Sabtu, 26 November 2011

Enam Pilar Penting Karakter Manusia


Ada enam karakter utama (pilar karakter) pada diri manusia yang dapat
digunakan untuk mengukur dan menilai watak dan perilakunya dalam
hal-hal khusus. Keenam karakter ini dapat dikatakan sebagai pilar-pilar
karakter manusia, di antaranya:
   Respect (penghormatan);
Responsibility (tanggung jawab);

86. Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006, hlm. 119

-  Citizenship-Civic Duty (kesadaran berwarga-negara);
   Fairness (keadilan dan kejujuran);
   Caring (kepedulian dan kemauan berbagi);
   Trustworthiness (kepercayaan).


1. Respect (Penghormatan)
    Esensi penghormatan (respect) adalah untuk menunjukkan
bagaimana sikap kita secara serius dan khidmat pada orang lain
dan diri sendiri. Ada unsur rasa kagum dan bangga di sini. Dengan
memperlakukan orang lain secara hormat, berarti membiarkan mereka
mengetahui bahwa mereka aman, bahagia, dan mereka penting karena
posisi dan perannya sebagai manusia di hadapan kita. Sebab, biasanya
kita tak hormat pada orang yang tidak berbuat baik.
    Rasa hormat biasanya ditunjukkan dengan sikap sopan dan juga
membalas dengan kebaikhatian, baik berupa sikap maupun pemberian.
Sedangkan, rasa hormat juga bisa berarti bersikap toleran, terbuka, dan
menerima perbedaan sekaligus menghormati otonomi orang lain.
    Sikap menghormati bukanlah sikap berlebihan yang dilakukan
karena  bersikap menghormati bukan berarti sikap patuh dan menjilat.
Rasa hormat bukanlah menggunakan dan memanipulasi orang lain. Rasa
hormat bawahan dan anak buah pada majikan belum tentu rasa hormat
dalam  maknanya yang esensial, tetapi bisa jadi hanya menjilat. Jadi,
kehormatan dalam posisi yang timpang (atasan-bawahan, apalagi pengisap
dan yang diisap) biasanya akan membawa dampak yang lain.
    Aturan penghormatan adalah bahwa seluruh individu pada dasarnya
penting (untuk dihormati) dan pada dasarnya tiap manusia memiliki
tujuan  moral, jangan sampai memperlakukan orang lain sebagai sarana
untuk memperoleh kesenangan diri kita; jangan sampai kita mendapatkan
kehormatan dari memperalat dan mengeksploitasi orang lain.

    Respek atau penghormatan bukanlah sesuatu hal yang yang
diminta, melainkan diberikan. Jadi, jangan pernah mengharap rasa
hormat dengan  penuh rekayasa atau memaksa, tetapi harus kita
mulai untuk menata sikap dan posisi (serta peran) diri kita agar
orang lain memaksa kita. Jangan pernah  bertanya, "Kenapa mereka
tak menghormati saya?", tetapi mulailah  dari perubahan sikap yang
membuat kita dihargai dan dihormati. Jika kita tak dihormati orang
lain, berarti ada yang salah dengan diri kita, atau ada kesalahan, tetapi
tetaplah bukanlah kesalahan  orang lain  itu. Ada kutipan menarik
seperti ini, "I will treat you like a gentleman, not because you are one,
but because I am one".
    Rasa hormat dan respek itu bisa kita tunjukkan dengan orang lain
yang tingkat kedekatannya dengan kita bisa jadi berbeda. Misalnya, bisa
dengan teman kita, orangtua kita, bahkan orang asing yang baru kita
ketahui atau kita kenal. Ada beberapa karakteristik yang menunjukkan
rasa hormat (respect) sebagai berikut.
    Tolerance (toleransi): sikap menghormati orang lain yang berbeda
    dengan kita atau yang kadang  seakan menentang kita dan
    memusuhi kita.
-   Acceptance (penerimaan): menerima orang lain yang datang pada
    kita, mungkin dengan tujuan tertentu. Kita beri kesempatan ia
    untuk hadir di depan kita untuk menyuarakan kepentingan dan
    tujuannya, baru kita bisa  mengambil sikap terhadap tujuannya.
    Misalnya, kita tetap akan bersikap  baik meskipun kita tak sepakat
    dengan dirinya. Lawan sikap ini adalah tertutup  (eksklusif) dan
    reaktif terhadap hal-hal baru yang  bahkan belum dipahami.
 -   Autonomy (otonomi, kemandirian, ketidaktergantungan): kita
    masih punya sikap dan prinsip kita sendiri, orang lain pun juga
    demikian. Otonomi adalah hasil pilihan dan pasti punya alasan, kita
    tak bisa membuat orang lain tergantung pada kita dan memaksa

orang lain seperti kita dalam hal tertentu. Dengan menghormati
orang lain, berarti sikap untuk tidak mencampuri urusan mereka
dan tidak memaksa mereka tergantung pada kita.
Privacy (privasi, urusan pribadi): menghormati orang lain berarti
memberi mereka kesempatan untuk melakukan kesibukan
dalam kaitannya dengan urusan mereka sendiri. Privasi adalah
urusannya sendiri yang tak berkaitan dengan kita dan biarkanlah
dia menjalaninya dan jangan sampai kita menganggunya untuk
melakukan privasinya.
Nonviolence (non-kekerasan): prinsip non-kekerasan ini sangat
penting bagi karakter kita untuk menunjukkan rasa hormat pada
orang lain. Tindakan kekerasan sekaligus menandai bahwa manusia
tidak menghormati orang lain, mengingat dampak kekerasan itu
sangatlah nyata dan motivasi kekerasan pastilah ungkapan rasa
tidak suka (tidak menghormati). Kekerasan di sini bisa berupa
kekerasan fisik maupun non-fisik  atau psikologis  yang berupa
umpatan kata-kata yang menunjukkan rasa tidak suka, membenci,
dan mengintimidasi atau melemahkan mental.
Courteous: ini  adalah sejenis rasa hormat aktif yang dilakukan
dengan melakukan sesuatu, atau rasa hormat yang ditunjukkan
dengan sikap  yang sengaja. Misalnya, membuat lagu untuk
memberikan rasa hormat pada orang yang berjasa, karya courtesy.
Polite: sikap sopan yang ditunjukkan untuk memberikan rasa
hormat. Sopan harus dibedakan dengan takut dan sungkan. Pada
budaya Timur, kadang budaya sopan identik dengan rasa  takut
dan sungkan, yang menimbulkan  sikap melemahkan diri dan
menunjukkan posisi tidak setara yang melanggengkan hubungan
eksploitatif Sedangkan di Barat, sopan berarti sikap yang tak perlu
menimbulkan efek terciptanya efek psikologis yang mememahkan
jiwa. Sopan juga tak mengorbankan posisi setara dan otonomi

   diri dalam interaksi yang saling menghormati. Montaigne Essays
   (1580-1588) pernah mengatakan, " The honor we receive from those
   that fear us, is not honor (Rasa hormat yang datang dari orang yang
   takut pada kita, bukanlah kehormatan). "
-  Concerned: sikap perhatian atau memberikan perhatian pada hal
   atau orang yang dihormati. Misalnya, seorang yang menghabiskan
   waktu untuk masalah-masalah anak, ia dapat dikatakan concerned
   pada anak karena ia menghormati anak-anak. Seorang yang
   concerned pada hal tertentu tentu disebabkan oleh rasa peduli dan
   hormatnya pada sesuatu itu.


2. Responsibility (Tanggung Jawab)
    Sikap tanggung jawab menunjukkan apakah orang itu punya
karakter yang baik atau tidak. Orang yang lari dari tanggung jawab
sering tidak disukai—artinya itu adalah karakter yang buruk.
    Pada dasarnya, hidup ini dipenuhi dengan pilihan. Life is full of
choices. Kita bisa memilih apa saja yang kita inginkan—memilih suatu
benda atau barang, memilih bertindak, dan kadang memilih bersikap.
Orang yang tak punya sikap  itu adalah orang yang tak jelas dan
karakternya buruk. Orang yang bersikap, tetapi tidak bertanggung jawab
terhadap apa yang dipilihnya dari sikap itu, itu juga lebih buruk.
    Bertanggung jawab pada  sesuatu benda, baik benda mati atau
benda hidup berarti melahirkan sikap dan tindakan atas benda itu,
nasib dan arah dari benda itu, tidak membiarkannya. Ketika telah
memilih seseorang untuk kita ajak berpasangan, tanggung jawab kita
adalah menjaga hubungan dengannya dan tidak mempermainkannya.
Istilah orang yang "suka main-main" identik dengan orang "yang tidak
bertanggung jawab. " Berarti di sini unsur tanggung jawab itu adalah
keseriusan.

    Tanggung jawab menghendaki kita untuk mengenali apa yang
kita lakukan karena kita bertanggung jawab pada akibat pilihan kita.
Konsekuensi dari apa yang kita pilih harus kita hadapi dan kita atasi.
Artinya, lari dari masalah yang ditimbulkan akibat pilihan kita berarti
tidak tanggung jawab.
    Istilah-istilah yang berkaitan dengan tanggung jawab  antara lain
sebagai berikut.
   Duty (tugas): artinya apa yang telah diberikan pada kita sebagai
   tugas kita harus melaksanakannya.
   Laws (hukum dan  undang-undang): kesepakatan tertulis yang
   harus kita ikuti dan apabila kita melanggarnya berarti kita harus
   bertanggung jawab untuk menerima konsekuensinya.
   Contracts (kontrak): kesepakatan  yang harus diikuti dan
   melanggarnya juga tidak bertanggung jawab.
   Promises (janji): sebuah kesepakatan yang diucapkan yang harus
   ditepati sesuai dengan apa yang telah dibuat. Melanggar janji juga
   berarti tidak bertanggung jawab, tidak ada sanksi tegas tetapi akan
   menimbulkan kekecewaan. Orang yang ingkar janji adalah orang
   yang jelek karakternya.
-  Job Descriptions (pembagian kerja): melanggarnya berarti bukan
   hanya dicap tidak tanggung jawab, tetapi juga akan mengganggu
   kinerja seluruh rencana yang telah dibuat.
   Relationship Obligations (kewajiban dalam  hubungan): apa yang
   harus dilaksanakan ketika orang menjalin hubungan. Melanggarnya
   bisa-bisa akan membuat hubungan berjalan buruk karena tanggung
   jawab sangatlah penting dalam sebuah hubungan.
    Universal Ethical Principles (prinsip etis universal): prinsip-prinsip
   bersama  yang merupakan titik temu  dari orang-orang atau
   kelompok orang yang berbeda  latar belakang. Misalnya, hak
   asasi manusia  (HAM), bahwa tiap orang berhak hidup, hak akan

kehidupan material, pendidikan, dan kesehatan, adalah titik
temu nilai-nilai yang disepakati oleh manusia di seluruh dunia.
Melanggar hal ini berarti tidak bertanggung jawab. Menghilangkan
nyawa orang lain, membuat rakyatnya miskin, merupakan tindakan
pimpinan negara yang tak bertanggung jawab.
Religious Convictions (ketetapan agama): nilai-nilai yang diatur oleh
agama yang biasanya dianggap ajaran dari Tuhan. Bagi penganut
yang melanggarnya, akan berhadapan dengan aturan agama
tersebut.
Accountability: keadaan yang bisa dimintai tanggung jawab dan
bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, dalam dunia politik
kita sering mendengar istilah akuntabilitas publik atau public
accountability yang berarti bahwa sebuah jabatan publik harus
dipertanggungjawabkan para rakyat. Misalnya, wakil rakyat yang
tak pernah membawa aspirasi rakyat, tetapi malah melakukan
penyimpangan berarti melanggar akuntabilitas publik.
Diligence (ketekunan, sifat rajin): orang yang rajin dan tekun
itu biasanya adalah orang yang bertanggung jawab. Tidak rajin
dan tidak tekun dalam menjalankan sesuatu sama dengan orang
yang tak bertanggung jawab. Ketika mengerjakan sesuatu secara
malas-malasan pada saat tujuan  untuk mencapai sesuatu sudah
ditetapkan dan standar kerja untuk mencapainya bisa diukur, ia
adalah orang yang tidak bertanggung jawab.
Reaching Goals (tujuan-tujuan yang ingin diraih): tujuan yang
ingin dicapai bersama. Ini adalah tanggung jawab bagi orang yang
telah menetapkan  tujuan dan harus bertanggung jawab untuk
melakukan sesuatu agar tujuan  itu bisa tercapai. Karena sekali
tujuan ditetapkan, dibutuhkan kerja untuk membuktikan bahwa
seseorang harus serius mencapainya.

Positive Outlook (pandangan positif ke depan), yaitu suatu
pandangan tentang masa depan yang positif yang harus dicapai
untuk mewujudkan tujuan-tujuan berdasarkan visi misi yang
ditetapkan.
Prudent (bijaksana): orang yang melakukan  sesuatu secara tidak
bijaksana dapat dikatakan secara tidak tanggung jawab.
Rational (hal yang masuk akal): orang yang bertanggung jawab adalah
yang mengatakan sesuatu hal yang masuk akal, tidak mengumbar
kebohongan dan irasionalitas. Kita sering melihat orang-orang yang
tak bertanggung jawab dengan menyebarkan mitos dan hal-hal
yang tak masuk akal, dengan tujuan membohongi.
Time Management (manajemen waktu): orang yang bertanggung
jawab itu biasanya adalah orang yang bisa mengatur waktu dan
konsekuen dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Resource Management (pengaturan sumber daya): orang itu bisa
melakukan hal yang baik sebagaimana kemampuan yang ia miliki.
Tanggung jawab bisa diukur berdasarkan pembagian tanggung
jawab seseorang berdasarkan kemampuannya, prinsip orang yang
tepat sesuai tempat yang tepat (the right man on the right place).
Orang yang dibebani tugas tidak sesuai dengan kemampuannya
biasanya akan tidak bertanggung jawab melakukan sesuatu. Karena
itulah, manajemen sumber daya sangatlah penting untuk mencapai
tujuan. Kita sering melihat orang yang tak berhasil dan gagal
mengerjakan suatu yang kita bebankan padanya bukan karena
ia tak bertanggung jawab, melainkan karena sumber dayanya tak
mampu untuk menampung tugas yang kita berikan.
Teamwork (tim kerja): orang yang menyimpang dari kesepakatan
tim dan ingin mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri dari
kegiatan bersama tim adalah orang yang tak bertanggung jawab.

-  Financial Independence (kemandirian keuangan): orang bertanggung
   jawab untuk memenuhi kebutuhannya dari uang yang ia dapatkan
   secara benar. Orang bertanggung jawab pada dirinya dengan cara
   memenuhi kebutuhan-kebutuhannya karenanya kemandirian
   dalam memperoleh uang adalah bentuk tanggung jawab yang
   penting. Tergantung pada orangtua dalam rangka mendapatkan
   uang adalah sifat buruk dalam masyarakat kita.
-  Self-motivated (motivasi diri): orang yang bertanggung jawab itu
   memiliki kemampuan memotivasi diri dan tingkat harapan-yang
   kuat dalam dirinya. Tanggung jawab berakar dari rasa percaya diri
   dan kesadaran akan potensi diri yang bisa diaktualisasikan secara
   baik dalam kesehariannya.
     Pada akhirnya, kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita
pilih dalam kehidupan ini. Dengan demikian, segala sesuatu yang
akan kita perbuat dan putuskan harus didasarkan pada pertimbangan
yang alasannya sangat mendalam dan tidak terburu-buru. Pilihan
harus diambil dan ia akan  menentukan kita untuk menjalaninya
secara tanggung jawab. Akan tetapi, pilihan tertentu akan menentukan
peluang dan tantangan apa yang akan kita hadapi. Maka, di sinilah,
pertimbangan untuk mengambil pilihan sangatlah penting.
     Tindakan buru-buru biasanya akan menghasilkan kondisi yang
ternyata tak pernah terbayangkan. Ketika kita hanya terpatok pada ilusi
dan tidak mempertimbangkan kondisi nyata yang akan kita hadapi
setelah kita (memilih untuk) melakukan sesuatu, ternyata yang kita
hadapi tak seperti yang kita ilusikan atau yang kita bayangkan.
     Biasanya, orang yang tidak bertanggung jawab pada tindakan yang
diambilnya memang tidak terbiasa memutuskan sesuatu berdasarkan
pilihan yang didasari pertimbangkan secara  mendalam. Kita melihat
orang yang tak bertanggung jawab adalah orang yang memiliki kontrol

diri rendah, orang yang suka tergesa-gesa dan sering hanya menuruti
keinginan dari pada memahami keadaan.


3. Civic Duty-Citizenship (Kesadaran dan Sikap Berwarga
   Negara)
    Nilai-nilai sipil (civic virtues) merupakan nilai-nilai yang harus
diajarkan pada individu-individu sebagai warga negara yang memiliki
hak sama dengan warga negara lainnya. Nilai-nilai ini harus dijaga
agar suatu masyarakat dalam sebuah negara tidak terjadi tindakan yang
melanggar hak-hak (terutama hak asasi) warga negara lainnya. Nilai-nilai
sipil ini adalah hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh warga
negara dalam sebuah negara modern yang diatur  oleh kesepakatan
konstitusi dan tidak didasarkan pada kehendak segelintir orang.
    Nilai-nilai sipil mengacu pada tindakan-tindakan yang diinginkan
dan layak dipuji, tetapi bukan merupakan mandat moral. Prinsip
kewarganegaraan adalah tugas (kewajiban), hak, tindakan, dan
tanggung jawab seluruh warga negara.
    Tugas-tugas sipil adalah kewajiban untuk mewujudkan terciptanya
kesejahteraan publik. Ia mengacu pada kewajiban  etis, standar bagi
dilaksanakannya pembangunan kebutuhan minimal bagi kewarganegaraan
yang beretika. Tiap warga negara harus memainkan  aturan, mematuhi
undang-undang, membayar pajak, berpartisipasi dalam proses demokrasi
dengan menyalurkan suara dalam pemilihan, melaporkan terjadinya
kejahatan, mau menjadi saksi atas kejahatan yang ada.
    Singkatnya, karakter yang diperlukan  untuk membangun
kesadaran berwarga negara ini meliputi berbagai tindakan untuk
mewujudkan terciptanya masyarakat sipil  yang menghormati
hak-hak individu. Hak untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan
mendasarnya (makanan, petumahan, kesehatan, pendidikan, dan
lain-lain); hak untuk memeluk agama dan keyakinannya masing-masing

tanpa paksaan; hak untuk mendapatkan informasi dan mengeluarkan
informasi atau menyatakan pendapat dan pikiran; dan hak politik
termasuk memilih partai politik, mendirikan organisasi sosial politik
tanpa diskriminasi ideologi politik.
     Di negeri ini, membangun sebuah partai politik tampaknya masih
belum dianggap hak bagi warga negara. Seperti ditunjukkan pada
tahun 2009 lalu, membangun partai politik untuk ikut berpartisipasi
dalam pemilu amadah sulit karena terbentur dengan UU Politik baru
yang mempersulit partai-partai  kecil dan partai baru untuk lolos
sebagai peserta pemilu karena harus memenuhi syarat-syarat yang
akan mencerminkan partai-partai politik besar yang berkuasa. Ada
pula gejala yang cukup menampar wajah demokrasi kita. Penyerangan
beberapa ormas, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi
Rembug (FBR) terhadap acara yang dilakukan oleh Partai Persatuan
Pembebasan Nasional (Papernas)  di Jakarta juga merupakan kejadian
yang sangat memalukan dalam sebuah negara yang konon didasarkan
pada nilai-nilai demokrasi dan  HAM. Sejak semula, konsolidasi
Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) tak berjalan mulus.
Sekelompok  massa dari Front  Pembela Islam (FPI) dan Forum
Betawi Rembuk (FBR) menghadang konvoi Papernas supaya mereka
membubarkan diri.
     Kita  tahu bahwa menuduh  tanpa dasar hukum dan fakta
merupakan kebiasaan yang sangat buruk, apalagi tuduhan itu diikuti
dengan kebencian dan menggunakan cara-cara kekerasan, merusak,
li. m mengintimidasi hingga  mengorbankan pihak yang diserang.
 I iiduhan bahwa Papernas adalah "komunis" mestinya harus dibuktikan
scinra saksama dengan ditempuh melalui jalur hukum. Masalahnya,
tuiluhan "komunis" terhadap suatu organisasi atau gerakan yang
iniiucul dari rakyat sering digunakan sejak zaman  Orde Baru sebagai
piiucrintahan yang memang ingin  menghalau kekuatan demokratik

yang menginginkan keadilan dan kesejahteraan. Stigma "komunis"
seakan menjadi makanan basi yang terus saja dikunyah-kunyah dan
disemburkan setiap ada kepentingan tertentu dari kekuasaan atau
kelompok masyarakat yang memiliki klik dengan kekuasaan.
    Dalam kaitannya dengan pendirian partai politik yang ingin
melibatkan diri  dalam pemilu, yang berhak menentukan  lolos
atau tidaknya sebuah partai dengan  mengacu syarat-syarat  yang
ditetapkan dalam  undang-undang adalah pihak yang berwenang, yaitu
Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) dan Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Lolos  tidaknya sebuah partai politik akan ditentukan
oleh syarat-syarat yang ditentukan, bukannya oleh fitnah-fitnah
politis yang ditujukan untuk mengintimidasi dengan tujuan politik
tertentu. Kegiatan politik dan demokrasi diatur oleh kaidah hukum
yang berlaku. Jika hukum yang ada dilanggar dan jika aparat penegak
hukum dikangkangi otoritasnya, demokrasi akan mengarah pada chaos.
Tambahan lagi, kekerasan harus diharamkan dalam negara yang diatur
oleh hukum, demokrasi, dan HAM.
    Hak pohtik adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Hak
asasi manusia, menurut UU No. 39/1999 Pasal 1 (butir  1) adalah
seperangkat hak yang  melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan  setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia. Hak politik adalah hak asasi manusia
yang berkenaan dengan seorang individu vis-a-vis masyarakat publik,
kelakuan pemerintah, dan bagaimana individu itu berpartisipasi di
dalam dan memengaruhi masyarakat berdasarkan kemanfaatan yang
dapat diperolehnya. Hak ini adalah hak-hak yang memastikan peluang
seorang anggota masyarakat yang membuat, mengubah, mengusulkan,
dan mengatur kebijakan publik pemerintahan, yang memengaruhinya.

Hak politik ini termasuk dalam "Hak Asasi Manusia Generasi Pertama"
yang melindungi hak-hak seseorang untuk berpartisipasi di dalam
mengarahkan dan mengembangkan sebuah masyarakat, seperti hak
untuk memilih dan untuk menjalankan pemerintahan.
    Deklarasi Universal HAM menyebutkan hak politik itu di dalam
Pasal 2, ayat (1); (2); dan (3), meliputi hak untuk ikut serta di dalam
pemerintahan, hak atas pelayanan publik, dan kehendak rakyat harus
menjadi dasar kewenangan pemerintah (Lawson, 1996: 1172-1178).
Hak ini juga disebutkan di dalam Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik Pasal 23 (1) yang secara eksplisit menyatakan hak ikut
serta di dalam pengaturan urusan publik, secara langsung atau lewat
perwakilan, hak untuk memilih dan dipilih, secara langsung atau lewat
perwakilan, hak untuk memilih dari dipilih dalam pemilihan umum,
dan hak atas akses ke pelayanan publik—rumusan yang mirip juga
terdapat dalam The American Convention on Human Right. Hal yang
sama juga ditekankan oleh Pasal 5 dari Konvenan Intetnasional tentang
Segala Bentuk  Diskriminasi Rasial, bahkan pasal  7 dan pasal 8 dari
konvenan yang terakhir ini amat menekankan kewajiban negara untuk
menghapuskan diksriminasi hak politik terhadap perempuan.
     Dasar negara kita juga dengan tegas mengatur bahwa hak-hak
politik sangat dijamin. Setiap warga negara  bebas berserikat,
berkumpul, serta mengeluarkan pendapat dan pikirannya. Apa yang
dilakukan Papernas adalah  untuk menegaskan hak-hak politiknya,
membangun sebuah alat politik yang digunakan untuk mencapai
tujuannya dalam membangun bangsa yang kian  hari-kian terpuruk
. secara ekonomi, politik, dan kebudayaan. Apa pun organisasi politik
yang tumbuh, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
iuikum, demokrasi, dan  HAM sudah seharusnya dibiarkan tumbuh
dan berkembang. Masyarakat sipil adalah  sebuah arena bagi setiap
warga negara dan kelompok untuk mengontestasikan gagasannya.

Setiap ruang publik {public sphere) harus dijaga kewibawaannya, tidak
boleh ada siapa pun yang menghadang orang atau kelompok yang
ingin berkontestasi. Dalam panggung kontestasi politik yang ada itu,
rakyat akan menentukan pilihannya dan bertindak untuk menjalankan
hak-hak politiknya.
     Selain menjamin  adanya hak, kita juga berkewajiban, misalnya
menghormati orang lain yang secara suku dan agama dan ideologi
berbeda; kewajiban ikut mempertahankan negara dari serangan musuh;
dan  lain-lain. Maka, karakter yang diperlukan untuk mendukung
terlaksananya itu semua antara lain adalah karakter yang menghasilkan
tindakan toleransi dan saling menghormati antar-umat beragama;
kewajiban untuk menciptakan ketertiban bersama, menjamin tiap-tiap
orang bebas untuk berpendapat dan  memeluk keyakinan selama
ekspresinya tidak melahirkan kekerasan. Nilai-nilai  sipil akan berjalan
baik jika tiap warga negara sadar akan hak dan kewajibannya.


4. Fa/rne55 (Keadilan)
       is much more difficult to know what is fair than what is unfair^
demikian Michael Josephson pernah berkata. Lebih suUt sekali untuk
mengetahui apakah yang adil daripada yang tidak adil. Kita mudah
sekali mengatakan bagaimana tindakan  tidak adil  terjadi, tetapi
mendefinisikan arti keadilan tampaknya harus hati-hati. Apa yang
dian^ap seseorang adil, oleh orang lain belum tentu  demikian. Tak
heran jika Ralph Waldo Emerson pernah berkata, " Unfortunately, one
mans justice is another man's injustice; one mans beauty another's ugliness;
one man's wisdom another'sfolly!'
     Keadilan  bisa mengacu pada aspek kesamaan {sameness) atau
memberikan hak-hak orang lain secara sama. Bisa pula berdasarkan apa
yang telah diperbuatnya: orang yang bekerja keras akan mendapatkan

lebih baik dan lebih banyak. Ardnya, ada aspek-aspek yang harus
dilihat ketika kita memahami nilai keadilan. Orang yang berkarakter
adil sangat dibutuhkan sekali dan ia merupakan karakter yang
menyenangkan.
    Sikap adil  merupakan kewajiban moral. Kita diharapkan
memperlakukan  semua orang secara adil. Kita harus mendengarkan
orang lain dan memahami apa yang  mereka rasakan dan pikirkan
atau setidaknya yang mereka katakan. Penilaian atau anggapan yang
terburu-buru merupakan suatu yang tidak adil. Adil harus dilakukan
baik dalam pikiran dan perbuatan. Kata Jean Marais dalam novel Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, "Seorang terpelajar harus juga
belajar berlaku adil sudah sejak dalam  pikiran, apalagi perbuatan. "87
    Dalam membuat kebijakan dan keputusan, yang dikatakan
adil adalah jika ia didasarkan atau mempertimbangkan semua fakta,
termasuk pandangan yang menentangnya, yang harus dipertimbangkan
sebelum keputusan dibuat. Keputusan harus didasarkan pada sesuatu
pertimbangan yang tak boleh setengah-setengah {impartial decisions),
harus menggunakan beberapa kriteria, aturan, dan memenuhi standar
bagi semua orang. Anggapan-anggapan yang salah dan terburu-buru
harus segera dibenarkan atau dikoreksi.
     Dalam teori filsafat dan ilmu hukum, keadilan  adalah kondisi
kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut
benda atau orang. Sejak zaman kuno hingga zaman sekarang, masalah
keadilan terus menjadi bahan diskusi filsafat dan moral. Di era Yunani
Kuno (Ancient Greek), Aristoteles-lah filsuf yang dikenal paling banyak
bicara masalah ini. Dalam karya-karyanya seperti Nichomachean Ethics,
Politics, dan Rethoric, ia melontarkan  pandangannya  tentang filsafat
keadilan. Akan tetapi, buku Nicomachean Ethics yang secara mendalam

membahas mengenai masalah keadilan. Aristoteles berkata, "Karena
hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan. "88
    Aristoteles memandang keadilan mesti dalam pengertian
kesamaan. Ia membuat pembedaan antara kesamaan numerik dan
kesamaan proporsional. Kesamaan numerik menyamakan setiap
manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami
tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan
bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan
proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan
ini, Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan
seputar keadilan.
    Lebih lanjut, Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua
jenis:


    •  Keadilan Distributif
    Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik. Dalam wilayah
    keadilan  distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang
    sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama  rata. Keadilan
    distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
    kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan
    dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan  "pembuktian"
    matematis, jelaslah bahwa apa yang ada di benak Aristoteles ialah
    distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai
    yang berlaku di  kalangan warga. Distribusi yang  adil boleh jadi
    merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni
    nilainya bagi masyarakat.


88. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarca: Kanisius, 1995), hlm. 24.

   •  Keadilan Korektif
   Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah.
   Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, keadilan
   korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi
   pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan,
   hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada  si pelaku.
   Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya
   "kesetaraan" yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan
   korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari
   uraian ini, tampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah
   peradilan, sedangkan keadilan distributif merupakan  bidangnya
   pemerintah.


    Teori keadilan pada zaman modern yang terkenal dilontarkan
oleh filsuf Amerika Serikat (AS), John Rawi. Dalam bukunya Theory
of Justice (1973), ia mendefinisikan keadilan sebagai kelebihan (virtue)
pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem
pemikiran. *'' Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti
sebagai berikut.
   Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan
   ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan.
   Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam  kehidupan
   sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan
   alam {socialgoods). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat diizinkan
   bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
-  Kesetaraan kesempatan untuk kej uj uran dan penghapusan terhadap
   ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.



89. John Rawls, Teori Keadilan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).


     Gambar di atas bisa dijelaskan dengan beberapa pengertian,
sebagai berikut.
a)  Keadilan adalah Kejujuran (Justice is Fairness)
   Kita tahu bahwa antara satu manusia dan lainnya memiliki
   latar  belakang yang berbeda-beda dan pembawaan yang
   bermacam-macam. Hal itulah yang menyulitkan untuk menyatukan
   antara berbagai individu dalam sebuah masyarakat. Lalu, bagaimana
   mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda di satu
   pihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya
   kebutuhan bersama?  Karena itulah, diperlukan kejujuran agar
   masing-masing bisa memahami satu sama lain. Adil dalam hal ini

   adalah bersikap jujur agar perbedaan bisa diatasi dan dijawab untuk
   melangsungkan ikatan.
b) Selubung Ketidaktahuan {Veil of Ignorance)
   Tidak semua orang bisa mengetahui seluruh fakta dan- keadaan
   tentang dirinya sendiri. Tidak sama pula pengetahuan tentang
   posisi dan peran sosial mereka sama. Konsep tentang keadilan dan
   kebenaran pun tidak sama.
c) Vosisi On^msX {OriginalPositiori)
   Posisi sejati setiap manusia adalah sama dan sederajat. Manusia
   tidak boleh dibedakan posisinya, tidak ada yang lebih tinggi
   atau lebih  rendah. Dalam  posisi  inilah, orang bisa melakukan
   kesepakatan dan pemahaman tentang mana yang baik dan adil
   tanpa bias-bias kepentingan posisi dan status. "Posisi Original"
   yang bertumpu pada pengertian ekuilibrium reflektif dengan
   didasari oleh ciri rasionalitas {rationality), kebebasan {freedom), dan
   persamaan  {equality).
d) Prinsip Kebebasan yang Sama {Equal Liberty Principle)
   Prinsip ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama
   atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel
   dengan kebebasan-kebebasan  sejenis bagi orang lain. Dalam
   hal ini, kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain:
   (1) kemerdekaan berpoUtik {political of liberty); (2) kebebasan
   berpendapat dan mengemukakan ekspresi {freedom of speech and
   expression); (3) kebebasan personal {liberty of conscience and though);
   (4) kebebasan untuk memiliki kekayaan {freedom to hold property);
   (5) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.

e)  Prinsip Ketidaksamaan (Inequality Principle)
   Prinsip  Ketidaksamaan terdiri dari difference principle (prinsip
   perbedaan), yaitu adanya ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus
   diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya
   bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan. Prinsip
   ketidaksamaan juga berkaitan dengan equal opportunity principle
   (prinsip persamaan kesempatan), yaitu keadilan harus diwujudkan
   dengan cara membuat jabatan-jabatan dan posisi-posisi dapat
   dibuka bagi semua orang dalam keadaan ketika adanya persamaan
   kesempatan yang adil.
   Di tengah  ketidaksamaan dan kesenjangan sosial  dalam tingkat
   ekonomi, harus diberikan aturan yang paling menguntungkan
   golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau
   dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin
   maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah.
   Artinya, situasi masyarakat  harus sedemikian rupa sehingga
   dihasilkan  untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan
   bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada
   jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya, supaya
   kepada  semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam
   hidup. Berdasarkan pedoman ini, semua perbedaan antara orang
   berdasarkan ras, kulit, agama, dan perbedaan lain yang bersifat
   primordial, harus ditolak. 90
   Lebih lanjut, John Rawls menegaskan bahwa program penegakan
   keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memerhatikan dua
   prinsip keadilan. Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama
   atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama
   bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan


90. Ibid.

   sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan
   yang bersifat timbal balik {reciprocal benefits) bagi setiap orang,
   baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun
   tidak beruntung. Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut
   diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga
   kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan,
   pendapatan, dan  otoritas diperuntukkan bagi keuntungan
   orang-orang yang  paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan
   sosial harus diperjuangkan untuk dua hal. Pertama, melakukan
   koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami
   kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial,
   ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan
   harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
   kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami
   kaum lemah. 91
    Keadilan dan kejujuran masih akan tetap menjadi nilai yang akan
diperjuangkan. Orang yang memiliki sikap yang adil dan memberikan
keadilan dianggap orang yang punya karakter baik dan  ia selalu
diidam-idamkan oleh banyak orang. Kejujuran dan keadilan dalam
melihat dan menilai sesuatu, yaitu memberikan hak-hak pada semua
orang sesuai dengan kebutuhan dan usahanya, merupakan sikap yang
layak dilakukan oleh siapa pun.


5. Caring (Peduli)
    Kepedulian adalah perekat masyarakat. Kepedulian  adalah sifat
yang membuat pelakunya merasakan apa yang dirasakan orang lain,
mengetahui bagaimana rasanya jadi orang lain, kadang ditunjukkan
dengan tindakan memberi atau terlibat dengan orang lain tersebut.

Ibid.

    Kepedulian menyamai kebaikhatian karena melihat penderitaan
dan perasaan berharap agar penderitaan orang lain berkurang.
Kebaikhatian {compassion, kindness) ini bukan hanya mendorong
tindakan memberi atau menyumbangkan sesuatu yang dibutuhkan atau
berguna bagi orang lain yang menderita—^yang sering disebut sebagai
"charity" (kedermawanan dengan memberikan benda)—melainkan
juga akan memunculkan tindakan melibatkan diri dan  terjun langsung
untuk melakukan tindakan {action).
    Istilah yang mirip dengan sifat peduli adalah  rasa solidaritas
{solidarity). Ia metupakan integrasi  atau  tingkat integrasi, yang
ditunjukkan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan orang lain.
Ia mengacu pada ikatan sosial. Dari mana rasa solidaritas itu muncul?
Tentu saja dari perasaan bahwa orang lain atau kelompok lain adalah
bagian dari kita dan ketika mereka merasa susah kita merasa harus
berbagi dengan mereka.
    Dalam hal ini, kepedulian dan solidaritas lahir dari pengetahuan
dan pemahaman kita tentang diri kita dan orang lain tersebut. Maxim
Gorky pernah mengatakan, "Hidup berarti sebuah  usaha untuk
pengetahuan, sebuah perjuangan  untuk menaklukkan kekuatan
misterius alam demi kehendak manusia. Semua manusia... harus
bahu-membahu  untuk perjuangan ini yang harus berpuncak pada
kemerdekaan dan kemenangan  akal—yang terkuat  dari seluruh
kekuatan dan satu-satunya kekuatan  di dunia yang bekerja secara
sadar. 92
    Ini artinya, satu-satunya cara untuk menciptakan kembali
solidaritas, kita  harus mengembalikan pengetahuan pada semua
manusia. Dalam buku Memahami Filsafat Cinta93 penulis tegaskan
bahwa hubungan pengetahuan dan cinta (solidaritas, kepedulian)

92. Maxim Gorky, Hikayat Dari Itali Qlo^3k3. n3;. Penguin Books, 2006), hlm. 61.
93. Nurani Soyomukti, Memahami Filsafat Cinta (Surabaya: Prestasi Pustaka, 2008).

sangatlah erat. Hanya dengan pengetahuan, solidaritas sejati akan
muncul. Pemikiran cinta sangat perlu sebab toughtlessness dalam
bertindak sama saja dengan kebodohan. Pencarian identitas eksistensial
berkaitan dengan pengetahuan. Seorang hanya akan "mengenal" sesuam
sejauh ia "mengasihinya" {res tantum cognoscitur quantum diligitur).
"Mengenal" di sini pertama-tama bukanlah aktivitas "mental pikiran"
karena kalau itu yang terjadi, hasilnya adalah "pengetahuan akal" (^ilni)
dalam wujud dan gagasan di otak semata. Cinta yang hanya di otak,
bidcan di hati, adalah berbahaya. Mengenal dalam pengertian "ma'rifat"
mengikutsertakan hati nurani, dan hasilnya adalah pengetahuan batin
yang akan mendorong kita melakukan tindakan yang bersumber dan
bermuara pada pertimbangan-pertimbangan suara hati. Arahnya pasti
pada apa saja yang baik dan mulia bagi manusia. Pengertian "pamrih"
tidak berlaku. 94  Inilah "mahaba" (cinta-kasih) yang pusatnya bukanlah
hawa nafsu si Ego, melainkan sang hati nurani. Keadilan menghendaki
perasaan manusia yang bisa menjadi hunian bagi cinta yang tidak
punya rumah.
     Erich Fromm adalah psikolog yang barangkali paling menyarankan
agar kita tak menjalani hubungan cinta dengan remeh, hubungan
yang baginya harus disandarkan pada kekuatan jiwa  yang dihiasi
dengan pengetahuan. Dalam pembukaan bukunya  The Art of Loving,
ia mengutip kata-kata pemikir zaman dulu untuk melihat hubungan
antara mencintai  dan mengetahui. Ia mengutip Paracelcus yang
mengatakan, "Siapa yang tak tahu apa pun, tak mencintai apa pun.
Siapa yang tak melakukan apa pun, tidak memahami apa pun.
Barangsiapa yang tak memahami apa pun, tidaklah berarti. Namun,
siapa yang memahami juga mencintai, memerhatikan, melihat...
Pengetahuan yang semakin luas terkandung dalam satu hal, semakin

94. Heru Prakosa, "Mahaba", dalam Basis, No. 07-08, Tahun ke-50, Juli-Agustus, 2001, him.
   65.

besarnya cinta... Siapa pun yang membayangkan bahwa semua buah
masak pada saat yang sama, tidak ada bedanya dengan stroberi yang
tak tahu apa pun tentang anggur. 95
    Dengan  pengetahuan, kita meraih Kebenaran dan Patokan.
Dengan patokan nilai-nilai itulah, kita bagaimana nasib orang lain
yang hidup bersama kita dalam kehidupan. Pengetahuan adalah
kekuatan, karenanya setiap upaya untuk menghilangkan solidaritas dan
cinta selalu beriring dengan upaya untuk membuat manusia-manusia
menjadi bodoh.
    Pengetahuan membuat  orang mampu meninggalkan
kesalahpahaman. Kekuatan pengetahuan terletak pada tersebarnya
pengetahuan bagi semua orang. Semakin banyak orang yang "pintar",
"sadar", dan memahami berbagai macam persoalan hidup baik secara
filsafati maupun teknis, semakin besar pula kemungkinan masyarakat
bangsa negara untuk maju. Setelah orang terbebaskan dari penindasan
dan semuanya mampu memenuhi kebutuhan mendasarnya, mereka
akan segera beranjak untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi,
yaitu kebutuhan estetik-autentik: berkarya demi  keindahan dan
keunikan masing-masing, bukan berkarya untuk dijual-belikan.
    Solidaritas lahir dari kerja dan keterlibatan. Apakah dengan tahu,
dengan serta  merta kita akan peduli atau solidet? Apakah dengan
pengetahuan akan dengan sendirinya akan membuat kita mau peduli,
berbagi, dan mau mengubah keadaan? Itu adalah pertanyaan filosofis
yang sangat penting dalam sejarah pemikiran dan sejarah perkembangan
masyarakat? Pertanyaan itu sebenarnya mudah untuk dijawab jika kita
mengamati perkembangan pengetahuan dan reputasi  orang-orang
yang dianggap berpengetahuan. Sekarang ini kita melihat fakta bahwa
tak sedikit orang yang pintar dan dianggap memiliki kapasitas untuk

95. Erich Fromm, The art of Loving: Memaknai Hakikat Cinta (Jakarta, Gramedia Pustaka
   Utama, 2005).

disebut kaum berpengetahuan—katakanlah "kaum intelektual". Coba
kita lihat, apakah mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap
perkembangan kemanusiaan yang kian mundur dan realitas yang
semakin membuat kebanyakan orang-orang sangat menderita?
    Pengetahuan saja tidak cukup. Tentu saja kita juga  masih
dihadapkan pada fakta: (1) intelektual tetaplah berjumlah sedikit
daripada orang awam dan mereka menikmati status elitis yang diikuti
dengan status ekonomi; dan (2) dengan lebih banyaknya—bahkan
semakin banyaknya—orang yang tetap  tak mampu menambah
pengetahuan, wawasan, dan kesadaran sejarah, sebenarnya keberadaan
intelektual yang elitis dan kebodohan masyarakat awam yang jumlahnya
semakin banyak menunjukkan adanya kondisi yang mendukung
berlangsungnya penindasan dan ketimpangan di masyarakat. Mereka
hanya tetap berteori dan kepeduHannya tak pernah diwujudkan dalam
bertindak dan terlibat  dalam gerakan untuk membela orang miskin.
Oleh karena itu, sangadah benar bahwa keberadaan intelektualitas tidak
menjamin munculnya solidaritas dan kepedulian yang dalam. Mungkin
mereka pandai berpikir dan bicara, tetapi tak punya perasaan dan rasa
kepedulian. Jadi, intelektual macam apa itu?  Sebagaimana dikatakan
Kommer dalam novel  Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta
Toer, "Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan
dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang
yang memang berjiwa  kriminal, biar pun dia sarjana. 96
    Kalau mau jujur, sekarang ini kaum intelektual hanyalah mereka
yang berada di belakang meja, yang fokus kegiatannya sekadar berbicara,
menulis, dan berpikir. Kalau toh ia menggerakkan tubuhnya, ia hanya
melakukan penelitian  (di lapangan). Artinya, posisi dan peran kaum
intelektual masihlah kolot dengan cirinya yang elitis dan maunya hanya

96 Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Jakarta: Lentera Dipantara, 2006), hlm. 390.

diistimewakan. Kita tahu bahwa feodalisme adalah musuh demokrasi
karena tatanan yang bertumpu pada filsafat feodal telah ditumbangkan
melalui berbagai macam revolusi demokratik di negara-negara Barat
tempo sejak 200 tahun yang lalu. Pandangan itu juga menunjukkan
adanya suatu indikasi bahwa cara pandang masyarakat kita belum
demoktatis—mendewakan elitisme dan konservatisme. Pandangan
itu harus dihancurkan dan dibutuhkan cara berpikir baru bahwa
intelektual bukanlah orang yang hanya berpikir, melainkan juga yang
bertindak.
     Dalam hal ini, kerja pengetahuan tak harus dipisahkan dengan
kerja konkret. Mengetahui juga harus bermakna bergerak dan bertindak
untuk mengubah keadaan yang tidak sesuai dengan ukuran-ukuran
yang dibuat berdasarkan analisis objektif Sejarah terpisahnya antara
kerja fisik dan kerja intelektual memunculkan elitisme bagi mereka
yang merasa memiliki ilmu pengetahuan lebih. Mereka merasa bahwa
ilmu pengetahuan, informasi, dan intelektualitas yang dimilikinya
terpisah dari relasi dialektis dalam hubungan kelas. Bahkan, mereka
membenci  kerja fisik, merasa eksklusif, bahkan butuh dihormati
karena monopoli intelektualitas itu. Mereka jijik pada orang lain yang
menghabiskan waktunya untuk kerja fisik. Allan Wood dalam bukunya
yang berjudul Reason and Revolt (1996) menemukan kecenderungan
yang menjijikkan di kalangan kaum "intelektual" seperti itu di masa
lalu. Mereka adalah  para pemonopoli pengetahuan  dan kalangan
kelas  eksklusif yang  begitu mengagung-agungkan kesempatannya
dalam mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi serta kekayaan
matertial. Aristokrasi intelektual  itu bahkan secara terang-terangan
mengungkapkan kejijikan mereka akan kerja-kerja fisik. Kutipan
berikut berasal dari teks Mesir yang dikenal sebagai  The Satire on the
Traders, yang ditulis sekitar tahun 2000  SM dan  diperkirakan berisi

nasihat dari seorang ayah kepada anaknya, yang ia kirim ke Sekolah
Menulis untuk berlatih menjadi seorang juru tulis:
      "Saya telah melihat bagaimana seorang  pekerja kasar disuruh
      untuk bekerja kasar—kamu harus mengeraskan hati kamu dalam
      mempelajari tulisan...
      Dan saya telah mengamati bagaimana seseorang dapat menghindari
      pekerjaannya. Lihatlah, tidak sesuatu pun yang dapat melebihi
      tulisan....
      Saya telah melihat bagaimana seorang pandai besi bekerja di depan
      mulut tungku apinya. Jari-jarinya menjadi mirip jari-jari buaya;
      batu tubuhnya melebihi bau seekor ikan busuk....
      Seorang-kuli pembangun rumah mengusung lumpur.... Ia lebih
      kotor dari seorang gelandangan atau babi karena ia mengarungi
      lumpur. Bajunya kaku karena dilumuri tanah liat.... "97
     Bukankah jika mereka jijik pada orang lain (orang miskin yang
dianggap kotor), berarti mereka bukan hanya tak mau mendekatinya,
melainkan juga tak mau peduli? Kepedulian hanya diwakili  hanya
dengan menyumbangkan sejumlah uang lewat lembaga amal meski
sumbangan itu tidak jelas arahnya juga. Hal yang mengkhawatirkan:
jangan-jangan kebencian pada kerja fisik ini terjadi dalam alam bawah
sadar kaum intelektual dan pemegang informasi yang tidak menyadari
bahwa posisinya disangga oleh kerja-kerja fisik rakyat yang menyediakan
banyak hal, memenuhi kebutuhan-kebutuhan materialnya dalam relasi
eksploitatif pada  struktur kelas. Kalau itu terjadi, intelektual tentu
akan selalu menjadi kekuatan anti-demokrasi. Sayangnya, kebanyakan
kaum intelektual di era ini berasal dari kelas menengah dan bukan kelas
penguasa dari keluarga raja-raja seperti zaman feodal.



97. Allan Wood, Reason and Revolt (Yogyakarta: IRE Press, 2006).

    Mereka kini berasal dari kelas menengah yang menjadi penyangga
struktur sosial yang ada. Posisi kelas ini di satu sisi dapat terseret pada
kepentingan kekuasaan, di sisi lain dapat terseret pada kepentingan
rakyat miskin  yang sedang ditindas. Dalam kaitannya dengan
kondisi ini, seorang pemikir Italia Antonio Gramsci membedakan
dua jenis intelektual. Pertama, intelektual organis yang berarti kaum
intelektual yang  merespons dan mengalami keterlibatan dalam
kebutuhan-kebutuhan kelas progresif yang baru. Mereka  berupaya
mengorganisasikan tatanan sosial yang baru.
    Kedua, intelektual  tradisional yang  memiliki arti sebagai
kelompok intelektual yang memiliki kebiasaan untuk kembali pada
periode sejarah sebelumnya. Mereka menganggap diri sebagai  kelas atau
komunitas yang terpisah dari masyarakat. Mereka hanya menuliskan
kondisi rakyat dan mendiskusikannya untuk kepuasan individual,
sekadar menjalani aktivitas akademik atau untuk menghasilkan uang.
Mereka tidak mau menggugah kesadaran dan membangkitkan gerakan
untuk mengontrol dan melawan penyimpangan. Mereka tidak berperan
sama sekali untuk perubahan realitas material. Mereka hanya berpuas
diri dengan  meneliti, menulis, berbicara di ruang mewah. Mereka
hal itu lebih berguna dari pada terjun langsung ke basis masyarakat,
membuat gerakan, dan berjejaring dengan kelompok lainnya untuk
mengonkretkan gagasan-gagasan  perubahan. Kemustahilan peran
peran intelektual tradisional terhadap demokrasi yang didasarkan pada
partisipasi aktif dan kesadaran maju  tersebut disinggung oleh Widji
Thukul dalam puisinya:
      "... dunia bergerak bukan karena omongan
     para pembicara dalam ruang seminar
     yang ucapannya dimuat
      di halaman surat kabar
      Mungkin pembaca terkagum-kagum

     tapi dunia tak bergerak
     setelah surat kabar itu dilipat.
    Kata-kata saja ternyata tidak cukup untuk melakukan perubahan.
Pidato-pidato dan ulasan-ulasan para pengamat tentang masalah yang
ada di masyarakat juga hanya akan menguap sebatas wacana jika tanpa
diiringi dengan tindakan dan aksi kolektif yang konkret. Gerak dan
perubahan akan terjadi jika ada  aksi yang menggerakkan kekuatan
perubahan. Dalam hal ini, kepedulian seharusnya diwujudkan
dalam gerakan, bukan dengan hanya mengatakan, "Saya kasihan atas
kondisi ini"; "OK, saya ikut peduli!"; atau "Baiklah, mari kita doakan
agar kondisi tanah air dan nasib rakyat berubah. Lebih baik jangan
melakukan aksi-aksi  yang mengganggu ketertiban dan keamanan.
Serahkan pada Tuhan agar para pemimpin kita mampu mengatasi
kesulitan ini. " Ternyata, justru karena para pemimpin itulah kondisi
rakyat sengsara dan  negara rusak. Sayangnya, doa  atau perasaan
kasihan justru tak akan menghasilkan  perubahan apa-apa karena
yang dibutuhkan adalah aksi dan gerakan. Doa dan harapan saja tidak
cukup, yang dibutuhkan adalah menekan dan kadang juga memaksa
dengan gerakan agar  sikap yang  kita tekan berubah, agar gerak dan
arah kebijakan tidak  sama, tetapi berani mengambil jalan alternatif
dengan keberanian.
    Ketidakpedulian ternyata dihilangkan oleh sistem yang
membentuk karakter manusia. Ideologi individualisme dan liberalisme
merongrong sifat peduli manusia yang seharusnya jadi makhluk sosial.
Lihatlah, guru tidak bisa mengajar dengan penuh komitmen dan penuh
kepedulian pada anak didiknya karena mereka sibuk untuk mengurusi
urusan keluarga sendiri, mengajar hanya untuk mendapatkan gaji dan



98. Wijdi Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru (Yogyakarta: Jalasutra, 2001).

bayaran semata. Para pemimpin sibuk dengan urusan pribadi dan
urusan kelompoknya. Kepedulian pada rakyatnya tidak ada.
    Bahkan, Anda tahu yang disebut sebagai "wakil rakyat", justru
anti-rakyat. Mereka memakai cara pandang dan membangun karakter
"anti-massa", melihat massa semata hanya kumpulan orang yang hanya
dipertimbangkan saat pencoblosan dan caranya dengan caranya dengan
membeli (menyogok dengan uang Rp 10-25  ribu agar memilihnya
atau datang ke kampanyenya). Di luar itu mereka justru takut dengan
massa, apalagi massa terdidik dan massa sadar.
    Celakanya, bukannya memberikan rasa solidaritas pada massa
yang sedang tertindas dan termiskinkan. Celakanya lagi, masih ada saja
pernyataan bodoh dari banyak kalangan, bahkan kalangan pengamat
atau intelektual. Mereka mengatakan, "Salahnya sendiri, kenapa rakyat
mau disogok dan dikasih uang saat pemilu. Rakyat juga yang kadang
cari-cari, nggak mau milih kalau gak ada uang, jadinya bukan salah
politisi saja, tetapi juga rakyat yang salah. " Ungkapan ini memang mirip
ungkapan para politisi sendiri, "Lob, kan bukan salah saya, tapi salah
rakyat. Kalau mereka gak membuat kami mengeluarkan banyak uang,
tentu  kami gak akan mencari-cari uang dengan posisi dan kekuasaan
kami. "
    Kita harus memahami bahwa tidak ada ungkapan yang tidak
mencerminkan kepentingan. Kok rakyat yang disalahkan? Rakyat
lagi yang jadi kambing hitam. Rakyat lagi yang dianggap salah atas
kondisinya, tetapi sebab-sebab kondisi itu muncul justru tak ada yang
mempertanyakan, terutama kaum intelektual atau "sok intelektual"
itu yang dalam hal ini analisisnya terlalu cupet dan simplistis dalam
melihat persoalan.
    Suatu kejadian tanpa sebab-sebab nyata memanglah suatu
bentuk ketololan. Dengan menyederhanakan persoalan atau membuat
persoalan yang mudah, tetapi seolah dibuat rumit, adalah salah satu

bentuk muslihat kaum intelektual yang mentalnya tak lebih dari
politisi atau pedagang. Bagaimana mungkin rakyat yang keadaannya
sudah susah dan selalu jadi korban dianggap salah dan malah dianggap
penyebab kesalahan? Ini tentu pikiran yang senewen, tidak waras,
bahkan justru merelatifkan dan merumitkan persoalan yang sebenarnya
mudah dipahami.
    Nasib rakyat, kondisi mental, dan pengetahuan rakyat, atau apa
pun situasi yang ada pada diri mereka, termasuk mental pengemis,
malas, dan peminta-minta atau penyakit ketergantungan yang ada pada
mereka merupakan sebab situasi ekonomi terjajah akibat sistem yang
kapitalistik yang awalnya berwujud dalam kolonialisme (penjajahan).
Kalau itu bertahan, tentu pasti ada sebabnya, terutama karena
dimanfaatkan oleh para  pemilik modal agar tetap tergantung pada
sogokan kecil untuk mendapatkan penindasan yang lebih besar. Dalam
praktik politik, munculnya politik uang dan politik elektoral—yang
bersaing dengan memberikan uang atau sogokan material pada rakyat
(entah uang Rp 10, 20, hingga 50 ribu, mi instan, kaus bergambar
partai atau calon bupati dan wakil bupati menjelang momentum
politik elektoral, bangunan  material seperti jalan, jembatan, atau
masjid di sekitar tempat tinggal  rakyat, atau yang masih berupa
janji-janji material)—tidak bisa ditimpakan kesalahan pada rakyat.
Awalnya, yang memulai  adalah politisi  atau kompetitor politik yang
ingin menang dengan memberikan sogokan material. Pada akhirnya,
karena terbiasa dan gejalanya meluas, rakyat memang melihat bahwa
tindakan menyogok itu bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan suatu
materi yang instan (uang, kaus, beras, supermi, atau bantuan material
lainnya).
     Hal ini karena rakyat tidak tahu bahwa politik itu bisa menjawab
kebutuhan mereka dalam jangka panjang. Rakyat hanya tahu bahwa
politik itu untuk orang yang memiliki uang dan mereka tidak merasa

sebagai subjek perubahan, tetapi hanya kalangan yang ikut-ikutan.
Ini adalah mental yang dimanfaatkan oleh setiap kompetitor menuju
kekuasaan  saat mereka membutuhkan suara dalam persaingan
elektoralnya. Mental ini juga dibentuk karena kondisi penjajahan 350
tahun Belanda; 3, 5 tahun era Jepang; dan 65 tahun pemerintahan Orde
lama dan Orde Baru. Budaya demokrasi tidak terjadi justru karena
kalangan intelektual dan politisi berusaha memanfaatkan situasi rakyat
tersebut—baik sadar atau tidak. Rakyat hanya diambil keringat dan
darahnya dari kerja kerasnya, dari pajak yang dibayarnya pada negara,
untuk membiayai berbagai proyek politik yang membuat para politisi,
orang kaya, dan kaum intelektual gadungan untuk mendapatkan uang
dari proyek-proyek politik yang juga dilegitimasi dengan teori-teori,
penelitian-penelitian, komentar-komentar, serta tulisan-tulisan dan
opini  yang mendatangkan uang.
    Lalu, dengan lancangnya mereka mengatakan bahwa ini karena
salah rakyat. Mungkin mereka mau mengatakan ungkapan yang lebih
menyakitkan, "Salahnya sendiri rakyat mau ditindas, salahnya sendiri
rakyat bodoh, dasar pecundang!"
    Situasi busuk  dalam politik kita disebabkan salah rakyat,
benar-benar tersangkalkan ketika politik uang dan budaya "mau
disogok" atau "minta disogok" saat pemilu di kalangan rakyat
sebenarnya adalah penyakit menular. Kalau yang harus disalahkan
adalah sumber penyakit atau yang menularkan penyakit, sumbernya
adalah kelas menengah dan kelas atas, para pejabat, politisi, dan
saudagar yang melakukan tindakan-tindakan mencuri uang negara
melalui gejala (patologi) yang sangat kita kenal hingga saat ini: korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Penyakit KKN inilah yang sangat semarak di era
Orde  Baru, tetapi juga sudah terjadi sejak zaman penjajahan, budaya
menilep, menjilat, kongkalikong, dan lain-lain adalah karakter utama

kelas menengah, pegawai (abstenaar), dan perselingkuhan dengan orang
kaya (pengusaha/pedagang) di luar negara (pemerintahan).
    Jadi, rakyat hanya ditulari saja, bukan penyebab penyakit. Rakyat
tidak berhak atau tidak wajib disalahkan. Justru, pada kalianlah
kaum "sok intelektual" yang kecerdasan dan keberaniannya hanya
setengah-setengah, "sok" membela rakyat, tetapi malah menelikung
tian mengeksploitasi gerakan rakyat! Kalianlah penyebab kerusakan
mental rakyat yang kalian salahkan itu wahai para politisi, pejabat, atau
kalian orang miskin yang justru mengkhianati rakyat dengan bersekutu
dengan para penipu rakyat.

6. Trustworthiness (Kepercayaan)
    Sikap anti-massa di atas juga berkaitan dengan hilangnya
karakter percaya pada orang lain. Kepercayaan hilang, jadinya adalah
individualisme, saling mengkhianati, ingkar janji, dan mengibuli.
Kebiasaan yang membuat orang tak bisa dipercaya, orang yang tidak
jujur, dan orang yang ddak setia.
    Kepercayaan menyangkut beberapa elemen karakter, antara lain
sebagai berikut.
   Integritas {integrity). Integritas merupakan kepribadian dan sifat
   yang menyatukan antara apa yang diucapkan dan dilakukan.
   Integritas berarti keseluruhan {wholeness), bisa diprediksi, konsisten
   dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan, tidak "berwajah
   ganda".
   Menurut Kamus Bahasa Indonesia karya Purwadarminta, integritas
   adalah konsep untuk menggambarkan situasi kesempurnaan,
   kesatuan, keterpaduan, dan ketulusan. Semua arti  kata itu  tepat
   sekali mendukung pembentukan sosok pribadi manusia sesuai

   yang diharapkan, yaitu manusia yang "paripurna" atau secara
   sederhananya ialah manusia yang penuh dengan "kemuliaan".
   Kata integritas berasal dari bahasa Latin integer yang artinya
   menyeluruh, lengkap {whole, complete). Dalam hal ini, integritas
   merupakan perasaan dalam diri yang melibatkan keseluruhan seperti
   kejujuran dan konsistensi karakter. Jadi, integritas merupakan
   konsep yang menjelaskan bagaimana konsistensi tindakan, nilai,
   harapan, dan hasil-hasilnya yang dapat dilihat. Integritas bisa
   dianggap kebalikan dari kemunafikan.
-  Kejujuran {honesty): apa yang dikatakan adalah benar sesuai
   kenyataannya. Orang yang jujur adalah orang yang bisa dipercaya,
   tidak bohong, dan tidak munafik.
   Menepati janji {promise keeping: apa yang pernah dikatakan untuk
   dilakukan, benar-benar akan dilakukan.
   Kesetiaan {loyalty): sikap yang menjaga hubungan  dengan
   tindakan-tindakan untuk menunjukkan baiknya hubungan, bukan
   hanya memberi, melainkan juga menerima hal-hal positif untuk
   terjalinnya hubungan. Kesetiaan  bukanlah  tindakan patuh dan
   tunduk saja, melainkan juga tindakan melakukan sesuatu karena ia
   ikut mendapatkan sesuatu yang membuatnya untung dan tumbuh
   kepribadiannya. Kesetiaan buta kadang merupakan sikap yang
   menunjukkan karakter ketergantungan. Dia memaksakan diri
   untuk setia dan percaya, tetapi ia tak peduli apakah pasangannya
   bisa dipercaya atau tidak, kadang ia tak perlu tahu selama ia masih
   bisa menjalin hubungan dengannya.
    Kepercayaan mahal harganya saat ini. Sebagai pilar karakter
manusia, kepercayaan yang semakin hilang juga ikut membentuk
karakter manusia. Ketika kepercayaan hilang, orang akan berinteraksi
dengan kebohongan. Biasanya, kebohongan muncul dan terbangun

sedikit demi sedikit, dan ketika dipelihara, hal itu membentuk karakter.
Ketika kebohongan ini dominan dalam suatu relasi. Karena yang terbiasa
dibohongi akan membalas dengan kebohongan pula, kebohongan telah
melembaga dalam hubungan, mulai dari hubungan antara dua orang
hingga hubungan yang melembaga dalam masyarakat.
     Hubungan yang hanya diikat oleh ketidakpercayaan adalah palsu.
Dalam hubungan palsu, yang langgeng adalah interaksi dangkal yang
dilakukan oleh manusia yang memanipulasi dirinya dalam hubungan.
Ketika orang telah  mulai hidup di bawah lembaga atau sistem yang
dikendalikan kebohongan, masyarakat ten^elam dalam lautan kepalsuan
dan manipulasi yang efeknya pada karakter amatlah tiada tara.
     Anda tahu ketika Anda terpaksa berhubungan dengan orang yang
rak serius dengan Anda alias berhubungan  dengan Anda atas dasar
manipulasi, Anda pun tak serius berhubungan dengannya. Hubungan
itu memang berjalan, tetapi maknanya sangat dangkal. Manipulasi
terjadi karena manusia cenderung menggantikan kualitas dirinya
dengan sesuatu yang berada di luar dirinya. Ia  tak percaya dengan
dirinya, tetapi percaya dengan suatu di luar dirinya. Ia memandang
orang lain bukan karena diri orang lain yang paling autentik, melainkan
sesuatu di luar diri autentik dari orang lain itu.
     Ketika seorang mewakilkan kepercayaan dan kualitas keseriusan
dengan suatu patokan tertentu dalam menjalin hubungan, kepercayaan
juga tergantung pada suatu di luar diri itu. Ketika seorang perempuan
memilih untuk  hanya mau menjalin  hubungan dengan laki-laki
yang punya  rumah dan mobil, ia menggantikan kualitas keseriusan
hubungan dengan patokan kepemilikan mobil dan rumah. Ia hanya
bisa percaya bahwa laki-laki yang bisa diajak hubungan dengan baik
adalah yang  memiliki rumah dan mobil.
     Ketika seorang pelacur ingin menjalin hubungan (seks) singkat,
syarat bahwa ia mau berhubungan adalah ketika ia yakin bahwa

laki-laki yang datang padanya bisa memberinya uang sebagai upah.
Tujuan utama adalah upah, toh ia tak perlu mengenal siapakah laki-laki
itu, pejabat atau orang rendahan, orang baik atau orang jahat, kiai
atau maling. Ia tak ada waktu untuk mendalami hubungan dengan
bertanya-tanya lebih jauh untuk menggali bagaimana karakter dan
kepribadian laki-laki yang ingin mendapatkan kepuasan seks dan
menumpahkan nafsunya. Mungkin agar diberi uang tambahan, ia
akan memanipulasi dirinya untuk sok romantis dan merayu dengan
kata-kata seakan ia adalah perempuan yang mencintainya. Akan tetapi,
cinta sesaat memang dibuat hanya untuk mendapatkan upah. Kata Jean
Marais dalam novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer,
"Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya
persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu dalam seni namanya
pelacuran?"99
     Ketidakpercayaan pada orang lain sebenarnya juga berakar pada
ketidakpercayaan pada diri sendiri, atau berakar pada kehilangan jad diri
yang autentik yang membuatnya memandang orang lain dan dunia di
luar dirinya. Ketika Anda melihat dunia begitu jahatnya dan kebenaran
atau prinsip sering dilecehkan (setidaknya menurut pengamalan Anda),
Anda biasanya akan  mengambil sikap pada diri dengan mengatakan,
"Tak akan ada gunanya aku mempertahankan kebenaran, toh  tidak
bisa digunakan untuk hidup. " Anda akan memandang bahwa kejaliatan
dan keacuhan pada prinsip kebenaran merupakan hal yang biasa dan
Anda harus berinteraksi dengan orang lain dengan mengambil  sikap
anti-kebenaran dan anti-prinsip.
     Maka, karakter Anda pun akan hilang. Kepribadian Anda
yang paling autentik akan lenyap. Anda memang merasa ada karena
perasaan Anda berbaur  dengan situasi objektif yang melarutkan

99.: Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa (Jakarta; Lentera Dipantara, 2006), hlm. 59.

eksistensi diri Anda. Akan tetapi, kata Pangemanann dalam roman
Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, "Seorang tanpa prinsip
adalah sehina-hina orang manusia setengik-tengiknya. "100 Kalau kita
berpikiran waras, kita tahu bahwa orang yang berkarakter itu adalah
orang yang memiliki prinsip, yang memiliki kepribadian tertentu yang
kuat, yang mencirikan dirinya yang berbeda dengan orang lain, yang
tak hanya ikut-ikutan.
    Kepribadian dan  karakter adalah kekuatan seseorang yang bisa
membuatnya unik sekaligus membuatnya eksis secara autentik dalam
kehidupan. Sekali lagi Pangemanann mengatakan, "Orang bilang ada
kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada
samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang taliu benar akan
tujuan hidupnya. "101
    Nah, jika semua orang itu sama dan semua terserap pada budaya
massa yang membuatnya ikut-ikutan, dan tidak terserap dalam
kepribadian yang lahir dari dalam diri yang dibentuk oleh prinsip dan
kepercayaan pada nilai, jadilah masyarakat yang tercerabut dari jati diri
kemanusiaannya. Dari sinilah kita akan melihat suatu zaman centang
perenang, ketika orang tak lagi percaya dan peduli, segala sesuatu
dianggap panggung hiburan yang dangkal, realitas berlebihan yang
mengatasi realitas, kepercayaan pada citra {image) daripada kenyataan.
Jika hal itu terus terjadi, alamat buruk bagi sebuah masyarakat, akan
meluncur ke jurang hitam kebohongan kemanusiaan. Mungkin sebuah
bangsa  yang  selaiknya punya jati  diri akan hilang ditelan sejarah
dominasi dunia imagologi itu.

1 komentar:

  1. walau sulit...tetep harus memberikan pemahaman dan latihan untuk semua pilar itu ke generasi muda, anak usia dini dan semuanya

    BalasHapus