Pancasila sebagai dasar Negara republik Indonesia sebelum
disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh PPKl, nilai-nilai tersebut
telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala
sebelum bangsa Indonesia mendirikan Negara yang berupa nilai-nilai
adat istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut
tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, sehingga bangsa
Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Proses perumusan
materi Pancasila secara formal tersebut dilakukan dalam sidang-
sidang BPUPKI pertama, sidang panitia "9", sidang BPUPKI ke dua,
serta akhirnya disahkan secara yuridis sebagai dasar filsafat Negara
Republik Indonesia.
Nilai-nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila yaitu:
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan, dalam
kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak
zaman dahulu kala sebelum mendirikan Negara. Proses terbentuknya
negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup
panjang yaitu sejak zaman batu kemudian timbulnya kerajaan-kerajaan
pada abad ke IV dan ke V kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia
telah mulai tampak pada abad ke VI, yaitu ketika timbulnya kerajaan
Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra di Palembang, kemudian
kerajaan Airlangga dan Majapahit di Jawa Timur serta kerajaan-
kerajaan lainnya.
Sejarah perumusan Pancasila ini berawal dari pemberian janji
kemerdekaan di kemudian hari kepada bangsa Indonesia oleh Perdana
Menteri Jepang saat itu, Kuniaki Koiso pada 7 September 1944. Lalu,
pemerintah Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945 (2605,
tahun Showa 20) yang bertujuan untuk mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan tata pemerintahan Indonesia Merdeka.
Organisasi yang beranggotakan 74 orang (67 orang Indonesia, 7
orang Jepang) ini mengadakan sidang pertamanya pada 29 Mei 1945-
1 Juni 1945 untuk merumuskan falsafah dasar negara bagi negara
Indonesia. Selama tiga hari itu tiga orang, yaitu, Mr. Muhammad
mereka bagi dasar negara Indonesia.
Orang yang pertama memberikan pandangan mengenai dasar
negara Indonesia pada sidang BPUPKI 29 Mei 1945 adalah Mr.
Muhammad Yamin mengemukakan lima asas sebagai berikut:
1. Peri kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat.
Setelah pidato menyampaikan usul tertulis mengenai rancangan
UUD RI. Di dalamnya tercantum rumusan lima asas:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kebangsaan persatuan Indonesia.
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per-
musyaratan/ perwakilan.
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prof. Dr. Soepomo memberikan pandangan mengenai dasar ne-
gara Indonesia merdeka pada 31 Mei 1945, mengusulkan lima asas:
1. Persatuan
2. Kekeluargaan
3. Mufakat dan demokrasi
4. Musyawarah
5. Keadilan Sosial.
Ir. Soekarno memberikan pandangannya pada 1 Juni 1945
beliau mengusulkan lima asas untuk dasar negara Indonesia merdeka
sebagai berikut:
1. Kebangsaaan Indonesia.
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
3. Mufakat atau demokrasi.
4. Kesejahteraan Sosial.
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI Ir. Soekarno mengusul-
kan agar dasar negara Indonesia diberi nama Pancasila (atas petunjuk
kawan beliau Seorang ahli bahasa). Tgl 1 Juni bukanlah lahirnya Pan-
casila melainkan lebih tepatnya hari lahir "Istilah Pancasila" karena
nilai-nilai Pancasila ada sejak adanya bangsa Indonesia
Sidang BPUPKI belum berhasil mencapai kata sepakat mengenai
dasar negara maka perlu membentuk panitia khusus yang diberi nama
Panitia Sembilan. Yang diketuai Ir. Soekarno. Panitia Sembilan pada
22 Juni 1945 mengadakan pertemuan dan menghasilkan suatu piagam
yang dikenal dengan nama "Piagam Jakarta" atau Jakarta Charter. Di
dalamnya terdapat rumusan dasar negara Indonesia merdeka yaitu:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada 17 Agustus 1945, setelah upacara proklamasi kemerdekaan,
datang beberapa utusan dari wilayah Indonesia Bagian Timur.
Beberapa utusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sam Ratulangi, wakil dari Sulawesi
2. Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran Noor, wakil dari Kalimantan
3. I Ketut Pudja, wakil dari Nusa Tenggara
4. Latu Harhary, wakil dari Maluku.
Mereka semua berkeberatan dan mengemukakan pendapat ten-
tang bagian kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD yang juga
merupakan sila pertama Pancasila sebelumnya, yang berbunyi, "Ke-
tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya".
Pada Sidang PPKI I, yaitu pada 18 Agustus 1945, Hatta lalu men-
gusulkan mengubah tujuh kata tersebut menjadi "Ketuhanan Yang
Maha Esa". Pengubahan kalimat ini telah dikonsultasikan sebelumnya
oleh Hatta dengan 4 orang tokoh Islam, yaitu Kasman Singodimejo,
Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku M. Hasan. Mereka
menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan
bangsa. Dan akhirnya bersamaan dengan penetapan rancangan pem-
bukaan dan batang tubuh UUD 1945 pada Sidang PPKI I pada 18
Agustus 1945 Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar negara Indone-
sia.
Untuk menghindari terjadinya keragaman baik dalam penulisan
maupun penyebutan, maka Presiden mengeluarkan Instruksi No. 12
tahun 1968 mengenai rumusan dasar negara Pancasila seperti tercan-
tum pada Pembukaan UUD 1945 alenia IV sedangkan rumusannya
sebagai berikut:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam per-
musyawatan/perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. PENGERTIAN POKOK PANCASILA
1. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila dalam kehidupannya ini Sering disebut sebagai dasar
filsafat atau dasar falsafah negara (philosoficche Gronslag) dari negara,
ideologi negara atau (Staatsidee). Dalam pengertian ini Pancasila
merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan
negara atau dengan lain Pancasila merupakan suatu dasar untuk
mengatur penyelenggaraan negara. Konsekuensinya seluruh pelaksana
dan penyelenggara negara terutama segala peraturan perundang-
undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini,
dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.
Gambar 2. 4 Ketua Lembaga-lembaga Tinggi Negara Indonesia
2. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa tersebut terkandung
di dalamnya konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan
terkandung dasar pikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud ke-
hidupan yang dianggap baik. Oleh karena itu Pancasila sebagai pan-
dengan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup dijunjung
tinggi oleh warganya karena pandangan hidup bangsa Pancasila be-
rakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat. Sebagai intisari
dari nilai budaya masyarakat Indonesia, maka Pancasila merupakan
cita-cita moral bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan roha-
niah bagi bangsa untuk berperilaku luhur dalam kehidupan sehari-hari
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Pengertian Pancasila dengan berbagai penyebutan dapat diikhti-
sarkan sebagai berikut
1) Pancasila sebagai jiwa Bangsa Indonesia.
Adalah Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia adanya/lahirnya
bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia, yaitu zaman Sriwi-
jaya dan Majapahit. Bahkan jauh sebelum itu yaitu jiwa Pancasila
telah ada sejak dahulu kala bersamaan adanya bangsa Indonesia.
2) Pancasila sebagai kepribadian Bangsa Indonesia.
Adalah sikap mental tingkah laku perbuatan bangsa Indonesia
mempunyai ciri khas yang berbeda dengan bangsa lain. Ciri khas
inilah yang kita maksud dengan kepribadian bangsa Indonesia
adalah Pancasila.
3) Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum/tertib hukum
RI.
Adalah semua/segala peraturan perundang-undangan yang ber-
laku di Indonesia haruslah sesuai/tidak boleh bertentangan den-
gan nilai-nilai Pancasila.
4) Pancasila sebagai perjanjian luhur Bangsa Indonesia pada waktu
mendirikan negara.
Adalah Pancasila merupakan perjanjian luhur seluruh rakyat
Indonesia oleh pendiri negara kita maka harus kita bela selama-
lamanya.
5) Pancasila sebagai Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia.
Bahwa cita-cita luhur negara kita ditegaskan dalam pembukaan
UUD1945 merupakan penuangan jiwa proklamasi, yaitu jiwa
Pancasila, sehingga Pancasila merupakan cita-cita dan tujuan
bangsa Indonesia.
6) Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa dan Negara Indonesia.
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka
Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil
perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang
sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia, namun Pancasila
diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta
nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat
Indonesia sebelum membentuk negara, dengan lain perkataan
unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain
diangkat dari pandangan hidup masyarakat sendiri, sehingga
bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) Pancasila.
C. PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT HIDUP
BANGSA INDONESIA
Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedo-
man dan pegangan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan, dalam
kehidupan sehari-hari, dan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan ber-
negara. Sebelum Pancasila menjadi dasar filsafat hidup bangsa, yaitu
sebelum 18 Agustus 1945 Pancasila menjadi nilai luhur budaya bang-
sa Indonesia yang kita kenal sebagai sifat-sifat, teposeliro (suka bekerja
keras) tepo tulodo (tolong menolong atau gotong royong) dan tepo pa-
lupi peduli kasih). Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa tumbuh dan
berkembang bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bangsa
Indonesia. Pancasila yang merupakan filsafat hidup bangsa Indonesia
yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi oleh bangsa
Indonesia. Nilai dasar yang di maksud adalah nilai ketuhanan, nilai
kemanusian, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan sosi-
al, yang urutannya termuat dalam alenia IV pembukaan. UUD1945.
D. PANCASILA SEBAGAI SISTEM MORAL DAN
ETIKET
Moral dan etika sangat berkaitan dengan nilai tatanan ataupun
nilai norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, yang menjadi
ukuran menilai manusia untuk berbuat dan bertingkah laku. Menurut
Prof. Drs. Notonagoro, SH dalam bukunya (1974) filsafat dasar negara
menyebutkan nilai di bagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Nilai material, yaitu segala yang berguna bagi unsur jasmani
manusia;
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat melakukan kegiatan atau aktivitas;
c. Nilai kerohanian, yaitu, segala sesuatu yang berguna bagi rohani
manusia. Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa nilai moral dan
etika dalam arti sistem Pancasila adalah nilai-nilai yang bersumber
kepada kehendak atau kemauan manusia untuk berbuat sesuatu,
tetapi berlandaskan kepada unsur kemauan yang baik dan positif,
di samping adanya unsur pembenar perbuatan yang bersumber
kepada rasio atau akal manusia berdasarkan nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
E. HUBUNGAN PANCASILA DENGAN UUD 1945
Pancasila dasar negara kita dirumuskan dari nilai-nilai kehidupan
masyarakat Indonesia yang berasal dari pandangan hidup bangsa
yang merupakan kepribadian bangsa, perjanjian luhur serta tujuan
yang hendak diwujudkan. Untuk mewujudkan tujuan proklamasi
kemerdekaan maka panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI)
lelah menetapkan UUD 1945 merupakan hukum dasar yang tertulis
yang mengikat pemerintah, setiap lembaga/masyarakat, warga negara
dan penduduk RI pada 18 Agustus 1945 sehari setelah proklamasi
kemerdekaan tersebut. Dalam pembagian pembukaannya terdapat
pokok-pokok pikiran tentang kehidupan bermasyarakat, bernegara
yang tiada lain adalah Pancasila pokok-pokok pikiran tersebut
yang diwujudkan dalam pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 yang
merupakan aturan-aturan pokok dalam garis-garis besar sebagai
instruksi kepada pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara untuk
melaksanakan tugasnya.
Menurut penjelasan UUD 1945 pokok-pokok pikiran tersebut
meliputi suasana kebatinan dari undang-undang negara Indonesia,
dan mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai
hukum negara baik hukum yang tertulis maupun tidak tertulis. Pokok-
pokok pikiran itu dijelmakan dalam pasal-pasal dan UUD itu. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa suasana kebatinan UUD1945
dan cita-cita hukum UUD 1945 tidak lain adalah bersumber kepada
atau dijiwai dasar falsafah negara Pancasila. Disinilah arti dan fungsi
Pancasila sebagai dasar negara.
Atau dengan kata lain bahwa pembukaan UUD 1945 yang
membuat dasar falsafah negara Pancasila, merupakan satu kesatuan ni-
lai dan norma yang terpadu yang tidak dapat dipisahkan dengan rang-
kaian pasal-pasal dan batang tubuh UUD 1945. Hal inilah yang harus
kita ketahui, dipahami dan dihayati oleh setiap orang Indonesia.
Jadi Pancasila adalah jiwa sumber dan landasan UUD 1945.
secara teknis dapat dikatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang ter-
dapat dalam pembukaan UUD 1945 adalah garis besar cita-cita yang
terkandung dalam Pancasila. Batang tubuh UUD 1945 merupakan
pokok-pokok nilai-nilai Pancasila yang disusun dalam pasal-pasal.
Dengan tetap menyadari keagungan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan dengan memperhatikan hubungan dengan batang tubuh
UUD yang memuat dasar falsafah negara Pancasila dan UUD 1945
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan bahkan merupakan
rangkaian kesatuan nilai dan norma yang terpadu. UUD 1945 terdiri
dari rangkaian pasal-pasal yang merupakan perwujudan dari pokok-
pokok pikiran terkandung dalam UUD1945 yang tidak lain adalah
pokok pikiran: persatuan Indonesia, keadilan sosial, kedaulatan rakyat
berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan dan
ketuhanan Yang Maha Esa menurut kemanusiaan yang adil dan be-
radab, yang tidak lain adalah sila dari Pancasila, sedangkan Pancasila
itu sendiri memancarkan nilai-nilai luhur yang telah mampu memberi-
kan semangat kepada bangsa Indonesia yang senantiasa terpancang
dengan khidmat dalam perangkat UUD 1945. Semangat dan yang di-
semangati pada hakikatnya merupakan satu rangkaian kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan. Seperti telah disinggung di muka bahwa di
samping Undang-undang Dasar, masih ada hukum dasar yang tidak
tertulis yang juga merupakan sumber hukum, yang menurut penjelas-
an UUD 1945 merupakan aturan-auran dasar yang timbul dan terpe-
lihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
UUD 1945 telah diamandemen terdiri 37 pasal ditambah tiga pasal
peralihan dan dua pasal aturan tambahan ditambah dengan empat
pasal Aturan Peralihan dan dua ayat aturan Tambahan, maka UUD
1945 termasuk singkat dan bersingkat dan supel atau fleksibel. Dalam
hubungan ini penjelasan UUD 1945 mengemukakan bahwa telah
cukuplah kalau Undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan
pokok garis-garis besar sebagai instruksi kepada Pemerintah pusat dan
lain-lain untuk menyelenggarakan kehidupan negara. Undang-undang
Dasar yang disingkat itu sangat menguntungkan bagi negara seperti
Indonesia ini yang masih harus terus berkembang secara dinamis, se-
hingga dengan aturan-aturan pokok itu akan merupakan aturan yang
luwes, kenyal, tidak mudah ketinggalan zaman, sedang aturan-aturan
yang menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu diserahkan kepada
Undang-undang yang lebih mudah cara membuat, mengubah dan
mencabutnya. Oleh karena itu, makin supel (elastic) untuk mencapai
tujuan nasional Indonesia.
F. PENERAPAN PANCASILA DALAM PROFESI
KEGURUAN
oleh: Khaidir Muhaj
a. Arti Budi Pekerti Dalam Profesi Keguruan
kelakuan dan akhlak seseorang yang diterapkan oleh tradisi, adat,
dan kebiasaan. Budi pekerti dalam keperawatan atau kebidanan
khususnya berarti tata susila yang berhubungan dengan cita-cita
adat dan kebiasaan yang mempengaruhi seorang perawat atau
bidan dalam menunaikan pekerjaannya.
1. Manfaat Budi Pekerti Bagi Profesi Keguruan
Dasar-dasar budi pekerti yang sehat sangat dibutuhkan untuk ke-
pribadian yang baik. Bagi anggota perawat atau bidan kepribadi-
an yang baik adalah penting, karena perawat atau bidan adalah
seorang yang memberikan pelayanan/perawatan baik terhadap
orang sakit maupun terhadap orang sehat. Perawat atau bidan bu-
kan saja merupakan keahlian untuk sekedar mencari nafkah, akan
tetapi mengingat tujuannya juga merupakan pekerjaan yang suci.
2. Manfaat Budi Pekerti yang Luhur Bagi Penderita
Seorang perawat atau bidan yang mempunyai budi pekerti yang
luhur dan menjalankan pekerjaannya dengan baik, tak akan luput
pengaruh baiknya pada penderita yang dirawatnya. Amal jasmani
dan rohani yang diberikan dengan penuh kerelaan oleh perawat
atau bidan kepada penderita, merupakan faktor penting untuk
kesembuhan, penderita tersebut. Seringkali perawat atau bidan
diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan pengertian
akhlak dan kerohanian oleh penderita. Dalam hal ini, perawat atau
bidan menjadi penolong yang berguna untuk memberi kekuatan
jiwa terutama kepada mereka yang tidak mempunyai harapan
sembuh.
1. Berminat terhadap keperawatan atau kebidanan, sehingga
perawat atau bidan dapat memberikan kepuasan perawatan
pada Penderita/klien.
2. Mempunyai rasa kasih sayang.
3. Mempunyai rasa sosial dan tabiat ramah.
4. Mempunyai kemampuan untuk menjaga nama baik perawat
atau bidan di instansi/unit kerjanya.
5. Berpikiran dan berkelakuan baik serta berbadan sehat supaya
sanggup menjalankan pekerjaannya.
Ciri-ciri perawat atau bidan yang berkarakter adalah memiliki ke-
mampuan yang profesional diantaranya:
1) Bidang akademis:
» Menguasai bidang keahlian keperawatan atau kebidanan
» Berani melakukan inovasi dan kreativitas guna pengem-
bangan profesi keperawatan atau kebidanan
» Berwawasan luas selalu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama ilmu keperawatan
atau ilmu kebidanan.
2) Bidang Non-akademis:
» Disiplin dalam bekerja
» Jujur dalam melaksanakan amanah/tanggungjawab
» Mandiri untuk mengembangkan potensi diri
» Keterbukaan, mudah menerima masukan-saran dari te-
man sejawat
» Lembut, sabar, penyayang, ramah, sopan dan santun saat
memberikan asuhan keperawatan atau kebidanan terha-
dap pasiennya.
c. Pertimbangan Moral Bagi Profesi Keguruan Dalam Menjalankan
Tugasnya
Nilai moral merupakan penilaian terhadap tindakan yang um-
umnya diyakini oleh para anggota suatu masyarakat tertentu sebagai
"yang salah" atau "yang benar" (BerkowitZ, 1964). Pertimbangan mor-
al adalah penilaian tentang benar dan baiknya sebuah tindakan. Akan
tetapi tidak semua penilaian tentang "baik" dan "benar" itu merupakan
pertimbangan moral, banyak diantaranya justru merupakan penilaian
terhadap kebaikan/kebenaran, estesis, teknologis/bijak.
Jadi jelas bahwa seorang perawat atau bidan harus benar-benar
mempertimbangkan nilai-nilai moral dalam setiap tindakannya.
Seorang perawat atau bidan harus mempunyai prinsip-prinsip moral,
tetapi prinsip moral itu bukan sebagai suatu berpedoman peraturan
konkret untuk bertindak, namun sebagai suatu pedoman umum untuk
memilih apakah tindakan-tindakan yang dilakukan perawat atau bidan
itu benar atau salah. Beberapa kategori prinsip diantaranya:
1. Kebijakan (dan realisasi diri)
2. Kesejahteraan orang lain
3. Penghormatan terhadap otoritas
4. Kemasyarakatan/pribadi-pribadi
5. Keadilan.
Selain prinsip-prinsip moralitas yang dikemukakan di atas, ajar-
an moralitas dapat juga berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam sila-sila Pancasila, seorang dalam melakukan tugas sebagai per-
awat atau bidan antara lain:
1. Sila I (Ketuhanan Yang Maha Esa)
Bahwa kita meyakini akan adanya Tuhan yang akan selalu
mengawasi segala tindakan-tindakan kita. Begitu juga
dengan perawat atau bidan. Bila perawat atau bidan melakukan
Malpraktik, mungkin ia bisa lolos dari hukuman dunia. Tetapi
hukum Tuhan sudah menanti di sana (akhirat). Jadi perawat atau
bidan harus mampu menjaga perilaku dengan baik, merawat
pasien sebagaimana mestinya.
2. Sila II (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab)
Disini jelas bahwa moralitas berperan penting, khususnya morali-
tas perawat atau bidan dalam menangani pasien. Perawat atau bi-
dan harus mampu bersikap mengedepankan kemanusiaan, ramah
tamah menghadapi pasien, baik itu kaya-miskin, tua-muda, besar-
kecil, semua diperlakukan sama, dirawat sesuai dengan penyakit
yang diderita pasien.
3. Sila ill (Persatuan Indonesia)
Seorang perawat dan bidan harus siap ditempatkan di seluruh
wilayah Indonesia, serta dalam melaksanakan tugasnya tanpa
memandang suku, agama, ras dan kedaerahan, mengedepankan
prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila IV (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawatan perwakilan)
Dalam melaksanakan tugasnya tenaga medis perlu koordinasi
dengan teman sejawat pimpinan perawat serta dokter bahkan
mungkin dengan pasien sebelum melakukan tindakan terhadap
pasien.
5. Sila V (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia)
Disini jelas bahwa moralitas berperan penting, khususnya moralitas
perawat dalam menangani pasien. Perawat harus mampu bersikap
adil dalam menghadapi pasien, baik itu kaya-miskin, tua-muda,
besar-kecil, semua diperlakukan sama, dirawat sesuai dengan
penyakit yang diderita pasien kuncinya melayani pasien dengan
cepat, tepat dan sembuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar