Pikiran (otak) dan perasaan (otak) sama-sama penting dalam
membangun karakter mengapa hati hanya disuruh "ikhlas" saat
menerima keadaan, padahal keadaan tersebut tidak terjadi dengan
sendirinya, tetapi bisa jadi didesain oleh segelintir orang yang berkuasa,
yang kadang lebih jelas juga menampilkan dirinya sebagai kaum
penindas dan penipu rakyatnya?
Jawabannya: karena orang-orang yang hidupnya telah—dan
ingin—enak sendiri, yang pada kenyataannya melalui hubungan
eksploitatif dan gerak kerja ekonomi keseharian, tidak ingin manusia
kebanyakan menggunakan otaknya (pikirannya) untuk mengetahui
(dengan filsafat dan ilmu pengetahuan kritis) apa yang sebenarnya
terjadi. Mereka ingin agar hati digunakan tidak untuk membangkitkan
perasaan berani, tetapi hanya untuk menerima secara "ikhlas" keadaan
yang ditimpakan kepada mereka semua.
Oleh karena itu, muncul buku yang berjudul Quantum Ikhlas,
sebuah buku yang cukup laris yang isinya untuk semakin meyakinkan
bahwa ikhlas dan menerima itu sangatlah baik dan utama. Setiap
tahun sejak terjadinya Reformasi 1998, terutama beberapa tahun
terakhir, pada saat penguasa masa lalu dengan kesalahan-kesalahannya
secara hukum harus dituntut dan diadili atas kejahatan kemanusiaan
(pelanggaran HAM), korupsi, dan tindakan tidak manusiawi dan
menyimpang lainnya, Soeharto dan kroni-kroninya, muncul juga
gerakan dan tuntutan masyarakat yang punya afiliasi suara dengan Orde
Baru agar kita memaafkan masa lalu. Belakangan, konon kehadiran
buku-buku dengan judul seputar The Power of Forgiving (Kekuatan
Memaafkan) juga layak di pasaran. Konon, ada kabar dari teman-teman
penulis bahwa keturunan "Keluarga Cendana" yang masih menguasai
mayoritas perekonomian (yang faksi politiknya memang telah
terbagi-bagi) juga membiayai dan memberikan banyak dana bagi
terjemahan buku-buku yang misinya sejenis. Wallahualam!
Akan tetapi, tetap tak ada yang dapat disangkal dari tendensi
anjuran menggunakan hati untuk menerima keadaan, dengan tendensi
konservatif kekuasaan segelintir orang yang tak mau dikritik, tak mau
digugat, dan ingin bertahan dengan posisinya tanpa mau tahu "dosa"
yang dilakukan akibat menjalankan hubungan ekonomi-sosial yang
eksploitatif
Jadi, mengapa manajemen hati (Manajemen Kalbu) yang
digembar-gemborkan? Seakan ingin mengajak berpikir (dengan
nada menakut-nakuti) bahwa orang yang berpikir rasional dianggap
"kebarat-baratan" (alias kafir)? Mengapa berpikir kritis dianggap
"komunis"? Inilah repotnya dan mungkin yang menyesatkan. Orang
yang punya karakter kritis dan berani menguak realitas tampaknya
malah berusaha disingkirkan, dan oleh masyarakat yang kadung
terpenjara dalam budaya bisu dianggap aneh. Sedangkan, yang terus
mengobarkan karakter kepasrahan, terus mendapatkan tempat dan
ruang, bahkan dibiayai. Hal itu karena karakter pasrah, tunduk, patuh,
tidak kritis, dan tidak berani menggugat memang dibutuhkan untuk
berjalannya sistem yang dikendalikan penguasa.
Pikiran dan perasaan memang tak bisa dipisahkan dalam
membentuk karakter manusia. Terlalu lucu jika kita hanya
membesar-besarkan salah satu hal saja, misalnya setuan pada
manajemen perasaan tampaknya terlalu sering diserukan. Biasanya,
mereka diserukan bersama tafsiran terhadap ajaran Islam. Seakan Islam
hanya menyuruh pasrah dan membiarkan penindasan, seakan ketika
penguasa kian runyam menindas dan mengibuli rakyat, solusinya
hanyalah diam dan berdoa saja. Kalimat "Jagalah hati, j angan, kau
kotori!" tampaknya sepadan dengan kalimat "Terimalah keadaan,
janganlah marah pada keadaan" atau "Jangan gunakan otak untuk
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, sebab kebenaran itu pahit,
dan kamu pasti akan emosi melihat apa yang sebenarnya terjadi" karena
pada dasarnya orang yang tahu ditipu pasti akan marah-marah dan
membenci si penipu.
Sebenarnya, lebih penting mana perasaan atau pikiran? Hati dan
otak?
Kalangan yang membesar-besarkan pentingnya menjaga hati
(perasaan) itu, sadar atau tidak, telah dimanfaatkan oleh kepentingan
yang berusaha menyerang potensi dan manfaat otak. Bagi mereka
seakan otak itu adalah organ tubuh yang tak penting, bahkan
keberadaannya akan membahayakan bila digunakan. Padahal, di
tengah situasi keterbelakangan bangsa akibat rendahnya cara berpikir,
perubahan akan bisa dipacu dengan memaksimalkan otak, bukannya
menakut-nakuti orang yang menggunakan otaknya secara maksimal.
Dalam konteks Indonesia saat ini, penggunaan otak dengan
menghasilkan kecerdasan kreatif dan fungsi pikiran yang menggugat
situasi (kekuasaan), sangat penting untuk menghasilkan IPTEK (ilmu
pengetahuan dan teknologi). Selain itu, kecerdasan kritis juga harus
digunakan untuk menggugat tendensi kekuasaan yang korup dan
menindas. Jika otak dan pikiran dihabisi dan hati dibesar-besarkan,
sebagaimana banyak dilakukan para pendakwah dan penjunjung
"manajemen kalbu", penulis khawatir bangsa ini bukan hanya akan
tetap berada pada zaman kegelapan yang terbelakang pula secara
material.
Bisa kita bayangkan, bangsa yang pikirannya mandek dan
kekayaannya tak tereksploitasi oleh bangsa itu, lama-kelamaan akan
habis, terusir, dan hilang. Bangsa lain yang cerdaslah yang akan
menguasai. Mungkin secara identitas, bangsa kita tidak punah, tetapi
kekayaan kita akan diambil oleh bangsa asing yang secara iptek lebih
maju, dan kita tak kebagian apa-apa, kondisi miskin tak berdaya
tetap bertahan karena orang-orang di sini telah didoktrin untuk tak
takut mati, tak takut kekurangan material karena kesusahan ini akan
digantikan oleh surga nanti di akhirat.
Pentingnya memaksimalkan pikiran (dengan filsafat kritis)
daripada perasaan adalah disebabkan oleh fakta bahwa yang pokok
(primer) dari perkembangan watak manusia itu adalah pikiran,
sedangkan hati adalah wilayah netral yang tergantung pada kenyataan
dan analisis pikiran terhadap kenyataan itu. Perasaan, hasil dari hati
dalam merespons realitas melalui indra dan diproses oleh otak, tidak
akan pernah menjadi ujung tombak kepribadian sebagaimana diduga
oleh para pengagum ESQ dan tafsir agama fatalistik.
Pertama, yang bisa menilai baik dan buruk itu adalah pikiran.
Baik dan buruk sebagai ukuran dan penilaian terhadap sesuatu
mustahil didapat jika kita tak menganggapnya sebagai hubungan
antara pikiran dan suatu yang nyata. Sedangkan, perasaan itu muncul
karena ia dibentuk oleh penilaian terhadap sesuatu yang nyata itu.
Bisa kita bedakan sikap antara dua orang yang sama-sama melihat satu
kejadian yang sama, antara orang yang hanya menggunakan perasaan
dan pikiran—atau antara orang yang hanya semata menggunakan
perasaan tanpa analisis kritis terhadap persoalan, dengan orang yang
menggunakan pemikiran (rasio) dan perasaan (memang siapa bilang
orang yang terbiasa menggunakan otak itu tak berperasaan?). Katakanlah
ketika melihat seorang yang gembel yang mengemis, yang bertubuh
kurus dan jalannya linglung, hal itu pasti sama-sama memunculkan
perasaan kasihan. Namun, orang yang hanya menggunakan perasaan
akan merasa kasihan. Rasa itu akan membuatnya bertindak kalau ia
mampu melakukannya (misalnya, memberi uang receh). Batin dan
benaknya biasanya akan mengatakan, "Ya ampun, kasihan banget orang
ini. Aku harus merogoh kantung untuk memberikan uang receh. Oh,
Tuhan, beruntunglah meskipun aku tidak kaya tetapi nasibku tidak
seburuk dia. "
Kemudian, di TV para ustad paling sering mengatakan, "Apa pun
keadaannya, bersyukurlah pada Tuhan, karena meskipun kadang kita
berada dalam keadaan susah, ternyata kita juga masih jauh lebih baik
dari orang lain. " Lalu, yang mendengarnya merasa nyaman karena
kata-kata sang ustad benar-benar menghibur meskipun yang mendengar
itu kebanyakan adalah orang yang sebenarnya lebih terbelakang secara
ekonomi dibandingkan konglomerat-konglomerat yang kekayaannya
berlipat-lipat jutaan atau miliaran kali darinya. Celakanya, konglomerat
itu adalah pemilik TV dan perusahaan-perusahaan yang membuat
sang pendakwah yang kehadirannya di hadapan massa rakyat jelata
itu dibiayai (dibayar) oleh sang konglomerat melalui perusahaan TV
dan perusahaan yang menampilkan iklan di TV itu!
Coba kita bandingkan dengan orang yang memiliki pandangan
holistis terhadap kehidupan (filsafat) dalam melihat masalah kemiskinan
itu ketika melihat orang miskin yang bertebaran di bumi negeri. Ia tak
sekadar memberi dan terhibur dari tindakannya memberikan uang
receh kepada si pengemis. Bisa jadi, pemberiannya bukan karena
ditukarkan oleh surga karena ia tulus. Dia juga akan berpikir mengapa
hal itu bisa terjadi, lalu ia memikirkan sebab-sebab sosial dengan
menggunakan pikirannya untuk menjelaskan masalah kemiskinan.
Dia merasa bahwa hal itu masalah bersama, bukan masalah individu.
Ketika ada pernyataan "apa pun keadaannya, bersyukurlah pada
Tuhan, karena meskipun kadang kita berada dalam keadaan susah,
ternyata kita juga masih jauh lebih baik dari orang lain", ia akan
mentertawakan betapa piciknya hal itu karena pernyataan itu akan
berimplikasi pada beberapa hal. Pertama, dengan menganggap bahwa
dirinya lebih baik dari orang lain. Ia merasa tak ada kepentingan untuk
melihat sebab-sebab perbedaan kelas secara lebih lanjut. Posisinya yang
sebenarnya sama-sama rendah dan jauh lebih rendah daripada para
konglomerat dan koruptor tidak masalah karena ternyata dia masih
beruntung daripada lainnya. Kedua, bersyukur hanya dimaknai
menerima keadaan yang ada dan akibatnya tidak digambarkan kenapa
pentingnya perubahan. Jadi, dalam hal ini agama yang ditafsirkan
seperti itu tidak ada kepentingan untuk mengubah situasi—atau
mungkin karena agamawan memang tidak perlu menggunakan
pikiran dalam memaknai ajaran agama, tetapi hanya banyak belajar
untuk menghafal ayat-ayat dan kebetulan yang sering dihafal adalah
yang sesuai dengan kepentingan kelas penguasa untuk memandegkan
keadaan sosial, bukan untuk perubahan sosial.
Seakan, orang-orang kaya bersama para penafsir ajaran
agama Islam untuk kepentingan sistem kekuasaanlah yang tidak
menginginkan perubahan. Para agamawan kaya yang mendapatkan
kompensasi kekayaan luar biasa itulah yang bertugas agar orang kaya
mempertahankan tatanan yang tiran. Memang orang kayalah yang
dalam sejarah selalu menolak ajaran-ajaran yang ingin mengubah
keadaan, sebagaimana ditegaskan Al-Quran (QS Saba' [34]: 34-35),
"Setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu
negeri, lalu orang-orang di dalamnya berkata: 'Kami tidak percaya pada
amanat yang kamu sampaikan'. Mereka berkata, 'Kami lebih banyak
punya kekayaan dan anak-anak dan kami tiada mendapat siksaan. "
Penulis selalu menekankan pentingnya aktivitas berpikir daripada
lebih banyak menggunakan perasaan karena generasi negeri ini terlalu
banyak dibentuk emosinya oleh media dan diarahkan ke dalam budaya
yang sesuai dengan kepentingan mereka. Nalar berpikir dihilangkan
sehingga seakan anak-anak muda tak bisa lagi menyaring nilai-nilai
yang ada sesuai dengan kesadaran tentang mana yang bermanfaat bagi
perkembangan kepribadian atau mana yang tidak. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar