"Jika Anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka jawabannya
sederhana: Pendidikan membuat orang menjadi lebih baik dan orang baik tentu berperilaku mulia. " (Plato, 428-347 SM).
Kutipan filsuf Yunani di atas merupakan pandangan yang sangat idealis
yang menganggap bahwa manusia dibentuk oleh dunia ide dan cita-cita,
bukan oleh situasi sosial yang nyata (konkret dan material). Pandangan
semacam itu masih memiliki pengikutnya sekarang, bahwa pendidikan
masih dipandang sebagai cara untuk membuat manusia menjadi lebih
baik, bijak, dan pendidikan menghasilkan manusia-manusia yang
mendukung berjalannya masyarakat yang ideal.
Namun, tampaknya tetap ada sebagian orang yang merasa
tak puas terhadap dunia pendidikan, baik akses, proses, maupun
hasilnya. Mereka ada yang berkesimpulan bahwa orang-orang yang
berwatak tidak baik justru banyak yang lahir dari pendidikan. Bahkan,
pandangan itu memunculkan pandangan pesimis terhadap sekolah,
pendidikan yang terlembagakan. Ivan Illich, misalnya, adalah pemikir
Iiumanis radikal yang dalam bukunya Deschooling Society (Masyarakat
Tanpa Sekolah) menolak sekolah formal yang menurutnya memasung
kebebasan dan perkembangan manusia. Sekolah dianggapnya sama
sekali tak memadai bagi perkembangan anak-anak dan kaum muda. 1
Illich tidak sendirian. Orang yang berpikir bebas dan sehat
tentunya dapat melihat bahwa ada yang tidak masuk akal dari
bagaimana sekolah dipandang sebagai penyelamat anak-anak muda.
Mereka sering mengejek keberadaan sekolah, yang dianggapnya ingin
jadi satu-satunya malaikat yang ingin membentuk generasi bangsa dan
ingin menyelamatkan anak-anak muda dari ancaman dari kejahatan-
kejahatan moral.
Para pengkritik yang ketus dengan keberadaan sekolah ini awalnya
melihat model aturan-aturan yang mendoktrin dan memasung, melihat
proses "cuci otak" yang tak lepas dari kepentingan besar di balik sekolah,
melihat adanya gelagat kurikulum tersembunyi yang jahat. Kemudian,
mereka juga melihat ulah para pendidik yang mulai keterlaluan, yang
dalam tingkat tertentu justru bersifat anti-kemanusiaan. Pendidik
(guru) ternyata bukanlah manusia yang sempurna dan sekolah
tampaknya perlu dipertanyakan. Bahkan, seorang sastrawan besar
negeri nusantara, Pramoedya Ananta Toer, pernah mengatakan dengan
nada kasar, "Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah.
Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang
sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi
kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya."2
"Seorang guru yang baik bisa melahirkan bandit sejahat-jahatnya"
merupakan kalimat yang menyakitkan. Akan tetapi, di sinilah kita
harus berpikir realis, menerima kenyataan secara benar meskipun
itu menyakitkan, tidak semata berilusi dengan ide-ide bahwa kita
masih baik dan tak ada masalah. Berpikir realis tentang pendidikan
1. Ivan Illich, Bebas dari Sekolah, (Jakarta: Sinar Harapan-Yayasan Obor Indonesia, 1982).
2. Pramoedya Anantra Toer, Jejak Langkah, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2006), hlm. 291.
dan masyarakat kita, berbeda dengan berpikir idealis, akan membuat
kita melihat masalah-masalah nyata yang ada yang memang banyak
sekali terdapat penyimpangan-penyimpangan dan justru jauh dari
patokan-patokan keberhasilan.
Kita tak perlu menutup-nutupi realitas (kenyataan) yang ada, tak
perlu bermain pada wilayah citra (imagologi). Pendidikan memang
bercita-cita mulia yang harus dihormati, termasuk menghormati
lembaga dan para aktor-aktornya (termasuk para guru). Bagi orang
yang tak mau berpikir realis dan jujur, kutipan kata-kata Pramoedya
Ananta Toer itu memang terkesan melecehkan dunia pendidikan dan
kemegahan posisi guru. Namun, kalau kita mau menempatkannya
sebagai kritik terhadap pendidik(an), kata-kata itu seharusnya justru
bisa digunakan bukan hanya untuk evaluasi diri, melainkan juga untuk
melihat kenyataan yang benar-benar terjadi.
Apa yang salah dari pernyataan bahwa guru-guru yang baik bisa
melahirkan para bandit sejahat-jahatnya? Bukankah para manusia yang
paling jahat dalam sejarah kehidupan ini juga lahir dari guru-guru yang
bisa jadi baik hati dan perhatian. Katakanlah Soeharto yang pernah
membantai ratusan ribu orang Kiri dan yang dituduh Kiri, Hitler,
Polpot, Stalin, Westerling, dan para pembunuh, baik rakyatnya atau
yang dianggapnya musuh, bukankah mereka juga punya guru-guru
yang baik?
Penulis kurang tahu persis bagaimana sejarah kehidupan mereka.
Kemungkinan banyak guru yang baik meskipun "baik" dalam
pengertian yang sangat normatif, dan ada sedikit guru yang sangat
jahat (guru yang terkenal malas mengajar dan menganggap siswanya
musuh, guru yang bermasalah dengan dirinya sendiri dan kemudian
menjengkelkan ketika mengajar, guru yang mencabuli muridnya, guru
yang hanya mementingkan gaji, dan lain-lain). Selalu saja ada guru
yang terbaik, yang dengan penampilan dan pengabdiannya mampu
menginspirasi murid-murid sehingga mereka benar-benar bisa tumbuh
menjadi manusia yang mengarah pada kebaikan karakter, kecerdasan,
dan akhirnya bisa berperan besar dalam sejarah manusia—berguna
bagi orang lain dan tampil sebagai penolong banyak orang. Guru yang
baik adalah yang tidak mementingkan diri sendiri. Setidaknya, seperti
dikatakan Albert Einstein, "Penghinaan dan penindasan mental oleh
guru-guru yang tak mau peduli dan mementingkan diri sendiri akan
membawa kehancuran bagi benak kaum muda yang tak mungkin bisa
diperbaiki dan sering menimbulkan pengaruh yang merugikan dalam
kehidupannya nanti. "3
Tidak ada kritik yang tidak didasari oleh ketidakpuasan atas kondisi
yang ada dan keinginan untuk mengubah agar yang tidak memuaskan
itu menjadi sesuatu yang lebih baik. Orang yang tak mau dikritik
adalah orang yang bebal, yang tidak menerima hal baru dan ingin tetap
bertahan karena kondisinya yang buruk memuaskan dirinya—tetapi
tidak memuaskan bagi yang lain (baik yang mengkritik atau yang
menjadi korban kondisi yang ada tersebut). Dalam pengertian ini,
kesalahan-kesalahan yang dilakukan dan penyimpangan-penyimpangan
yang ada, biasanya akan ditutup-tutupi dan disembunyikan, jangan
sampai orang lain mengetahuinya. Kebiasaan semacam itu adalah
karakter orang yang tak ingin maju dan ingin mempertahankan
kebiasaan buruknya.
Ada kejadian menggelikan ketika seorang kepala Dinas Pendidikan
didemo wartawan karena menginstruksikan pada para kepala sekolah
dan guru-guru untuk tidak berkomentar pada wartawan. Menurut
penulis, fenomena itu terjadi karena bukan hanya kepala dinas
pendidikan yang salah: reaksi mereka memang dipicu oleh para oknum
"wartawan" (biasanya wartawan gadungan) yang sering mendatangi
3. Alice Calaprice, Einstein Juga Manusia: Kumpulan Pendapat Einstein tentang Segala Hal,
Jakarta: Gramedia, 2006), hlm. 124.
sekolah-sekolah dan berusaha menakut-takuti bahwa penyimpangan
yang ada akan dimuat di korannya. Jujur, memang kebanyakan sekolah
dan dinas banyak terdapat penyimpangan, dan ini jadi lahan empuk
bagi para oknum wartawan yang gemar mencari berita penyimpangan
yang tujuannya menakut-nakuti dan kemudian harapannya agar pihak
yang terkait memberi mereka sejumlah uang—agar penyimpangan
tak dimuat.
Namun, para pencari berita juga tidak salah jika mencoba
menguak adanya penyimpangan, yang salah adalah ketika mereka
menggunakannya untuk mencari uang sesaat dan tak ada maksud
untuk menyelesaikan kasus penyimpangan. Menurut penulis, tindakan
kepala dinas yang "memaksa" bawahannya (terutama para kepala
sekolah) untuk tidak berkomentar itu juga merupakan tindakan
yang keterlaluan. Lucunya, seakan kepala sekolah adalah bawahan
kepala dinas yang harus patuh dan mematuhi apa saja perintahnya.
Juga, sangat lucu jika masih ada pola hubungan yang sifatnya sistem
komando seperti organisasi militer. Padahal, pendidikan harus
menerima nilai-nilai yang demokratis, itulah sebabnya sekolah menjadi
basis tertinggi bagi pengelolaan sekolahnya sendiri—di sini komite
sekolah adalah suara tertinggi untuk membawa ke arah mana sekolahan
akan melaju untuk memajukan lembaga dan para anggotanya.
Perlu diingat bahwa sekarang sudah eranya transparansi dan
keterbukaan, terutama karena ditegaskan oleh UU Nomor 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang telah dilaksanakan
sejak tahun 2010 lalu. Keterbukaan informasi publik bermakna bahwa
proses reformasi birokrasi dan/atau tata pemerintahan yang baik, perlu
diawasi secara berkesinambungan oleh masyarakat, dan masyarakat
pun dapat berpartisipasi secara optimal, khususnya dalam kegiatan
perencanaan, penyusunan, pengesahan, dan pengawasan pelaksanaan
APBD. UU Keterbukaan Informasi Publik memberikan legalitas asas-asas
transparansi birokrasi yang mencakup di dalamnya hak-hak masyarakat
untuk mengontrol dan mengakses APBD dan kinerja birokrasi, badan
publik, serta pejabat-pejabat publik. APBD pro-rakyat tidak akan berjalan
efektif jika mekanisme kontrol publik tidak ada.
Dalam konteks pengelolaan pendidikan, UU KIP juga harus
membuat sekolah menjadi lembaga publik yang tak boleh ada hal-hal
yang ditutupi, yang prosesnya harus dilakukan secara demokratis
dan terbuka dalam rangka untuk mengarahkan pengelolaannya.
Sekolah tidak boleh menutup diri dari usulan masyarakat, terutama
masyarakat sekitarnya dan juga masyarakat yang punya kepentingan
terhadap kemajuan pendidikan. Anggaran pendidikan sejak awal
harus dikontrol rakyat, dewan perwakilan dan eksekutif menentukan
anggaran dan distribusinya berdasarkan apa yang diketahui oleh rakyat,
mempertimbangkan masukan-masukan rakyat. Perlakuan pendidik
terhadap anak didik juga wajib diketahui oleh masyarakat.
Dengan prinsip semacam itu, diharapkan lembaga pendidikan
akan berjalan sesuai dengan keinginan masyarakat. Namun sejauh
ini, sejak cita-cita keterbukaan mulai muncul, apakah pendidikan kita
telah berjalan terbuka dan transparan? Apakah telah muncul kritik dan
masukan yang mampu membuat pendidikan berbenah diri?
Tampaknya belum sama sekali. Jika dikatakan pendidikan kian
"bobrok"—atau oleh Pak Prof Dharmaningtyas (pengamat pendidikan)
disebut sebagai "rusak-rusakan"—dan melahirkan kebobrokan karakter
bangsa, itu kedengarannya sangat menyakitkan. But this is happening!
Demikianlah yang terjadi.
A. Terjadinya Kebobrokan Pendidikan
Kalau penulis disuruh menceritakan apa saja kebobrokan yang ada
di dunia pendidikan, tentu banyak yang akan penulis tulis. Penulis
dapat menceritakan guru-guru yang menjengkelkan dan matre, kasar,
mengajar tak enak, otoriter, dan lain-lain. Guru-guru semacam itu di
antaranya adalah yang membuat penulis ketakutan pada saat sekolah.
Guru-guru yang saat ngajar ilmu sosial bicaranya tak fokus dan hanya
memamerkan kesuksesan keluarganya; guru-guru perempuan yang
penampilannya sok cantik dan dandanannya terlalu menor, tetapi
membuat penulis dan teman-teman tidak menyukai pelajaran yang
disampaikannya. Juga, reaksi yang sering muncul dari penulis kadang
juga kalap. Di sekolah SD, penulis pernah melempar seorang guru
dengan penghapus kemudian lari pulang, sampai di rumah, penulis tak
enak makan dan mengurung diri di dalam kamar yang membuat ibu
penulis bertanya ada apa. Kemudian, keesokan harinya penulis malu
pergi ke sekolah. Banyak cerita lainnya yang penulis alami dan dialami
oleh teman-teman penulis dan orang-orang yang sering penulis ajak
ngobrol tentang pendidikan.
Intinya bahwa ternyata membangun karakter itu harus diiringi
dengan karakter yang memberi contoh. Karakter guru yang jelek
sering melahirkan murid-murid yang kehilangan karakter. Suatu
contoh nyata adalah karakter mengajar guru yang membosankan
bisa membuat kita tidak menyukai pelajaran yang disampaikannya.
Seorang teman yang sudah lulus kuliah sarjana dan harus melanjutkan
S2 di luar negeri memaki-maki dirinya dan mengatakan pada penulis
atas kemampuan berbahasa Inggrisnya yang jelek, "Coba, kalau dulu
bahasa Inggris kitagak diajar Bu...... (menyebut nama). Pasti aku gak
kayak gini". Ketidaksukaan pada bahasa Inggris bukan karena semata
pelajarannya sulit, melainkan guru yang menyampaikan sulit dipahami,
apalagi ditambah karakter guru tersebut yang tidak memicu karakter
keingintahuan terhadap pelajaran tersebut, tetapi malah membuatnya
putus asa dan lari menghindar pelajaran yang dianggapnya sulit dengan
guru yang membosankan.
Selain guru, bisa menceritakan murid-murid yang bandel, nakal,
tak menyukai ilmu pengetahuan, dan banyak menunjukkan tingkah
laku yang imitatif, manipulatif, konsumtif (gila belanja), dan tidak
menarik dan mudah putus asa—ada juga yang sombongnya minta
ampun. Pelajar saat ini identik dengan tindakan tawuran, korban
budaya cinta-cintaan, dan lain-lain. Belum lagi kalau bicara sosok
anak didik di perguruan tinggi yang bernama mahasiswa—kalangan
yang sejak awal dianggap sebagai kaum pembaru, agen perubahan,
intelektual, pembela rakyat, dan lain-lain. Kini, karakternya kian jauh
dari predikat zaman dulu, yang heroik dan peka terhadap realitas—kini
justru jadi korban realitas dan menjadi kaum yang sering membuat
masyarakat masyarakat dengan "citra buruk"-nya semata.
Belakangan kita sering mendengar banyak orang yang mengatakan,
"Lihatlah betapa buruknya citra mahasiswa sekarang ini. " Ya,
pengalaman yang kita jumpai tentang persepsi masyarakat di sekitar
kampus cenderung mengungkapkan "kebencian" mereka terhadap
kaum muda yang kebanyakan datang dari kelas menengah ini. Teman
penulis di Malang mengatakan bahwa kota yang banyak berdiri
kampus-kampus (baik negeri maupun swasta) itu telah menjadi
representasi terburuk bagi citra mahasiswa, barangkali penulis katakan
di era pasca-reformasi ini. Bayangkan, cerita teman itu, banyak
mahasiswa yang diusir dari kosnya oleh masyarakat setempat karena
kos-kosannya dicurigai digunakan untuk kegiatan "seks bebas" atau
mengonsumsi narkoba.
Jika gejala pertentangan antara gaya hidup mahasiswa semacam itu
dan kepentingan masyarakat terjadi, kita seakan lupa bahwa pernah ada
masa ketika mahasiswa dan rakyat menyatu tanpa saling berprasangka
dan prasangka (serta kebencian dan permusuhan) yang ada diarahkan
pada pemerintahan anti-rakyat yang menyebabkan hilangnya
kesejahteraan rakyat dan demokrasi di negeri ini. Itu cerita lalu, zaman
ketika kaum muda dan mahasiswa masih mengagung-agungkan
pentingnya perjuangan dan belum teracuni oleh ide dan perasaan yang
terbentuk dari tatanan kapitalis neoliberal yang berpilar pada watak
pragmatis, oportunis, dan mengagung-agungkan hedonisme.
1. Pendidikan Mahal dan Dampaknya bagi Pembentukan
Karakter
Intinya, karakter mahasiswa kian berubah. Adakah ini berada
dalam ruang hampa?
Tidak, hal tersebut tak lepas bagaimana sistem pendidikan dan
budaya kampus yang belakangan dikenal sangat anti-rakyat, pendidikan
kampus yang semakin liberal dan kapitalistik. Pendidikan menjadi
mahal dan tak terjangkau. Tercatat bahwa di negeri ini 75-80% (7-8
orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SD sampai SMA putus
sekolah dan 60% (6 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SMA
tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah (Kompas; 6/9/2006).
Bagaimana bisa kuliah? Biaya perguruan tinggi mahalnya minta
ampun. Kebijakan privatisasi kampus menyebabkan komersialisasi
perguruan tinggi. Status kampus yang menjadi BHP membuat
pendidikan bukan lagi dilihat sebagai pelayanan negara terhadap warga
yang sifatnya wajib, melainkan sektor jasa yang diperjualbelikan. Ini
adalah akibat "membebeknya" Pemerintahan Indonesia terhadap para
pemodal asing yang mendikte sesuai dengan kepentingan mereka dan
cara berpikir kaum modal yang hanya ingin mencari keuntungan.
Misalnya, melalui kesepakatan WTO, sektor pendidikan termasuk
dalam 12 sektor lainnya yang harus diliberalkan. Jadi, yang jahat adalah
bahwa pendidikan ingin dijadikan sebagai komoditi jasa—yang bisa
digunakan untuk mencari keuntungan.
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk hukum untuk
melegalkan dan melindungi proses privatisasi sektor pendidikan.
misalnya PP No 60/1999 tentang Perguruan Tinggi; PP No. 61/1999
tentang Perguruan Tinggi Negeri Sebagai BUMN; SK Dirjen Dikti
No. 26/2002 tentang Pelarangan Ormas dan Aktivitas Politik Praktis
di Kampus; UU SISDIKNAS No. 20/2003; dan yang terakhir adalah
RUU BHP yang disahkan kemudian. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono SBY melalui Menteri Pendidikan Nasional mencanangkan
upaya mem-BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia,
minimal 50 persen hingga tahun 2009.
Banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan ini kontradiktif dengan
jiwa Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas, yaitu penyelenggaraan
pendidikan yang murah, mudah, dan mungkin diakses masyarakat
luas melalui proses yang demokratis dan tanpa diskriminasi (Pasal
4 [1] UU No 20/2003). 4 Rencana untuk membentuk BHP
(Badan Hukum Perusahaan) merupakan kelanjutan dari kebijakan
sebelumnya di mana pelaksanaan perguruan tinggi sebagai badan
hukum milik negara (PT BHMN) dianggap sukses membuat kampus
"mandiri"—meskipun rancangan undang-undang PT BHMN yang
bergulir sejak pemerintahan Megawati tidak kunjung disahkan.
Kebijakan yang kontroversial itu menuai banyak protes, terutama
dari kalangan rakyat dan mahasiswa. Akhirnya, tuntutan berhasil
membuat Undang-Undang (UU) Badan Hukum Pendidikan (BHP)
ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) karena adanya diskriminasi
dari perguruan tinggi negeri (PTN). Karen UU BHP telah ditolak,
kemungkinan untuk mengatur pengelolaan PTN Kemendiknas ialah
dari PP 17 tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan. PP ini bisa berlaku secara nasional karena ini bukan
keputusan menteri namun posisinya pun tidak jauh beda dengan
UU. Akan tetapi, pencabutan UU BHP belum ada dampaknya untuk
4. Teuku Kemal Fasya, "12 PTN dan Komersialisasi Pendidikan", dalam Kompas, Selasa 4
Maret 2008.
mengurangi mahalnya biaya dan pendidikan. Bahkan, ketika buku ini
penulis tulis, biaya kuliah tetap melonjak dan ada yang bertambah.
Dampak kapitalisme pendidikan membuat membuat pendidikan
eksklusif dan elitis karena akan dihuni oleh mereka yang mampu
membelinya. Hanya kalangan kaya yang mampu dan hak-hak setiap
orang untuk mendapatkan sekolah diingkari. Sekolah yang akhirnya
diisi oleh anak-anak orang berduit menunjukkan adanya elitisme
pendidikan.
Apa yang akan terjadi? PT (perguruan tinggi) akan diisi anak-anak
manja yang cara pandangnya sangat borjuis dan anti-perubahan karena
mereka adalah bagian dari kelas konservatif yang masuk PT bukan
untuk memahami kontradiksi kelas sosial, melainkan hanya anak-anak
orang kaya yang datang ke kampus untuk menunjukkan status atau
gaya hidup. Berbeda ketika anak-anak orang miskin dapat masuk ke
PT, mereka datang bukan hanya sekadar menggapai status "mahasiswa",
melainkan juga telah datang dengan latar belakang yang membaca
cara pandang perubahan karena mereka adalah generasi yang berada
dalam kelas bawah yang lebih mampu merasakan kontradiksi dan
penindasan. Sedangkan, ketika kampus hanya diisi anak-anak orang
kaya dan berduit, kampus akan menjadi konservatif dan sebagai ajang
birokrasi untuk menyedot uang dengan alasan pembiayaan pendidikan
kampusnya, padahal pada kenyataannya juga banyak yang masuk ke
kantong oknum birokrasi. Artinya, kondisi itu juga akan memperbesar
peluang korupsi di perguruan tinggi.
Di era kapitalisme modern, anak-anak kapitalis (pemodal besar)
tentu saja juga mendapatkan pendidikan yang eksklusif dan khusus
yang kadang telah dipastikan untuk mewarisi perusahaan-perusahaan
atau kekayaan yang dimiliki orangtuanya setelah meninggal.
Eksklusivitas itu kadang berlebihan dan menunjukkan betapa egoisme
para orangtua yang merupakan kalangan elite dan pemilik perusahaan-
perusahaan itu. Mereka adalah para pejabat tinggi negara yang tidak
mau memberikan pendidikan pada rakyatnya di negerinya sendiri,
tetapi justru menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri. Mereka
adalah para pemilik perusahaan besar yang buruhnya dibayar murah
hingga tak mampu menyekolahkan anaknya, tetapi justru mengirimkan
anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang sangat mewah dan elite.
Tentu saja mereka adalah anak-anak muda yang akan menjadi
pengganti orangtuanya. Mereka akan menduduki berbagai macam
profesi dan jabatan. Kalau mereka menjadi hakim, mereka—kata
Gibran—akan memandang dengan muka masam pada anak-anak
ladang. Mereka akan menjadi pembela para koruptor. Kalau mereka
menjadi pengambil kebijakan, mereka akan membuat rakyat menderita
dengan kebijakan yang dibuatnya. Kalau mereka menjadi pengusaha,
mereka tentu hanya akan membayar buruh dengan upah, akan
"bersinambung dan bergabung"—begitu dalam bahasa Gibran—dengan
para pejabat negara untuk menindas dan menipu rakyat.
Artinya, komersialisasi dan elitisme pendidikan tinggi akan
membawa efek buruk bagi bangsa ini ke depan karena yang lahir
adalah reproduksi kondisi sosial tempat ketimpangan sosial akan tetap
tegak dengan berbagai efek pemiskinannya. Anak-anak dari kalangan
bawah tak mampu memberdayakan diri dan memobilisasi ke arah
vertikal karena pendidikan sebagai syarat terjadinya mobilisasi diisi
oleh mereka yang mampu membayar lebih mahal. Pendidikan mahal
dan konservatif adalah penyebab ambruknya bangsa ini ke depan.
Elitisme pendidikan itulah yang akan melahirkan kalangan elitis
yang tidak mampu memahami kebutuhan massa rakyat karena sejak
awal mereka dididik dalam menara gading kekuasaan dan dijauhkan
dari massa. Kampus-kampus dan sekolah-sekolah mewah itu—dan
kadang dipagari dengan tembok tinggi atau terletak di gedung tinggi
menjulang bertingkat—tak akan melahirkan generasi-generasi yang
hirau pada cita-cita pembebasan bagi umat manusia karena letaknya
terlanjur terpisah dari masyarakat yang terus saja memanggil-manggil
dan meminta keadilan. Pendidikan elitis adalah pendidikan yang justru
diorganisasi untuk mendukung berjalannya penindasan.
2. Karakter Mahasiswa yang Dekaden dan Anti-Kemajuan
Siapakah mahasiswa, dan apakah yang harus diperankan,
merupakan pertanyaan krusial dari banyak pihak. Sebagian orang
masih berharap pada idealisme mahasiswa dan mereka akan segera
kecewa melihat bagaimana kiprah dan perannya sekarang. Mahasiswa
adalah pahlawan seperti zaman Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain
di era kemerdekaan. Harapan agar mahasiswa seharusnya memiliki
karakter heroik dan progresif seperti itu, merupakan hal yang tidak
realistis, terutama jika harus persis seperti mereka. Untuk konteks
sekarang, di zaman persaingan antara negara-bangsa yang kian cepat
ketika negeri ini tertinggal jauh ke belakang, bahkan dengan negara
tetangganya, mungkin adalah harapan yang paling dibutuhkan dari
peran mahasiswa.
Jadi, yang dibutuhkan adalah karakter produktif dan kreatif agar
mampu menjadi generasi yang mampu menambah tenaga produksi
yang dibutuhkan untuk mengatasi ketertinggalan dengan bantuan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Lebih jauh dari itu, juga
masih diperlukan jiwa kritis dari intelektual dan kaum intelektual itu
terhadap dominasi kekuasaan yang sering memanipulasi dan menindas
masyarakat. Namun, kita juga kecewa melihat fakta yang terjadi. Para
mahasiswa kita tidak suka berkreasi dan berproduksi, mereka hanya
suka mengonsumsi. Mahasiswa kita juga tidak punya nalar berpikir
kritis, maunya hanya tunduk patuh, dan kebanyakan pengecut,
penakut, dan manipulatif
Mahasiswa memang rajin datang ke kampus, tanda tangan
absensi, mendengarkan kuliah, kebanyakan hanya mendengarkan tanpa
pertanyaan atau memberikan argumen segar. Lalu, mereka berkumpul
di kantin atau di tempat-tempat duduk yang indah di kampus. Apa
yang mereka bicarakan? Merek produk terbarukah? Tukar pengalaman
"dugem-dugeman" atau teman kencan (pacar)-kah? Adakah banyak
waktu yang digunakan untuk membaca, berdiskusi, dan rapat untuk
menyusun aksi penyadaran dan tuntutan mendesak dan strategis untuk
melawan ketidakadilan dalam kehidupannya?
Kemudian, apakah ilmu yang akan didapat dari kebiasaan malas
belajar dan mencari di luar ruang kuliah? Idealisme dan keseriusan
belajar yang bukan hanya berkurang itu memang terjadi bukan tanpa
sebab. Hal itu diakibatkan oleh situasi antara output pendidikan dengan
situasi dunia kerja dan dunia usaha yang tidak cocok dengan apa
yang dipelajari ketika kuliah. Banyak lulusan yang mengimani sekali
ilmunya, yang seharusnya layak kerja menurut kemampuannya dan
mendapatkan hasil (uang) sesuai dengan keahliannya, tetapi bahkan
tidak bisa bekerja. Banyak yang seharusnya mendapatkan jabatan dan
posisi profesi yang pantas, tetapi justru tak mendapatkan apa-apa.
Ini karena rekrutmen kerja di negeri ini sejak awal telah diwarnai
manipulasi: kolusi, koneksi, dan belakangan (terutama sektor PNS)
menggunakan sistem "siapa yang kuat bayar paling banyak".
Hal ini adalah salah satu pemicu orang kuliah tak harus serius
karena ilmu dilecehkan oleh uang, oleh tipu muslihat kekuasaan dan
manipulasi yang beroperasi di masyarakat. Penulis jadi teringat apa yang
pernah dikatakan oleh Soe Hok Gie, yang pernah mencatat:
"Saya membayangkan seorang mahasiswa antropologi, yang berusia
sembilan belas tahun datang dengan cita-cita untuk membuat field
work di pedalaman Kalimantan atau Irian Barat. Atau seorang
mahasiswa jurusan kimia yang berpikir untuk menemukan sejenis
cairan baru yang dapat melambungkan manusia ke bulan. Atau
seorang mahasiswa hukum dengan ide-ide yang sarat dengan
rule of law. Tidak ada yang lebih kejam dari pada mematahkan
tunas-tunas semangat kemerdekaan berpikir dan berkreativitas.
Dalam waktu beberapa tahun, pemuda berumur sembilan belas
tahun ini mengetahui tak mungkin ada 'field work' ke Irian Barat
atau pedalaman Kalimantan. Ia harus puas dengan skripsi tentang
masyarakat tukang buah-buahan di Pasar minggu. Dan alumnus
Kimia benar-benar menyadari yang ada untuknya hanyalah kerja
di pabrik sabun atau mentega. Pelan-pelan ia harus melupakan
idealismenya tentang cairan yang dapat melontarkan manusia ke
bulan. Lalu, si mahasiswa fakultas hukum mengetahui, bahwa di
atas hukum terdapat hukum yang tidak tertulis. Tentara, polisi,
jaksa dan garong-garong yang punya koneksi. "
Maka demikianlah, yang ingin dikatakan Gie adalah bahwa ia
hanya membayangkan keberadaan mahasiswa yang ideal. Akan tetapi,
dalam kenyataan, Gie hanya melihat pragmatisme dan oportunisme,
juga hedonisme. Watak yang menonjol itu bukannya tanpa sebab,
melainkan karena kekuasaan yang dijaga oleh aparat. Pragmatisme
bersifat sistemik dan merupakan bagian dari kerja kapitalisme
neoliberal yang membuat mahasiswa menjadi pragmatis. Jadi, penulis
adalah agregat kecil dari kehidupan (bagian dari alam maha-luas) yang
masih percaya bahwa mahasiswa Indonesia masih punya potensi untuk
bangkit. Ingat bahwa sejarah berjalan secara dialektis. Kontradiksi yang
terjadi pada dasarnya adalah landasan perubahan.
Jadi, kemunduran kesadaran mahasiswa—yang tecermin dari
gaya hidup mahasiswa, watak, dan tindakannya—sekarang ini adalah
bagian dari epos sejarah yang tetap akan bisa berubah. Serangan
ideologi neoliberalisme memang semakin masif, tetapi pada saat yang
sama krisis yang ditimbulkannya cukup parah. Pada saat mahasiswa
terkurung dalam budaya bisu, sekarang ini rakyat justru melawan di
mana-mana dengan berbagai macam tindakan dan perspektif atau
ekspresinya. Buruh, tani, dan kaum miskin perkotaan lebih radikal
dalam tindakannya.
3. Kekerasan (di) Sekolah dan Dampaknya bagi Pembentukan
Karakter
Kekerasan melahirkan kekerasan. Orang yang dididik dalam
kekerasan, jiwanya akan keras. Dalam bentuk lain, dampak lingkungan
kekerasan juga akan mengakibatkan seseorang justru lemah dengan
membentuk jiwa patuh dan tunduk serta tergantung—jiwa yang
didesain dengan dasar ketakutan. Jiwa ini menunjukkan kondisi
bagaimana ia harus patuh dan tunduk pada yang kuat dan berkuasa
tanpa punya nalar mengkritik dan mempertanyakan adanya kekuatan
yang mendominasi. Mental seperti inilah yang membuat bangsa kita
tetap menjadi pecundang.
Kita harus menyadari bahwa ada tiga prinsip utama yang
mendasari proses pembentukan karakter. Di antaranya adalah bahwa
pembentukan pola tingkah laku seseorang sangat kuat dipengaruhi oleh
lingkungan. Kekerasan yang terjadi dalam pendidikan harus dihindari
karena akan melahirkan situasi lingkungan yang menghambat proses
pembelajaran. Akan tetapi, hal itu ternyata masih sering terjadi di
dunia pendidikan kita.
Dampak kekerasan sangat luar biasa—baik kita sadari atau
tidak. Lingkungan yang keras, dengan tindakan orang lain yang
terlalu kasar, adalah bentuk rangsangan dari luar diri yang membuat
kita kaget, tidak mampu merespons secara pelan dan memunculkan
pemahaman. Katakanlah, ketika ada perkataan kasar dan menyakiti,
pun sekaligus serangan kekerasan pada kita, kita tak sempat berpikir
untuk menjelaskannya, tetapi meresponsnya secara cepat. Itulah
yang membuat kita yakin bahwa kekerasan itu dalam banyak hal
menghambat pertumbuhan mental secara sehat.
Ada beberapa bentuk kekerasan yang dapat kita pahami dan
sekaligus petakan ketika berbicara tentang kekerasan di dunia
pendidikan. Pertama, kekerasan antara peserta didik. Hal ini bisa terjadi
di dalam lembaga pendidikan yang sama, misalnya kasus kekerasan
yang sering dikenal dengan istilah bullying. Ada juga kekerasan yang
terjadi antar-peserta didik yang berbeda sekolah atau kampus, misalnya
tawuran pelajar antara selokah dan kampus yang sering terjadi.
Kasus school bullying merupakan bentuk kekerasan yang
sering mendapatkan perhatian dari para pengamat. School bullying
didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang
oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap
siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang
tersebut. Mereka kemudian mengelompokkan perilaku bullying ke
dalam lima kategori berikut. 5
Kontak fisik langsung (memukul, mendorong, menggigit,
menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan,
mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak
barang-barang yang dimiliki orang lain).
Kontak verbal langsung (mengancam, mempermalukan,
merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama
[name-calling, sarkasme, merendahkan [put-downs], mencela/
mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip).
Perilaku non-verbal langsung (melihat dengan sinis, menjulurkan
lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek,
atau mengancam; biasanya diertai oleh bullying fisik atau verbal.
5. Riauskina, I. L, Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005), "Gencet-gencetan di Mata
Siswa/siswi Kelas 1 SMA: Naskah Kognitif tentang Arti, Skenario, dan Dampak
Gencet-gencetan", dalam Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1-13.
Perilaku non-verbal tidak langsung (mendiamkan seseorang,
memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja
mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng).
Pelecehan seksual (kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau
verbal).
Kedua, kekerasan dalam bentuk perpeloncoan yang biasanya terjadi
karena hubungan senioritas-junioritas. Hal ini biasanya dilakukan oleh
para mahasiswa/pelajar dalam masa orientasi mahasiswa/pelajar yang
baru masuk. Bentuk perpeloncoan semacam ini awalnya dipandang
sebagai latihan kepemimpinan dan latihan mental yang dianggap
sebagai hak para senior untuk memperlakukan juniornya. Akan
tetapi, model-model semacam ini belakangan banyak dikritik karena
sering menimbulkan efek yang membahayakan, misalnya ada yang
meninggal dunia karena perpeloncoan dengan cara kekerasan fisik yang
keterlaluan. Kegiatan ini juga dipandang hanya menonjolkan tindakan
balas dendam para senior yang dulunya juga pernah diperlakukan
yang sama saat mereka masih junior juga. Meskipun banyak kritik
muncul, tradisi perpeloncoan semacam itu belum sepenuhnya hilang
di beberapa lembaga pendidikan.
Ketiga, kekerasan pendidik terhadap peserta didik (muridnya).
Kekerasan dalam hal ini dapat kita bagi menjadi: (a) kekerasan fisik, dan;
(b) kekerasan non-fisik atau kekerasan psikologis. Kekerasan fisik yang
dilakukan oleh guru merupakan tindakan yang biasa sejak munculnya
sekolah: pemukulan, menjewer, mencubit, menendang, hingga yang
menggunakan alat bantu, seperti tongkat untuk membaca di papan tulis,
penggaris kayu, bahkan seperti yang dilakukan guru biologi penulis
waktu SMP: menggunakan tang untuk menjewer kuping.
Kekerasan oleh guru yang keterlaluan juga sering direaksi oleh
anak-anak didik dengan kekerasan. Penulis masih ingat ketika ada
teman SMP yang menantang berkelahi guru yang dianggapnya
keterlaluan dan karena teman penulis bertubuh lebih besar dan kuat,
guru tersebut kalah berkelahi. Peristiwa ini mungkin akan sangat
diingat oleh teman-teman penulis dan penulis. Guru-guru yang
tidak menyenangkan karena terlalu keras tak jarang memunculkan
perlawanan dari murid-muridnya, apa yang berkaitan dengan guru
tersebut selalu tak menarik siswa.
Kisah tentang guru-guru yang terkenal keras juga sejak awal telah
menciutkan nyali calon siswa yang bahkan belum bertemu, tetapi suatu
saat akan bertemu. Misalnya, saat kelas 1 SMP, tepatnya tahun 1992,
waktu penulis sekolah di era yang masih belum ada keterbukaan, penulis
telah mendengar kisah tentang guru matematika yang dianggap killer,
dia adalah seorang guru perempuan gemuk yang konon sangat garang
karena memakai hukuman fisik bagi anak-anak yang tidak mengerjakan
PR, dan sering mengolok-olok siswanya yang tak bisa mengerjakan.
Ketika mendengar namanya, sudah takut karena murid kelas satu
bukan hanya mendengar ceritanya dari kakak kelas, melainkan juga
dari alumni-alumni sekolah itu yang pernah diajarnya.
Untuk era itu, jika tindakan-tindakan kekerasan fisik yang
dilakukan oleh guru akan mendapatkan sorotan tajam karena dapat
diketahui masyarakat melalui pemberitaan media, bisa jadi kekerasan
fisik seperti waktu penulis sekolah dulu relatif berkurang. Meskipun
demikian, kita masih sering melihat kejadian-kejadian semacam itu
di era sekarang.
Bentuk kekerasan non-fisik sebenarnya secara tidak disadari
(karena kejadian dan dampaknya tidak tampak) membawa pengaruh
yang luar biasa yang terjadi pada peserta didik. Kekerasan ini justru
menimbulkan dampak psikologis yang laten dan karena tak tampak
dianggap tidak menjadi masalah. Contoh dampak psikologis dari
kekerasan non-fisik, misalnya terancamnya eksistensi dan pertumbuhan
anak-anak kita. Situasi pendidikan (di dalam sekolah, kampus, kelas)
dan tindakan-tindakan para penghuni lembaga pendidikan (terutama
para guru/pendidik) yang menimbulkan tekanan bagi mereka yang
belajar merupakan kekerasan psikologis yang secara nyata beroperasi.
Akan tetapi, para penghuninya, terutama guru, tidak menyadari
dampak yang ada.
Namun, ada kekerasan psikologis yang umumnya bisa kita lihat
dari tindakan dan perkataan para guru, misalnya bagaimana mereka
membuat pelajar tidak mampu menerima pelajaran dengan baik,
bahkan juga tindakan-tindakan atau kata-kata yang mengancam dan
mendegradasi kejiwaan siswa. Jadi, contoh-contoh kekerasan psikologis
ini antara lain meliputi pemberian tugas berlebihan, memberikan target
prestasi terlalu tinggi, dan memaksa anak melakukan sesuatu di luar
minatnya. Guru maupun orangtua sering memiliki sejumlah ambisi
pribadi yang dibebankan di pundak anak. Mereka selalu berdalih demi
masa depan anak. Mereka menganggap anak sebagai benda mati yang
masa depannya harus ditentukan guru atau orangtua. Anak yang punya
karakteristik berbeda-beda dipaksa memiliki kemampuan sama. Lewat
Ujian Nasional (UNAS), mereka dipaksa memiliki kemampuan yang
memadai dalam beberapa mata pelajaran. Padahal, tidak semua anak
memiliki kemampuan baik di bidang itu (tahun lalu. Matematika,
Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris).
Anak yang memiliki bakat luar biasa di bidang seni, olahraga,
atau bidang lain, tapi lemah di ketiga mata pelajaran tadi, bisa divonis
menjadi anak bodoh. Anak tersebut akan divonis tidak lulus sehingga
kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih tinggi menjadi
hilang. Kasus ini sudah banyak terjadi. Karena itu, sudah saatnya kita
mengevaluasi diri.
Perlu disadari, kekerasan seperti itu, terkadang—bahkan
sering—tidak disertai niat jahat. Sebaliknya, tindakan itu malah
berselimut niat baik. Karena itu, pada umumnya mereka yang
melakukan kekerasan pada anak sama sekali tidak merasa bersalah.
Mereka merasa bahwa dirinya telah berbuat kebaikan, merasa
memberikan yang terbaik kepada anak.
Berikutnya, bentuk kekerasan lain yang dilakukan oleh guru
juga termasuk tindakan pelecehan seksual di sekolah dan pencabulan
terhadap murid. Kasus ini masih sering terjadi. Guru yang menganggap
dirinya punya otoritas, telah menggunakan wewenangnya untuk
melakukan tindakan asusila dengan cara memaksa atau merayu
muridnya untuk melakukan sesuatu demi kepuasan seksualnya. Ini
adalah bentuk demoralisasi kaum pendidik yang membutuhkan
perhatian kita semua.
Kekerasan lainnya juga lebih bersifat sistemik dan ideologis,
terutama berupa sistem pendidikan kurikulum dan model pembelajaran
yang menumpulkan potensi-potensi kreatif siswa. Itulah turunan dari
tatanan ekonomi-politik besar yang bernama kapitalisme, tatanan yang
pada dasarnya membahayakan kemanusiaan kita dan mengancam
anak-anak kita.
Pendidikan mahal juga menimbulkan kekerasan psikologis, ketika
penyelenggara sekolah hanya memandang murid sebagai "massa" yang
bisa menyetor uang untuk membiayai pendidikan, baik melalui iuran
SPP atau iuran-iuran lainnya yang tak jarang membebani. Selain itu,
siswa bukanlah pihak yang dapat diperlakukan apa saja, mereka adalah
manusia, terutama mereka adalah generasi yang tumbuh dan butuh
banyak perhatian.
Akar kekerasan adalah ketika sistem ekonomi (yang saat ini
bersifat kapitalistik) membuat banyak orang terteror dengan kebutuhan
hidupnya sendiri, tertekan oleh keadaan, dan kemudian melakukan
hal-hal yang berada di luar batas-batas kemanusiaan. Sebagaimana
Mahatma Gandhi mengatakan, "Akar kekerasan itu adalah kemewahan
tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, ilmu tanpa kepribadian,
perdagangan tanpa moralitas, sains tanpa humanitas, penyembahan
tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip nilai. "
4. Karakter Manipulatif dalam Dunia Pendidikan
Pada tanggal 30 Oktober 2010 penulis menulis puisi berjudul
"Negeri Penuh Manipulasi", yang kemudian penulis pasang di catatan
Facebook. Syairnya adalah begini:
Negeri kaum manipulator
Yang paling bebas adalah koruptor
Yang paling bahagia adalah investor
Keuntungannya terus bertambah
Gubuk-gubuk digusur jadi kantor
Negeri para manipulator
Yang paling dicetak kebudayaan adalah otak kotor
Agar otak cerdas hilang dan hanya muncul provokator
Hanya bisa melawan dengan gaya teror
Maka larislah pemilik pabrik pelor
Yang hanya tahu kejahatan adalah milik rakyat kotor
Pada hal kejahatan banyak terjadi di kantor-kantor.
Negeri yang dimanipulasi
Pemimpinnya pandai bersolek diri
Banyak menjual ayat-ayat suci
Untuk menakuti-nakuti
Untuk menyebar ilusi
Katanya miskin tak apa-apa yang penting j angan anarki
Berdoa saja pasti akan diberkati
Selamat dunia akhirat jika asal percaya Ulahi.
Manipulasi memang nyata
Miskin kaya katanya sama saja
Pada hal miskin itu sengsara, kaya itu banyak harta
Harta tak punya dengan harta berlimpah jelas tak sama
Miskin malu kaya bahagia
Miskin pura-pura bahagia
Kaya sok paling kuasa
Karena orang yang jiwanya manipulatif harus berpura-pura.
Manipulasi kian keterlaluan
Caranya menghilangkan pengetahuan dan menumpulkan pikiran
Miskin dianggap takdir, kaya dianggap warisan
Lalu dimanakah letaknya kerja sebagai kehidupan
Kerja keras penuh keringat darah dan airmata tak menghasilkan
Kerja ongkang-ongkang kaki main perintah membuat jadi
hartawan
Makan uang negara dan menghisap darah rakyat adalah masalah
kekuasaan
Ketimpangan nyata adalah hasil kebijakan, bukan takdir Tuhan.
Tapi ini negeri manipulasi
Isi otak dikebiri
Pengetahuan dihabisi
Sekolah tak diberi
Kesehatan dan pendidikan dikomersialisasi
Pada hal itu adalah hak anak-anak negeri
Di sekolah ada buku, dibuat dari kayu yang menanam petani
Ada gedung-gedung yang membangun para kuli
Tapi kenapa di sekolah dan universitas hanya anak-anak orang kaya
yang mengisi?
Di rumah sakit juga ada obat yang bahannya di tanam petani
Ada suntik yang bahannya dibuat oleh para buruh-kuli
Ada semuanya yang tak mungkin bisa tersedia tanpa kerja anak
negeri
Tetapi kenapa orang-orang miskin yang sakit dicueki, dan yang kaya
cepat dilayani?
Negeri manipulasi
Manusia-manusianya cuek seperti makhluk hewani
Dihela oleh penguasa sesuka hati
Dicekoki kotbah-kotbah sok manis penjual ayat suci
Intelektualnya hanya bisa masturbasi
Kaum mudanya hanya bisa meniru-niru selebriti
Penguasanya terus saja korupsi.
Negeri manipulasi
Orang-orang tak lagi mampu melihat hukum kontradiksi.
Negeri manipulasi
Sampai kapan kan begini
Tak mungkin selamanya begini
Kecuali manusia adalah makhluk penuh manipulasi
Biasanya masih akan terus ada yang mencintai hati nurani
Mencintai akal pikiran dan harga diri
Tidak mau terus-terusan dibohongi
Mereka bangkit untuk menyebarkan ideologi
Hingga manipulasi pantas dikencingi!!!!
Apa yang kurang dari berita, kabar, dan fakta mengenai
tindakan-tindakan penyimpangan pemegang otoritas negara
(pejabat) dan kelompok yang beruntung di lingkarannya sehingga
penyimpangan, kebohongan, dan akrobat kebijakan dan tindakan itu
dibiarkan? Apakah manusia yang menghuni negeri ini sudah terlanjur
pengecutnya atau penakutnya hingga penipuan-penipuan itu terus
berlangsung? Sampai kapan negeri ini akan tenggelam oleh samudra
kebohongan?
Pungutan liar pada guru yang berjuang dapat sertifikasi;
menyusun anggaran untuk urusan perut sendiri dan tanpa menyaring
aspirasi dari bawah; menggelembungkan data guru tidak tetap (GTT);
jual beli jabatan dan percaloan CPNS; penggusuran rakyat miskin
dari tanahnya dan dari tempatnya mencari penghidupan; cekikan
kenaikan harga-harga; membuat petani semakin menderita dengan
meningkatkan harga sarana dan biaya produksi (saprodi), seperti harga
pupuk dan alat pertanian tetapi ketika panen hasil tani menurun;
korupsi, permakelaran, dan lain-lain; apa yang kurang lengkap dari
kepalsuan penyelenggaraan otoritas negara dan kuasa penumpuk modal
di lingkungannya?
Mengapa hal itu bertahan terus? Mengapa masyarakat tidak juga
jijik dengan kebohongan-kebohongan dan pemalsuan-pemalsuan serta
kejahatan-kejahatan semacam itu?
Hal aneh dan bisa jadi ini adalah penyakit kronis yang ada dalam
tubuh bangsa ini. Pembusukan dari dalam ini akan menyebabkan
bangsa ini semakin jauh terbelakang dan bisa jadi bisa mengubah
tubuh bangsa menjadi binatang mutan yang tak lagi bisa mengenali
diri sendiri. Pada titik tertentu akan menghasilkan perubahan kualitatif
yang menghilangkan eksistensi lamanya. Bisa jadi karena binatang
hasil mutasi ini tidak berkualitas, ia tak akan lagi bisa menyesuaikan
diri dengan lingkungannya dan akhirnya punah dalam proses evolusi
kehidupan.
Bangsa Indonesia, yang kata Bung Karno adalah bangsa yang
masih "bermental tempe" jika tak ada revolusi demokratik, tampaknya
akan menderita penyakit membahayakan. Bangsa yang tidak menyadari
penyakit yang dideritanya, tak mampu mendiagnosis gejala-gejala yang
dideritanya, akan terus digerogoti oleh penyakit yang semakin merusak
keberadaannya. Kita pernah minta resep dari kekuatan penjajah asing,
seperti pemerintahan sejak Soeharto yang minta resep pada IMF,
hingga pemerintahan Yudhoyono (SBY) yang masih mendatangi
dokter Amerika Serikat (AS) untuk memeriksakan tubuh Indonesia.
Hasilnya?
Kita justru dibohongi sejak berabad-abad. Tubuh negeri kita
dieksploitasi dan diatur oleh penjajahan asing sejak zaman Belanda,
Inggris, Jepang, dan Amerika. Penjajahan dari luar ini masih akan terus
berlangsung justru karena internal tubuh kita tidak beres karena kita
tak memiliki kualitas menjadi bangsa yang mandiri, punya prinsip,
dan yang lebih penting lagi bangsa yang tak punya produktivitas dan
kreativitas.
Polisi, aparat keamanan, dan salah satu pilar penegak hukum,
tak berdaya dan membiarkan dirinya direndahkan oleh para "Gayus".
Semua lembaga penegak hukum dan pelayan publik bahkan dilecehkan
oleh oknum-oknum yang menginjak-injaknya, calo, koruptor, dan
lain-lain. Siapa yang bisa dipercaya? Penegak hukum yang jelas tak
memiliki wibawa, lembaga negara yang tak lagi bisa melayani publik
dan sering mengkhianatinya. Para pejabat dan wakil rakyat yang bahkan
semakin dianggap rakyat banyak sebagai penjahat.
Kepemimpinan?
Rakyat merasa tak memiliki pemimpin. Negara tidak konkret
keberadaannya jika ia dianggap sebagai pengayom rakyat. Negara selalu
kalah sama koruptor, pengkhianat rakyat, bahkan kelompok-kelompok
orang yang ingin mengangkangi wewenang penegak hukum dan
petugas keamanan negara, seperti kaum berjenggot yang sering
melakukan tindakan membubarkan forum-forum pertemuan warga
sipil dan merusak tempat-tempat yang dianggapnya tidak sesuai dengan
pikiran mereka.
Terlalu banyak para penjual moral yang terlalu murah menjual
moral versi mereka yang tak masuk akal, bahkan dalam cara berpikir
awam. Bahkan, mereka semakin dianggap sebagai kaum peleceh moral
dan juga membuat orang tak lagi percaya pada moral. Hingga Djenar
Mahesa Ayu (2004: 25) menggambarkan moral dalam cerpennya,
"Kemarin saya melihat moral di etalase sebuah toko. Harganya seribu
rupiah. Tapi karena saya tertarik dengan rok kulit mini seharga satu
juta sembilan ratus sembilan puluh delapan ribu delapan ratus rupiah,
akhirnya saya memutuskan untuk menunda membeli moral. " Pada
posisi itulah, moral (bahkan agama), sejatinya berada pada posisi yang sama dengan produk kapitalis, bahkan dalam acara TV ia juga
merupakan produk. Produser menghasilkan film-film dakwah,
menjual kaset berisi anjuran moral agamis, membuat tayangan gaib
yang menceritakan kebesaran Tuhan dan keberadaan dunia "setan"
dan "jin". Semua itu berjalan sesuai dengan berjalannya mekanisme
kerja kapitalisme pasar bebas. Jadi, tak salah jika Djenar menyamakan
"moral" dengan "rok mini", yang sama-sama produk yang dipajang di
etalase toko: moral-agama dan produk barang sama-sama diperjual-
belikan.
Lalu, apa yang kita butuhkan agar kepercayaan itu kembali
hadir?
Pemimpin baru! Karakter baru dan manusia baru! Inilah yang
kita butuhkan.
Bagaimana menciptakan dan mencari pemimpin yang tak hanya
menjual citra sebab kegiatan membangun citra adalah kegiatan yang
memanipulasi kesadaran. Citra adalah kebohongan karena bukanlah
suatu yang nyata. Citra adalah hal ihwal "seakan-akan". Terlalu banyak
kita melihat para pemimpin yang seakan-akan akan memakmurkan
rakyat, tetapi ternyata hanya sebatas janji dan bukti. Terlalu banyak
pendakwah yang kalau bicara seakan-akan meyakinkan, tetapi
tujuannya hanyalah menghibur sesaat dan melenakan kita dengan
khayalan-khayalan surganya!
Ya, manipulasi telah menjadi bagian dari kehidupan di negeri
yang masyarakatnya kehilangan karakter mental. Di mana-mana terjadi
tindakan manipulasi karena budaya tersebut terbentuk oleh sejarah
yang panjang sebagai bangsa inlander (terjajah) yang masyarakatnya
terbiasa menjilat dan memakai jalan pintas.
Situasi budaya "jalan pintas" dan manipulasi dalam dunia
pendidikan sangatlah nyata. Pertama-tama, salah satu bentuk utama
dari budaya ini terjadi akibat kreativitas yang rendah dihadapkan pada
situasi yang menuntut kebutuhan profesional untuk menjalankan
kemajuan. Kreativitas dan tenaga produksi yang rendah (akibat budaya
malas dan budaya kepasrahan), pada saat dihadapkan pada tuntutan
untuk mengikuti kemajuan dan persaingan, akan menumbuhsuburkan
jalan pintas, manipulasi, dan korupsi.
Semua orang pada dasarnya dihadapkan pada masalah memenuhi
kebutuhan hidup, tetapi untuk mencapai suatu capaian tertentu,
misalnya pekerjaan tertentu, harus melalui prosedur-prosedur yang
diatur secara modern, transparan, dan tidak diskriminatif Namun,
cara-cara yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang hidup dalam
bangsa yang karakternya manipulatif ini adalah cara-cara manipulatif
dan pintas pula.
Jamaknya, sekolah memang merupakan sekolah yang nantinya
dapat meningkatkan mobilitas sosial vertikalnya (mencari penghasilan
dan pekerjaan yang lebih baik). Dalam masyarakat yang sudah
mengenal sekolah, syarat formal untuk memperoleh pekerjaan
adalah mendapatkan ijazah, kalau tidak hampir tak ada pekerjaan
yang bisa didapatkan. Dasar negara kerdil! Lihatlah, yang kemudian
dilakukan banyak orang adalah jalan pintas. Banyak orang yang ingin
mendapatkan ijazah, tanpa mau capek-capek belajar atau masuk
sekolah, bahkan ada yang langsung beli ijazah. Tak heran jika banyak
sekali bisnis ijazah, atau bisnis pendidikan tanpa mehbatkan si terdidik
dalam proses belajar mengajar.
Seseorang tiba-tiba dapat sertifikat karena punya uang dan
saudaranya punya otoritas. Pernah suatu kali penulis kaget melihat
tetangga yang tak pernah kuliah, tiba-tiba menjadi PNS. Penulis
bertanya dalam hati, kapan ia pernah kuliah? Kok tiba-tiba menjadi PNS.
Ternyata sertifikatnya "beli". Jabatan PNS-nya juga "beli"—dengan
jalan membeli dengan harga mahal.
Ya, inilah bangsa yang rusak-rusakan. Pendidikan juga manipulasi.
Gaya berpikir logika-formal—berlawanan dengan pikiran esensial dan
dialektis—memang sering menyesatkan. Padahal, formalitas bukanlah
esensisi. Dengan demikian, ijazah ataupun (keluaran) sekolah tak
menunjukkan adanya mutu. Tak jarang yang sekolah tinggi bahkan
kecerdasannya rendah, mentalnya rusak, karakternya kerdil, pengecut,
n jiwanya koruptif Sekolah akan justru melahirkan manusia-manusia
dehuman yang akan merampok seluruh potensi kemanusiaan manusia
yang hidup dalam sebuah komunitas (negara-bangsa).
Orang-orang yang manipulatif itu akan memimpin negara,
mengelola birokrasi, dan menjalankan pendidikan juga di antaranya.
Maka, bukan hanya produk dan keluaran pendidikan (didikan mereka)
yang akan rusak. Sistemnya juga akan tetap rusak, tidak jalan, dan
selalu tambal sulam.
Manipulasi bahkan juga terjadi pada level lembaga-lembaga ilmiah.
Karya ilmiah pun palsu. Banyak orang menjiplak karya orang lain. Satu
contoh kasus terjadi lagi di sebuah kampus yang berdekatan dengan
tempat tinggal penulis. Kali ini sebuah karya palsu yang dibuat untuk
mendapatkan uang ratusan juta rupiah. Oknum peneliti di Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) Diponegoro, sebuah perguruan tinggi
swasta di Tulungagung (sebuah kabupaten di Jawa Timur), akhirnya
dijebloskan ke dalam tahanan karena pembuatan penelitian fiktif untuk
mendapatkan dana sebesar Rp790 juta dari Pemprov Jatim.
Bermula dari dijebloskannya Ketua Lembaga Pengabdian
Masyarakat (LPM) STAI Diponegoro Muhammad Kholid ke dalam
tahanan pada 28 Juni 2010 karena dituduh menggelapkan dana
bantuan Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas) dari Pemprov Jatim
sebesar Rp790 juta. Pihak STAI tampaknya berusaha melindungi kasus
ini dengan cara menyuap jaksa dengan memberikan uang sogokan
Rp200 juta agar penelitian kasus fiktif tersebut tidak dilanjutkan (Radar
Tulungagung, AU 12010).
Pembuatan penelitian fiktif merupakan tindakan yang paling
memalukan. Penelitian yang sudah terbukti dijiplak oleh tersangka
adalah yang berjudul "Fenomena Perilaku Pelajar di Terminal dalam
Perspektif Moral" karya Asyrof Syafi'i yang juga dosen STAI Diponegoro
yang dibuat pada tahun 2004 dan "Strategi Pemberdayaan Masyarakat
Pedesaan dalam Pengentasan Kemiskinan di Tulungagung" karya
Ahmad Fatoni yang juga menjadi ketua sekolah tinggi tersebut.
Apakah ini kalau bukan pragmatisme? Pendidikan pragmatis
adalah watak masyarakat kapitalistik yang menjadikan (lembaga dan
proses) pendidikan sebagai ajang komersialisasi untuk mendapatkan
keuntungan. Gejala ini bukan hanya membuat pendidikan tak
mampu menjawab masalah-masalah kemanusiaan yang belakangan
kian menyeruak, melainkan malah menambah hancurnya nilai-nilai
kemanusiaan.
Pragmatisme bertentangan dengan semangat ilmiah yang
berusaha dibangun oleh perguruan tinggi. Semangat akademis jelas
berpihak pada kemajuan dan diharapkan membawa manfaat bagi
banyak orang. Semangat akademis dalam kerja pengetahuan seperti
penelitian dimaksudkan untuk menghasilkan suatu penemuan (kalau
bisa terbaru) dalam rangka memunculkan manfaat, baik pada kemajuan
teknologi (penelitian ilmu eksak) maupun kebijakan yang bermanfaat
(ilmu sosial). Nilai akademis dan prinsip kerja pengetahuan adalah
ketelatenan, keuletan, kerja keras, dan kepercayaan pada nilai-nilai
kebenaran yang diujikan dan dibuktikan dari hasil pengamatan dan
penelitian.
Tak heran jika kaum akademisi dituntut untuk berpegang pada
nilai (kebenaran) dan punya komitmen tinggi untuk memajukan
masyarakatnya. Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) yang ada di
setiap perguruan tinggi didirikan dalam rangka idealisme seperti itu.
Orang yang terbiasa berpikir ilmiah dituntut (dan seyogianya) untuk
bersikap ilmiah dan melakukan sesuatu berdasarkan ukuran-ukuran
nilai ilmiah dan kelayakan moral (kejujuran, ulet, tekun, peduli pada
orang lain, dan masyarakat). Bahkan, tak sedikit para peneliti yang kerja
keras dan mengorbankan banyak waktu untuk menghasilkan suatu
yang berguna bagi masyarakat dan bagi sejarah kemajuan peradaban
umat manusia.
Akan tetapi, mengapa terjadi tindakan yang justru bertentangan
dengan nilai-nilai ilmiah dan moral di perguruan tinggi. Tentu harus
dilihat dari faktor internal dan eksternalnya. Faktor eksternal berupa
kondisi sosial budaya yang memang sedang berada di bawah titik
nadir saat kapitalisme dengan ideologi pragmatisme, liberalisme, dan
individualisme menyebar luas. Ingat, hukum ekonomi kapitalis adalah
"dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak mungkin". Si kaya akan mencari keuntungan dengan
mengeksploitasi yang lain, sedangkan yang pas-pasan dan ingin
terus mendapatkan uang kadang juga dikondisikan untuk bertindak
pragmatis—pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan dilakukan. Dalam
situasi kehidupan semacam itulah, pendidikan kita termasuk perguruan
tinggi dan lembaga ilmiah lainnya berada.
Faktor internal dapat kita lihat dari latar belakang kehidupan si
pelaku tindakan pragmatis dan lembaga yang menaunginya. Kampus
swasta yang kecil seperti STAI Diponegoro biasanya hadir dengan
keterbatasan sumber dana dan sumber daya, yang menyebabkan
kualitas dan komitmennya pada masyarakat juga akan terbatas. Kualitas
dosen, manajemen, dan pekerja birokrasi yang kurang kompeten,
termasuk gaji yang minim, akan menyebabkan pragmatisme terjadi
di dalamnya.
Hanya menginginkan banyak uang merupakan watak yang
diajarkan kapitalisme, apalagi rayuan-rayuan gaya hidup dan
kemewahan yang dipropagandakan oleh iklan dan media kapitalis
(terutama TV) menciptakan kebutuhan semu yang membuat mereka
semua terus kurang dan kurang. Kesempatan tidak hanya ditunggu,
tetapi juga berusaha dicari-cari. Ketika ada proyek dengan memberi
peluang uang ratusan juta rupiah, yang mensyaratkan dilakukannya
penelitian dan stuktur kegiatan penelitian, segera diserobot tanpa
melihat kemampuan.
Bisa kita bayangkan bagaimanakah agak pusingnya Pak Kholid
(Ketua LPM STAI Dipo) yang harus mendapatkan ratusan juta itu,
tetapi di satu sisi harus merekrut orang yang sudah pernah melakukan
penelitian. Kita tak tahu apakah ia adalah seorang peneliti—tentu
(secara substansial) hanya melakukan 3—4: penelitian, tidak cukup untuk
menyebut orang tersebut sebagai peneliti (researcher). Penulis pernah
selama 6 bulan menjadi peneliti tamu di sebuah lembaga internasional
di Jakarta 2006, selain skripsi pernah menjadi delegasi lomba karya
tulis ilmiah mahasiswa, menjadi pengurus sebuah UKM Lembaga
Mahasiswa Ilmiah Mahasiswa (LIMAS) di Fakultas ISIP Universitas
Jember 1999-2000, telah menulis 17 buku. Akan tetapi, jujur, penulis
lebih suka disebut sebagai "pemerhati" daripada "peneliti".
Namun barangkali, karena Pak Kholid menjabat sebagai ketua
LPM yang memang secara formal identik dengan lembaga penelitian,
dia bisa jadi merasa bahwa lembaganya "layak jual". Maka, direkrutlah
nama-nama untuk masuk dalam struktur anggota peneliti yang ternyata,
sebagaimana diberitakan Radar Tulungagung (Jawa Pos Group), hanya
dicatut tanpa pemberitahuan. Hal yang memalukan adalah membuat
penelitian fiktif, karya orang lain dipakai dengan nama dirinya. Praktis,
penulis yakin, beliau tak melakukan penelitian sama sekali.
Penulis khawatir jika penelitian fiktif dan kasus pragmatisme dan
manipulasi dalam dunia akademis kita sebenarnya sudah menggejala
dan menunjukkan betapa kian menurunnya kualitas pendidikan tinggi
kita. Lihat saja fakta terbaru yang merupakan publikasi tahunan yang
dilakukan The Times High Education Supplement (THES) bersama
Quacquarelli Symonds (QS) 2008. Dalam dokumen Top 400
Universities: World University Rankings 2008, ada tiga nama perguruan
tinggi di Indonesia: UI Jakarta di ranking ke-287, ITB Bandung di
ranking ke-315, dan UGM Yogyakarta di ranking ke-3l6. Selain itu,
tidak ada satu pun perguruan tinggi kita yang berhasil bertengger dalam
daftar 400 besar perguruan tinggi berkelas dunia itu.
Ternyata salah satu sebab kita tidak masuk daftar 175 besar
adalah karena miskinnya penelitian (riset). Padahal riset adalah hal
yang paling penting untuk menilai apakah suatu PT maju atau tidak.
Sebenarnya, Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas tidak pernah
henti-hentinya memicu dan memacu para dosen, baik dosen PTN
maupun PTS, untuk melakukan penelitian guna mengembangkan
ilmu yang diampunya. Bahkan, dana bermiliar-miliar rupiah disediakan
untuk kegiatan tersebut, namun hal itu belum mampu menghasilkan
prestasi yang optimal. Buktinya, seperti terjadi di STAI Diponegoro
Tulungagung: dana diterima, jumlahnya ratusan juta rupiah, tapi
penelitian tidak dilakukan. Apakah kita akan menutup mata dengan
penyakit kronis semacam ini?
5. Memanipulasi Kualitas: Sertifikasi Guru dan Dampaknya bagi
Pembentukan Karakter
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berkualitas,
guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik
dan kompetensi. Atas landasan inilah, pada tahun 2005 pemerintah
mengeluarkan kebijakan sertifikasi dalam bidang pendidikan. Dalam
hal ini, guru adalah profesi yang kualifikasi akademik dan kompetensi
memenuhi standar. Dengan cara itulah, kualitas pendidikan nasional
akan dicapai.
Dasar hukum kebijakan tersebut adalah Undang-undang No. 14/
2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam pasal 8, ditegaskan bahwa,
"Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan pendidikan nasional. " Undang-undang tersebut
diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. Di dalamnya ditetapkan delapan
standar nasional pendidikan yang harus menjadi acuan sekaligus kriteria
dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik
dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Masalahnya, karena sertifikasi dibiayai oleh pemerintah, sesuai pasal
13 ayat (1) UU Guru dan Dosen, justru jadi perebutan kewenangan
siapa yang ingin melakukan sertifikasi.
Kita berhak menilai apakah kebijakan tersebut berdampak besar
bagi kualitas pendidikan kita. Pada praktiknya, saat ini setelah guru
mendapat sertifikat selesai sudah, tidak ada kelanjutannya untuk
pengembangan interpersonal dalam mengembangkan pedagogik,
guru tidak diarahkan untuk semakin mengembangkan kapasitas
pengetahuanya, tetapi sekadar diarahkan guna mengejar sertifikat
dengan iming-iming kenaikan tunjangan semata.
Banyak pihak juga melihat adanya penyimpangan dalam
pelaksanaan sertifkasi guru. Misalnya, telah terjadinya praktik
kecurangan kolektif yang dilakukan oleh para guru. Selain itu, banyak
kasus kolusi dalam penentuan guru yang akan mengikuti ujian seleksi
sertifikasi. Dinyatakan pula beberapa "permakluman" atas tindak
kecurangan tersebut diakibatkan oleh keinginan yang kuat dari para
guru untuk lulus dalam ujian sertifikasi lantaran syarat pengumpulan
poin penilaian sangat berat dan tidak mungkin dicapai oleh para guru
senior yang sibuk dengan urusan rumah tangga dan kegiatan belajar
mengajar.
Proses upgrading yang dilakukan juga sering kurang tepat
dikaitkan dengan tujuannya. Amanat untuk meningkatkan empat
kompetensi guru sebagaimana ditegaskan dalam UU Guru dan Dosen
No. 14 Tahun 2005, terutama pasal Pasal 10 tentang kompetensi
guru dan pasal 32 tentang pembinaan dan pengembangan, tidak
dilaksanakan dengan baik, bahkan terkesan asal jalan. Hal yang paling
banyak dilakukan adalah lebih banyak menguatkan kompetensi
profesional yang lebih bersifat manajerial kelas dan administratif
Sedangkan, kompetensi lain yang meliputi pedagogis, kepribadian,
dan sosial hampir diabaikan.
Manajerial kelas dipenuhi hanya dengan memenuhi tuntutan
jam mengajar dan kompetensi mata pelajaran yang diampu—yang
sulit sekali diukur, dan mudah sekali dikuantifikasi. Hal-hal yang
administratif biasanya mudah sekali dipenuhi, misalnya untuk
terpenuhinya jumlah sertifikat bukti ikut seminar, diklat, lokakarya,
dan lain-lain, guru bisa beli sertifikat.
Dari situasi ini, tampak jelas bahwa pemerintah belum
menyiapkan karakter guru berkualitas sebagaimana mestinya. Tiba-tiba
penekanannya pada sertifikasi dengan pendekatan penilaian portofolio.
Pembangunan karakter (character building) tidak dibentuk, tetapi
pemerintah sudah mengiming-imingi para guru dengan tunjangan
profesi pendidik sebesar satu kali gaji pokok (sebagaimana dituliskan
dalam Pasal 6 Peraturan Menteri No. 18 Tahun 2007 Tentang
Sertifikasi Bagi Guru.
Kemudian, terjadi pragmatisme, oportunisme, manipulasi,
kecurangan, kebohongan, dan pembodohan. Bagi guru, kebijakan ini
sedikit sekali meningkatkan kualitas—yang meningkat mungkin gaji
dan tunjangan karena lolos sertifikasi, tetapi belum tentu kualitasnya
meningkat karena formalitas dan kecurangan yang ada.
Selain manipulasi dan kecurangan, kebutuhan sertifikasi kemudian
juga melahirkan tindakan komersialisasi. Ini juga yang memunculkan
lembaga yang berusaha mengomersialkan jasa. Terutama, komersialisasi
ilmu melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk guru. Kira-kira
akhir tahun 2008-awal tahun 2009, penulis diajak (tanpa ikatan
kontrak) sebuah lembaga diklat dari Malang untuk menjadi pembicara,
yang kebetulan penulis diberi tema sesuai apa yang penulis geluti,
tema yang harus penulis sampaikan dalam pelatihan itu adalah "Kiat
Menulis Agar Tembus di Media Massa untuk Guru". Bersama lembaga
tersebut, penulis diajak keliling-keliling hampir ke seluruh kabupaten/
kota se-Jawa Timur.
Memang luar biasa peserta diklat guru yang diadakan oleh"
lembaga itu. Guru-guru seharusnya ikut pelatihan dan bukti bahwa
mengikutinya mereka dapat sertifikat yang akan digunakan sebagai
bukti untuk memenuhi portofolio sertifikasi. Lembaga Diklat dari
Malang ini benar-benar mereguk banyak keuntungan. Bayangkan, tiap
seminar rata-rata guru membayar Rp50. 000, 00. Dalam banyak hal,
seminar ini melanggar peraturan yang telah ditetapkan jika seandainya
waktu yang tertera di sertifikat tidak disikapi karena biasanya lembaga ini
memberikan seminar dengan tiga materi (waktu itu 'Hypno-Teaching:
Kiat Mengajar Dengan Otak Bawah Sadar', 'Pembelajaran Berbasis
Web', dan—untuk materi yang harus penulis sampaikan—'Kiat
Menulis Artikel Agar Tembus di Media Massa untuk Guru').
Tidak mungkin diklat dengan tiga materi bisa dilaksanakan
selama setengah hari. Dalam portofolio, waktu diklat tidak mungkin
dilaksanakan selama 1, 5 jam. Lembaga diklat memberikan tiga sertifikat
dengan dituliskan waktu yang berbeda dan seakan waktu (durasi) diklat
terpenuhi. Misalnya, seminar setengah hari dengan tiga materi itu
di sertifikatnya yang tiga diberi waktu yang berbeda pula, misalnya
tiga hari dengan waktu (durasi) ditulis di sertifikat diupayakan sesuai
dengan portofolio. Itulah bentuk manipulasi dan kebohongan. Apa
yang senyatanya tak sesuai dengan apa yang dituliskan di sertifikat.
Manipulasi dan kebohongan berikutnya adalah soal jual beli
sertifikat atau pemberian sertifikat bagi peserta seminar yang tidak hadir
(titip beli sertifikat). Ia tidak mau hadir (alasannya: tidak bisa hadir),
tetapi ia menitipkan pada temannya uang sejumlah harga seminar hari
itu. Tanpa hadir dalam seminar dan pelatihan, dia pun dapat sertifikat.
Gejala seperti ini terjadi di berbagai kota. Kadang, meskipun yang
datang sedikit, sebenarnya peserta seminar sangatlah banyak (sedikit
karena hanya titip beli sertifikat).
Artinya, peserta yang datang kadang memang fluktuatif jika
dilihat dari kehadiran nyata, misalnya penulis baru tahu bahwa peserta
yang mendaftar (peserta yang datang plus peserta yang hanya titip beli
sertifikat) sebenarnya kadang bisa mencapai 1. 000 orang. Dengan
sejumlah pendaftar sebanyak itu, dengan 3 materi diklat sejumlah
3 dan peserta membayar Rp75. 000, 00 (seperti biasanya), jumlah
uang yang didapat oleh lembaga tersebut adalah Rp75. 000. 000, 00.
Penyelenggara akan banyak mendapatkan keuntungan. Sejumlah itu
dikurangi "biaya produksi", misalnya sewa gedung, honor pembicara,
konsumsi, transportasi, dan lain-lain. Ternyata lembaga diklat justru
senang kalau peserta yang sudah daftar tidak hadir dan hanya titip
beli sertifikat. Hal itu akan mengurangi biaya produksi, misalnya jatah
makan siang berkurang. Katakanlah jika yang titip beli sertifikat ada
300 orang, ia bisa mendapatkan keuntungan (menghemat) sebesar
Rp. 4, 5 juta.
Jadi, ternyata lagi-lagi pendidikan buruk dan dipertahankan
karena ada kepentingan-kepentingan pihak yang ingin mendapatkan
keuntungan darinya. Sertifikasi guru dapat berjalan, tetapi atas basis
manipulasi dan kebohongan, alias formalitas semu. Seperti seminar dan
diklat itu, banyak yang tidak hadir, tetapi mendapatkan sertifikat.
Namun, penulis menemukan tindakan tegas dari seorang Kepala
Dinas Pendidikan di Kabupaten Trenggalek (tempat penulis tinggal).
Beliau bertindak tegas demi berkurangnya manipulasi yang ada. Nama
beliau adalah Abu Mansur, seorang pendidik yang waktu itu menjadi
Kepala Dinas. Menurut penulis, orang yang memiliki karakter seperti
beliau sangatlah langka, sosok yang masih ingin mempertahankan
idealismenya. Banyak cerita dari teman-teman guru yang mengisahkan
betapa seriusnya dan idealismenya beliau.
Beberapa hal yang dapat penulis lihat dari upaya Bapak Abu
Mansur adalah beliau sering harus memastikan bahwa dalam sehari
tidak ada boleh ada seminar dengan dua materi oleh lembaga yang
sama dan peserta yang sama karena menurut portofolio ukuran diklat
itu sekian" jam (padahal yang terjadi hanya 1, 5 jam). Bahkan, tak
jarang beliau turun langsung ke lapangan, ke tempat seminar. Waktu
itu ada diklat dengan yang memberikan dua materi dalam sehari
dengan lembaga yang sama (dari Malang), bertempat di gedung
Hotel Hayamwuruk. Beliau turun langsung untuk meninjau dan
memperingatkan langsung di hadapan peserta seminar bahwa sertifikat
salah satu materi tidak laku—dengan mengatakan pula bahwa beliau
sudah memperingatkan hal seperti itu sebelumnya. Banyak guru
yang kaget, bahkan orang-orang dari lembaga diklat dari Malang itu
mukanya merah. Kejadian lucunya, ketika panitia berusaha menyogok
Kepala Dinas dengan memberikan sejumlah uang (dalam amplop).
Jelas Pak Abu menolak.
Itulah salah satu pendidikan karakter yang penting, dengan
memberi contoh dan bertindak untuk melawan arus kebohongan yang
mengalir dalam dunia pendidikan kita. Bapak Abu Mansur memang
akan dibenci oleh sebagian guru yang memandang tindakannya
terlalu ketat, guru-guru pragmatis yang tak percaya pada kebenaran
dan sudah putus asa meningkatkan kualitasnya dan hanya tahu jalan
pintas. Bapak Abu boleh jadi tidak disenangi oleh lembaga diklat yang
dipermalukan, atau mungkin di kalangan pejabat yang menganggap
bahwa orang jujur akan menghambat kinerja birokrasi yang berjalan
dengan budaya dangkal dan korup. Akan tetapi, sebagai seorang yang
konsisten terhadap prinsip, tindakan beliau itu adalah teladan yang
haik agar orang-orang yang percaya pada nilai-nilai akan bisa bertahan
karena ternyata masih ada teman, masih ada guru dan pimpinan yang
sebenarnya ingin berjalan lurus melawan penyimpangan.
Kabarnya, Bapak Abu Mansur sering mengeluhkan hasil
pembuatan KTI (Karya Tulis Ilmiah) yang dibuat oleh guru yang
mengajukan sertifikasi. Ia jelas tahu bahwa guru-guru itu dalam
membuat KTI dibuatkan orang lain. Sayangnya, dia sendiri tak cukup
tahu siapakah oknum di balik pembuatan KTI yang konon berasal
dari lingkungan dinas di kabupaten sebelah. Namun, Bapak Abu tak
mau kompromi dengan KTI yang pembuatannya (baca: jiplakannya)
keterlaluan. Dia adalah sosok yang teliti dan mengetahui mana karya
yang asli dan mana yang tidak. Sayang, beliau tak mau frontal karena
kalau mau jujur hampir semua KTI itu adalah buatan orang, bukan
buatan sendiri. Ada yang orisinal alias buatan sendiri, tetapi sangat
sedikit.
Ya begitulah, sertifikasi menghasilkan percaloan dan komersialisasi,
yang mendukung kepalsuan dan kebohongan untuk memenuhi
formalitas persyaratannya. Ada penjual sertifikat seminar; ada calo karya
tulis ilmiah; dan ada hal-hal lainnya lagi yang dapat diceritakan di lain
waktu. Jadi, kompetensi guru tak mengubah karakter, bukan?
6. Kompetisi dalam Pendidikan dan Dampaknya pada
Pembentukan Karakter
Ideologi kompetisi (persaingan) sadar atau tidak telah membentuk
karakter tersendiri pada kita, terutama anak didik melalui kompetisi
yang didoktrinkan dalam lembaga pendidikan. Kompetisi telah
menggantikan hubungan sosial yang penuh dengan "gotong royong"
dan saling bekerja sama karena dengan kompetisi, tiap orang harus
memikirkan dirinya untuk meraih tujuan, saling bersaing agar dirinya
menggapai yang terbaik.
Kompetisi dalam dunia pendidikan terjadi antara sekolah-sekolah
yang ingin mendapatkan murid-murid dan cara mirip produk
komersial memasarkan dirinya. Akhirnya, pendidikan dikelola dengan
membuat pihak pengelola lembaga pendidikan agar meningkatkan
mutu pendidikan berdasarkan perkembangan ekonomi industri
yang profesional, efektif, dan efisien. Banyak sekolah mulai TK
hingga perguruan tinggi bersaing untuk mendapatkan "pelanggan"
atau "konsumen"—sebuah istilah yang sangat berorientasi bisnis
(keuntungan materi).
Pemikiran komersialistik dalam pendidikan secara tegas
disarankan oleh manajemen pendidikan yang menyarankan agar
lembaga pendidikan menerapkan prinsip Total Quality Management
(Management Mutu Terpadu) dalam pendidikan. Pendidikan diatur
untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan meningkatkan sumber
daya manusia (SDM) yang siap terjun dalam persaingan industrialisasi.
Penerapan manajemen mutu pendidikan yang telah dikenal sebagai
Total Quality Education (TQE) dikembangkan dari konsep Total
Quality Management (TQM), yang awalnya adalah manajemen yang
ada pada dunia bisnis. Adopsi manajemen pendidikan semacam inilah
yang membuat sekolah menjadi ajang bisnis dan lembaga komersial.
Operasionalisasi prinsip Total Quality Management in Education,
misalnya, membuat para pengambil kebijakan dan pelaksana pendidikan
harus menjalankan sekolah (sebagai lembaga pelayanan publik) seperti
menjalankan manajemen perusahaan berorientasi bisnis.
Padahal, jelas sekali bahwa sekolah bukanlah pabrik, sekolah
liukan perusahaan untuk mencari keuntungan. Model sekolah yang
dikelola ala perusahaan itu juga dikeluhkan oleh Samuel Bowles dan
Herbert Gintis yang menulis buku Schooling in Capitalist America. 6
Cara sekolah mengorganisasi diri dan mengadopsi ideologi yang sesuai
dengan sistem ekonomi kapitalis akan berimbas pula pada bagaimana
warga sekolah diperlakukan. Karena organisasi ekonomi kapitalis
mempengaruhi hubungan-hubungan antara elemen-elemen pendidikan,
sekolah tak jauh beda dengan bagaimana ekonomi diorganisasi untuk
menghasilkan produksi. Misalnya, guru memiliki otoritas dalam
menentukan tujuan dan aktivitas apa yang dilakukan bagi anak-anak
didiknya—seperti manajer perusahaan yang juga berwenang untuk
menyusun agenda dan tujuan produksi ekonomi bagi para buruhnya.
Murid yang mirip buruh hanyalah objek yang tunduk pada majikan.
Upah buruh adalah gaji, sedangkan upah murid adalah nilai ujian
yang ada di rapor. Sama seperti buruh dalam kapitalisme, para murid
juga mengalami alienasi dan ketertindasan dari hasil dan proses belajar
yang ada.
Kita telah melihat sekarang ini bagaimana antar-sekolah bersaing
seperti pacuan kuda atau lomba lari cepat untuk memperebutkan
siswanya. Berbagai metode pemasaran diterapkan dan dipilih oleh
masing-masing sekolah. Menurut Eko Prasetyo, ada beberapa hal yang
6 Samuel Bowles & Herbert Gintis, Schooling in Capitalist America, (New York: Basic Book, 1976
harus dilakukan/ Pertama, yang biasa dilakukan adalah menyulap
bangunan dengan permukaan yang licin dan ornamen yang mahal,
menyulap sekolah dan perguruan tinggi jadi tempat yang nyaman dan
bersih. Sebuah kampus sudah jamak jika kelasnya dilengkapi AC, pakai
lift untuk gedungnya yang bertingkat-tingkat, bahkan ruang kelasnya
ada yang dilapisi karpet.
Kedua, cara yang biasa dilakukan di kalangan perguruan tinggi
adalah dengan membuka kelas jauh di berbagai daerah (biasanya
di tingkatan kabupaten). Cara ini menjadi upaya untuk menjaring
beberapa pegawai yang ingin mendapatkan gelar. Banyak perguruan
tinggi yang lincah melakukan hal ini karena didukung oleh koneksi
mereka di birokrasi. Sasaran konsumennya adalah pegawai yang ingin
menaikkan pangkat atau yang ingin mengikuti program kompetensi.
Ketiga, cara lainnya adalah memperbanyak program diploma dan
ekstensi—dengan masing-masing kampus harganya (biayanya) bersaing.
Dalam program diploma, ditawarkan janji cepat mendapatkan kerja
dan karier. Sedangkan, dalam program ekstensi, ditawarkan kuliah di
akhir pekan, biasanya peserta didiknya adalah orang-orang yang sudah
bekerja. Dengan kuliah singkat dan cepat pula, bagi orang yang sibuk
kerja itu kuliah bisa dilaksanakan.
Adapun persaingan pada level pendidikan TK dan Sekolah Dasar
dan Sekolah Menengah, justru terjadi persaingan yang sangat ketat.
Mulai dari level kelompok bermain (playgroup), berdiri lembaga-lembaga
pendidikan yang menawarkan berbagai macam daya tarik. Berbagai
penyelenggara pendidikan harus bersaing ketat. Penyelenggara
pendidikan yang kalah bersaing, sekolahnya tidak mendapatkan murid.
Dengan demikian, peluang untuk mendapatkan uang pun menjadi
kecil. Peluang yang didapat dari banyaknya jumlah murid untuk
7. Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, (Yogyakarta: Resist Book, 2008), hlm. 65-69.
sekolah-sekolah pinggiran cukup besar untuk mendapatkan uang sejak
ada program BOS karena tiap anak mendapatkan jatah BOS. Biasanya,
sekolah mengutip (memotong) anggaran BOS per anak. Jadi, semakin
banyak muridnya, juga akan mendapat kutipan banyak.
Imbas persaingan antar-sekolah terhadap karakter warga sekolah,
antara lain adalah sebagai berikut.
Penyelenggara pendidikan, terutama melibatkan para guru, dipaksa
untuk mencari konsumen dan pada saat melakukan ini mereka tak
dilatih untuk memandang anak-anak calon peserta didik sebagai
objek yang akan dijadikan sumber penghasilan. Dengan cara ini,
guru-guru dilatih untuk mengubah cara pandang tentang posisi
anak, dari anak yang punya hak yang terhadap pendidikan, menjadi
objek yang bisa membuatnya mendapatkan penghasilan.
Akibat cara pandang yang terbiasa melihat anak sebagai objek,
karakter yang dibangun guru berkaitan dengan persepsi mereka
terhadap anak, yaitu anak sebagai konsumen. Kadang juga dilihat
sebagai pihak yang lebih rendah derajatnya, apalagi kalau si anak
berasal dari kalangan miskin. Ada guru yang menyimpan rasa
dalam bawah sadar bahwa mereka anak-anak itu tidak sama dengan
derajatnya, miskin itu menjijikkan, dan perasaan bawah sadar itu
dalam banyak hal memengaruhi tindakan dan peran guru.
Adapun selain kompetisi antar-sekolah (lembaga pendidikan),
realitas kompetisi juga terjadi di kalangan peserta didik. Kompetisi
sebenarnya bukan semata-mata hal yang negatif. Kompetisi juga
berguna dalam hal-hal tertentu, baik individu maupun kelompok sosial,
tentu dengan syarat-syarat tertentu. Anak yang sudah kuat ekonomi
dan intelektualnya tentu tidak adil jika harus bersaing dengan anak
yang lemah. Kompetisi semacam ini bukanlah kompetisi yang sehat,
justru hanya akan melahirkan sikap eksploitasi dan kontraproduktif
Kompetisi melahirkan watak individu yang jarang mempunyai
perasaan bahwa mereka harus bekerja sama, saling melengkapi,
membantu, dan memiliki tujuan bersama. Orang yang berkompetisi
biasanya menganggap bahwa hidup harus diperjuangkan oleh—dan
ditentukan serta kembali pada—individu sendiri sehingga sulit
melihat bahwa hidup ini bisa diatur dengan cara dibagi, bahwa hidup
ada tujuan bersama. Dalam kompetisi, ada sang pemenang (winner)
dan si pecundang (looser). Persaingan dianggap sebagai pemicu
kemajuan. Apalagi, dengan standar yang telah dipatoki, para murid
harus mati-matian bersaing agar meraih standar itu dan sekaligus
menunjukkan yang terbaik. Siapa yang paling bagus, dialah yang paling
dihormati dan akan mendapatkan "hadiah" (reward) merupakan ajaran
individualisme dalam konsep kompetisi.
Dampak ideologi kompetisi dalam dunia pendidikan jauh-jauh
hari telah diperingatkan oleh para filsuf dan pengamat pendidikan.
Betrand Russel, misalnya, melihat dampak persaingan membawa dua
jenis akibat yang buruk. Menurutnya:
"Si satu pihak, gagasan tentang persaingan itu melahirkan ajaran
mengenai penghargaan terhadap persaingan yang menentang
kerjasama... dan di pihak lain, kegagalan tersebut melahirkan
sistem persaingan yang sangat luas di ruang kelas, dan dalam
rangka mendapatkan beasiswa, dan kemudian dalam upaya
mencari pekerjaan.
... Salah satu cacat terburuk dari kepercayaan akan persaingan
dalam pendidikan adalah bahwa persaingan mengakibatkan
pendidikan yang berlebihan, terutama pada murid-murid terbaik.
Pada masa kini ada kecenderungan yang berbahaya... untuk
memperbebankan pendidikan yang begitu banyak kepada orang
muda sehingga merusak imajinasi dan kecerdasan, dan bahkan
merusak kesehatan fisik mereka. Sayangnya, orang muda terpandai
yang paling menderita karena kecenderungan ini: otak-otak yang
terbaik dan imajinasi-imajinasi yang terbaik dari setiap generasi
dikorbankan pada altar tuhan Persaingan yang Agung.
... Hal pertama pada orang muda yang dimatikan oleh rata-rata
pendidik adalah imajinasi. Imajinasi bersifat tidak mematuhi
hukum, tidak berdisiplin, individual, serta tidak tepat dan juga
tidak salah—semua hal ini menyusahkan sang guru, terutama
bila persaingan mensyaratkan suatu tatanan kemanfaatan yang
kaku. "8
Pada kenyataannya, apa yang terjadi di sekolah-sekolah kita juga
tak jauh dengan apa yang diungkap Russel itu. Para murid dipaksa
bersaing dengan berbagai cara. Untuk mengejar nilai yang bagus,
mereka didukung orangtua dalam mencari pelajaran tambahan dengan
metode lebih intensif untuk mengerjakan soal-soal di lembaga-lembaga
bimbingan belajar. Ini tentu membutuhkan biaya yang mahal yang
tidak mampu diperoleh oleh anak-anak yang orangtuanya tidak
mampu—bisa sekolah saja sudah beruntung.
Dalam sistem kapitalis yang mengatur pendidikan kita, siapa yang
paling mampu membeli (dengan uang), dialah yang akan mendapatkan
banyak pengetahuan atau lebih cerdas. Pengetahuan adalah produk
yang dijual, yang punya uang banyak punya kemungkinan untuk
mendapatkan banyak pengetahuan. Namun sayangnya, kita juga hidup
di wilayah (negara) kapitalis pinggiran yang oleh kapitalis global ingin
dikondisikan agar tidak ada kebangkitan tenaga produktif (iptek) di
kalangan rakyatnya, terutama generasi mudanya—tujuannya agar
kita secara iptek tetap tergantung pada negara-negara kapitalis maju.
Maka, ada upaya pula agar anak-anak tidak menyukai pengetahuan dan
setidaknya anak-anak dan remaja tidak melihat pengetahuan sebagai
sandaran untuk membangun dirinya.
Birirand Russell, Pendidikan dan Tatanan Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 131-132.
Oleh karenanya, sekolah memang dibuat tak berdaya dalam
membentuk karakter remaja karena karakter mereka lebih banyak
dibentuk oleh masyarakat secara umum dengan doktrin-doktrin dan
cuci otaknya setiap hari melalui media-media yang menciptakan
kebudayaan yang menjunjung tinggi penampilan, kebebasan dangkal,
dan menempatkan penampilan fisik serta modal lebih berharga
daripada pengetahuan dan kecerdasan otak. Bukan menjadi masalah
bagi para peserta didik di sekolah jika dikatakan tidak cerdas dalam
pelajaran, yang penting bisa kelihatan menarik di pasar kebudayaan.
Kita telah melihat bagaimana anak-anak yang kalah bersaing
di prestasi akademis dan prestasi kreatif (seperti sastra, olahraga,
kerohanian, dan lain-lain) akan membuat remaja-remaja menegaskan
eksistensi dirinya di ranah lain. Jika mereka adalah anak-anak remaja
yang berasal dari kalangan orang kaya, persaingan dalam hal prestasi
akan dilakukan dengan cara menunjukkan bahwa dirinya menang
bersaing dalam hal bahwa ia kaya. Ia ingin menunjukkan bahwa
mobilnya bagus, bahwa ia memiliki barang-barang mewah. Kalau
cewek, dia akan menunjukkan bahwa dirinya cantik, modis, dan
seksi. Kalau cowok, ia akan menunjukkan bahwa dirinya macho dan
ganteng.
Persaingan untuk menjadi siapa yang paling modis dan
"gaul"—karena hal ini dikendalikan oleh desain budaya pemilik
modal (kapitalis)—membuat persaingan untuk memiliki kepribadian
dan karakter yang dibutuhkan bangsa ini untuk bangkit (kreatif dan
produktif alias tidak imitatif, permisif; kritis, tidak ikut-ikutan, tak
penakut dan tak sekadar tunduk patuh pada keadaan; peduli dan
tidak egois-individualis) menjadi hilang. Untuk hal yang normatif saja,
ketertarikan untuk berprestasi di bidang ilmu pengetahuan menjadi
terbatas dan bahkan berkurang. Apalagi, melihat kenyataan bahwa
ilmu pengetahuan tidak dihargai (buktinya yang pintar pun belum
tentu dapat kerja atau lolos PNS karena kalah dengan yang menyogok
dengan uang), mereka semakin merasa bahwa tak ada yang menarik
dari pengetahuan, nilai, dan prinsip.
Para koruptor, makelar, dan pimpinan negara yang gagal melawan
penjahat hukum, kebiasaan memanipulasi sesuatu yang dilakukan oleh
orang-orangtua di masyarakat, terutama para pimpinan dan tokoh
masyarakat juga perlakuan guru-gurunya di sekolah yang dianggap
tidak menghargai nilai-nilai dan ukuran akal sehat, misalnya kesadaran
mereka bahwa sekolah hanya memandang mereka sebagai penyetor
iuran dan di luar itu hanya ritualitas mengajar—hal-hal seperti itu
memasuki alam pikiran para remaja itu bahwa tak ada yang menarik
lagi tentang pengetahuan, nilai ideal, dan ukuran-ukuran yang biasanya
lahir dari pikiran ilmiah.
Pada sisi lain, mereka juga tahu bahwa yang dihargai adalah murid
yang populer dan bahkan yang tanpa punya pengetahuan, prinsip, dan
kecerdasan sekalipun. Kalau karakter dibentuk dari keteladanan, tidak
ada yang memberikan keteladanan bagi anak-anak dan peserta didik itu
selain tokoh populer budaya massa yang mengandalkan kemampuan
menghibur (dengan efek merusak modal dan mendangkalkan cara
pandang). Maka, ketika mereka harus bersaing, mereka juga harus
bersaing agar bisa tampil lebih dan paling gaul—apalagi ada upaya dari
kekuatan tertentu yang menarik pandangan bahwa ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai ideal tak menarik lagi. Toh, yang dihargai bukanlah
orang-orang pandai, pejuang kemanusiaan, penemu, dan orang-orang
kritis, melainkan orang-orang yang populer karena penampilan dan
keunikannya yang laku di pasar (kapitalisme) budaya.
Persaingan dalam pendidikan itu jelas sangatlah menekan,
mengombang-ambingkan nilai-nilai yang harus diterima oleh anak
didik. Mereka yang kalah bersaing akan merasa frustrasi, bahkan bunuh
diri. Merasa malu dengan temannya, bahkan tak jarang mengakhiri
hidup. Kita sering mendengar kisah tentang anak SD yang bunuh diri
karena malu tak bisa membayar SPP; kita sering melihat bagaimana
terterornya para pelajar karena tidak punya "pacar"—bahkan melihat
bagaimana mereka memilih mati bunuh diri karena diputuskan
pacarnya. Mirip dengan ajaran lirik lagu "Cinta Ini Membunuhku"
yang dinyanyikan grup band D'Masiv, yang seakan mau mengajak
mereka: kalau tak punya cinta, atau kalau putus cinta, matilah saja!
7. Lemahnya Karakter Pelajar dan Mahasiswa Akibat "Cinta"
(Pacaran dan Seks Bebas)
Penulis berani bertaruh bahwa tak ada isu yang paling dekat
dengan para pelajar dan mahasiswa, anak-anak didik kita, selain
masalah cinta. Pacaran pun menjadi gejala yang tak bisa lepas
dengan mereka. Permasalahannya adalah para pendidik tak pernah
memerhatikan bagaimana gejala itu sebenarnya memberi andil
cukup besar bagi perkembangan karakter mereka. Kita perlu tahu
sejauh apa isu cinta dan tindakan pacaran itu membawa dampak bagi
kepribadian mereka? Menguatkankah? Menumbuhkan kecerdasan dan
pembangunan kepribadian? Atau, jangan-jangan justru melemahkan
dan menghambat kecerdasan!
"Cinta ini Membunuhku", begitu syair lagu dari grup band
D'Masiv yang cukup dihafal remaja-remaja kita dan anak didik kita.
Maka, pacaran pun menjadi budaya yang harus diamini dan siapa
yang tak melakukannya seakan tidak "gaul". Akhirnya, media pun
memberitakan, "Seorang pelajar bunuh diri karena diputus pacarnya"
Mengapa cinta melemahkan dan menghambat proses pembelajaran
menuju insan yang berkarakter? Bagaimanakah pendidikan cinta harus
dikaitkan dengan pendidikan karakter agar pendidikan melahirkan
manusia-manusia tangguh?
Ini adalah salah satu kisah tentang "cinta" dalam "pacaran"!
Entah berapa banyak cewek, baik teman, saudara, teman saudara, atau
temannya teman penulis yang "curhat" tentang masalah ini: pacarnya
mengancam akan memutuskan hubungan jika dia tidak mau diajak
berhubungan badan (melakukan kegiatan seksual).
Pacaran pun menjadi "lembaga" bagi kegiatan seksual di kalangan
muda-mudi, bagi yang melakukannya dapat dikatakan hidupnya
sudah habis. Hidupnya di masa muda sebagai usia untuk belajar dan
menempa karakter sudah dihabisi. Sekali melakukan itu, remaja itu
akan terus ingin (ketagihan), bahkan ketika ingin otak sudah tidak
lagi jalan. Remaja semacam ini akhirnya akan menjadi barisan kaum
muda yang tak bisa lagi diharapkan bagi kemajuan bangsa. Ada yang
kemudian menikah dini, masa pencarian pemikiran sudah usai karena
tiba-tiba harus mikir bagaimana caranya ngurusi keluarga, ekonomi,
dan membesarkan anak. Ada juga yang melanjutkan kuliah (sekolah),
tetapi yang mahasiswa akan menjadikan kuliah (biasanya kos karena
di luar kota, jauh dari kontrol orangtua).
Kalau cewek, jadi mahasiswi pun kebanyakan juga terbawa arus
hedonisme, memang tidak semuanya. Akan tetapi, tak sedikit yang
menjadi pelaku seks ala kos-kosan hingga menjadi "ayam kampus".
Mengapa demikian? Si perempuan belia yang telah merasakan
nikmatnya seks sejak SMA ini tak mungkin bisa menghentikan aktivitas
seks. Pada tingkat eksistensial tertentu, dia kadang muncul kesadaran
bahwa yang terpenting bisa ajeg mendapatkan rekan seksual, entah itu
pacar (cowok) sesama mahasiswa atau lelaki lain. Apabila berhimpit
dengan kesulitan ekonomi, untuk membiayai kuliah dan membiayai
kebutuhan hedonismenya, terjerumuslah ia ke dalam profesi "ayam
kampus" (pelacur-pelacur anak kuliahan yang menjual seksnya untuk
mendapatkan uang dan kepuasan dan kebutuhan hidup).
Berawal dari pacaran itu tadi, yang biasanya diawali sejak mereka
SMP, atau bahkan sejak SD kelas 5 atau 6 saja anak-anak sekarang
sudah mulai mengenal "cinta-cintaan"—salah satunya karena acara
sinetron dan sosialisasi di masyarakat yang sudah dikuasai ideologi
sinetron.
Kalau mau jujur, pacaran biasanya lebih banyak dilakukan karena
mengikuti tren gaul daripada lahir dari suara hati. Mereka yang tidak
pacaran terpaksa harus mencari pacar gara-gara gengsi atau gara-gara
malu kalau tak punya pacar. Rasa malu dapat disebabkan takut (gengsi)
dianggap tak laku. Juga, ada faktor kesepian karena teman-teman kita
tak selalu dapat bersama kita dan buktinya mereka juga lebih banyak
menghabiskan waktu dengan pacarnya. Daripada bosan, lebih baik
juga ikut-ikutan berpacaran.
Karena "main-main" inilah, para remaja yang telah terlatih
main-main untuk menjalin hubungan dengan pasangannya
akan membentuk watak (mentalnya), mental yang masih akan
dibawanya pada saat mereka harus menjalin hubungan yang disebut
pernikahan.
Jadi, tampaknya, akan lebih baik jika dalam hubungan apa
pun, baik masih pacaran maupun pernikahan, kita menggunakan
prinsip-prinsip ketat agar kita tak main-main. Prinsip-prinsip dan
pengetahuan itu harus kita pertahankan untuk berhubungan, untuk
mengevaluasi teman dan pasangan kita yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip pembangunan relasi dan karakter diri yang demokratis
dalam memaknai hubungan cinta yang diyakininya—kalau memang
dia yakin, kalau tak yakin, untuk apa kita menjalin hubungan
serius dengan orang yang tak serius, bukan? Mustahil membangun
kepercayaan pada orang-orang yang tak dapat dipercaya.
Mustahil pula menjalin hubungan dengan orang yang main-main.
Sejak awal kita harus punya kemampuan untuk menganalisis watak
orang dekat kita, orang yang mendekati kita, yang ingin menjadi pacar
atau suami/istri kita. Makanya, cinta dapat terwujud dengan baik di
hadapan kita kalau kita memiliki kemampuan memahami masalah
diri kita, masalah eksistensi orang lain. Cinta sejati dimiliki orang yang
biasanya berpengetahuan.
Kebiasaan main-main adalah latihan psikologis yang bagus
untuk menciptakan pribadi-pribadi yang suka berbohong. Kebiasaan
berbohong dalam hubungan antar-manusia juga menyebabkan lahirnya
rasa tidak percaya.
Jujur saja, untuk menjalin cinta yang dalam dengan seseorang,
Anda harus terintegrasi dengan pasangan Anda. Anda mengetahui
pasangan Anda, tak ada yang ditutup-tutupi, pasangan Anda juga
tahu Anda, siapakah Anda dan apakah agenda-agenda yang Anda
rencanakan dan bagaimanakah cinta Anda. Pasangan cinta yang
dicari secara dadakan—sebagaimana mencoba melakukan hubungan
dengan orang yang belum kita kenal secara mendalam—adalah bualan
hubungan cinta yang paling nyata.
B. Tidak Adakah Sedikit pun yang Baik? Tidak Adakah
Potensi untuk Mengubah Pendidikan Menjadi Lebih
Baik?
Tidak adakah potensi untuk mengubah pendidikan menjadi lebih
baik? Tidak semata-mata sekolah. Sekolah hanyalah bagian kehidupan.
Kehidupan bukan hanya sekolah; bukan hanya kesalahan Departemen
Pendidikan; bukan hanya salah Dinas Pendidikan, kepala sekolah,
atau guru-guru sebab mereka hanyalah bagian kecil dari kehidupan.
Kehidupan yang penulis maksud adalah kehidupan yang berisi
kontradiksi-kontradiksi yang menyebabkan dibentuknya karakter
yang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam menghadapi kehidupan
yang maju, demokratis, manusiawi, dan diwarnai spiritualitas yang
tidak mengasingkan.
Untuk mencapai perubahan menuju pendidikan yang lebih
baik, tugas para pemimpin bangsa sebenarnya bukan saja membuat
undang-undang dan membuat kebijakan yang harus dilaksanakan oleh
para bawahannya di tingkatan birokrasi pendidikan. Akan tetapi, mereka
harus memahami kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalam bangsa ini,
yang menghambat proses pendidikan. Kontradiksi adalah sebab-sebab
material (nyata) yang membatasi orang untuk bergerak. Oleh karena
itu, batasan-batasan itu harus dihilangkan. Sebelum dihilangkan, ia
harus dikenali terlebih dulu. Jika salah dalam mengenali kontradiksi
pokok, kebijakan yang dilakukan juga tak akan menghasilkan "obat"
yang "manjur" untuk menyembuhkan penyakit.
Ketimpangan dan penyimpangan di dunia pendidikan adalah
penyakit yang sering terus menular ke seluruh tubuh, akan merembet
untuk merusak jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh bangsa yang
kian terbelakang ini—karena kita tetap dan masih sakit. Ada kesadaran
terhadap penyakit ini, tentu saja. Zat-zat tubuh sebagian juga ada
semacam resistensi terhadap penyakit, bahkan bisa memproduksi
kekebalan terhadap jaringannya.
Di atas tadi penulis menceritakan hal jelek tentang dunia
pendidikan, dengan kontradiksi-kontradiksi pokok dan ikutan-ikutannya
pada kontradiksi-kontradiksi khusus yang menggambarkan betapa
terjadi efek luar biasa dari pendidikan kapitalistik dan feodalistik
pada praktek-praktek sehari-hari. Dengan menganalisis kontradiksi-
kontradiksi pokok, kesannya memang akan menggambarkan bahwa
tingkat kerusakan pendidikan kita, dengan kebijakan dan karakter
pelaku dan karakter output-nya sangatlah parah.
Akan tetapi, penulis ingin mengatakan bahwa di tengah situasi
yang cenderung rusak, masih tetap ada orang-orang dan kumpulan
orang yang masih mau berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan.
Terus terang penulis masih bisa menjumpai guru-guru yang penuh
dedikasi, serius menjalani profesinya, masih bertahan di tengah
kesulitan hidup dan tabah dalam mengajar, menjadikan mengajar
sebagai bagian dari dedikasi (pengabdian) pada kemanusiaan, bukan
semata-mata untuk dipertukarkan dengan uang. Penulis menjumpai
guru-guru muda dengan ide-ide cerdas dan segar, yang mau berjuang
bersama dalam proses pencerahan. Mereka berkumpul dan berdiskusi
dan membicarakan bagaimana caranya menghadapi sistem yang
membodohi.
Penulis juga masih bisa bertemu dengan orang-orang yang mau
diajak berpikir dan bersuara dan memperluas suara itu. Aktivitas itu
adalah pendidikan dan penyadaran, membuat orang mau berpikir dan
menghasilkan kesimpulan yang produktif untuk menegaskan sikap
pada penyimpangan dan pembodohan. Syukur masih ada orang yang
tak hanya teriak-teriak hanya untuk sekadar mencari-cari masalah,
menakut-nakuti, lalu akan segera bungkam setelah dibeli. Di era ini
memang banyak orang yang bisa mengkritik dan berani bersuara keras,
tetapi kadang sulit dibedakan mana yang teriak serius atau teriak agar
diperhatikan dan dibungkam.
Belajar bersama adalah yang terbaik, menyuarakan sesuatu dengan
pelan, tapi pasti, kemudian secara konsisten dan masif masuk ke
ruang-ruang (menciptakan ruang kalau belum ada) untuk mengajak
pada kebaikan, menunjukkan adanya kontradiksi-kontradiksi,
dan menunjukkan akar permasalahannya dan bagaimana caranya
mengubah. Dalam konteks ini, yang sedang dilakukan adalah
pembangunan karakter dengan jalan yang lembut. Metode terapi
diri dan memasifkan suara-suara ajakan untuk perubahan adalah
jalan membangun karakter. Tidak perlu keras-keras, hanya akan
menimbulkan reaksi resisten dan reaksi balik yang membuat kita justru
diserang dan eksistensi kita akan segera habis. Kita tunjukkan karya
untuk membuat orang lain percaya, kita tunjukkan konsistensi agar
orang lain yakin bahwa mempertahankan prinsip itu sangat penting
dan bisa dilakukan.
Tujuan pendidikan untuk mencerahkan, memberdayakan,
meningkatkan pengetahuan, menularkan pikiran kritis, dan lain-lain
harus menjadi tanggung jawab kita semua. Butuh strategi dan taktik
yang cerdas untuk mengajak kita semua peduli terhadap nasib bangsa,
terutama generasi mudanya. Pendidikan karakter merupakan tanggung
jawab kita semua, termasuk tugas bangsa-negara (pemerintah) yang
diharapkan pemimpinnya menjadi pelopor di garda depan.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam
mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas
menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. "
Tujuan pendidikan nasional merupakan rumusan kualitas manusia
Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan.
Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar
dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Dasar
suatu kebijakan dan tindakan, entah itu undang-undang atau peraturan
tertulis yang berisi panduan ideal tentang apa yang harus dilakukan,
tampaknya akan terlaksana dengan baik jika para pelaksananya
memiliki sifat yang baik.
Undang-undang tidak akan berimbas pada kebijakan dan praktik
yang baik dan bermanfaat dan menyentuh persoalan jika karakter
bangsa dan watak para pelaksananya tidak berubah. Perubahan mental
butuh intervensi pengondisian dari luar. Biasanya yang dibutuhkan
adalah pemimpin yang tegas, berani, dan secara massif memelopori
perubahan karakter dengan menerapkan program-program yang berani
(menjawab persoalan) dan mengawalnya hingga terjadi perubahan.
Dalam kebijakan pendidikan, juga harus secara tegas dibutuhkan
pemimpin yang berani menghukum pelaku penyimpangan-
penyimpangan yang ada. Kemudian, dibutuhkan guru-guru yang
berdedikasi dan memiliki metode pengajaran yang mampu menjebol
karakter yang mencerminkan watak buruk manusia (penakut, pengecut,
tidak demokratis, otoriter, tidak adil, manipulatif, pembohong, dan
lain-lain). Butuh metode pengajaran yang demokratis, inspiratif,
motivatif, dialogis, dan pluralis untuk menciptakan karakter anak
bangsa yang tangguh agar bangsa tidak lumpuh!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar