Deskripsi Materi Pembelajaran
1. Masyarakat Global: Tantangan dan Harapan IPS
Menurut Stopsky dan Sharon (1994), masyarakat merupakan labora-toriumnya IPS. Oleh sebab itu, setiap kegiatan pembelajaran IPS harus mampu mengcover realitas masyarakat dimana pebelajar hidup dalam kesehariannya.
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis, sebagai salah satu dampak dari kemajuan revolusioner dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghadirkan the hight tech dalam setiap aspek kehidupan manusia, khususnya dalam jaringan informasi dan telekomunikasi menghadirkan warna baru hubungan kemanusiaan dan segala aspek kehidupannya. Bagi kalangan pembelajar IPS, kecendrungan ini harus dapat ditangkap dan digunakan sebagai dasar perancangan dan pengaplikasian prinsip-prinsip pembelajaran di sekolah.
Ada beberapa isu sentral yang berkait dengan tataran masyarakat global dalam pembelajaran IPS, yaitu: (1) human rights, (2) keep peace environment, (3) local and global political tendency, (4) economic global, (5) decreased moral and society attidude, dan (6) racial and culture probles. Isu-isu ini merupakan sumber pembelajaran yang sangat strategis untuk mengembangkan potensi dan skills peserta didik dalam IPS.
Penggunaan teknologi-komunikasi dan beberapa perangkat keras yang berkaitan dengan kemudahan mengakses informasi harus dioptimalkan penggunaannya oleh para pebelajar (pembelajar) dalam membelajarkan IPS. Pembelajar dalam kapasitasnya sebagai manager and instrument of learning dituntut paham dan terampil dalam memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran yang dirancang dan dilakukan. Karena pada dasarnya IPS adalah disiplin ilmu yang selalu bersentuhan dengan isu-isu sosial kemasyarakatan. Di samping itu, pengcoveran realitas aktual yang terjadi di masyarakat, akan menjadikan pembelajaran yang dilakukan oleh pembelajar to be meaningful learning better than transfering knoledge and skills by expository.
Seorang pembelajar, selayaknya mampu menjadikan ruang kelas yang terbatas sebagai media dan wahana belajar peserta didik yang tidak terbatas. Hal ini bisa dilakukan, bila pembelajar mampu menghadirkan cover riil masyarakat selama pembelajarannya. Karena yang terpenting dalam pembelajaran IPS bukan sebatas how to learn, tetapi learning how to learn, sehingga meaningful learning itu bukan sebatas harapan dan konsep formal yang digantung di dinding setiap kelas.
Rasional dari pembahasan dan tawaran konsep-aplikatif dalam ini lebih banyak dimaksudkan kepada mereka yang percaya dan meyakini akan keberbedaan hak dari setiap individu serta kemampuan personal yang holistik. Philosofi dari kajian dalam bab ini bahwa “kurikulum harus sesuai dan relevan dengan keinginan, hidup, dan kebutuhan peserta didik secara alamiah”. Munculnya konsep inovasi dalam kurikulum IPS, dilatarbelakangi oleh beberapa kritik dan pandangan miring yang dialamatkan kepada pembelajaran IPS. Adapun beberapa kritik mendasar yang banyak dimunculkan berbagai fihak seputar pembelajaran IPS, adalah:
1. Mata pelajaran yang hanya berisikan fakta, nama, dan peristiwa masa lalu.
2. Mata pelajaran yang membosankan
3. Tidak memiliki nilai praktis (unaplicable)
4. Sarat materi tanpa makna (covers too much material)
5. Tidak ada kontribusi dalam pembangunan masyarakat, karena hanya membicarakan masa lalu
6. Pembelajarannya hanya bersumberkan pada buku teks.
7. Peserta didik tidak memperoleh sesuatu yang dapat disimpan dalam memorinya.
8. Pembelajar tidak dapat membelajarkan keterampilan berpikir
9. Pembelajar IPS banyak berangkat dari asumsi bahwa tugas mereka adalah memindahkan pengetahuan dan keterampilan yang ada pada dirinya ke kepala pebelajar secara utuh.
Menurut Stopsky dan Sharon Lee (1994), kritik yang dialamatkan kepada IPS itu banyak dikontribusi oleh pendekatan dan model pengorganisasian materi yang dilakukan oleh pembelajar cendrung dangkal, sehingga tidak menggugah peserta didik untuk belajar inquiri. Hal ini didukung oleh pengembangan dan sistimatika kurikulum IPS yang masih menggunakan kombinasi sparated approachs dan integrated approachs.
Menurut Luchan (1990), pembelajaran IPS merupakan pengembangan seni berkehidupan peserta didik dalam bermasyarakat (latihan-latihan berkehidupan). Logikanya, setiap pembelajaran IPS harus mampu menghadirkan potret riil masyarakat peserta didik dimana mereka tumbuh dan berkembang. Pembelajaran IPS bukan hanya menyangkut fakta, tetapi ongoing creation of today, and the recreation of yesterday, sehingga yang harus dikembangkan pembelajar adalah pengkondisian kelas sehingga peserta didik mampu melakukan refleksi tentang masa lalu dalam menyikapi kehidupan saat ini (present). Senada dengan pemikiran di atas, Mehlinger (1979) menyatakan: social studies not about “dead events”, but concern with how to management and reflection past based on the present and future lifes.
Tujuan dari konsepsi ini adalah mengkondisikan dan melatih peserta didik untuk terbiasa menghadapi tantangan dan bertanggungjawab tentang hidup dan kehidupan bangsa dan negaranya. Seorang pembelajar harus mampu menjadikan setiap peserta didik sebagai “ambassador” dengan keterampilan bernegosiasi serta kemampuan mengambil solusi atau keputusan yang akurat tentang kehidupan bernegara. Latihan yang diberikan oleh pembelajar, menuntun pebelajar untuk mengunakan pengetahuannya dalam membuat keputusan yang rasional tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang dihadapi.
Sekolah adalah laboratorium dimana pebelajar dapat belajar dan berpartisipasi secara demokratis untuk memecahkan masalah sosial kemasayarakatan. Konsepsi ini banyak dipengaruhi oleh kondisi masyarakat Amerika yang multietnik. Namun, multietnik merupakan sesuatu yang mesti diterima dan dijadikan sebagai sumber pembelajaran di sekolah sebagai sebuah masyarakat yang demokratis, sehingga memungkinkan anak-anak Amerika untuk memahami mereka adalah bagian dari tataran masyarakat global yang dinamis. Untuk itu kurikulum persekolahan harus mengcover refleksi dari nilai-nilai leluhur dan keberbedaan dari setiap orang dalam kehidupan masyarakat.
Seorang pembelajar harus membelajarkan pebelajarnya menjadi pemimpin dunia di masa mendatang. Hal ini merupakan antisipasi dari kecendrungan tata laku masyarakat global. Artinya, bagaimana peserta didik mampu memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik dan “tahan banting” terhadap dinamika sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dunia (global community).
Pembelajaran IPS yang baik dan semsetinya dikembangkan oleh pembelajar adalah mengajak peserta didik memahami natural settings dari masalah-masalah kemasyarakatan dan menempatkannya dalam proporsinya, serta belajar merumuskan tehnik-tehnik pemecahannya. Dalam konteks ini akan berkembang keterampilan-keterampilan sosial tingkat tinggi pada diri mereka, seperti; keterapilan dalam bernegosiasi, berkompromi, menerima dan memberi, inquiry, dan menjustifikasi sebuah masalah secara objektif. Hal inilah yang oleh Schuncke (1988) dikatakan bahwa “social studies is unique place among according diciplines, because it encomposses every aspects of human life”. Sebelum merancang pembelajaran, bawa pebelajar datang ke sekolah dengan seperangkat nilai yang diperolehnya dalam keluarga, masyarakat, dan teman sebayanya, sehingga pembelajar harus mampu mengadaptasi karakteristik setiap pebelajar agar terakumulasi secara positif selama pembelajaran berlangsung.
Sekolah harus menjadi sebuah potret nyata dari sebuah proses demokrasi, dan mampu menyajikan realitas kehidupan demokrasi yang telah dimiliki dan diperoleh oleh pebelajar dalam kehidupan di luar sekolah. Aktualisasi pendidikan nilai di sekolah dan kerjasama kelompok merupakan salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan oleh pembelajar dalam membelajarkan pebelajar yang mulietnik. Melalui kerjasama kelompok dan belajar secara kolaboratif setiap pebelajar akan merefleksi ulang nilai-nilai individualnya berdasarkan kontribusi pebelajar lainnya, sehingga akan tumbuh pemahaman yang memadai terhadap keberbedaan orang lain di sekelilingnya.
Aktivitas belajar harus mampu mendorong pebelajar melakukan inkuiri, melakukan apa yang dipikirkannya, dan menemukan kreasi secara mandiri dalam memecahkan masalah. Karena pada dasarnya tujuan dari setiap pendidik adalah bagaimana menjadikan pebelajar memahami dan menerima perbedaan dengan tanpa ada keinginan untuk menyatakan permusuhan. Secara umum ada beberapa model pembelajaran yang bisa dijadikan acuan oleh pembelajar dalam membelajarkan nilai kepada pebelajar, yaitu; (1) sosio-drama, (2) simulasi, (3) storyteller, (4) demonstrasi individual, dan model pembelajaran lain yang menonjolkan pengekploitasian potensi diri pebelajar.
Seorang historian, Hirsch (1992) menyatakan bahwa, social studies emphaziss history and social science at frame of paedagogical purpose. Pembelajar dalam merancang pembelajaran IPS harus mampu menciptakan iklim yang kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan di lingkungan pebelajar dan dalam skup yang lebih luas dan keterampilan dalam mengambil sebuah keputusan, dengan memberikan kesempatan peserta didik melakukan reflective their values, moral, knowledge, and iterest to make decisions. Dengan demikian akan terpola pembelajaran yang berorientasi pada pengoptimalan learner experiences.
Kecendrungan dan inovasi dalam pembelajaran IPS ini banyak dikontribusi oleh perkembangan dunia yang semakin menggila sebagai dampak kemajuan IPTEK, dan kondisi alamiah masyarakat seperti; pluralisme, multietnic, and multicultural environment, sehingga membawa ekses pada terjadinya cultural revolution, role deferren-tiation, families come in many forms, and expanding individual rights. Pada dasarnya pola dan pendekatan IPS seperti di atas, dikembangkan berdasarkan tiga konsep dasar tradisi pembelajaran IPS yang direkonstrukti oleh seorang pakar pendidikan Amerika berkebangsaan Yordania, Charles Mistakos (1980). Adapun tiga tradisi pembelajaran IPS yang dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut:
FOKUS PEMBELAJARAN SOCIAL STUDIES | |||
| TRANSMISI | ILMU SOCIAL | REFLEKTIF-INQUIRY |
TUJUAN | Menanamkan nilai-nilai yang tepat sebagai dasar mengambil keputusan | Menggunakan konsep, ke-terampilan, dan proses pengambilan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip ilmu sosial | Menggunakan pendekatan inkuiri sebagai sumber pemerolehan pengetahuan dan pemecahan masalah serta pengambilan kepu-tusan |
METODE | Resitasi buku teks, ce-ramah, tanya jawab, problem solving, inquiri dsb | Pengumpulan data dan verifikasi pengetahuan dan metode yang tepat untuk setiap disiplin ilmu sosial | Rangkaian kegiatan pengidentifika-sian masalah, su-dut pandang terhadap ma-salah, dan struktur peng-ambilan keputusan |
MATERI | Ilustrasi tentang nilai, moral, kepercayaan, dan sikap yang diinterpreta-sikan secara langsung oleh pembelajar | Materi berisikan tentang struktur, konsep, masalah, dan proses berbagai ilmu sisial | Materi disesuaikan de-ngan masalah yang dipilih pebelajar berdasarkan analsis nilai, kebutuhan, dan ke-inginan pebelajar |
2. Kurikulum Global
Kecendrungan baru dalam pembelajaran IPS juga ditunjukkan oleh adanya gugatan kembali oleh kalangan ilmuwan sosial, terutama yang melabeli dirinya sebagai founding father dari disiplin ilmu tertentu, seperti Forino (1993), yang menyatakan bahwa, history and social sciences are producers of knowledge, while social studies is largely a consumer. Mereka memper-tanyakan tentang eksistensi dan substansi materi dan pendekatan IPS dalam membelajarkan pengetahuan dan keterampilan, khususnya dalam menyikapi kecendrungan global yang berkembang dewasa ini. They need to encounter and reencounter, in variety of contexts, the knowledge, concepts, skills, and attidudes that from the foundation for participation in a democratic society (NCSS, 1990).
Berdasarkan beberapa kecendrungan akademis dan empirikal di atas, maka National Commission for Social studies (NCSS) merekomendasikan kalangan pelaku pembelajaran untuk menekankan pada pengaplikasian pengetahuan dan trends masyarakat untuk melatih pebelajar dalam mengambil keputusan tentang hidup dan kehidupan masyarakatnya, sehingga pola pembelajaran yang dikembangkan jauh lebih demokratis. The task of teachers is to assist students in using knowledge to make rational decisions (NCSS, 1993).
Sebagai sebuah laboratorium pendidikan warga negara, maka IPS selayaknya menekankan pada bagaimana membelajarkan pebelajar untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang demokratis, sehingga ketajaman intuisi dan prediktifnya terlatih dalam memecahkan masalah-masalah yang ada di sekelilingnya. Selayaknya, sebagai seorang pembelajar IPS, maka mereka tidak harus kehilangan kesempatan dalam membangun dan memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk mengembangkan minat dan bakatnya, berdasarkan konsepsi dan pemahamannya tentang sejarah dan teori-teori sosial.
Konsepsi ini merupakan satu diantara kecendrungan dan inovasi dalam pembelajaran IPS sebagai dampak langsung dari perkembangan masyarakat global. That teachers who miss these crutial opportunities to built interest, to intruduce concepts from history and the social sciences, and to develop social perspectives and civic understanding may take it more difficult for citizens of the 21st century to cope with their future.
Belajar dan pembelajaran merupakan dua kata yang berbeda namun memiliki kaitan satu sama lain. Belajar adalah proses yang terencana dan bertujuan serta memerlukan pengkondisian dan instrumen tertentu. Sementara dalam konteks pembelajaran telah terkandung makna belajar dan mengajar, sehingga pembelajaran lebih ditekankan pada proses interaksi transkasional antara pebelajar dan pembelajar dalam mencapai suatu tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam konteks IPS, seorang pembelajar harus mampu menjadikan proses transaksional yang berkebnag di kelas menjadikan pebelajar mampu mengembang-kan potensi dirinya secara optimal.
Melalui pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap potensi diri pebelajar pembelajar akan dapat merancang dan memilih model, serta pendekatan pembelajaran yang demokratis dan humanistis bagi pebelajarnya. Karena, hal tersebut merupakan tuntutan dan keharusan dalam menciptakan dan mengembangkan demokrat-isasi dalam pembelajaran IPS. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang pembelajar dan administrator pendidikan di timur tengah, Goland Curbis (1994), yang menyatakan bahwa, multiethnicity is central to our continued existence as a democratic society.
Alasan yang ditawarkan untuk menjustifikasi pendapatnya tersebut, adalah young people have differing needs which can be meet through an enriched social studies curriculum. Berdasakan preposisi di atas, kurikulum IPS harus dirancang secara integratif, holistik dan konstruktif dengan memper-timbangkan potensi dan instrumentalia pendidikan yang tersedia, sehingga mampu menghantarkan pebelajar memahami dan terampil dalam melakoni kehidupan masyarakat global saat ini.
Alfin Toffler (1980) menyatakan, that we are in the midst of a new paradigm of change that is analogous in scope and impact to the industrial revolution. Sebagai antisipasi terhadap prediksi Toffler, sudah selayaknya kalangan pembelajar makes curriculum come alive in the minds of children. Konsepsi di atas, mendapat pembenaran dari konsepsi Bruner (1968) yang dikemukakan jauh sebelum dunia ini berkembang sebagai tataran global yang multidemsional, bahwa to intruducing the basics of academic diciplines in the early grades, and then repeating them with increasing levels of complexity and sophistication throughout a student’s career in education.
Berdasarkan uraian dan pembahasan tentang isu dan kecendrungan pembelajaran IPS dalam tataran masyarakat global di atas, maka untuk memudahkan pemahaman terhadap hal-hal yang terkait langsung dengan hal tersebut, dapat dilihat dalam bagan berikut:
Kecendrungan Sosial | Implikasi Bagi Masyarakat | Implikasi bagi Pembe- lajaran di Kelas |
Akselerasi peru-bahandan keragu-an terhadap Masa depan | Turunnya kebersama-an mas-yarakat umum Kecemasan keluarga Keraguan akan masa depan Masyarakat akan me-ngalami beberapa pe-rubahan pekerjaan setiap saat | Transformasi kurikulum Penekanan pada keter-ampilan-keterampilan me-ngatasi perubahan, kese-mrawutan, dan pleksi-belitas |
Perubahan demografi | Perubahan populasi Peningkatan ekspresi anak | Kerancuan pada jurusan di sekolah dan bidang administrasi Sekolah harus beker-jasama dengan pebelajar dalam ketidakpastian |
Telekomunikasi dan Informasi da-lam tataran Masyarakat global | Kemudahan dan kece-patan informasi Perluasan informasi | Sekolah harus padu dengan jaring-an global, untuk memperoleh infor-masi yang lebih banyak |
Pluralistis, Keber-agaman Ras dan keberagaman Lingkungan | Peningkatan potensi konflik dan kekhawatiran individual Tekanan-tekanan yang menyebabkan hilangnya nilai kebersamaan | Tantangan bagi disiplin keilmuan Sejarah budaya harus merupakan bagian dari kurikulum |
Revolusi sosial | Peningkatan konflik dika-langan orang tua/anak | Tantangan baru bagi pengambil kebijakan |
Perbedaan kebi- asaan Atau aturan main | Individu senantiasa ber-ada dalam peraturan/ hukum | Pembelajar dan pebelajar harus menjalin interaksi personal dalam berbagai level |
Bentuk keluarga yang beragam | Rendahnya kualitas hidup Sedikitnya perhatian ke-sehatan dan pening-katan biaya pengo-batan | Meningkatkan keterlibatan orang tua dalam kebija-kan-kebijakan sekolah |
Perluasan hak-hak Individu | Peningkatan konflik dan keter-sediaan peradilan untuk men-justifikasi | Pebelajar semakin sadar akan hak dan kewajiban-nya, sehingga merupakan tantangan baru bagi para pengelola sekolah |
Kemunduran kualitas lingkungan, kehidupan kota, dan kesehatan | Rendahnya kualitas hidup Sedikitnya metode peng-obatan baru, sehingga meningkatkan biaya pengobatan. | Meningkatnya perhatian terhadap penggunaan, ke-cendrungan dan manfaat dari pembelajaran materi Biaya pengobatan bisa berpengaruh pada keha-diran pebelajar di sekolah Meningkatnya absensi ke-hadiran pebelajar di sekolah |
Ekonomi global | Kesempatan kerja dipe-ngaruhi oleh kejadian-kejadian dunia | Pengaruh kebijakan global terhadap pembiayaan se-kolah, kurikulum, dan yang lainnya. |
3. Model Pembelajaran IPS
Model merupakan kerangka konseptual yang dikembangkan dan digunakan sebagai pedoman sistematis dalam melaksanakan dan mengembangkan IPS sesuai dengan tujuan dan kepentingannya (Stopsky and Sharon Lee, 1994). Ada beberapa model pembelajaran yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS, seperti: (1) the disclipinary model, (2) the multydisciplinary model, (3) citizenship education, (4) the problem inquiry model, dan (5) the humanistic model atau personal model (Gross, 1978). Sementara Bart dan Shermish (1987) mengatakan ada tiga model pembelajaran IPS yang sesuai dengan dinamika masyarakat, yaitu: (1) social studies as social sciense model, (2) social studies as citizenship education model, dan (3) social studies as reflective inquiry models. Berkaitan dengan upaya pematangan dan peningkatan profesionalisme pembelajar, Stopsky dan Sharon menyatakan ada tiga aliran besar yang mempengaruhi tradisi dan model pembelajaran IPS, yaitu: (1) aliran ilmuwan sosial, (2) aliran para pendidik (expert), dan (3) aliran gabungan antara ilmuwan sosial dan ahli pendidikan.
Dihubungkan dengan orientasi pengembangan capability instructional dikenal pula model pembelajaran IPS yang emphaziss pada developing skill of science thinking, sebagaimana layaknya ilmuwan sosial dan model pengembangan aspek-aspek values and moral kewarganegaraan yang baik. The objectives of social science as a conceptual tidak hanya terdapat dalam kurikulum secara eksplisit, namun tumbuh dalam berbagai konsepsi pemikiran yang dikembang-kan para pemerhati dan pakar pendidikan. Beberapa definisi yang diangkat senantiasa berkait dan memuat konsep tentang tujuannya. Tradisi dimana IPS dikembangkan (setting of society) senantiasa mewarnai rumusan tujuannya, sehingga tampak rumusan tersebut sangat kontekstual dengan social and culture of communities.
Para ahli sering merumuskan tujuan IPS berkaitan dengan upaya mempersiapkan para pebelajar menjadi warga negara yang baik. Hal ini merupakan pengaruh dari model IPS sebagai “citizenship education”. Gross (1987), seorang pakar pendidikan dan sekaligus negarawan menyebutkan tujuan IPS “to prepare students to be well-fungtioning citizens in a democratic society”. Konsekuensinya, pebelajar harus dikondisikan dan dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan sekolah yang mampu mengaktualisasi-an hal itu. Hal ini merupakan arah maju dalam pembelajaran IPS di tengah-tengah globalisasi.
Tujuan lain yang mencerminkan pendekatan rasionalitas dalam IPS antara lain mengembangkan kemampuan menggunakan penalaran dalam pengambilan keputusan setiap persoalan yang dihadapi. We also think that the social studies should be more concerned with helping student make the most rational decisions that they can in their own personal lifes (Gross, 1987). Para pembelajar, hendaknya mampu mengkondisikan pembelajarannya yang memung-kinkan pebelajar memperoleh informasi yang seoptimal mungkin bagi pengem-bangan apresiasi nilai dalam menjalani kehidupannya, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.
Berdasarkan rasionalitas tersebut, tampaknya dari dua dimensi inilah tujuan IPS harus dirancang dan diaktualisasikan agar sesuai trends masyarakat global saat ini. Social studies sejak awal telah menekankan pada pengembangan penghargaan diri peserta didik, termasuk melalui penggunaan pendekatan belajar secara kelompok. Pemikiran ini di dasari oleh asumsi bahwa setiap pebelajar adalah individu yang unik, namun mereka besar dan berbagi pengalaman secara bersama-sama di sekolah, sehingga setiap pebelajar berkeinginan memperoleh kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan dalam belajarnya di sekolah.
Pemberian tugas kelompok ke perpustakaan merupakan salah satu metode pembelajaran yang efektif untuk menumbuhkan iklim belajar kolaboratif diantara pebelajar, sehingga memungkinkan ekplorasi optimal kemampuan pebelajar melalui refleksi diri dan sharing process diantara pebelajar itu sendiri. Hal ini harus dijadikan sebagai model acuan oleh pembelajar dalam pembelajaran IPS, sehingga pembelajaran yang dilakukan benar-benar bermakna (meaningful learning).
4. Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPS
Pembelajaran IPS dalam era modernisasi dan kecendrungan global dewasa ini, harus tetap berakar pada akar budaya dimana IPS itu dibelajarkan. Disamping itu, pengembangan keterampilan berpikir dan penekanan pada refleksi nilai oleh peserta didik tetap menjadi orientasi pembelajaran yang dilakukan kalangan pembelajar. Pengembangan kemampuan berpikir berkaitan dengan asumsi bahwa berpikir merupakan potensi manusia yang perlu secara sengaja dikembangkan untuk mencapai kapasitas optimal aktualisasi diri pebelajar.
Kemampuan berpikir diposisikan sebagai power resources yang amat vital bagi suatu bangsa, sehingga hal tersebut diperlukan oleh para pembelajar untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan berpikir (Artur L Costa, 1985). Konsepsi pendidikan berpikir sebagai pendekatan dalam pengadminis-trasian pendidikan lahir sebagai respon atas perlunya pendidikan diperankan untuk mengembangkan kemampuan tersebut dalam segala dimensinya.
Intelegensi dan kemampuan berpikir memiliki hubungan kausalitas level tinggi, sehingga semakin tinggi kemampuan berpikir seseorang, makin tinggi pula intelegensi orang tersebut. Disamping itu, kemampuan berpikir ini akan mendorong pengembangan potensi lain dari seseorang yang sebelumnya tidak tampak kepermukaan. Pendidikan berpikir ditujuakan untuk mengembangkan kualitas berpikir anak dalam proses perkembangan kognisinya, sehingga aktualisasi intelegensi memperoleh ruang gerak yang optimal.
Pembelajaran IPS senantiasa mengandung kegiatan berpikir, namun apabila tidak diprogramkan secara khusus, proses pendidikan berpikir itu akan berdampak pada rendahnya kualitas proses dan hasil pembelajaran, sehingga tidak memadai untuk melatih seseorang mengembangkan kemampuan berpikirnya secara optimal.
Seorang profesor sosiologi pendidikan di Amerika, Lester Frank Ward (1983), menyatakan bahwa intelegensi dapat dikembangkan melalui pendidikan, dia menjelaskan perlunya wajib belajar yang merupakan alat bagi pemerataan. Asumsi yang ditawarkannya banyak menarik perhatian para politisi dan pakar pendidikan, karena pada jamannya sedang berkembang dengan kuat “Darwinisme” yang sangat kontradiktif dengan asumsi yang ditawarkannya.
Untuk memantapkan kemampuan pebelajar dalam berpikir, pembelajar bisa mengajak pebelajar untuk melakukan refleksi diri, karena pada saat mana pebelajar memahami tentang keinginan pribadinya sebagai manusia, mereka akan mulai menyadari tentang keinginan dan aspirasi dari orang lain. Jika hal ini terus dilakukan, perbedaan nilai, budaya, dan kepribadian dalam masyarakat yang plural bukannya melahirkan konflik, justru memungkinkan setiap orang untuk memupuk sikap toleransi yang tinggi. Oleh sebab itu, pebelajar harus dilibatkan secara penuh dalam mempelajari materi dan melakukan sesuatu secara nyata tentang materi yang dipelajari. Trends pembelajaran IPS saat ini, adalah menjadikan kurikulum global sebagai acuan pengembangan materi di sekolah-sekolah. Dalam perspektif kurikulum, kurikulum global lebih menekankan pada upaya pengkondisian pebelajar untuk mempelajari kehidupan dunia nyata (real world), karena IPS dan ilmu sosial merupakan satu kesatuan dalam kurikulum global.
Kurikulum berwawasan masyarakat memungkinkan pebelajar untuk lebih bertanggungjawab terhadap perilakunya dan mengembang-kan pemikiran serta sikap perlindungan terhadap berbagai spesies di muka bumi ini. Dengan demikian, keseimbangan dunia akan terwujud secara baik, dengan tanpa mengesampingkan munculnya konflik-konflik individual yang terjadi di beberapa belahan dunia yang secara historis berbeda satu sama lainnya. Itulah profil dan posisi dari social science dalam tataran disiplin keilmuan dunia.
Pendekatan pebelajar sentris menekankan pada pemenuhan kebutuhan pebelajar untuk meningkatkan kemampuannya melalui beberapa manipulasi bahan ajar yang relevan. Dalam konteks pembelajaran, setiap pelaku pembelajaran IPS harus mampu meng-optimalkan perasaan dan harapan pebelajar dalam mengembangkan daya nalar dan kemampuan berpikirnya. Hal ini penting disadari oleh kalangan pelaku pendidikan, karena salah satu fungsi strategis yang diemban oleh sekolah sebagai sebuah institusi formal adalah mempersiapkan generasi muda untuk mampu hidup dan bekerja dalam segala bidang kehidupan. Sehingga, urikulum yang efektif adalah bilaman mampu melahirkan pebelajar yang bijaksana dalam segala dimensinya.
Jika kita menengok kebelakang, khususnya menyangkut pengorgani-sasian kurikulum IPS, setelah perang dunia II pola pengem-bangan kurikulum masih didominasi oleh paham pengorganisasian materi yang baku dan materi pelajaran yang terlalu banyak sehingga secara psikologis, sangat membebani pebelajar. Logikanya, pengetahuan itu dibangun dan dikembangkan secara sendiri oleh pebelajar dengan melakukan interaksi dengan lingkungan dan merekonstruksi ulang pengalaman yang telah dimilikinya.
Melalui model pembelajaran ini kreativitas berpikir pebelajar tidak terbatas pada acuan kurikulum formal, melainkan bisa menjelajah hingga ke luar lingkungan sekolah. Untuk itu, dalam memilih pendekatan dan model pembelajaran, pembelajar hendaknya memper-hatikan kematangan psikologis pebelajar serta orientasi belajar yang dimiliki oleh pebelajar itu sendiri. Secara umum, pebelajar khususnya yang berada pada jenjang sekolah dasar dan SLTP, suka pada seni dan menggambar untuk mengeksperikan perasaan dan ide-idenya, sehingga sekolah harus menjadi tempat yang menarik dan menggugah, karena anak-anak akan bisa belajar dengan lebih baik pada suasana/lingkungan yang menyenangkan. Untuk itu pengem-bangan iklim sekolah dan kelas yang menyenangkan akan menggugah kreativitas pebelajar dalam berpikir.Pembelajaran berpikir kreatif akan mengkondisikan pebelajar untuk memahami masa lalu dan menyiapkan diri menyambut masa depan.
Penemuan teknologi baru dalam bidang informasi merupakan sesuatu yang menguntungkan dalam pembelajaran IPS. Karena pembelajar dan pebelajar akan dapat secara bersama-sama meng-gunakan media tersebut secara maksimal bagi keberhasilan pembelajaran yang dilakukan. Forbes (1984), mengaitkan kemajuan teknologi dengan pendidikan berpikir dalam dimensi persekolahan. Bagaimana pembelajar mempersiapkan para pebelajar untuk menghadapi perkembangan teknologi di masa mendatang. Ia berpen-dapat bahwa pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dapat mengembangkan produktivitas pebelajar dalam menggunakan teknologi.
Forbes (1984), mengemukakan tiga katagori kemampuan berpikir, yaitu: (1) content thinking skills, (2) reasoning skills, dan (3) learning to learn skills. Aplikasi pendekatan pendidikan berpikir dalam IPS dipandang tepat dan strategis dalam meningkatkan kualitas dan profesionalisme pebelajar dalam mengantisipasi kecendrungan masyarakat global.
Arus perubahan dan dinamisasi dalam hampir semua aspek kehidupan, menuntut kalangan praktisi pendidikan untuk menggalakkan pendidikan berpikir dalam pembelajaran IPS. Hal ini akan terus mendapat perhatian, karena persoalannya berkaitan dengan proses belajar yang bagaimanakah yang mengandung kegiatan atau latihan berpikir itu. Sebab tidak semua kegiatan pembelajaran selalu ada kegiatan yang mengandung secara khusus proses berpikir, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kegiatan pembelajaran selalu mengandung latihan berpikir.
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir, kalangan pembelajar dapat menggunakan kemajuan teknologi, seperti penggunaan komputer, jaringan telekomunisi terpadu. Dengan fasilitasi ini, pebelajar akan dapat mengasah dan meningkatkan kemahiran dan kelincahan intelektualnya selama proses pembelajaran berlangsung. Namun yang perlu disadari oleh kalangan pengembang kurikulum maupun praktisi pendidikan, bahwa pendidikan itu harus tetap diadministrasikan dengan bersendikan pilar-pilar budaya dan nilai-nilai kultural yang ada dan berkembang di masyarakat.
Kondisi kultural masyarakat mutlak diperhatikan, jika tidak mau menghasilkan apa yang disebut dengan “kultur bisu” atau culture of silence. Hal ini penting, karena mengingat derasnya arus informasi sebagai dampak kemajuan teknologi yang diterima pebelajar yang berbentuk komunikasi searah, yang pada gilirannya akan mematikan kreativitas pebelajar di semua jenjang sekolah. Kondisi ini didukung pula oleh realita bahwa sistem persekolahan yang dikembangkan oleh kalangan politisi dan praktisi belum banyak mengem-bangkan nilai-nilai dasar humanistis. Untuk itu, pembelajar selayaknya tidak hanya berperan sebagai “transmiter of knowledge”, tetapi harus menjadi transfere and transformer of knowledge and values” (Freire, 1990).
Urgennya pengembangan nilai kultural dalam pembelajaran IPS, dikemukakan oleh Metcalf (1979), bahwa values analysis yang merupakan pendekatan dalam pendidikan moral dapat diaplikasikan dalam pembelajaran IPS, bahkan sejalan dan menunjang pengembangan kemampuan berpikir pebelajar. Jika pebelajar telah terampil dan kreatif dalam berpikir, maka disinyalir akan mampu memainkan peran secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (good citizen).
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik konsepsi, bahwa kemajuan teknologi bukan semata-mata menjadikan pembelajar lebih mudah dalam melakukan pembelajaran, hal itu juga merupakan tantangan kalangan pendidik untuk memacu diri untuk mampu mengoperasionalkan kemajuan teknologi bagi perkembangan dan keberhasilan belajar pebelajar.
Kalangan pembelajar dituntut untuk peka dan antisipatif terhadap perkembangan yeknologi, mengingat socisl studies merupakan disiplin ilmu yang merasuk dalam setiap hati nurani masyarakat, dimana prinsip-prinsipnya merupakan keseharian dari masyarakat itu sendiri. Kalangan pakar pendidikan telah banyak melakukan kajian untuk mengembangkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan latar budaya dan dinamisasi sosial-kemasyarakatan. Pada dasa warsa terakhir, upaya kearah itu telah banyak diorientasikan bagi pengembangan kemampuan berpikir pebelajar, demikian pula dalam aplikasi pemahaman culture heritages, telah menjadi sasaran dan arahan penemuan dan pengembangan model pembelajaran IPS.
Barry K. Beyer (1971) menyatakan bahwa, pemberian kesempatan yang leluasa kepada pebelajar untuk menjelajahi alam sekitar dan di luarnya dapat menumbuhkan sikap dan keterampilan inquiri di kalangan pebelajar itu sendiri. Atas dasar itu, ia yakin bahwa aplikasi inquiri dalam IPS dapat mengembangkan kemampuan berpikir, oleh karenannya materi pembelajarannya dikaitkan dengan masalah dan phenomena sosial yang ada di lingkungan sekitar pebelajar. Pendekatan metodologis yang diprasyaratkan dalam peningkatan keterampilan berpikir kritis di kalangan pebelajar dalam pembelajaran IPS, mengkondisikan pebelajar untuk bagaimana berpikir untuk memikirkan sesuatu. Dengan demikian analoginya adalah by think and how to think, hendaknya berpikir menjadi inti dari belajar, artinya hindari belajar tanpa berpikir.
Inquiri sebagai salah satu metode ilmiah, diyakini dapat meningkatkan kemampuan berpikir ke arah yang lebih tinggi di kalangan pebelajar, dikarenakan memiliki tahapan berpikir yang biasa digunakan kalangan ilmuwan dan peneliti dalam menemukan dan memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Kecendrungan global dunia, melahirkan kecendrungan umum pula di kalangan praktisi pembelajaran IPS, mereka terpolarisasi untuk mengoptimalkan beberapa metode pembelajaran yang secara ilmiah sangat signifikan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil dari pembelajarannya, seperti: (1) metode inquiri, (2) metode konstruktivis, (3) metode cooperative learning, (4) metode jurisprudensi sosial, dan (5) metode problem solving. Berkait dengan pembaharuan dalam pembelajaran IPS, Joice and Weil (1986) mengemi\ukakan beberapa model belajar, yang dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok, yaitu: (1) kelompok pengelolaan informasi, (2) kelompok personal, (3) kelompok sosial, dan (4) kelompok sistem perilaku. Jika kecendrungan ini terus berlanjut, disinyalir mutu pendidikan IPS bisa establis. Inilah yang oleh banyak kalangan diistilahkan sebagai “revolusi IPS melalui berpikir”.
Isu sentral lainnya yang berkembang dalam pembelajaran IPS, terkait dengan kehidupan masyarakat global, adalah pembudayaan belajar di kalangan pebelajar. Pembudayaan belajar berkaitan dengan merekonstruksi lingkungan dan iklim belajar secara produktif yang memberikan peluang pebelajar untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, moral, sikap, dan perilakunya secara maksimal, sehingga menimbulkan empati diantara sesamanya dalam tataran masyarakat yang multietnis dan multikultural.
Pembudayaan belajar dalam pembelajaran IPS, harus dimulai dengan membiasakan pebelajar mendapat tantangan dalam belajarnya, sehingga mereka terkondisi berpikir lebih untuk mencari formulasi pemecahan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian, materi pelajaran hendaknya diorganisasikan dengan mengangkat isu-isu sentral dan aktual yang berkembang di masyarakat, seperti isu budaya, kesejahteraan, lingkungan, HAM, dan kejadian-kejadian dunia yang monumental.
Pembudayaan belajar merupakan salah satu sasaran pemharuan dalam pembelajaran IPS. Konsep ini diakaitkan dengan premis bahwa pengembangan potensi individu pebelajar secara utuh, khususnya berkait dengan keterampilan berpikir bukan semata-mata metodologi pembelajaran atau kemahiran pembelajar dalam menguasai bahan ajar, melainkan banyak ditentukan oleh berkembang-nya budaya belajar di kalangan pebelajar.
Berpikir dan penghayatan terhadap nilai merupakan inti dari belajar. Asumsi ini menunjukkan bahwa proses ini perlu dibudayakan, sehingga menjadi bagian dari perilaku sosial pebelajar di tengah-tengah arus globalisasi yang bergerak dengan cepat. Penataan ini hanya akan dapat dilakukan melalui pemberian perhatian secara optimal kepada kepentingan peserta didik dengan tetap mempertim-bangkan latar sosial budayanya, sehingga pemilihan pendekatan metodologis dalam pembelajaran mendapatkan dukungan positif dari perspektif pebelajar, sehingga menjadi awal tumbuh dan berkembangnya budaya belajar itu sendiri.
5. Komunikasi dalam Pembelajaran IPS
Buku teks merupakan salah satu fondasi dalam kebanyakan pembelajaran IPS. Namun beberapa pembelajar yang berpikiran maju menggunakan literatur (koran, majalah, dan berita TV) sebagai basis dalam membelajarkan IPS. Penggunaan berbagai media dan sumber pembelajaran sangat esensial dalam membelajarkan IPS, karena semakin komprehensif media dan sumber belajar, pebelajar akan memiliki kesempatan yang luas untuk mengkomunikasikan ide, keinginan, dan pemikirannya. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi oleh pembelajar dalam memilih media dan sumber belajar bagi pebelajar, adalah karakteristik potensi pebelajar dan bahan ajar yang akan dibelajarkan.
Ada banyak metode yang bisa dipilih oleh pembelajar IPS untuk mengembangkan interaksi aktif dalam pembelajaran IPS. Diantara banyak metode tersebut, bermain peran merupakan salah satu metode yang sangat baik untuk meningkatkan keterampilan pebelajar dalam berkomunikasi, disamping metode bercerita, dan bermain musik, termasuk mendenagrkan musik dari etnik yang berbeda, sehingga dapat meningkatkan pemahaman budaya mereka tentang konsep multietnik.
Rasional dan tujuan pemilihan dan penggunaan medi dan sumber belajar di atas, pada dasarnya dimaksudkan untuk mengek-sploitasi berbagai strategi dalam berkomunikasi dan ide-ide untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi pebelajar. Dalam konteks ini peningkatan keterampilan pebelajar dalam membaca dan menulis, merupakan salah satu upaya peningkatan keterampilan berkomunikasi pebelajar. Hal ini penting dilakukan, mengingat perkembangan masyarakat global yang sangat dinamis, yang menuntut kemampuan dan keterampilan berkomunikasi, bernegosiasi, dan pengambilan keputusan tentang suatu masalah secara akurat dan cepat. Keterampilan berkomunikasi penting dikembangkan dan dilatihkan dalam pembelajaran IPS, mengingat setiap manusia di muka bumi ini dihadapkan berbagai persoalan yang multidimensional, sehingga membutuhkan keterampilan dan kecermatan dalam berkomunikasi.
Ada beberapa metode pembelajaran yang bisa dikembangkan oleh pembelajar untuk meningkatkan keterampilan pebelajar dalam berkomunikasi, yaitu: (1) Metode diskusi kelompok, (2) metode tanya jawab dan resitasi, (3) metode cooperative learning, (4) metode rekonstruktivisma sosial, (5) metode LRE, dan (6) metode sosiodrama. Semua metode tersebut, mengacu pada kemampuan dan keterampilan pebelajar dalam mengekspresikan ide, dan kemampuannya dalam pembelajaran.
Kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu proses instruksional yang terencana dan bertujuan. Interaksi aktif pebelajar dan pembelajar dalam konteks paedagogikal membutuhkan piranti pendukung yang memadai untuk mengaktualisasikan tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mengukur keberhasilan belajar pebelajar, pendekat-an lama (old approachs) menekankan pada penggunaan tes sebagai instrumen utama. Hal ini banyak dikritik oleh kalangan pakar dan praktisi pendidikan, karena mendatangkan berbagai konsekuensi negatif bagi pebelajar itu sendiri.
Pada saat pebelajar datang ke sekolah, dia mengemban misi yang teramat berat, yaitu untuk meraih kesuksesan dalam belajarnya. Orang tua, media massa, dan para pengambil kebijakan menekankan pada penggunaan label (angka) untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar pebelajar. Hal ini sangat merugikan pebelajar secara akademis dan psikologis. Kondisi ini diperburuk lagi oleh kebiasaan dan asumsi yang digunakan pembelajar dalam melakukan pengukuran terhadap keberhasilan pebelajar, yaitu dengan menggunakan tes, yang didalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang hanya menekankan pada pengukuran keterampilan kognisi pebelajar.
Tes yang dikembangkan oleh pembelajar, cendrung hanya mengukur aspek kognitif pebelajar dengan mengesampingkan aspek penting lainnya yaitu aspek afeksi dan psikomotorik. Secara paedagogis, pola pengevaluasian seperti di atas, tidak familiar bagi pebelajar secara pribadi. Untuk itu, menjelang memasuki abad ke 21, kalangan pendidik, khsusnya dalam pembelajaran IPS, mulai dikembangkan penggunaan assessmen alternatif untuk mengevaluasi keberhasilan belajar pebelajar. Adapun jenis assessmen yang sering digunakan, seperti: (1) portfolio, (2) anekdot record, (3) catatan harian pebelajar, (4) lembar observasi, (5) buku laporan pebelajar, (6) skala sikap, dan jenis assesmen lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan pembelajar.
Melalui assessmen, pembelajar dapat menilai potensi diri dan tingkat keberhasilan belajar pebelajar, bukan semata-mata berdasarkan hasil tes di setiap akhir semester, namun berdasarkan perkembangan belajar pebelajar dalam setiap pembelajaran. Artinya, penilaian itu, bukan ditekankan pada hasil semata-mata, melainkan lebih diutamakan pada penilaian proses dari pembelajaran itu sendiri.
Penggunaan assessmen mendatangkan beberapa keuntungan di fihak pebelajar sebagai sentral pembelajaran, diantaranya: (1) mengurangi rasa cemas, (2) bersifat humanistis, (3) dapat menilai secara komprehensif, dan (4) meningkatkan partisipasi pebelajar selama pembelajaran berlangsung. Inilah fhenomena baru dalam pembelajaran IPS yang telah dikembangkan secara struktural di berbagai jenjang pendidikan, khususnya pada tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah.
Kemandirian pebelajar merupakan salah satu kunci dari kemampuan bertahan dalam tataran masyarakat global. Perkembangan ilmu dan teknologi telah menghadirkan persaingan yang tajam dikalangan berbagai komponen kehidupan di muka bumi. Menyikapi hal itu, pembelajaran IPS juga dituntut untuk melakukan berbagai upaya kearah perbaikan yang signifikan dan bermuara pada peningkatan kemampuan dan keterampilan pebelajar dalam menyikapi tataran masyarakat global.
Pembelajar sebagai instrumen dan manager pembelajaran dituntut peka dan antisipatif terhadap perkembangan masyarakat, sehingga pembelajaran yang dilakukannya bisa mewakili realitas sosial yang berkembang di masyarakat. Menurut Stopsky dan Sharon Lee (1994), sejarah dapat membantu pebelajar memahami masa lalu, kehidupan saat ini, dan merencanakan serta menyiapkan diri dalam menyambut masa depan yang penuh tantangan. Untuk itu, mereka berpendapat, bahwa pembelajar harus mampu mengkondisikan pebelajar untuk melakukan refleksi terhadap sejarah masyarakat yang merupakan kekayaan ilmu dan pengetahuan yang tidak ternilai.
Aplikasi model inquiri dapat membantu pembelajar dalam mengembang-kan potensi diri pebelajar secara optimal, melalui pengangkatan kasus-kasus atau isu-su aktual yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dengan demikian, pebelajar akan tertan-tang untuk menggunakan segenap kemampuan dan keterampilannya untuk mencari dan merumuskan solusi terhadap masalah tersebut. Satu hal yang harus diingat pembelajar, bahwa globalisasi senantiasa menghadirkan keberbedaan yang signifikan, sehingga akan membentuk komunitas multidemsional dan multikultural. Disinilah kemahiran pembelajar dalam memilih dan menggunakan model serta strategi pembelajaran dipertaruhkan. Storytelling merupakan salah satu strategi pembelajaran yang memungkinkan pebelajar untuk memahami orang lain, serta menyadari bahwa setiap manusia terikat oleh kultur budayanya masing-masing.
Jika pebelajar telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang keragaman budaya, nilai, kebiasaan, serta adat istiadat dari berbagai masyarakat yang hidup di muka bumi ini, maka secara tidak langsung keseimbangan dunia akan terwujud. Perbedaan yang ada di masyarakat bukannya sumbu untuk menyulut pertentangan dan permusuhan diantara sesama umat manusia, namun hendaknya dijadikan sebagai instrumen penting untuk menjalin kerjasama dan persahabatan yang setara dan demokratis.
Masyarakat dengan segala pirantinya merupakan dimensi phenomenologis yang menarik untuk dibedah oleh pembelajar dan pebelajar secara bersama-sama untuk memantapkan pemahaman mereka tentang masyarakat dunia. Pemberian kesempatan berdialog dan memainkan peran tertentu dalam sosiodrama, merupakan satu diantara sejumlah metode pembelajaran yang dapat mengembangkan ketertanggapan sosial dan rasa keadilan di kalangan pebelajar.
Pemahaman terhadap geografi akan membantu pebelajar dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, termasuk keterampilan-keterampilan dalam menjalin kerjasama dengan orang lain di lain daerah atau benua secara demokratis, sehingga sangat penting menggunakan globa dan peta untuk membantu pebelajar mengerti tentang belahan dunia lain, selain dimana mereka hidup dalam kesehariannya.
Pengembangan pengetahuan dan pemahaman tentang konsep keadilan di kalangan pebelajar secara utuh merupakan salah satu kewajiban moral yang mesti diterjadikan oleh pembelajar. Konsepsi keadilan merupakan sesuatu yang abstrak bagi pebelajar yang masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah, untuk itu pebelajar harus mampu mengaktualisasikan dalam format pembelajaran yang riil melalui pemberian contoh perilaku serta peristiwa yang dapat mengcover konsep keadilan. Ini penting dilakukan, mengingat mereka adalah calon-calon warga masyarakat yang potensial, yang akan menentukan arah dan kualitas kehidupan bangsa di kemudian hari. It is not important for social studies educators to meet the educational needs of special learners in their classroom, it is also importan to adderss issues of handicapism and justice of welfare in our society (Rogan, 1987).
Dasar pemikiran dari konsepsi di atas, terletak pada pentingnya keadilan bagi masyarakat secara menyeluruh, sehingga tidak ada lagi diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Democratic elementary and middle school classrooms offer youngsters the challenge of translating the often repeated ideal “liberty and justice for all” dalam segala sikap dan perilaku pebelajara sehari-hari (Stopsky dan Sharon Lee, 1994). Berdasarkan pemikiran inovatif tersebut, dapat ditangkap pesan yang disampaikan merupakan embrio inovasi dalam pembelajaran IPS, karena sebelumnya tidak banyak mendapat penekanan oleh kalangan perencana dan praktisi pendidikan, khsusnya pada jenjang sekolah dasar dan menengah.
F. Daftar Pustaka
Burgess, T. and Adams. E., (1990). Outcomes of Education, Basingstoke: MacMillan.
Dantes, Nyoman. (1996). Profil Pembelajar Menyongsong Tahun 2020. (Makalah). Singaraja: STKIP Singaraja.
Glen Haas and Tucher. (1990). Curriculum and Educational Products. USA: NCSS.
Haas, J.M. (1998). Developing Curriculum: USA: McMilan, Co.
Hamid Darmadi (2000). Cooperative Learning: New Approach in Social Studies Teaching Pasca Sarjana UPI Bandung, STKIP PGRI Pontianak
Johnson, R.T. and Johnson, D.W., (1985). Student-student Interaction: Ignore but Powerful, Journal of Teacher Education, July/August.
Kohn, A., (1986). No Contest: The Case Against Competition, Boston: Houghton Mifflin.
Kelly, E. L. and Fiske, Donald, W. (1971). The Prediction of Performa in Clinical Psichology. USA, England: University of Michigan Press.
Marsh, Colin (1991). Teaching Sosial Studies: Second Edition. New York, Tokyo, London, Sydney: Prentice Hall
Meyers, Chet (1986). Teaching Students to Think Critically. San Francisco: Jossey Bass Inc.
Schunke (1988). Knowing, Doing, and Caring. Ney York: Prentice Hall.
Welton and Mallan, (1996). Children and Their World: Strategies for teaching social studies (fifth edition). Geneva, Illionis, Palo Alto, Princeton, New Jersey: Hougthon Mifflin Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar