua Muda yang lain.
            Pada tanggal 28 Mei 1945, Panglima Tentara Keenambelas Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Kumakici Harada, melantik para anggota Badan Penyelidik itu dan pada keesokan harinya dimulailah persidangan pertama yang berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni. Dalam kata pembukaan, Ketua dr.Radjiman Wedyodiningrat meminta pandangan para anggota mengenai dasar negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk itu. Ternyata ada tiga anggota yang memenuhi permintaan Ketua, yakni secara khusus membicarakan dasar negara, yakni berturut – turut Mr.Muh. Yamin (pada tanggal 29 Mei, yakni pertama dari sidang pertama), Prof.Dr. Supomo (pada tanggal 31 Mei) dan akhirnya Ir. Sukarno (pada tanggal 1 Juni, yakni hari terakhir daripada persidangan Pertama.
Muh. Yamin memulai pidatonya antara lain dengan kata-kata sebagai berikut: “……Kewajiban yang terpikul diatas kepala dan kedua belah bahu kita, ialah suatu kewajiban yang sangat teristimewa. Kewajiban untuk ikut ialah menyelidiki bahan-bahan yang akan menjadi dasar (kursif saya, NN) dan susunan negara yang akan terbentuk dalam suasana kemerdekaan ….”Jadi jelas bahwa pidatonya itu semata-mata adalah mengenai dasar negara dan yang bersangkutan dengan dasar negara.
           
Supomo memulai pidatonya dengan kalimat sebagai berikut : “Paduka Tuan Ketua, hadirin yang terhormat Soal yang kita bicarakan ialah, bagaimanakah akan dasar-dasarnya Negara Indonesia Merdeka” Sedangkan kata-kata penutupnya antara lain adalah “…. Sekian saja Paduka Tuan Ketua, tentang dasar-dasar yang hendaknya dipakai untuk mendirikan Indonesia Merdeka”…Dengan Demikian kiranya juga jelas, bahwa Supomopun memusatkan Pembicaraannya kepada dasar negara Indonesia merdeka.
           
Dari uraian di atas  dapat disimpulkan bahwa Bung Karno bukanlah orang pertama dan bukan orang yang satu-satunya yang menetengahkan suatu konsepsi mengenai dasar negara Indonesia merdeka. Keistimewaan pidato beliau pada tanggal 1 Juni itu adalah, bahwa kecuali berisi pandangan atau usul mengenai dasar negara Indonesia Merdeka, juga berisi usul mengenai nama Dasar negara itu, yakni Pancasila, Trisila, atau Ekasila. “Saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila……..”. Dan setelah menetengahkan kemungkinan diperasnya Pancasila menjadi Tri Sila, Tri Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan,mana yang tuan-tuan pilih : Tri sila, Eka sila, atau Pancasila ?”. Jadi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama Pancasila (disamping nama Trisila dan Ekasila yang terpilih).
            Dengan selesainya rapat tanggal 1 Juni itu selesailah pula seluruh persidangan pertama Badan Penyelidik. Rupa-rupanya telah dibentuk suatu panitia kecil dibawah pimpinan Bung Karno dengan anggota-anggota lainnya Bung Hatta, Sutardjo Kartohadi kusumo, Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandarhadinata, Muh. Yamin dan A.A.Maramis, kesemuanya berjumlah delapan orang, panitia kecil itu bertugas menampung saran-saran, usul-usul dan konsepsi-konsepsi para anggota yang oleh ketua telah diminta untuk diserahkan melalui Sekretariat. Pada rapat pertama persidangan kedua Badan Penyelidik pada tanggal 10 Juli 1945 Panitia Kecil itu dimintai laporan oleh Ketua Radjiman yang telah pula  dipenuhi oleh ketuanya Bung Karno.
            Panitia Kecil, seperti yang dilaporkan oleh ketuanya, pada tanggal 22 Juni mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan dengan 38 anggota Badan Penyelidik, yang sebagian diantaranya sedang menhhadiri sidang Cuo Sangiin (sebuah penasehat yang dibentuk oleh pemerintah Pendudukan Jepang). Pertemuan anatara Panitia Kecil dengan anggota-anggota Dokuritsu Junbi Cosakai”. Pada pertemuan itu telah ditampung lebih lanjut saran-saran dan usul-usul lisan dari pihak anggota badan Penyelidik.Pertemuan itulah yang telah membentuk sebuah panitia kecil lain, yang kemudian terkenal dengan sebutan Panitia Sembilan yang terdiri atas Bung Karno, Bung Hatta, Muh. Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyosodan Haji Agus Salim. Panitia Sembilan dibentuk karena kebutuhan untuk mencari modus antara apa yang mencari modus antara apa yang disebut “golongan Islam” dengan apa yang disebut “golongan kebangsaan” mengenai soal agama dan negara. Persoalan ini rupa-rupanya sudah timbul selama persidangan pertama, dan mungkin suda sebelumnya  juga. Panitia berhasil mencapai modus itu yang diberi bentuk suatu rancangan pembukaan hokum dasar. Inilah yang dikenal dengan nama yang diberikan oleh Muh. Yamin, yakni Piagam Jakarta.
            Rumusan Panitia Sembilan itu diterima baik dan dilaporkan oleh Panitia Kecil dan dilaporkan kepada sidang pleno Badan Penyelidik. Rapat itu kemudian membentuk sebuah Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang juga diketuai oleh Bung Karno dengan anggota-anggota lainnya A.A. Maramis, Oto Iskandardinata, Poeroebojo, Agus Salim, Ahmad Subardjo, Supomo, Maria Ulfah santoso, Wachid Hasjim, Parada harahap, Latuharhary, Susanto Tirtoprodjo, Sartono, Wongsonegoro, Wuryaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Husein Djajadiningrat dan Sukiman, seluruhnya berjumlah 19 orang. Kepada panitia inilah segala persoalan Undang-Undang Dasar diserahkan, termasuk soal pembukaan atau preambulenya.
            Dalam rapatnya tanggal 11 Juli, Panitia Perancang Undang-Undang dasar dengan suara bulat menyetujui isi Preambule yang diambil dari Piagam Jakarta. Selanjutnya dibentuk sebuah “panitia kecil perancang undang-undang dasar” yang diketuai oleh Prof. Dr. Supomo dengan anggota-anggota lain Wongsonegoro, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Singgih, Agus Salim dan Sukiman, Kesemuanya tujuh orang, diantaranya yang lima orang semuanya Sarjana Hukum. Dua hari kemudian, pada tanggal 13 Juli, Panitia Perancang Undang-Undang Dasar (yang lengkap) mengadakan sidangnya untuk menerima laporan panitia kecilnya. Kemudian dibentuk sebuah panitia penghalus bahasa yang terdiri atas Husein Djayadiningrat, Agus Salim dan Supomo untuk menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan undang-undang dasar yang sudah dibahas itu. Pada tanggal 14 Juli 1945 rapat pleno Badan Penyelidik dalam rangka persidangan keduanya dilanjutkan untuk menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Bung Karno selaku Ketua Panitia melaporkan tiga hasil panitia, yakni :
  1. Pernyataan Indonesia Merdeka
  2. Pembukaan Undang-Undang Dasar.
  3. Undang-Undang Dasarnya sendiri (batang tubuhnya)

Adapun Konsep pernyataan Indonesia Merdeka disusun dengan mengambil Tiga alinea pertama Piagam Jakarta dengan sisipan yang panjang sekali, terutama diantara alinea pertama dan alinea kedua. Sedangkan konsep pembukaan Undang-Undang dasar hampir seluruhnya diambil dari alenia ke empat (dan terakhir) Piagam Jakarta. Setelah didiskusikan kurang lebih satu jam lamanya, konsep pernyataan kemerdekaan dan konsep pembukaan Undang-Undang dasar itu diterima oleh sidang. Pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia Soekarno Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Keesokan harinya, pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia bersidang untuk secara resmi menyusun undang-undang dasar Indonesia Merdeka. Pada hari itu juga Panitia persiapan itu berhasil menetapkan secara sah Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang meliputi, baik Pembukaan maupun Batang Tubuhnya . Undang-Undang Dasar itulah yang kita  kenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar 1945 dan yang kini tetap berlaku dan yang telah kita ikrarkan untuk kita pertahankan sepanjang masa.
Adapun pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan itu adalah konsep yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan yang kemudian kita kenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Konsep itu diterima dengan suatu perubahan penting, yakni sila pertama dari pada dasar negara yang tercantum didalam Pembukaan itu, yang semula berbunyi : “Ke – Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya” diganti dengan : “Ketuhanan Yang Maha Esa”.Demikianlah keseluruhan proses perumusan Dasar Negara yang kini untuk selama-lamanya terpatri didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Marilah sekarang kita teliti tokoh-tokoh mana yang berperanan didalam proses perumusan.

C.     Penggali Utama Dasar Negara Indonesia Merdeka

Bung Karno bukanlah orang pertama dan satu-satunya yang mengajukan gagasan – gagasan mengenai dasar negara sesuai dengan permintaan Ketua Badan Penyelidik, Dr Radjiamn Wedyodiningrat. Sekurang – kurangnya ada dua orang lain yang juga mengajukan gagasan – gagasan mengenai dasar Negara, lagi pula pengajuannya lebih dulu dari Bung Karno yang menyampaikannya baru pada tanggal 1Juni 1945. Mereka itu adalah Mr. Muh Yamin yang mengajukan gagasan – gagasannya  pada tanggal 29 Mei dan Prof.Dr.Supomo yang mengajukan konsepsinya pada tanggal 31 Mei 1945

Bahwa Mr Muh.Yamin mengucapkan Pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945 pada rapat pertama  dalam rangka Persidangan Pertama Badan Penyelidik, Tidak ada seorang pun yang menyanggkal.Yang menjadi persoalan hanyalah apa yang dipidatokannya itu .Menurut pembacaan yang  cermat terhadap laporan notulistis sebagaimana yang termuat didalam buku Prof .Mr. H. Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang – undang dasar 1945, edisi 1, 1959, Muh. Yamin menyampaikan konsepsimya mengenai dasar negara itu secara lisan dan kemudian menyusulinya denagan suatu “ Rancangan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia” ‘ yang meliputi pula suatu pembukaan . Dapat kita lihat , bahwa rumusan dasar negara didalam pidato lisan dengan rumusan  dalam konsep tertulis Rancangan Undang – Undang Dasar itu berbeda. Ada pula yang mempertanyakan salah satu kalimat pada bagian akhir pidato Yamin pada tanggal 29 Mei itu. Yakni kalimat yang berbunyi : “Tuan Ketua ! Habislah pembitjaraan tentang asas kemanusiaan , kebangsaaan , kesejahteraan dan dasar jang tiga  ( kursif saya,NN) jang diberkati keracmatan Tuhan, yang akan dibentuk. Yang dimaksud Kn oleh Yamin dengan “dasar yang tiga” kiranya adalah permusyawaratan, perwakilan dan kebijaksanaan, yang sama – sama menjadi asa “Peri Kerakyatan”. Dengan demikian 5 asas yang disimpulkan oleh Yamin pada akhir pidato lisannya adalah : 1.Kemanusiaan, 2. Kebangsaaan, 3. Kesejahteraaan, 4. Peri kerakyatan, dan  5. Kerakhmatan Tuhan.

Adanya dua konsep dasar negara dari Muh. Yamin ini rupa-rupanya tidak diketahui secara luas dikalangan masyarakat. Juga tidak diketahui secara luas, bahwa yang mirip dengan rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta adalah rumusan M.Yamin yang tertulis. Rumusan yang lisan tidak terlalu mirip. Dalam Notulen Panitia Lima (Dr. Moh. Hatta, Prof. Mr. Ahmad Subardjo Djojoadisury, Mr. Alex Andrias Maramis, Prof. Mr. Abdul Gaffar Pringgodigdo, dan Prof. Mr. Sunario) atas pertanyaan Prof. Mr. Subardjo : “Pidato M.Yamin itu diucapkan tidak tanggal 29 Mei 1945?” Bung Hatta menjawab : “Diucapkan, tetapi bukan itu, ada pula pokok – pokoknya tetapi lain. Kalau inikan mengikuti Pancasila saja !” Tuduhan Bung Hatta kepada Muh. Yamin sebagaimana yang disampaikannya juga kepada saya, adalah bahwa rumusan Yamin yang mirip dengan rumusan yang autentik sekarang ini (yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945) adalah konsep yang diucapkan didepan sidang panitia kecil. Konsep itu yang kemudian diakukan sebagai konsep yang disampaikan pada tanggal 29 Mei 1945. Ini menurut Bung Hatta. Nampaknya Bung Hatta tidak membedakan antara Konsepsi Yamin yang lisan dengan yang tulisan.
            Dengan mengakui Kredibilitas buku Muh. Yamin dan dengan memperhatikan interpretasi Bung Hatta, saya berpendapat, bahwa belum tentu Muh. Yamin telah beritikat begitu buruk. Yang terjadi menurut interpretasi saya adalah, bahwa pidato lisan Yamin itu ada dan memang juga ada dan isinya sama dengan yang tercantum dalam buku Yamin, serta juga diedarkan dalam bentuk tertulis kepada para anggota Badan Penyelidik. Ketika duduk dalam panitia kecil yang diketuai Bung Karno dan bertugas menampung saran, usul, konsepsi dan catatan segenap anggota yang telah diajukan,  Yamin juga membacakan rumusannya yang tertulis itu, karena ketua panitia memintanya untuk menyusun suatu preambule. Naskah Yamin itu rupa-rupanya yang menjadi kertas –kerja Panitia Sebilan untuk menyusun dokumen yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Dengan demikian terbukti, bahwa konsepsi Yamin merupakan (setidak-tidaknya salah satu) bahan bagi perumusan Piagam Jakarta yang dengan perubahan pada sila pertamanya akhirnya menjadi Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan autentik. Saya anggap terbukti pula, bahwa Yamin adalah orang pertama yang mengetengahkan konsepsi mengenai dasar negara dalam rapat badan Penyelidik (meskipun tanpa nama pancasila). Kiranya sukar untuk menyangkal, bahwa antara konsepsi lisan Yamin dengan konsepsi tulisannya tentulah ada korelasinya, bagaimanapun sifat korelasi itu.
            Demikian pula saya anggap terbukti, bahwa Prof. Dr. Supomo ada mengucapkan pidato mengenai dasar negara pada tanggal 31 Mei 1945. Tidak ada seorangpun yang pernah membantah hal itu. Saya juga percaya, bahwa isi pidatonya adalah seperti yang tertulis dalam buku Yamin . Kecuali kalau ada anggapan yang dicari-cari, bahwa Yamin telah memalsukan seluruh pidato Supomo itu dengan tujuan tertentu. Supomo adalah ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar . Prof. Ahmad Subardjo , salah seorang anggota Panitia Kecil itu, menyatakan kepada saya, bahwa arsitek dari pada batang tubuh UUD 1945 adalah Prof. Dr. Supomo, menurut lampiran buku Yamin ternyata pada tanggal 4 April 1942 Prof. Supomo bersama dengan Mr. Ahmad Subardjo dan Mr. A. A. Maramis telah pernah menyiapkan suatu naskah kerangka Undang-Undang Dasar untuk Indonesia. Dalam pada itu uraian Prof. Supomo selaku ketua Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar didepan Sidang Badan Penyelidik begitu meyakinkan, sehingga tidak ada yang meragukan kepemimpinan intelektualnya di dalam Panitia itu. Lagipula penjelasan resmi UUD 1945 adalah buah tangan Prof. Supomo. Kalau kita lihat bahwa dasar-dasar yang diajukan Prof. Supomo untuk Indonesia Merdeka adalah “persatuan”, “kekeluargaan”, “keseimbangan lahir dan batin”, “Musyawarah” dan “keadilan Rakyat”, maka kiranya dapat kita simpulkan, bahwa konsepsinya telah pula memperoleh tempat didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
            Dari kesemuanya itu dapat disimpulkan, bahwa penggali utama dasar negara Republik Indonesia adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Bung Karno (menurut urutan Kronologisnya). Dengan demikian bearti bahwa Bung Karno adalah salah seorang penggali Pancasila Dasar Negara.Kesimpulan itu dapat pula ditarik dari laporan Panitia Lima  khususnya yang menyangkut jawaban yang diberikan atas pertanyaan dr. Radjiman Wedyodiningrat selaku Ketua Badan Penyelidik. “Terutama (kursif dari saya, NN) Bung Karno memberikan Jawabannya yang berisikan satu uraian tentang lima sila”. Kata “terutama” menunjukkan bahwa Bung Karno memberikan jawaban mengenai dasar negara (lampiran 10). Dalam pada itu Bung Hatta didalam “surat wasiat” kepada Guntur Soekarno putera menulis mengenai jawaban atas pertanyaan dr. Radjiman sebagai berikut: “Salah seorang daripada anggota Panitia penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia itu, yang menjawab pertanyaan itu ialah Bung Karno ………..”
“Salah seorang” berarti bukan  satu-satunya ! bahwa nama Pancasila dilahirkan pada tanggal 1 Juni 1945, kiranya tidak ada seorangpun yang mempersoalkan. Buktinya begitu menonjol, sehingga hal itu merupakan sesuatu “notoir feit”. Bahwa Bung Karno lah yang pertama dan satu-satunya yang mengucapkan suatu pidato pidato mengenai dasar negara Indonesia Merdeka sekaligus dengan usul nama Pancasila, kiranya juga tidak ada yang menyangsikan. Yang merupakan kontroversal adalah, bahwa ada orang yang mengatakan, bahwa pidato Bung Karno 1 Juni 1945, kiranya tidak ada seorangpun yang mempersoalkan. Buktinya begitu menonjol, sehingga hal itu merupakan sesuatu “notoir feit” Bahwa Bung Karnolah yang pertama dan satu-satunya yang mengucapkan suatu pidato mengenai dasar negara Indonesia Merdeka sekaligus dengan usul nama Pancasila, kiranya juga tidak ada yang menyangsikan. Yang merupakan kontroversial adalah, bahwa ada orang yang mengatakan, bahwa pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu adalah konsepsi yang pertama dan satu-satunya mengenai dasar negara yang akhirnya berkembang menjadi Pancasila Dasar Negara yang sah dan autentik sebagaimana yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai bagian daripada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah yang tidak terbukti. Kecuali jika kita mau menggelapkan pidato Muh. Yamin dan Supomo. Dalam pada itu Bung Karno sendiri dalam Pidato pada peringatan “lahirnya Pancasila” di Istana Negara pada tanggal 5 Juni 1958 berkata antara lain “ …….. saya buka pembentuk dan pentjipta Pantja sila, melainkan sekadar salah seorang penggali dari pada Panca – Sila itu.”
Jadi kalau ada orang yang mengatakan, bahwa tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila, maka kita harus menanyakan terlebih dahulu : Pancasila yang mana ?  Kalau jawabannya adalah Pancasila Bung Karno, maka hal itu dapat dibenarkan. Tetapi jika yang dimaksud dengan Pancasila adalah Pancasila Dasar Negara yang sah dan autentik (sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945), maka hal itu tidak benar. Karena Pancasila Dasar Negara itu tidak hanya bersumber kepada konsepsi-konsepsi lain, dalam hal ini konsepsi Yamin dan konsepsi Supomo, yang kemudian diolah oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehingga memperoleh bentuknya yang autentik sekarang ini.
Sebagai sejarawan ada sesuatu hal yang tercatat dalam rangka meneliti peranan pelbagai tokoh didalam sesuatu episode sejarah. Karena sejarah itu merupakan suatu ilmu yang sangat manusiawi dalam pendekatannya, karena baik obyek maupun subyeknya adalah manusia lagipula sumbernyapun adalah manusia, baik manusia sebagai penghasil sumber lisan maupun tulisan, maka faktor manusia dalam penelitian amat menonjol peranannya. Mengenai usaha mengusut penggali Pancasila Dasar Negara ini terasa betapa subyektifnya manusia, baik sebagai pelaku dan saksi, maupun manusia sebagai peneliti. Karena begitu menonjol dan menjulangnya tokoh Bung Karno, maka dikalangan pemujanya, seolah-olah tak ada tempat buat orang lain untuk berperanan disampingnya. Meskipun bukti-bukti sudah menumpuk, masih saja dicari dalih dan alasan untuk menyisihkan orang lain dari sisinya yang dikhawatirkan akan mengurangi kebesarannya. Seolah-olah Bung Karno akan berkurang kebesarannya hanya karena ada orang lain yang juga berperan disampingnya. Demikianlah peranan Muh. Yamin dan Supomo seolah-olah tidak ditolelir disamping peranan Bung Karno dan semua bukti kearah itu digilas.
Nampak pula betapa besar peranan suka –tidak-suka pribadi atau personal likes and dislikes dikalangan sesama pelaku sendiri. Nampak bahwa pribadi Yamin disoroti dengan sinar yang negatif, yang memberinya warna yang buruk dan menimbulkan kecurigaan terhadap intergritas wataknya. Dari sekian banyaknya wawancara , saya memperoleh kesan, bahwa Muh. Yamin memang mempunyai watak yang sulit. Ia rupa-rupanya tidak terlalu soepel dalam pergaulan. Ada yang mengatakan ia licik , pembohong, ada yang mengatakan ia adalah een vervelende vent dan lain-lain. Ada yang menyatakan, bahwa wajahnya itu saja sudah tidak menyenangkan.Sudah barang tentu personal equation (penilaian pribadi) terhadap sumber atau pengarang sumber adalah penting bagi sejarawan. Tetapi taraf popularitas pelaku sebagai sumber dikalangan orang-orang sejamannya tidaklah terlalu relevan bagi kredibilitasnya. Sejarawan wajib meneliti setiap kasus yang menyangkut seorang pelaku sebagai sumber hanya berdasarkan reputasinya (yang negatif) dikalangan orang-orang sejamannya.
Konkritnya, meskipun Muh. Yamin tidak disukai oleh Bung Hatta (yang terbukti dari pendapat beliau pada berbagai kesempatan termasuk dalam sidang-sidang Panitia Lima), dan juga tidak disukai oleh Dr. Rajiman Wedyodiningrat (yang terbukti dari sikapnya selama memimpin sidang-sidang Badan penyelidik khususnya ketika timbul persoalan mengenai usul keanggotaan Yamin didalam Panitia Perancang Undang-Undang Dasar), dan meskipun Yamin mempunyai karier politik yang berliku-liku, kesemuanya itu tidak mengurangi nilainya sebagai sumber atas dasar pengujian kita terhadap kredibilitasnya, khusus mengenai persoalan siapa saja penggali Pancasila Dasar Negara. Dan kesemuanya itu bukanlah karena secara pribadi menyukai Muh.Yamin ataupun menyukai Supomo dan sebaliknya secara pribadi tidak menyukai Bung Karno, melainkan semata-mata karena kewajiban professional sebagai sejarawan yang harus dipenuhi.
Dapat pula dikonstatasikan bahwa ada sejarawan yang sudah lupa pada ketentuan-ketentuan metode sejarah dan mencampuradukkan opini pelaku dengan fakta. Rupa-rupanya tidak diketahui beda antara point of fact dan point of opinion. Demikianlah ada yang menjejerkan sederetan nama-nama tokoh yang mengatakan, bahwa Bung Karnolah yang merumuskan Pancasila. Padahal tokoh-tokoh itu tidak menyaksikan jalannya sidang Badan Penyelidik. Artinya, mereka itu bukan saksi, sehingga keterangannya adalah opini, bukan fakta. Sejarawan wajib menguji setiap sumber atas kebijakannya sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar