Dalam leksikon Jawa, guru umumnya ditafsirkan sebagai akronim dari ungkapan ”bisa digugu lan ditiru” ( Sunda: tiasa dipercanten sareng digugu sarta ditiru). Ini artinya bahwa sosok guru adalah orang yang dapat dipercaya atau dipegang teguh kebenaran ucapannya dan dapat diteladan tingkah lakunya. Di balik ungkapan itu, tersirat paham atau setidak-tidaknya asumsi bahwa apa yang dilakukan, dikatakan, dan diajarkan guru adalah benar. Guru sangat dipercaya sehingga jarang orang mempersoalkan ajarannya.
Guru dianggap sebagai profesi yang mempunyai keutamaan moral. Karena itu, jika orang membutuhkan nasehat atau pertimbangan, pergilah ia ke guru. Karena dipandang sebagai teladan, guru sangat dihormati masyarakat. Guru merupakan profesi yang bergengsi. Kemudian, menjadi guru adalah kebanggaan. Begitulah kiranya pandangan tentang guru, tempo doeloe.
Asumsi tempo dulu bahwa ucapan dan ajaran guru selalu benar telah mengalami pergeseran. Dewasa ini, ungkapan guru sebagai ”yang bisa digugu dan ditiru” agaknya sudah usang dan mengalami peyorasi. Jika muncul pemakaian ungkapan itu, seringkali justru untuk menyatakan perasaan tidak puas terhadap perkataan atau prilaku guru, atau dipakai sebagai semacam ”umpatan” kepada guru.
Guru dianggap sebagai profesi yang mempunyai keutamaan moral. Karena itu, jika orang membutuhkan nasehat atau pertimbangan, pergilah ia ke guru. Karena dipandang sebagai teladan, guru sangat dihormati masyarakat. Guru merupakan profesi yang bergengsi. Kemudian, menjadi guru adalah kebanggaan. Begitulah kiranya pandangan tentang guru, tempo doeloe.
Asumsi tempo dulu bahwa ucapan dan ajaran guru selalu benar telah mengalami pergeseran. Dewasa ini, ungkapan guru sebagai ”yang bisa digugu dan ditiru” agaknya sudah usang dan mengalami peyorasi. Jika muncul pemakaian ungkapan itu, seringkali justru untuk menyatakan perasaan tidak puas terhadap perkataan atau prilaku guru, atau dipakai sebagai semacam ”umpatan” kepada guru.
Pergeseran pandangan terhadap profesi guru itu disebabkan oleh berbagai hal. Keadaan dan zaman telah berubah. Modernisasi media cetak dan media elektonik menjadikan guru yang semula dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi tidak berlaku lagi. Jumlah warga masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi dari guru semakin banyak. Kecuali status sosial itu, status ekonomi kebanyakan guru terutama, sangat memiliki andil yang cukup berarti terhadap pergeseran pandangan itu.
Seseorang disebut baik dilihat dari tindakan, ucapan, dan perilakunya secara keseluruhan. Dalam hal ini, apakah ia memiliki keutamaan moral; kemampuan menghayati nilai yang baik dan buruk? Banyak orang, termasuk guru, tahu tentang nilai-nilai moral. Tetapi, masih saja banyak yang berbuat salah bahkan melakukan kejahatan yang disengaja. Terjadinya perbedaan atau bahkan pertentangan antara pengetahuan dan tindakan seseorang itu banyak yang disebakan oleh kenyataan-kenyataan hidup yang mungkin memang membuatnya begitu.
Minimnya gaji guru untuk memenuhi standar hidup layak yang berakibat pada rendahnya status ekonomi, memaksa guru untuk bekerja pada bidang yang lain. Banyak guru yang melakukan pekerjaan ”tak terhormat” demi mencukupi kebutuhan minimum rumah tangganya. Bahkan ditemui banyak kasus tindak kejahatan seperti pengedaran narkoba, penipuan, pencurian, pengatrolan atau jual-beli nilai rapor, dan kasus-kasus kriminal lain yang melibatkan seorang guru. Kemudian, fenomena ini melibas gengsi guru dari mata masyarakat. Guru yang zaman dulu dianggap memiliki keutamaan moral sekarang dipandang tidak lebih dari kebanyakan orang.
Dewasa ini, ketika terdapat guru sudah dapat hidup layak dari segi ekonomi karena kerja ekstranya atau karena mendapat jabatan di sekolah tempat kerjanya sehingga bisa memberikan kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk mengubah status ekonominya, banyak yang berusaha mengejar status atau segi lain.
Tidak sedikit guru pada tingkat ini yang ingin menemukan kembali gengsi dan kehormatan dirinya. Untuk itu, mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bisa memperpuruk gengsi dan kehormatannya sendiri. Misalnya saja, dalam kasus komaditi gelar akademis yang merebak akhir-akhir ini, banyak guru yang terlibat sebagai konsumen.
Dahulu ada teori bahwa fenomena gila gelar disebabkan oleh suatu kekagetan akibat pendidikan formal masih merupakan hal baru dalam budaya bangsa dan pelaksanaannya belum merata. Kemudian dapat dimengerti bahwa orang yang sudah mendapat gelar akademis tertentu merasa menonjol di antara sesama di lingkungannya. Lebih jauh dari itu timbul kesombongan dan sering disertai kecenderungan memaksakan pendirian kepada orang lain. Sekarang, ketika pendidikan sudah semakin maju dan merata, gelar masih menjadi pemukau yang manjur di kalangan masyarakat kita. Banyak orang yang ingin memperpanjang namanya dengan berbagai gelar. Kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak terentu dengan cara memperdagangkan berbagai gelar akademis.
Telah banyak diungkap bahwa kecanduan gelar tidak hanya merasuki kalangan pejabat dan perguruan tinggi, tetapi sudah hampir memasyarakat, termasuk kalangan guru sekolah menengah. Di Bandung misalnya, banyak guru dan kepala sekolah menengah yang ”bergelar” master (M.B.A. dan /atau M.Sc.). Bahkan ada sekolah swasta yang hampir 50 persen guru tetapnya memiliki gelar MBA dan/atau MSc, dan ada yang sampai Dr (HC). Yang menjadi masalah, seperti yang akhir-akhir ini dirisaukan oleh banyak kalangan, gelar-gelar ”bergengsi” yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah itu diperoleh dengan jalur yang tidak semestinya. Pada umumnya, mereka bisa mendapatkan gelar-gelar itu cukup dengan membayar sejumlah uang pada lembaga atau biro jasa (”warung gelar”) yang menjual/ menawarinya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa guru-guru itu yang notabene guru sebagai ujung tombak pendidikan yang mengalihkan berbagai nilai dan kearifan—tidak menghayati lagi moral, etika, dan prilaku sebagaimana seharusnya dihayati dan dimilikinya sebagai pendidik. Para guru itu dapat dikatakan bertindak hanya dengan kendali nilai-nilai yang beredar di pasaran tanpa didasari moral dan prinsip etis yang logis.
Ungkapan ”digugu dan ditiru” seperti disebut di atas atau ungkapan ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, kiranya (dalam hal ini) kembali menjadi alasan bagi prilaku murid-murid yang bertindak serupa. Hal tersebut terbukti di Bandung ini juga, dan bukanlah fenomena baru, banyak murid yang membeli rapor, nem, dan ijazah. Terdapat anak yang tiba-tiba diketahui memiliki ijazah SMU tanpa harus menyelesaikan SMU-nya sampai tuntas.
Ketika murid tersebut tidak naik atau tidak lulus sekolahnya, tiba-tiba diketahui ia sudah kuliah di suatu perguruan tinggi. Yang aneh lagi, terdapat anak yang tidak naik di kelas I suatu SMU, alih-alih mengulang di SMU tersebut, pada tahun ajaran baru berikutnya ia sudah menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi, dan yang sangat mengherankan, PT yang dimasukinya itu termasuk PT yang favorit di kota ini.
Ketika murid tersebut tidak naik atau tidak lulus sekolahnya, tiba-tiba diketahui ia sudah kuliah di suatu perguruan tinggi. Yang aneh lagi, terdapat anak yang tidak naik di kelas I suatu SMU, alih-alih mengulang di SMU tersebut, pada tahun ajaran baru berikutnya ia sudah menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi, dan yang sangat mengherankan, PT yang dimasukinya itu termasuk PT yang favorit di kota ini.
Terungkapnya kasus pengatrolan nilai ujian akhir dan jual beli nilai yang dilakukan oleh oknum guru SMU di Bandung akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena gunung es. Jangan-jangan fakta ini sudah terbiasa terjadi di sekolah-sekolah lain dan di wilayah-wilayah lain di negeri ini.
Kenyataan di atas sangat memprihatinkan. Mungkin sekali pendidikan budi pekerti tidak akan banyak artinya dan kurang menyentuh pribadi anak jika masih terdapat fakta-fakta prilaku guru yang ‘kurang berbudi pekerti ’ itu. Jika moral dan sifat budi pekerti luhur tidak dimiliki para pendidik, akan dibuat bagaimanakah moral generasi muda bangsa ini kemudian?
Keberhasilan usaha pendidikan bukan pertama terletak pada tersedianya perlengkapan pendidikan yang serba canggih, melainkan lebih pada kualitas sumber daya manusianya yaitu guru dan tenaga kependidikan yang lain.
Para guru pada dasarnya adalah pengalih berbagai nilai, kearifan, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi terdahulu kepada generasi kemudian. Mereka adalah pelaku tugas pokok manusia dalam hidup ini (the ultimate human task in life). Oleh karena itu, agar pendidikan mencapai tujuannya yaitu membentuk manusia yang manusiawi sehingga mampu menghadapi era perkembangan dan perubahan global, diperlukan pendidik yang mentalnya kuat, moralnya tangguh, dan profesionalismenya tinggi.
Mengenai profesionalisme, P. Siegart dalam Rahardi (1998) menyebutkan ada tiga sikap dasar bagi individu untuk disebut profesional. Ketiga sikap dasar itu adalah (1) adanya keseimbangan antara sikap altruistik dengan sikap non-altruistik/egoistik dalam diri individu; (2) adanya penonjolan kepentingan luhur dalam praktik kerja keseharian; dan (3) munculnya sikap solider antarteman seprofesi.
Ketiga sikap dasar ini akan menumbuhkan sikap positif terhadap kerja pada diri individu, teristimewa yang mengutamakan kemauan ikhlas untuk bekerja sama dengan sesama teman seprofesi yang disemangati oleh niat melayani dan mengabdi demi tercapainya tujuan luhur sebuah karya, dalam hal ini adalah karya pendidikan.
Beranjak dari sikap dasar di atas, kita dapat mengatakan bahwa profesionalisme memiliki tiga ciri utama yang saling mengait, yakni (a) adanya kapasitas atau stok keahlian yang besumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar dan mapan; (b) adanya moral, etika, serta perilaku atau tindak-tanduk yang baik; dan (c) adanya pelayanan atau pengabdian yang tulus dari seorang individu terhadap masyarakat dan lingkungan (bdk. Kunjara, 1998).
Oleh karena itu, seseorang dikatakan profesional apabila memenuhi kriteria seperti: memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam pada bidang pekerjaan yang diemban (know what and show how), memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas yang diemban (know how), dan memiliki sikap-sikap yang dituntut oleh pekerjaan yang diemban (disiplin ilmu dan etika profesi).
Berlandaskan pemikiran di atas, kiranya cukup banyak ciri keutamaan bagi profesionalisme seorang guru. Beberapa ciri keutamaan itu antara lain ketepatwaktuan, optimisme terhadap peserta didik, solideritas, stabilitas, mawas diri, kesabaran, kesederhanaan, tahu membeda-bedakan, ketenangan, ketekunan, idealisme, persiapan, dan menghargai profesi. Terhadap ciri keutamaan yang disebut terakhir ini, profesi guru hendaknya dihargai dan dicintai oleh guru itu, bukan sebaliknya disalahgunakan dan dilecehkannya sendiri.
Seringkali terdengar keluhan bahwa sekarang kini semakin sulit mendapatkan tenaga pengajar yang memenuhi kualifikasi profesionalisme. Bahkan lebih tajam lagi, seorang pakar pendidikan, J. Drost SJ, mengatakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru (Hidup, 27/2/00 hal. 19).
Berbicara mengenai moral memang tidak dapat dipisahkan dengan profesionalisme seseorang. Keduanya saling terkait secara kausal. Yang satu menjadi akibat bagi yang lain, dan yang satu menjadi penyebab bagi yang satunya. Bagaimana mungkin seorang guru dapat dikatakan profesional apabila tidak memiliki keutamaan moral.
Moral dan profesionalisme juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan global dunia kita. Profesionalisme dapat dianggap sebagai suatu akibat dari merebaknya arus globalisasi, dan globlalisasi merupakan suatu sebab munculnya profesionalisme. Di sini, moral menjadi perekat sekaligus penawar hubungan keduanya. Kemudian presionalisme kerja guru menjadi tuntutan, kendati masih sering dirasakan semata-mata obsesi belaka. Seorang guru hendaknya selalu melekatkan dan menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaam sebagai guru di dalam dirinya demi memantapkan kualitas pelayanan dan pengabdiannya kepada pemanusiaan manusia muda.
Penulis adalah Dosen Tetap STKIP-PGRI Pontianak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar