Deskripsi Materi Pembelajaran
1. Kesulitan dan Kesempatan Belajar-Pembelajaran
Interaksi pembelajar-pebelajar dalam konteks pembelajaran merupakan satu proses transaksi psikologis dan akademis dalam format holisticaly. Pembelajar dalam posisinya sebagai sumber dan manager pembelajaran memegang peranan penting untuk mengkondisikan pebelajar agar mereka dapat belajar dengan baik, termasuk mengembangkan keterampilan-keterampilan akademis dan psikomotornya.
Sementara pebelajar selaku sentral pembelajaran memegang kendali penuh bagi pengembangan dirinya dengan menggunakan fasilitas yang telah dikondisikan oleh pembelajar. Mereka memiliki kebebasan yang mutlak untuk menentukan arah dan tingkat pencapaian belajarnya. Jika lingkungan mendukung, tampaknya apa yang menjadi harapan dan kebutuhan akademis pebelajar akan terwujud secara nyata. Kegagalan pembelajaran selama ini adalah tidak mampunya lingkungan belajar mengkondisikan pebelajar untuk bisa belajar secara penuh, termasuk pembelajar sebagai salah satu instrumen dan stabilisator pembelajaran. Kontraksi akademis dan psikologis antara pembelajar-pebelajar akan melahirkan pola hubungan yang signifikan dalam konteks belajar yang sebenarnya. Apakah kondisi yang penuh dinamisasi saja yang diperlukan oleh pebelajar untuk dapat belajar dengan baik ?, terlalu riskan untuk menyimpulkan konteks yang begitu komprehensif menjadi sesimpel itu.
Jika kelengkapan fasilitas adalah satu-satunya prasyarat agar pembelajaran dapat berhasil dengan baik, maka di beberapa negara kaya yang secara finansial mampu menyediakan hal tersebut, maka setiap pembelajaran yang dilakukan oleh pembelajar akan mencapai hasil maksimal. Namun tampaknya bukan itu solusinya, karena pembelajaran adalah sebuah sistem yang sangat kompleks.
Ada sejumlah asumsi yang harus dipenuhi agar pembelajaran tersebut dapat berhasil dengan baik. Pembelajaran yang baik dan bermakna adalah pembelajaran yang memungkinkan pebelajarnya untuk berkembang dan berlatih bagaimana mengakses informasi yang maksimal bagi keperluan pengembangan dan pelatihan potensi dirinya secara maksimal.
Pembelajar harus mampu menjadikan pembelajaran itu sebagaimana halnya sebuah masyarakat yang riil dan dalam kesehariannya dilakoni oleh pebelajar. Dengan demikian pebelajar tidak berada dalam kondisi ketertekanan secara psikologis dan akademis, namun merasa aman dan kondusif untuk mencari dan menemukan apa yang dibutuhkan dalam belajarnya. Bukan fasilitas belajar satu-satunya syarat pembelajaran berhasil, namun yang terutama adalah bagaimana terjalin hubungan psikologis yang kondusif antara pembelajar dan pebelajar, sehingga mereka menjadi suatu tim sukses yang demokrat.
Konsepsi ini penting dipahami oleh kalangan analis dan praktisi pendidikan, mengingat selama ini sering kebijakan pendidikan itu ditawarkan hanya sebatas kontrak politis antara pemerintah dengan masyarakatnya. Padahal, pembelajaran bukan profit oriented, namun lebih merupakan aplikasi prinsip humanis-psikologis. Berdasarkan hal tersebut, maka ada sejumlah asumsi yang mendasari pembelajaran, yaitu:
1. Pebelajar merupakan mahluk yang holistik dan memiliki karak- teristik yang ekslusif yang membedakannya dengan yang lain.
2. Pembelajar adalah instrumen dan fasilitator pembelajaran, sehingga dia bukanlah satu-satunya sumber belajar di kelas.
3. Pemerintah sebagai decision maker kebijakan, harus memiliki political good will, sehingga pembelajaran berlangsung secara demokratis.
4. Instrumen pembelajaran merupakan salah satu prasyarat yang harus dipenuhi agar pembelajaran berlangsung dengan baik.
2. Tanggungjawab dan Nilai-Etika dalam Kelas
Etika sebagai bagian dari hidup manusia, tidak bisa dilepaskan dalam konteks pembelajaran. Seorang pembelajar harus membelajar-kan pebelajarnya menjadi pemimpin dunia di masa mendatang. Hal ini merupakan antisipasi dari kecendrungan tata laku masyarakat global. Artinya, bagaimana peserta didik mampu memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik terhadap dinamika sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dunia.
Pembelajaran yang baik dikembangkan oleh pembelajar adalah mengajak peserta didik memahami masalah-masalah kemasyarakatan dan menempatkannya dalam proporsinya, serta belajar merumuskan tehnik-tehnik pemecahannya berdasarkan konteks situasi yang berkembang. Sebelum merancang pembelajaran, pembelajar harus memehami, bawa pebelajar datang ke sekolah dengan nilai yang diperolehnya dalam keluarga, masyarakat, dan teman sebayanya, sehingga pembelajar harus mampu memahami dan menyelami karakteristik setiap pebelajar agar mampu menyikapi dan menjadikan-nya sebagai sebuah masukan yang positif selama pembelajaran yang dilakukannya.
Sekolah harus menjadi sebuah masyarakat nyata dari sebuah pendidikan dan mampu menghadirkan realitas kehidupan demokrasi yang telah dimiliki dan diperoleh oleh pebelajar dalam kehidupan di masyarakat.
Pelaksanaan pendidikan nilai di sekolah merupakan salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan oleh pembelajar dalam membelajarkan pebelajar secara bermakna. Dengan kerjasama kelompok dan belajar secara kolaboratif setiap pebelajar akan merefleksi nilai-nilai individunya berdasarkan kontribusi pebelajar lainnya, sehingga akan tumbuh pemahaman yang memadai terhadap keberbedaan orang lain di sekelilingnya (Stahl, 1994).
Kegiatan belajar harus mampu mendorong pebelajar melakukan penemuan mandiri, melakukan apa yang dipikirkannya, dan menemu-kan kreasi secara mandiri dalam memecahkan masalah. Karena pada dasarnya tujuan dari pembelajaran adalah bagaimana menjadikan pebelajar memahami dan menerima perbedaan dengan tanpa ada keinginan untuk menyatakan pertentangan dan disintegrasi nilai. Dengan demikian akan terpola dan terbina pembelajaran yang berorientasi pada pengoptimalan potensi pebelajar. Kecendrungan dalam pembelajaran modern, banyak distimulasi oleh perkembangan dan dampak kemajuan IPTEK, dan kondisi alamiah masyarakat seperti; keberbedaan, kesukuan, dan keragaman sosio-geografis, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan orientasi dan pemaknaan terhadap nilai itu sendiri.
Pada dasarnya pola dan pendekatan pembelajaran seperti di atas, dikembangkan berdasarkan konsep humanistis dengan strategi kebersamaan antar pebelajar sebagai manusia sosial. Pebelajar sebagai individu kaya akan keinginan untuk hidup lebih baik, dimana salah satunya adalah dengan belajar secara formal.
Pembelajaran yang dilakukan dan diterimanya, akan mengarahkan dan membentuk kepribadian akademiknya hingga mereka memasuki dunia kerja. Keterbawaan kebiasaan ini, merupakan konsekuensi logis dari sebuah proses pendidikan. Itulah yang harus disadari dan dipertimbangkan oleh pembelajar.
Ada sejumlah model yang dikembangkan oleh kalangan praktisi pendidikan untuk melakukan proses pendidikan secara bermakna. Pebelajar dalam konteks masyarakat adalah manusia biasa yang lengkap dengan potensi dan kepribadiannya masing-masing. Untuk itu, maka mereka harus diperlakukan sesuai dengan potensi yang ada dan dimilikinya, agar tujuan belajarnya tercapai secara baik. Hal ini membutuhkan kejelian pembelajar dalam memilih dan mengembang-kan pola pembelajarannya. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang dikembangkan dan digunakan sebagai pedoman sistematis dalam melaksanakan dan mengembangkan IPS sesuai dengan tujuan dan kepentingannya (Slavin, 1983).
Berdasarkan konsepsi paedagogis, ada dua katagori model pembelajaran secara umum, yaitu: (1) model pembelajaran tradisional (konvensional, dan (2) model pembelajaran humanistis (inovatif). Kedua model ini memiliki karakteristik yang sangat kontroversial, dan perlakuan yang berbeda terhadap pebelajarnya. Berikut ini, diformulasikan beberapa perbedaan antara model pembelajaran konvensional dan model pembelajaran inovatif dalam konteks pembelajaran IPS.
Karakteristik Model Belajar Konvensional (Tradisional).
Nomor | Karakteristik/Student Treatment |
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 | Fakta dan konsep hanya diperoleh dari buku teks dan sajian pembelajar Menggunakan metode cerama dan dan sumebr belajar terbatas pada apa yang ada di kelas Pelibatan peserta didik dalam pembelajaran jarang (pasif), karena informasi biasanya telah disediakan oleh pembelajar atau buku teks. Kebermaknaan informasi atau penting tidaknya informasi dientukan oleh pembelajar sebagai otoritas tunggal pembelajaran. Peserta didik hanya terpaku pada penjelasan pembelajar sehingga akselerasi informasi pebelajar terbatas. Materi pelajaran hanya dipelajari terbatas pada apa yang ada di buku teks dan informasi pembelajar, serta dibatasi oleh dinding-dinding kelas. Pembelajaran hanya mengejar target ketuntasan materi (target dan orientasi kurikulum). Evaluasi pembelajaran hanya menekankan pada evaluasi formal (bertumpu pada penggunaan tes formal). Pola pembelajaran pembelajar sentris. Interaksi belajar fasif dan monologis antara pembelajar ke pebelajar saja, sehingga cendrung menjadikan pebelajar pendengar semata-mata. Pola komunikasi dalam kelas besifat imperatif dan cendrung mengabaikan karakteristik dan holistikalisasi pebelajar. Inti pembelajaran adalah transfering konsep dan fakta dari kepala pembelajar ke kepala pebelajar. |
Karakteristik Model Pembelajaran Humanistis (Inovatif) :
Nomor | Karakteristik/Student Treatmen |
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 | Masalah digali dan diidentifikasi oleh peserta didik. Pelibatan peserta didik dalam pembelajaran lebih aktif, karena mereka mencari dan menggali informasi secara mandiri. Pembelajaran yang dilakukan dapat melampaui apa yang ditargetkan dalam kurikulum (perluasan kesempatan memperoleh informasi). Pembelajaran lebih aktif dan iteraktif, karena lebih terpusat kepada pelibatan peserta didik secara optimal dalam kondisi yang kondusif. Pembelajaran tidak hanya menekankan pada keterampilan proses, tetapi juga pada metode ilmiah dan langkah-langkahnya sebagaimana layaknya yang digunakan ilmuwan. Fakta, konsep, dan generalisasi yang dipelajari tidak hanya yang terdapat dalam buku teks atau keterangan pembelajar, tetapi juga dari masyarakat (perluasan sumber belajar). Peserta didik dapat berfungsi sebagai “single authority” dan “decision maker” dalam pembelajaran dan pemecahan masalah. Evaluasi pembelajaran cendrung menggunakan assessmen, sehingga mampu menevaluasi keseluruhan potensi pebelajar. Pola pembelajaran pebelajar sentris. Interaksi belajar aktif dan interaktif antara pembelajar pebelajar, pebelajar-pebelajar, dan pebelajar-pembelajar. Pola komunikasi dalam kelas besifat aktif-interaktif, sehingga memungkinkan berkembangnya dialog kreatif. Inti pembelajaran adalah kebermaknaan bagi pebelajar. |
Berdasarkan konsepsi di atas, maka menurut Rogers (1989), ada beberapa model pembelajaran yang dikembangkan dalam pembelajaran berkait dengan kebermaknaan belajar bagi pebelajar, seperti: (1)webbing instruction, (2) the disclipinary model, (3) integrated learning model, (4) the multydisciplinary model, (5) integrated and sequency model, (6) the problem inquiry model, dan (7) the humanistic model. Sehubungan dengan upaya pemaknaan penuh pembelajaran bagi pebelajar, maka pembelajar hendaknya mampu dan mahir dalam mengaplikasikan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik serta potensi yang dimiliki oleh pebelajarnya.
Model belajar yang dipilih dan digunakan oleh pembelajar, berpengaruh langsung terhadap perolehan belajar pebelajar. Iklim pembelajaran yang ditimbulkan oleh model yang dipilih pembelajar memiliki kaitan yang bersifat directed bagi pebelajar dalam upayanya memperoleh informasi bagi pemenuhan kebutuhan belajarnya. Dengan terpenuhinya informasi yang dibutuhkan, maka secara langsung perolehan belajar mereka juga akan meningkat. Inilah yang dimaksud dengan pembelajaran bermakna dalam konteks pembelajaran yang sebenarnya.
3. Apa Sebenarnya yang Harus Terjadi di Kelas
Penerapan pendekatan pebelajar sentris pada dasarnya bermaksud untuk melakukan pemenuhan kebutuhan pebelajar untuk meningkatkan kemampuannya melalui beberapa transaksi bahan ajar yang sesuai dengan kondisi pembelajaran.
Dalam konteks pembelajaran, setiap praktisi pembelajaran harus mampu memaksimalkan sens of belonging and expectation of students untuk mengembangkan daya nalar dan kemampuan berpikir mereka selama pembelajaran. Hal ini penting disadari oleh kalangan pelaku pendidikan, karena salah satu fungsi strategis yang diemban oleh pendidikan sebagai sebuah lembaga formal dalam rangka memper-siapkan generasi muda untuk mampu hidup dalam segala bidang bidang pekerjaan. Untuk itu kurikulum harus mampu mewadahi harapan untuk menjadikan pebelajar itu sebagai warga masyarakat yang memiliki potensi komprehensif dan aplikatif.
Logikanya, pengetahuan itu dibangun dan dikembangkan secara sendiri oleh pebelajar dengan melakukan interaksi dengan lingkungan dan merekonstruksi ulang pengalaman yang telah dimilikinya (Rogers, 1983). Melalui model pembelajaran humanistis, kreativitas berpikir pebelajar tidak terbatas pada acuan kurikulum formal, melainkan bisa menjelajah hingga ke luar lingkungan sekolah. Untuk itu, dalam memilih pendekatan dan model pembelajaran, pembelajar hendaknya memperhatikan kematangan psikologis pebelajar serta orientasi belajar yang dimiliki oleh pebelajar itu sendiri.
Secara umum, pebelajar suka pada seni dan menggambar untuk mengeksperikan perasaan dan ide-idenya, sehingga sekolah harus menjadi tempat yang menarik dan menggugah, karena anak-anak akan bisa belajar dengan lebih baik pada lingkungan yang menyenangkan. Untuk itu pengembangan iklim kelas yang menyenangkan akan menggugah kreativitas pebelajar dalam berpikir.
Pembelajaran berpikir kreatif akan mengkondisikan pebelajar untuk memahami masa lalu dan menyiapkan diri menyambut masa depan. Buku teks merupakan salah satu fondasi dalam kebanyakan pembelajaran. Namun beberapa pembelajar yang berpikiran maju menggunakan aneka literatur dan sumber pembelajaran sebagai basis dalam membelajarkan yang dikembangkannya.
Ada banyak metode yang bisa dipilih oleh pembelajar untuk mengembangkan interaksi aktif dalam pembelajaran berpikir kreatif. Rasional dan tujuan pemilihan dan penggunaan media dan sumber belajar yang beragam, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengeksploitasi berbagai strategi dalam berkomunikasi dan ide-ide untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi pebelajar, sehingga mereka terlatih untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Dalam konteks ini peningkatan keterampilan pebelajar dalam membaca dan mengiden-tifikasi masalah-masalah yang ada di masyarakat, merupakan salah satu upaya peningkatan keterampilan berpikir pebelajar secara kreatif. Konsepsi ini penting dipahami dan dilakukan, mengingat perkembang-an masyarakat yang sangat dinamis, yang menuntut kemampuan dan keterampilan berkomunikasi, berpikir, membuat keputusan, dan mencari solusi dengan cepat dan dengan kalayakan yang optimal. Keterampilan berpikir penting dikembangkan dan dilatihkan oleh pembelajar dalam setiap pembelajarannya, mengingat setiap manusia dalam hidupnya di masyarakat dihadapkan berbagai persoalan yang multidimensional, sehingga membutuhkan keterampilan dan kecermat-an dalam berpikir.
Untuk mengevaluasi keterampilan pebelajar dalam berpikir, ada beberapa instrumen evaluasi yang secara empiris dan substansial layak digunakan, yaitu: (1) thinking still aduquates test, (2) inventory, (3) problem solving-inquiry test, dan (4) degree of critical thinking test (Skindasher, 1990). Dalam merancang pembelajaran, ada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan oleh pembelajar agar pebelajarnya dapat belajar dan berlatih berpikir kreatif, yaitu: (1) potensi pebelajar, (2) sumber belajar, (3) daya dukung orang tua, (4) dukungan sistem, (5) keterampilan pembelajar, (6) dan esensi kurikulum.
Iklim belajar yang kondusif memungkinkan pebelajar untuk belajar dan melatih berbagai kemampuan dan keterampilan akademis serta sosialnya, secara otimal. Kegiatan belajar mengajar merupakan proses instruksional yang terencana dan bertujuan dalam dimensi paedagogis. Interaksi aktif pebelajar dan pembelajar dalam konteks paedagogis membutuhkan pendukung yang memadai untuk mengak-tualisasikan tujuan kurikulum. Untuk mengukur keberhasilan belajar pebelajar, pendekatan pembelajaran tradisional menekankan pada penggunaan tes formal sebagai instrumen utama.
Pola seperti di atas, mendatangkan berbagai konsekuensi negatif bagi pebelajar itu sendiri dalam hubungannya dengan perolehan hasil belajarnya. Pebelajar datang ke sekolah mengemban misi untuk meraih kesuksesan dalam belajarnya.
Orang tua, media massa, dan para pengambil kebijakan menekankan pada pencapaian kuantitatif untuk mengukur keberhasilan belajar pada kalangan pebelajar di sekolah-sekolah formal. Hal ini sangat merugikan pebelajar secara akademis dan merupakan hukuman serta beban secara psikologis. Kondisi ini diperburuk oleh asumsi pembelajar dalam melakukan pengukuran terhadap keberhasilan pebelajar, yaitu bahwa dengan tes-formal dalam berbagai bentuknya (benar-salah, multiple choice, maching, short answer, dan sebab akibat). Mereka tidak memikirkan bagaimana perasaan dan kondisi psikologis pebelajar saat mereka menghadapi tes dan wajah pembelajar yang sangar. Disamping itu, evaluasi yang hanya meng-gunakan tes-formal cendrung mengavaikan aspek afeksi dan psikomotor dalam menjaring informasi mengenai keberhasilan belajar pebelajar. Padahal kedua ranah tersebut adalah satu kesatuan ranah dengan aspek kognitif.
Berdasarkan berbagai kekurangan dan kritik terhadap pengguna-an tes-formal dalam mengevaluasi keberhasilan belajar pebelajar, maka mulai dekade 80-an, mulai dikembangkan pola penilaiian yang dipandang cukup komprehensif, yaitu dengan menggunakan format evaluasi non-tes. Hal ini dimaksudkan untuk melengkapi dan menjembatani berbagai perbedaan persepsi antara praktisi dan kalangan pemerhati serta masyarakat sebagai konsumen pendidikan. Melalui penggunaan alat evaluasi non tes (assessmen), pembelajar dapat menentukan keberhasilan belajar pebelajar bukan semata-mata berdasarkan hasil tes tertulis yang dilakukan secara berkala.
Adapun bentuk assessmen yang telah dikembangkan oleh kalangan perencana dan pakar pendidikan di amerika, khususnya di kalangan ilmuwan sosial dan humaniora adalah :
1. Fortopolio
2. Catatan harian pebelajar
3. Catatan harian pembelajar
4. Lembar observasi
5. Cek list performa pebelajar
6. Daftar tugas pebelajar
7. Laporan mingguan pebelajar
8. Buku saku
9. Laporan orang tua
4. Tantangan Pembelajar dalam Pembelajaran
Dilihat dari aspek historis-philosofis dan substansi profesi, pembelajar memegang peranan yang amat strategis terutama berkaitan dengan building moral nation and cultur heritages transpormation melalui pengembangan personality and values otonom warga negara yang di cita-citakan. Dimensi ini mengindikasikan bahwa peran pembelajar sulit digantikan oleh yang lain. Dalam perspektif pembelajaran, peranan pembelajar dalam masyarakat kita (Indonesia) tetap dominan sekalipun teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran berkembang sangat cepat. Konsepsi kausalitas ini dipengaruhi oleh adanya dimensi-dimensi proses pendidikan (pembelajaran) yang diperankan oleh pembelajar yang tidak seluruhnya dapat digantikan oleh teknologi.
Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang diwarnai dengan revolusi informasi dalam masyarakat Indonesia yang multikultural dan multidemsional, peranan teknologi untuk mengganti-kan tugas-tugas pembelajar masih sangat kecil. Sejak dulu hingga saat ini, pembelajar dalam tataran masyarakat kita masih memegang peranan amat penting, sekalipun status sosial-ekonomi pembelajar di tengah masyarakat kita telah berubah. Pembelajar dalam segala keterbatasannya, tetap dipandang sebagai insan yang patut ditauladani dan diharapkan mampu menjadi inovator dalam profesinya.
Beranjak dari kondisi empiris tersebut, pembelajar yang tugas kesehariannya mengelola pembelajaran di sekolah, tidak berlaku lagi saat ini. Pembelajar diharapkan bukan lagi “hanya” memerankan diri dalam pembelajaran yang dibatasi oleh ruang dan waktu, namun harus mampu memerankan dirinya sebagai pembelajar yang universal dalam lingkup yang terbatas, minimal bagi pebelajar dan sekolah dimana dia mengabdikan dirinya. Membicarakan tentang pembelajar, sering kita dihadapkan pada problematik yang berkepanjangan, terlepas dari misi luhur yang diemban dan melekat pada diri seorang pembelajar.
Secara substansial, dilihat dari sudut administrasi dan manaje-men pendidikan, kita mestinya melihat profesi pembelajar minimal dari empat dimensi dasar, yaitu: pengadaan, pengangkatan, penempatan, dan pembinaan profesi. Sementara jika kita melihat pembelajar dari perspektif birikrasi, cendrung pembelajar diposisikan sebagai bagian dari mesin birokrasi pendidikan pada jenjang pendidikan sekolah. Pembelajar dipandang sebagai kepanjangan tangan birokrasi, karena sikap dan lakunya mesti sepenuhnya tunduk pada ketentuan-ketentuan birokrasi.
Sistem pendidikan nasional, menempatkan pembelajar secara lebih khusus dalam dimensi sekolah, dan akan melihat pembelajar sebagai the central of education polecy and agent of inovation dalam bidang pendidikan hingga ketataran sekolah. Di sisi lain, jika ditempatkan dalam perspektif kemanusiaan, pembelajar akan hadir sebagai sosok yang serba muka dan penuh warna. Rentang dan persoalan tentang pembelajar, seperti gaji yang kecil, mutasi ke daerah terbuka yang tingi, dan perilaku yang ditampilkannya sehari-hari, pada akhirnya akan berpulang semuanya pada akar kemanusiaannya (Supriadi, 1998). Dengan demikian, betapapun kita mencoba membedah phenomena seputar pembelajar, akhirnya kita harus kembali pada konsepsi dasar bahwa pembelajar adalah manusia biasa yang terbalut oleh berbagai keterbatasan dalam kiprahnya sebagai individu dan insan sosial.
Riak dan desah nafas masyarakat senantiasa menghadirkan nuansa tersendiri bagi insan-insan yang hidup di dalamnya, termasuk para pembelajar yang mulia. Di dalam masyarakat, lembaga pendidikan merupakan satu diantara banyak institusi yang ada dan difungsikan bagi kesejahteraan umat manusia.
Memasuki milineum ketiga, lembaga pendidikan dihadapkan pada tantangan yang sangat berat, berkaitan dengan peningkatan kualitas dan produk yang dihasilkannya. Paradigma berpikir para pelaku pendidikan (pembelajar) nampaknya mulai bergeser secara vertikal dalam basis paedagogis.
Masalah pendidikan di Indonesia yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan banyak berkaitan dengan mutu pendidikan baik dalam dimensi proses maupun hasil. Masalah ini semakin dirasakan sebagai krisis pendidikan yang meresahkan karena banyak pendekatan pembangunan dalam pendidikan hanya memfokuskan pada masalah kuantitas, sehingga usaha mencerdaskan kehidupan bangsa cendrung dipersempit dalam lingkup pendidikan formal dan pembelajaran yang terbatas pada perhitungan kuantifikasi dengan mengabaikan kualitas.
Implikasi dari kebijakan tersebut, walaupun sekarang ini telah dilancarkan pengembangan pendidikan yang menyangkut kualitas, produktivitas dan relevansi, namun masalah pendidikan terus berkem-bang makin rumit dan terbelenggu dalam sistem yang tengah tersetruktur. Diantara masalah pendidikan yang mulai marak dibicara-kan saat ini, adalah masalah yang berkaitan dengan pembelajar. Sebagai pelaksana dan pengembang kurikulum, pembelajar dihadapkan pada berbagai persoalan yang sangat sulit dihindarinya. Artinya, masalah tersebut, mau tidak mau harus dihadapi oleh kalangan pembelajar dan hingga saat ini belum ada formulasi yang dipandang sesuai dan tepat untuk memecahkannya.
Masalah yang berkaitan dengan profesi pembelajar ternyata amat pelik, karena menyangkut berbagai aspek, orientasi, pendekatan, strategi, serta kriteria dan kepentingan yang berkait dengan penilaian kualitas formulasi yang telah dirumuskan.
Banyak usaha yang telah dan tengah dilakukan serta hasil yang diperoleh. Di lain pihak muncul pula kritik dan keluhan kepermukaan, namun jarang sekali dilengkapi alternatif pemecahan yang dipandang tepat. Adakalanya alternatif pemecahan yang dicanangkan tidak mampu memecahkan masalah, bahkan justru melahirkan masalah lain yang lebih sulit dan serius. Untuk mengkaji dan memahami secara komprehensif kesulitan-kesulitan yang sulit dihindari oleh pembelajar dalam dimensi pengadministrasian pendidikan nasional, pada dasarnya kita dapat memilah-milah kesulitan tersebut, dan mengkajinya dari perspektif teori perubahan sosial, yaitu dilihat dari : (1) dimensi struktural, (2) dimensi fungsional, dan (3) dimensi heuristik-phenomenologis.
Dinamika kehidupan masyarakat dan kemajuan teknologi yang diiringi oleh revolusi informasi tahap II, telah menghadirkan nuansa baru dalam dunia pendidikan. Hal ini terutama berkaitan dengan perluasan dan representasi ketersediaan instrumen pendidikan itu sendiri. Pembelajar sebagai salah satu sub-sistem dalam pengadminis-trasian sistim pendidikan juga dihadapkan pada masalah yang tidak jauh berbeda.
Dalam melaksanakan fungsi dan perannya sebagai tenaga pendidik yang terikat oleh aturan-aturan formal-yuridis, pembelajar diharuskan menjalankan dan tetap patuh pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan secara formal dan sentralistik. Salah satu piranti pengikat pembelajar dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya adalah kurikulum dan instrumen yang menyertainya. Artinya pembelajar diwajibkan untuk melaksanakan kebijakan yang telah digariskan secara sentralistik, sehingga cendrung meminggirkan peran pembelajar sebagai developer and inovator pendidikan.
Kondisi di atas mengindikasikan telah terjadinya pemasungan kebebasan pembelajar dan segenap piranti sosial akademis yang melekat pada dirinya. Dampak dari pendekatan sentralistik merupakan salah satu kesulitan yang dialami dan sulit dihindari oleh pembelajar secara struktural.
Berdasarkan hasil observasi dan merujuk beberapa hasil penelitian, kesulitan yang sulit dihindari oleh pembelajar yang merupakan imlpikasi struktur pengadminis-trasian pendidikan nasional, meliputi:
1. masalah pembinaan dan pelatihan yang secara kualitas tidak mampu memberikan “nilai lebih” kepada pengembangan profesinya,
2. masalah kepangkatan yang telah diatur dan ditetapkan secara baku, yang cendrung meminggirkan kualitas dan prestasi profesi (walaupun secara formal ada ketentuan-nya),
3. masalah rendahnya penghargaan secara ekonomis yang harus diterima dengan “lapang dada” oleh para pembe-lajar,
4. masalah minimnya kesempatan pengembangan potensi diri dan visi keilmuan yang berkaitan dengan profesinya yang benar-benar sesuai dan mampu menjawab keresah-an mereka selama tiga dasa warsa terakhir.
Keseluruhan masalah tersebut terakumulasi dan terbungkus oleh sebuah hiasan “kebijakan” yang sering telah dikatakan melalui berbagai studi, sehingga “sewajarnya” harus diterima dan dilaksanakan.
Euforia pembelajar dalam memandang profesi dan “pengharga-an” moral yang diperolehnya, tampaknya tidak sejalan dengan realitas dan “imbalan” yang diterimanya. Hal ini merupakan salah satu dampak dari pengelolaan sistem pendidikan nasional yang masih menge-depankan azas dan prinsip “sentralisasi”, sehingga berakibat terjadinya “miss-conception” dan “loss of a set grand idea and spirits our teachers”. Di samping itu, pengaplikasian pendekatan struktural cendrung mengabaikan “values of moral otonomy” dari pembelajar sebagai pioneer dan pembaharu yang senantiasa berada di garis depan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Menyadari begitu saratnya permasalahan yang sulit dielakkan oleh pembelajar secara struktural, tampaknya para pengelola dan pegambil kebijakan pendidikan harus mulai menggeser pandangan dan pendekatannya dari sentralistik ke desentralisasi dan dari structural approach ke fungtional approachs, sehingga jenis dan tingkat kesulitan pembelajar dapat dieliminir secara gradual dan sinergis. Asumsinya, semakin pendek benang kebijakan dan semakin sedikit birokrasi yang harus dilibatkan, secara langsung akan dapat menekan laju inflasi informasi dan tirani birokrasi yang secara nyata telah dianggap sebagai salah satu penyebabnya.
Kebijakan pendidikan nasional kita menempatkan lembaga pendidikan formal dan piranti-piranti di dalamnya termasuk pembelajar, sebagai salah satu media strategis pembentukan dan pengembangan sumber daya manusia. Namun dewasa ini masih dihadapkan kepada masalah peningkatan mutu yang serius, bahkan diduga dapat mengancam eksistensinya sebagai media transpormasi dan enkultur-isasi budaya bangsa.
Salah satu penyebab yang diduga mendorong terjadinya hal tersebut adalah kecendrungan menempatkan masalah pembangunan pendidikan terbatas pada kejenuhan kurikulum dan kualitas sumber dayanya, sehingga analisis akademis dan analisis proyektif sebagai latar dan salah satu orientasi pendidikan sering terabaikan.
Perkembangan ilmu dan teknologi dalam era revolusi informasi yang ditandai dengan banyak terjadi pergeseran nilai dan perubahan sosial budaya tidak terantisipasi secara konstruktif dalam pembaharuan dunia pendidikan. Banyak pembelajar yang merasa asing dan terpinggirkan oleh kemajuan teknologi, sehingga mereka harus beradapan dengan dilematisasi antara tuntutan masyarakat terhadap dunia pendidikan dan keterbatasan diri serta ruang gerak pegembangan profesi yang terstruktur secara birokratis.
Tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut memerlukan adanya suatu kebijakan aplikatif yang bisa menjawab semua tuntutan yang mengedepan seiring dengan laju dinamisasi kehidupan masyarakat global. Hal ini menuntut pembangungan pendidikan yang lebih mengarah pada perbaikan kualitas dan kelengkapan instrumen pendidikan secara komprehensif dan pemberian keleluasaan ruang gerak pembelajar yang senantiasa berada di garis depan pembangunan pendidikan nasional.
5. Problematik Pembelajar Dilihat dari Dimensi Fungsional-Profesi
Pembelajar dalam masyarakat kita ternyata telah membuktikan diri sebagai pemecah masalah (problems solving) dalam pembangunan pendidikan yang telah, sedang, dan akan terus kita laksanakan. Kadang mereka juga memerankan diri sebagai pelopor dan pembaharu bagi lingkungan masyarakatnya. Banyak yang telah diperbuat oleh pembelajar, baik yang berhubungan dengan profesinya maupun dalam kapasitasnya sebagai insan masyarakat.
Kemajuan teknologi dan ilmu telah membawa dampak yang serius terhadap peran dan esensi strategis pembelajar dalam menjalankan fungsinya sebagai agen transpormasi nilai-nilai budaya bangsa. Karena ada beberapa tugas dan peran pembelajar, dipaksakan untuk diganti dengan instrumen yang berteknologi tinggi, sehingga secara kuantitas beban tugas pembelajar lebih ringan.
Kemajuan ini, secara kualitas justru perlu dipertanyakan dan didiskusikan lebih mendalam, karena produk dari lembaga pendidikan kita yang telah ditunjang oleh perangkat pembelajaran yang canggih, justru kehilangan sentuhan dan warna budaya bangsa yang kita cita-citakan. Artinya, secara paedagogis, pendidikan kita telah kehilangan “rasa cinta” pembelajar terhadap peserta didiknya. Kasih sayang sebagai basis pendidikan, memang kian dipertanyakan dalam pendidikan modern yang serba canggih dengan dukungan perangkat teknologi yang komprehensif. Dan ironisnya, ilmu pendidikan modern mulai kehilangan sentuhan kasih sayang dan kepekaan pada anak manusia. Topik-topik yang dibicarakan kebanyakan hal-hal yang sifatnya teknis metodologis, sehingga semakin menjauhkan esensi dan misi dari pendidikan itu sendiri.
Kondisi ini menempatkan pembelajar dalam posisi yang serba sulit. Di satu sisi mereka dituntut untuk mampu mengikuti dan menggunakan teknologi canggih dalam menjalankan profesinya, namun di sisi lain sekaligus dituntut untuk tetap mempertahankan ketajaman intuitif paedagogis yang oleh banyak kalangan dilabeli dengan pola lama.
Tuntutan dan harapan yang berlebihan kepada pembelajar, tidak jarang justru menjerumuskan mereka kedalam rutinitas ortodok dalam menjalankan tugas dan kewajiban mendidiknya. Hal ini penting ditegaskan, mengingat perkembangan dan kemajuan negeri tercinta ini, banyak dikontribusi secara langsung dari peranan dan fungsi yang dibebankan kepundak pembelajar, yang secara status sosial-ekonomi banyak “kedodoran” dalam arti arfiahnya. Relevansi dari hal ini bukan saja mempertentangkan persoalan antara masa lalu dan kekinian, namun yang lebih penting adalah relevansinya dengan tujuan dan misi dari pendidikan itu sendiri.
Jika kita bicara tentang pengembangan dan peningkatan potensi profesionalisme pembelajar, salah satu wahana yang potensial untuk meningkatkan keterampilan dan wawasan mereka adalah internet. Akses internet memungkinkan jangkauan pendidikan semakin luas, tidak terbatas pada tempat, waktu, dan keadaan.
Berkat kemajuan IPTEK, pendi-dikan sudah mampu menjangkau daearah-daerah hingga ke pelosok wilayah Indonesia. Namun apakah kalangan pembelajar secara umum telah memiliki wawasan dan pemahaman yang memadai tentang kegunaan dan cara menggunakan teknologi canggih tersebut. Inilah persoalan yang harus kita renungkan bersama, untuk menghindari miskonsepsi dan unuseble-nya kebijakan dalam bidang pendidikan.
Kausalitas ini penting dikedepankan, mengingat kualitas pendidikan sangat mutlak ditentukan oleh kebijakan apa yang akan kita formulasikan dan aplikasikan.
Berbicara mengenai kualitas pendidikan, kita tidak bisa lepas dari pembicaraan proses dan produk serta orientasi dari kedua unsur tersebut. Artinya, proses dan produk yang seperti apa yang ingin kita capai, dan dalam bentuk apa hal itu akan kita wujudkan. Hal ini merupakan dampak dari keberagaman visi dan persepsi kita tentang kualitas itu sendiri. Para perencana dan pengembang kurikulum telah menggariskan dalam rasionalnya, bahwa ada seperangkat ide, konsep, dan pengalaman yang mesti diterjadikan oleh para pelaku pendidikan (pembelajar) dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah.
Potret pendidikan kita saat ini, sering dihiasi oleh warna dan problematik asumtion yang menunjukkan terjadinya kesenjangan antara ide-harapan dan realita yang terjadi dilapangan. Hal ini terjadi bukan semata-mata kesalahan atau kealpaan dari pembelajar selaku pelaksana kurikulum, karena ada sejumlah kemungkinan yang bisa kita ketengahkan sebagai dasar analisis.
1. Pertama, kurikulum sebagai salah satu bentuk kebijakan pendidikan, cendrung terlalu menekankan pada bentuk dan isi, sehingga menghadirkan kurikulum yang sarat materi tetapi “ringan” proses dan adaptasi.
2. Kedua, kurikulum tersebut terlalu bebas dan luas, sehingga sarat dengan “kebebasan” dan “ringan” makna baik proses maupun produknya.
3. Ketiga, kurikulum tersebut berisi konsepsi dan seperangkat ide dan pengalaman dengan basis sosial-akademis kon-struktivis, sehingga memberikan keleluasaan kepada para pelakunya untuk mengembangkan isi dan muatan politisnya sesuai dengan kondisi riil yang ada di sekolahnya masing-masing.
Ketiga konsepsi di atas semuanya mengacu dan ber-pengaruh secara verbalistik terhadap kualitas pendidikan, baik proses maupun hasilnya. Akhirnya, profesi pembelajar dan kualitas (mutu) pendidikan dipertaruhkan dalam skema paradigmatik-realistik. Hal ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi kita semua, selaku abdi negara dan abdi pemerintah di bawah panji-panji kependidikan. Berkaitan dengan itu, upaya apakah yang bisa kita lakukan untuk menjembatani keresahan seputar rendahnya mutu pendidikan dan problematik pembelajar yang saat ini mulai mengemuka dan banyak dijadikan polemik seiring dengan arus reformasi.
Ada sejumlah pertanyaan yang layak dikedepankan berkaitan dengan hal itu, diantaranya;
1. apakah kebijakan pendidikan yang diberlakukan saat ini telah mampu mengadopsi dan mengadaptasi realita masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan nasional ?,
2. uapaya apa yang bisa dilakukan oleh para pengambil keputusan untuk meningkatkan keberdayaan pembelajar selaku ujung tombak keberhasilan pendidikan nasional ?,
3. pola serta sistem aplikasi-akademis yang bagaimana dibutuhkan oleh dunia pendidikan sekolah untuk meningkatkan dan menjaga standar mutu pendidikan termasuk standar profesional pembela-jar ?.
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut, tampaknya, masih banyak yang harus kita benahi dalam pengadministrasian pendidikan nasional kita. Salah satunya adalah dengan melakukan reorganisasi kurikulum dan dalam waktu yang berikutnya hendaknya “pemberian otonomi” bagi daerah tingkat I (propinsi) untuk mengelola pendidikan dengan tetap berorientasi pada kekhasan daerah dan budaya bangsa yang luhur ini.
Upaya “pendaerahan” pengelolaan pendidikan, mungkin tidak akan mampu menjawab keseluruhan masalah yang ada dalam pendidikan kita, namun minimal konsepsi itu telah menunjukkan hasil yang menggembirakan berdasarkan uji coba di beberapa daerah tingkat I sebagaimana yang telah berlangsung dalam lima tahun terakhir. Hal ini berhubungan dengan kemampuan dan kesiapan sumber daya dan kemampuan keuangan daerah masing-masing. Jika formulasi ini terwujud, maka dengan sendirinya masalah-masalah yang terjadi seputar kesulitan absolut yang dihadapi oleh pembelajar secara fungsional, seperti: tidak adanya keseragama visi, misi, dan pemahaman terhadap kurikulum, sulitnya mengadaptasi secara bermakna local genius dalam pembelajaran, dan pemberdayaan peserta didik secara optimal berbasis lingkungan akan semakin samar dan lama-kelamaan akan teratasi secara baik.
6. Problema Pembelajar dilihat dari Dimensi Heuristik-Phenomenologis.
Untuk mengkaji interelasi-logis pembelajar dan masalahnya dalam perspektif Heuristik-Phenomenologis sehubungan dengan pengadministrasian pendidikan nasional, berikut ini akan diketengah-kan sejumlah analisis-konseptual dalam paradigma paedagogis untuk membuka pemikiran kita bersama bahwa ada sejumlah permasalahan yang selama ini dialami oleh pembelajar.
Berbicara tentang kesulitan pembelajar dalam definisi pembelajar sebagai sebuah profesi, tampaknya kita mesti bicara pula tentang strategi politis penguasa (pemerintah), karena pembelajar adalah abdi negara dan bangsa yang teramat luhur dan mulia di tengah masyarakat, maka.secara substansial terdapat tiga visi-misi dan sekaligus masalah yang terakumulasi secara sinergis, yaitu:
1. Dilihat dari visi filosifis, permasalahan yang dihadapi oleh pembelajar, merupakan sesuatu yang telah ada dan berkembang seiring dengan pengakuan dan eksistensi pembelajar itu sendiri. Artinya, bahwa jabatan profesi yang diemban oleh pembelajar, sejak dulu selalu berkaitan dengan rangkaian kesulitan yang kadangkala sulit dihindari oleh pembelajar itu sendiri. Jika hal ini kita kaitkan dengan konsepsi pembelajar dan pendidikan dewasa ini, berbagai kesulitan yang dialami oleh pembelajar, banyak dikontribusi oleh birokrasi dan manajemen yang sarat muatan politis yang secara sengaja dilakukan oleh penguasa (pemerintah). Hal ini dilihat dari pandangan teori heuristik, bisa dibenarkan, yaitu the central of power can to do anything….especialy to be continued his legitimate. Konsepsi ini, jelas merupakan suatu menara gading yang sangat merugikan profesi kepembelajaran.
2. Dilihat dari visi akademis, pembelajar adalah abdi dan pelaku sekaligus pengembang ilmu iti sendiri. Namun dalam melakoninya, pembelajar sering terbentur pada masalah-masalah teknis-akademis yang secara nyata sulit dihindari, seperti kesalahan dalam menterjemahkan sebuah phenomena yang berkaitan dengan bidang yang ditekuninya (spesifikasi akademis). Hal ini cendrung menjadikan pengkotakan di tengah-tengah globalisasi.
3. Dilihat dari visi politis, pembelajar adalah bagian dari warga masyarakat, yang mengemban misi mulia pemerintah dan kemanusiaan untuk menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Satu hal yang tidak bisa dihindari oleh pembelajar dalam konteks ini, adalah terakumulasinya profesi yang digeluti dengan visi dan misi birokrasi pemerintah melalui seperangkat kebijakan yang secara moral dan akademis-politis mengikat mereka.
Mengkaji visi dan konsepsi di atas, pada dasarnya kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar dan cendrung sulit untuk dihindari, pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh realita masyarakat pendidikan yang cendrung memposisikan pembelajar sebagai manusia yang serba tahu dan harus tahu.]
Akhirnya tidak sedikit pembelajar, terjebak oleh euforia profesi yang justru sangat menekan dan merugikan meraka secara material dan moral. Otonomi moral profesi yang diemban oleh pembelajar adalah sesuatu yang semestinya ditempatkan pada posisi kewajaran, sehingga mereka mampu menjalani profesinya dengan apa adanya seiring dengan realitas dan tuntutan masyarakatnya.
Kebijakan pendidikan pemerintah yang diberlakukan saat ini, khususnya semangat dan jiwa dari UU Nomor 2 Tahun 1989, masih menyisakan sejumlah peluang yang memungkinkan munculnya kesulitan-kesulitan baru yang harus dipikul dan dihadapi oleh pembelajar dalam menjalankan profesinya. Salah satu diantara kesulitan tersebut, adalah dalam menterjemahkan orientasi dan misis kurikulum 1994. Kondisi ini terjadi, karena upaya penataan dan pembinaan kesiapan pembelajar dalam melakukan perubahan secara mendasar dari “kebiasaan” kurikulum sebelumnya (kurikulum 1984) tidak dilakukan dengan serius dan terencana oleh pemerintah.
Akhirnya, banyak kalangan pembelajar yang menganulir telah menjalankan kurikulum sebagaimana yang diharapkan dengan jiwa dan “kebiasaan” lama sebagaimana yang telah mendarah daging dalam dirinya. Artinya telah terjadi kesemuan yang mendalam dalam penyelenggaraan pendidikan nasional kita, sebagai dampak dari kurang tertatanya pengadministrasian pendidikan nasional kita saat ini.
Ada sejumlah indikator yang dapat diketengahkan untuk menunjang asumsi ini, yaitu: (1) penataran peningkatan kemampuan pembelajar yang tidak teratur dan kurang merata, (2) terjadinya korupsi waktu dan biaya dalam setiap proyek peningkatan kemampuan dasar pembelajar yang dilaksanakan oleh pemerintah, dan (3) tidak adanya kesamaan visi antara pelaku pendidikan dengan tenaga administrasi pendidikan itu sendiri. Phenomena tersebut terus berkembang, sehingga kualitas proses dan produk pendidikan kita sepertinya berjalan di tempat, dan kurang mampu menjawab tantangan dunia global yang semakin deras dan komprehensif.
Berdasarkan analisis-empiris di atas, tampak bahwa masih banyak kesulitan-kesulitan yang sukar dihindari oleh pembelajar dalam menyukseskan jalannya roda pembangunan pendidikan kita. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kita mampu merancang sebuah pengadministrasian pendidikan nasional yang mampu mengadaptasi semua potensi yang ada dan mengeliminir masalah dan kemungkinan timbulnya masalah dalam bidang pendidikan, khususnya yang berkaitan langsung dengan pembelajar, sehingga mampu menjadikan pembelajar itu benar-benar sebagai agen pembaharu dan haus dengan inovasi dalam bidangnya. Pada akhirnya akan berdampak langsung terhadap peningkatan kualitas proses dan produk pendidikan nasional di tengah-tengah tataran masyarakat global.
Bila hal tersebut bisa dilakukan, tampaknya keresahan seputar banyaknya masalah yang dihadapi oleh pembelajar dalam melaksanakan profesinya bisa dieliminir sedemikian rupa, seperti: kurikulum tidak harus memuat semua hal yang harus dilakukan oleh pembelajar melalui berbagai buku pedoman dan petunjuk teknis pembelajaran, karena hal itu akan mengkondisikan pembelajar dalam keterikatan yang teramat ketat, sehingga mereka hanya mengejar ketuntasan materi kurikulum dan mengabaikan pengembangan dan pelatihan potensi diri peserta didik itu sendiri.
7. Pembelajar, Harapan Masyarakat, dan Pembelajaran
Pembelajar (pembelajar) sebagai pelaksana kurikulum, Gagne (1975) menyatakan bahwa “…carry out the task of promoting learning by providing instructional”. Pembelajar adalah “designer of instruction” dan sekaligus sebagai “manager of instruction”.
Sejalan dengan pendapat Gagne, kiranya disadari bahwa tanggungjawab pembelajar amat berat, namun tidak berarti mustahil dilakukan. Justru beratnya tanggungjawab tersebut merupakan motivasi tersendiri untuk berbuat dan berlaku lebih baik. Oleh karena pembelajaran merupakan kegiatan yang menjembatani para peserta didik dengan kecakapan-kecakapan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang harus dipelajari dan dimiliki oleh peserta didik.
Mengantisipasi upaya peningkatan mutu pendidikan dan tuntutan reformasi global, maka pembelajar hendaknya mampu mengembang-kan dan membekali dirinya dengan seperangkat kemampuan dan keterampilan dalam memilih dan mengaplikasikan model dan strategi pembelajaran yang mampu menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif bagi peserta didik. Dalam tulisan yang bertitel “Preparation and Certification of Teachers”, (Keller, 1985) berupaya menjawab pertanyaan, “…what skills, knowledge and training should teachers have and how should colleges and universities, state departemens of education, and school boards make sure that they have them” ?. Pertanyaan dan jawaban yang dikedepankan oleh Keller memberi petunjuk tentang keterampilan dan kemampuan yang seyogyanya dimiliki dan dimahiri oleh pembelajar agar mereka mampu melaksanakan tugas dengan baik serta memenuhi harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan.
Disisi lain, instrumentalia pendidikan yang ada harus mampu mengadaptasi semua potensi yang dimiliki dan harus diterjadikan oleh pembelajar. Salah satunya adalah kurikulum. Kurikulum yang baik, adalah kurikulum yang mampu memberikan keleluasaan kepada pembelajar untuk menterjemahkan dan mengaplikasikannya berdasarkan tuntutan peserta didik dan kondisi serta situasi masyarakat.
Kurikulum yang terlalu pada dengan materi, akan membuat pembelajar berorientasi pada upaya pengejaran materi (ketuntasan materi), sehingga pembelajaran yang dilakukannya baru mencapai tahap konsepsi (penanaman konsep) semata. Hal ini jelas semakin membuat mutu pendidikan terpuruk dalam dilematisasi sosial yang dalam. Kita tidak membutuhkan kurikulum yang menekankan pada isi, melainkan kurikulum yang memberikan kebebasan yang memadai kepada pembelajar untuk berimvrovisasi dalam pembelajarannya. Dengan demikian, tuntutan peningkatan kualitas pembelajar, harus disertai dengan upaya perbaikan dan penyempurnaan instrumen pendidikan, termasuk kurikulum.
Pelatihan dan penataran atau bentuk-bentuk in-service training yang dilakukan secara terprogram oleh pemerintah tidak akan mempunyai makna bilamana kurikulum sebagai wadah dari segala kegiatan pendidikan di sekolah masih tetap dan mengingat pembelajar untuk berbuat berdasarkan garis komando-akademis seperti kurikulum yang diberlakukan saat ini. Hal ini tentu memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit, untuk itu kita berharap semoga untuk masa-masa mendatang pemerintah mampu merancang sebuah kurikulum hidup (life curicullum) sehingga upaya peningkatan mutu pendidikan nasional dapat tercapai dan berhasil secara maksimal.
Arus globalisasi yang semakin deras kita rasakan dengan masuknya sejumlah informasi yang nyaris tidak dapat dibatasi, telah bergulir dan akan mempengaruhi tatanan budaya kita, yang nantinya berpengaruh terhadap semua lapisan masyarakat. Hal ini harus diantisipasi oleh kalangan pelaku pendidikan (pembelajar) bila mereka tidak ingin ditinggalkan oleh teknologi atau sengaja meninggalkan teknologi sebagai wujuh pelarian diri. Konsepsi ini membawa dampak terhadap perlunya transpormasi manajerial dan reorganisasi orientasi lembaga pendidikan, sehingga pembangunan pendidikan khususnya pengembangan profesionalisme pembelajar harus mampu mengantisi-pasi dan memprediksi kondisi tataran masyarakat global.
Semakin derasnya pertumbuhan pembangunan dalam bidang industri dan revolusi komunikasi, menuntut adanya pembangunan pendidikan nasional dalam paradigma cybernatic-system yang bisa mengembangkan dan menciptakan iklim pranata sosial-pendidikan yang kondusif dan prediktif, serta tenaga pembelajar yang profesional.
Derasnya arus reformasi dan gelombang globalisasi yang berdampak terhadap semua aspek kehidupan kebangsaan, menuntut adanya arus dan gelombang yang sama pada upaya perbaikan dan pembangunan pendidikan nasional saat ini, sehingga peningkatan profesionalisme pelaksana kurikulum (pembelajar) dan pembaharuan instrumen pendidikan (kurikulum) adalah dimensi tersendiri yang sesegera (harus) mungkin dilakukan.
Meningkatnya aspirasi pendidikan masyarakat yang kian pesat belum seimbang dengan peningkatan kualitas dan kuantitas layanan pendidikan, ini merupakan suatu masalah yang akan menimbulkan kesenjangan mendasar antara tuntutan lapangan kerja yang tersedia di masyarakat dengan lulusan lembaga pendidikan (produk pendidikan), untuk itu pembelajar harus sedapat mungkin dihindarkan dari rangakaian masalah yang dapat mengganggu profesinya, sehingga pengadministrasian pendidikan harus mampu mengadaptasi dan merekonstruksi tuntutan jaman.
Tajamnya kritik dan warna-warni kesulitan yang dialami oleh pembelajar, sebagian besar berpangkal pada tidak leluasanya pelaku pendidikan mengembangkan aspek-aspek penting dalam pelaksanaan pembelajaran, yang mengakibatkan pertanyaan besar, siapakah yang paling bertanggungjawab terhadap kualitas produk lembaga pendidikan. Hal ini menimbulkan pengkaburan dari wewenang dan improvisasi lembaga pendidikan. Salah satu sumber masalah tersebut adalah belum mampunya kurikulum nasional mengadaptasi kebutuhan pebelajar dan masyarakat secara komprehensif dan bermakna.
F. Daftar Pustaka :
Burgess, T. and Adams. E., (1990). Outcomes of Education, Basingstoke: MacMillan.
Dantes, Nyoman. (1996). Profil Pembelajar Menyongsong Tahun 2020. (Makalah). Singaraja: STKIP Singaraja.
Glen Haas and Tucher. (1990). Curriculum and Educational Products. USA: NCSS.
Haas, J.M. (1998). Developing Curriculum: USA: McMilan, Co.
Johnson, R.T. and Johnson, D.W., (1985). Student-student Interaction: Ignore but Powerful, Journal of Teacher Education, July/August.
Kohn, A., (1986). No Contest: The Case Against Competition, Boston: Houghton Mifflin.
Kelly, E. L. and Fiske, Donald, W. (1971). The Prediction of Performa in Clinical Psichology. USA, England: University of Michigan Press.
Phenix, Philip H., (1990). Realm of Meaning: A Philosophy of Developing Curriculum for General Education. New York: Mcgraw Hill Book Company.
Supriadi, Dedi. (1998). Mengangkat Citra dan Martabat Pembelajar. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
________, (1997). Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: PT. Rosda Jayaputra.
Stopsky, David and Marla Thomson. (1989). Planing of Change: New Approach in Education Administration. NY: Educational Journal, Vol VIII-1.
Stahl, J. R. (1994). Cooperative Learning: Hand Book for Teacher. USA: John Hopkins University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar