Abstrak: Pembangunan nasional sangat memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. PendidikanTtinggi yang berkualitas adalah kunci untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Persoalannya, kualitas PendidikanTtinggi secara nasional belum memenuhi harapan semua masyarakat Indonesia. Faktor penyebabnya antara lain karena kurang didukung oleh komponen-komponen penyelenggaraan pendidikan, anggaran yang terbatas, dan kepedulian sektor swasta kepada bidang PendidikanTtinggi kurang optimal. Oleh karena itu, kerjasama mutualisme antara PendidikanTtinggi dengan sektor swasta untuk mengatasi keterbatasan anggaran penyelenggaraan PendidikanTtinggi perlu dilakukan secara optimal. Untuk itu perlu dibentuk struktur organisasi kerjasama antara PendidikanTtinggi dengan sektor swasta secara permanent guna meningkatkan kualitas PendidikanTtinggi di masa mendatang.
Kata kunci: Pembangunan Nasional, SDM Berkualitas, Pendidikan Ttinggi, Kerjasama PendidikanTtinggi dengan Swasta, Penyelenggaraan Pendidikan.
1. Pendahuluan.
Pendidikan telah disadari oleh hampir semua pihak dapat menjadi kunci untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Indonseia dimasa mendatang. Garis-garis Besar Haluan Negara 1999 mengamanatkam agar pendidikan nasional semakin berkualitas. Melalui proses pendidikan diharapkan dapat menghasilkan SDM yang berkualitas yang sangat diperlukan setiap sektor pembangunan nsional (termasuk sektor swasta) maupun untuk bersaing ditingkat global. Implikasi dari tuntutan tersebut, lembaga penyelenggaraan pendidikan harus didukung oleh semua komponen pendidikan yang memadai dan memenuhi standar ideal.
Biaya penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu komponen yang teramat penting dalam sistem pendidikan nasional yang sedang dan akan dilaksanakan dewasa ini. Ia bagaikan darah yang mengalir pada seluruh bagian tubuh manusia. Apabila mansuia kekurangan darah maka, cepat atau lambat pada akhirnya ajal siap menghadangnya. Begitu pula dengan penyelenggaraan pendidikan, biaya sudah merupakan suatu keharusan bagi terselenggarakannya pendidikan.
Dalam kaitan ini, Kamars (1989:123) menegaskan bahwa keadaan keuangan disuatu perguruan tinggi merupakan ukuran utama keberhasilan dalam kualitas lulusan. Tanpa dukungan keuangan yang memadai berarti suatu perguruan tinggi hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak percaya pada dirinya dan tidak akan memiliki sifat-sifat sebagaimana seharusnya seorang ilmuan.
Bowen (1981) mengemukakan hukum pembiayaan perguruan tinggi bahwa perguruan tinggi yang menginginkan educational excellence, prestige, and influence sangat membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Artinya, kualitas pendidikan tinggi tidak akan tercapai tanpa dukungan oleh dana yang tidak memadai.
2. Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pendidikan.
Sepintas memang seperti tidak terlalu sulit untuk mendapatkan biaya penyelenggaraan pendidikan, karena telah di gariskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa biaya pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989, Bab VIII tentang Sumber Daya Pendidikan, pada pasal 36 dinyatakan sebagai berikut:
1. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah.
2. Biaya penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab Badan/ Perorangan yang menyelenggarakan pendidikan.
3. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan pada masing-masing jenjang yang meliputi: pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan orang tua murid (Peraturan Pemerintah Nomor 27, 28, 29 tahun 1990 dan PP No. 60 tahun 1999). Khusus bagi perguruan tinggi, dapat mengupayakan secara optimal dalam menerima uang dari masyarakat. Adapun dana perguruan tinggi dari masyarakat berasal dari sumber-sumber: (1) sumbangan pembinaan pendidikan (SPP); (2) biaya selekasi ujian masuk perguruan tinggi; (3) hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; (4) hasil penjualan produk yang diproleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; (5) sumbangan dan hibah dari seseorang, lembaga pemerintah, atau lembaga non pemerintah; dan (6) penerimaan dari masyarakat lainnya (PP 30 tahun 1990, pasal 111; PP 60 tahun 1999, pasal 114. berdasarkan landasan hukum tersebut menjadi jelas dari mana sumber-sumber biaya pendidikan diperoleh.
Atas dasar kebijakan tersebut diatas, maka pemerintah, masyarakat (termasuk sektor swasta), dan orang tua seharusnya merasa ikut bertanggung jawab secara optimal dan dapat melakukan partisipasi aktif dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya melalui peran untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan. Sektor swasta jumlahnya yang cukup banyak juga dapat menjadi sumber potensi untuk membantu upaya peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Fenomena yang ada di lapangan menunjukan bahwa walaupun sumber dana dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan telah diatur dengan Undang-Undang beserta peraturan pemerintah yang menyertainya, tetapi biaya yang diperoleh institusi pendidikan tinggi sering tidak mencukupi untuk menyelenggarakan pendidikan secara ideal. Prioritas bidang pendidikan dalam pembangunan nasional sebagaimana dirumuskan dalam GBHN masih belum diikuti oleh anggaran biaya contohnya sebagaimana diajukan dalam RAPBN tahun 2000/2001. pemerintah justru menurunkan anggaran pendidikan sebesar 40% dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 1999/2000 yang berjumlah Rp. 87 triliun (Jawa Post, 21/01/2000). Sementara itu, institusi pendidikan tinggi di masa mendatang dituntut untuk selalu meningkatkan mutunya dalam kondisi keuangan yang serba terbatas, sehingga hasilnya dapat diprediksi yaitu jauh dari harapan.
3. Sumber-Sumber Biaya Pendidikan
Pembiayaan pendidikan merupakan salah satu bahan kajian yang membicarakan mengenai bagaimana sumber-sumber biaya pendidikan dapat diperoleh dan bagaimana mengalokasikan biaya pendidikan yang telah diperoleh dalam institusi pendidikan tertentu. Gaffar (1991) mengungkapkannya dalam Mimbar Pendidikan Nomor 1 Tahun X April 1991 (1991:56-60) bahwa pembiayaan pendidikan (education finance) mencakup beberapa aspek. Aspek pertama adalah revenue (sember biaya pendidikan). Aspek kedua adalah alokasi atau distribusi yang mengungkap masalah-masalah bagaimana mengalokasikan dan mendistribusikan biaya yang diperoleh dari berbagai sumber pembiayaan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan.
Sumber biaya pendidikan untuk kegiatan penyelenggaraan pendidikan (education enterprise) didapatkan dari berbagai sumber. Sebagaimana disebutkan bahwa sumber-sumber yang dimaksud terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Bagi perguruan tinggi, dapat diperoleh dari luar negeri, sedangkan mengenai biaya pendidikan di Indonesia yang berasal dari pemerintah mengandalkan masukan pajak. Pajak yang dimaksud diperoleh dari rakyat, pajak pendapatan berbagai perusahaan dan industri, sedangkan dari luar negeri berupa bantuan atau pinjaman.
Berdasarkan tinjauan singkat tersebut jelaslah bahwa setiap perguruan tinggi memerlukan biaya yang tidak sedikit dan harus diperoleh dari berbagai sumber, antara lain sector swasta (BUMN, industri, dan pihak swasta lain yang potensial). Sumber-sumber tersebut tidak akan mengalirkan dananya untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa didukung oleh pemahaman bersama antara pihak perguruan tinggi dengan sektor swasta. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama mutualisme antara keduanya, sehingga kontribusi nyata sektor swasta kepada perguruan tinggi dapat optimal melalui struktur kerjasama yang telah disepakati bersama.
4. Kerja Sama Perguruan Tinggi dengan Sektor Swasta
Kerjasama mutualisme yang harus dilakukan antara perguruan tinggi dengan sektor swasta untuk mengatasi keterbatasan anggaran penyelenggaraan pendidikan secara berkualitas dimasa mendatang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk yang sangat potensial adalah Model Zinser (dalam Mattews dan Norgard, 1984:142) memperkenalkan kemitraan antara perguruan tinggi dengan industri dalam rangka menggali dana didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan berbeda. Strategi kemitraan yang dimaksudkan diwujudkan dalam bentuk A Typology of Industry-Academica (seperti gambar) yang terdiri dari enam tipe: (1) Kontribusi (contributions), (2) Pembelian (Procurements), (3) Jaringan (Network) (4) Pertukaran (Exchanges), (5) Kooperatif (Cooperative), dan (6) Joint Venture.
Distant Interaction
(Greater outonomy,
limited obligation)
1. Contributions (Philantropy)
2. Procurement (Purchase)
3. Lingkages (Networks)
a) Technology Transfer Program
4. Exchange
b) Industri Liaison (Affiliate) Programs
a) Peer Collaboration
b) Research Agreements
c) Research Consortia
5. Coomperatives d) Research Centers (University Based)
e) ResearchLaboratories(Industry Based)
f) Research Industrial Collectives Parks
a) Joint Research Ventures
6. Joint Ventures
b) Joint Business Ventures
Intimate Interation
(Greater Commitments
and obligantion)
A Typology of Industry-Academica Collaboration
Tipe 1: Kontribusi (Contributions)
Berdasarkan model tersebut, perguruan tinggi dan pihak swasta dapat melakukan kemitraan kontribusi yaitu masing-masing pihak memberikan sumbangan dan bersifat sukarela. Misalnya, industri memberikan sumbangan sejumlah dana dan peralatan kepada perguruan tinggi, sebaliknya perguruan tinggi dapat memberikan kontribusi layanan dan hasil penelitian kepada industri yang dilakukan secara sukarela.
Tipe 2: Pembelian (Procurements)
Pembelian produk yang berbeda dari perguruan tinggi dapat memberi layanan industri yang memiliki keunggulan keahlian atau peralatan, sedangkan industri dapat mengeluarkan dana untuk mendapatkan layanan pengujian prodek, pendidikan, dan latihan dari perguruan tinggi.
Tipe 3: Jaringan (Network)
Suatu mekanisme yang membentuk komunikasi dan pemecahan masalah antara kedua belah pihak (perguruan tinggi dan industri) disebutkan dengan jaringan, jaringan informasi hingga keperingkat kelembagaan dapat dibentu melalui jaringan ini. Model mekanisme ini, antara lain berupa didirikannya kantor program sponsor yang menyelenggarakan aktivitas kontrak penelitian dan lainnya. Selain itu, kegiatan-kegiatan yang berbentuk liaison yang dilakasanakan pada jurusan atau fakultas untuk menjalin komunikasi yang lebih baik. Salah satu temuan keberhasilan di bidang ini adalah di Jepang yang mengandalkan hubungan personal. Para dosen aktif dalam proses rekrutmen tenaga ahli untuk industri dan terjalinnya hubungan yang akrab antara alumni yang bekerja di industri dengan para dosen secara intensif (Sonhadji, 1992).
Tipe 4: Pertukaran (Exchanges)
Pertukaran yang menyangkut hubungan formal dalam bidang perdagangan, asset, dan pertukaran pengetahuan antara perguruan tinggi dengan industri. Program pertukaran ini dapat berupa: (1) program pertukaran alih teknologi (penemuan baru) dari perguruan tinggi ke industri untuk dikomersialisasi, imbalannya perguruan tinggi mendapatkan royalty, (2) program afiliasi yaitu perguruan tinggi memberi akses tenaga ahli bagi industri dan perguruan tinggi mendapatkan dana dari akses tersebut.
Tipe 5: Kooperatif (Cooperative).
Adabe berapa model yang dimulai dari kerja sampai simpel hingga kompleks dan formal terdapat dalam bentuk kooperatif. Model kerja yang sama yang dimaksudkan meliputi: (a) kerja sama sejawat (ilmuan dan industri berinteraksi untuk melakukan penelitian bersama dalam berbagai tema atau topik yang menjadi sorotan kedua belah pihak), (b) perjanjian penelitian (perjanjian penelitian antara perguruan tinggi dengan industri)), (c) konsoria penelitian sebagai mekanisme perguruan tinggi yang terlibat dalam penelitian dengan industri, (d) pusat penelitian berbasis perguruan tinggi, (e) laboratorium yang berbasis industri, (f) penelitian kolektif dan dan kawasan industri sebagai salah satu bentuk kerjasama jangka panjang dan memiliki kawasan yang luas antara perguruan tinggi dengan industri.
Tipe 6: Joint venture
Strategi tersebut masih harus ditindaklanjuti oleh perguruan tinggi jika mengembangkan kemitraan dengan industri sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Selain itu, sebenarnya masih banyak pembaharuan kemitraan yang dapat dikembangkan dengan pihak lain yang ada di masyarakat luas. Implikasinya adalah jika program-program kemitraan dapat diselenggarakan secara baik, imbalan dari pihak lain ke perguruan tinggi dapat ditingkatkan dan dipertahankan dalam waktu yang relatif lama.
PP No. 60 tahun 1999 dan PP No. 61 1999 sebenarnya telah memberikan rambu-rambu yang relevan, khususnya dalam rangka mengali sumber dana yang berasal dari masyarakat, bahwa pada dasarnya perguruan tinggi diberikan peluang untuk berusaha meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat didasarkan atas pola prinsif tidak mencari keuntungan. Perguruan tinggi dapat lebih aktif dan kreatif dalam meningkatkan pengalian dana yang berasal dari masyarakat. Keberhasilan perguruan tinggi dalam bidang ini tidak cukup dengan adanya PP yang mengaturnya tetapi jauh lebih penting kesiapan dan kemampuan perguruan tinggi untuk menindaklanjutinya. Kesemuaan itu tidak ditentukan oleh pihak lain tetapi sangat ditentukan baik oleh perguruan tinggi maupun pihak swasta.
5. Kontribusi Sektor Swasta
Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, kontribusi nyata sektor swasta untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia dapat diklasifikasikan mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks sebagai berikut:
Pertama, sektor swasta dapat memberikan sumbangan dan bersifat sukarela. Sumbangannya berupa dana dan peralatan kepada perguruan tinggi, termasuk didalamnya beasiswa yang diberikan kepada para mahasiswa dan dosen untuk studi lanjut.
Kedua, sektor swasta dapat mensponsori dan membeli hasil-hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedua belah pihak, mengeluarkan dana untuk mendapatkan layanan pengujian produk, pendidikan, dan pelatihan dari perguruan tinggi. Berbagai kendala yang sering timbul di lapangan, kedua belah pihak masih belum menemukan kebersamaan/kesepakatan yang diharapkan.
Ketiga, sektor swasta menyediakan kantor program sponsor yang menyelenggarakan aktivitas kontrak penelitian dan lainnya yang dilaksanakan oleh jurusan atau fakultas untuk menjalin komunikasi yang lebih baik. Pola ini seberanya ideal untuk membangun aktivitas yang prospektif dan prestisius di masa depan, tetapi masih belum dianggap penting atau tidak proaktif (hanya menunggu) maka pola ini harus diperjuangkan secara terpadu.
Keempat, sektor swasta dapat memberikan kesempatan kepada perguruan tinggi dalam bidang perdagangan, aset, dan poertukaran pengetahuan. Programnya dapat berupa alih teknologi dan pemberian royalti.
Kelima, sektor swasta secara aktif dapat menawarkan program kerjasama sejawat untuk melakukan penelitian bersama, perjanjian penelitian, konsorsium penelitian, pusat penelitian, labortorium yang berbasis inustri, dan penelitian kolektif dalam jangka panjang.
Keenam, sektor swasta dapat melakukan Joint research ventures melalui pembentukan pusat penelitian bersama dan hasilnya didayagunakan baik oleh perguruan tinggi maupun pihak swasta, dan Joint research ventures untuk mendirikan pusat penelitian dalam rangka mengembangkan berbagai macam temuan baru.
6. Struktur Organisasi.
Struktur organisasi yang jelas untuk mewujudkan kerjasama yang optimal antara perguruan tinggi dengan sektor swasta dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan tinggi sangat diperlukan. Struktur yang dimaksudkan tidak terlalu kompleks, didasarkan pada aktivitas yang utama secara fleksibel, dan dapat dipahami dan disepakati oleh kedua belah pihak. Artinya, struktur organisasinya dapat berbentuk flat sehingga tidak memerlukan perjalanan aktivitas (prosedural) yang panjang.
Orang-orang yang ditunjuk untuk menjalankan aktivitas ini perlu dipilih secara fair, maupun bekerja secara optimal, dapat mengemban misi utama, dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. Melalui orang-orang seperti itulah kontribusi sektor swasta kepada perguruan tinggi dapat berjalan dengan baik, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia secara bertahap dan berkelanjutan dapat ditingkatkan.
Implikasinya adalah perguruan tinggi dapat membantu pemerintah dalam mengatasi keterbatasan dana untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi secara berkualitas. Pemerintah sendiri sadar bahwa dengan keterbatasan dana yang diberikannya itu tidak mencukupinya, sehingga otonomi dalam bidang keuangan di perguruan tinggi (PP No. 60 tahun 1999) merupakaan salah satu langkah terobosan yang patut direspon secara positif oleh setiap perguruan tinggi di Indonesia. Implementasinya memang memerlukan waktu secara bertahap dan berkelanjutan sehingga pada saatnya nanti perguruan tinggi menjadi mandiri. Selain itu, perguruan tinggi perlu dipacu untuk mampu bersaing dengan lembaga lain dengan mengedepankan aspek kualitas yang ideal di masa mendatang.
7. Penutup
Sebagai penutup tulisan ini dapat dikemukakan bahwa pembangunan nasional dimasa mendatang sangat memerlukan SDM yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas adalah kunci untuk menghasilkan SDM yang berkualitas pula. Persoalannya, kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih belum memenuhi tuntutan masyaarakat Indonesia pada khususnyaa dan masyarakat global pada umumnya. Faktor penyebabnya antara lain karena kurang didukung oleh komponen-komponen penyelenggaraan pendidikan yang memadai, anggaran pemerintah yang terbatas, dan kepedualian sektor swasta kepada bidang pendidikan tinggi kurang optimal. Oleh karena itu, kerjasama mutualisme antara perguruan tinggi dengan sektor swasta untuk mengatasi keterbatasan anggaran penyelenggaraaan pendidikan perlu di lakukan secara optimal untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dan perlu membentuk struktur organisasi kerjasama antara perguruan tinggi dengan sektor swasta secara permanen. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara baik, dapat diyakini bahwa pendidikan tinggi akan semakin berkualitas di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Bowen, Howard R. 1981. The Costs of Higher Education, California: Jossey-Bass Inc.
Jawa Post. 21 Januari 2000
Kamars, H.M. Dachel. 1989. Sistem Pendidikan dasar, Menengah dan Tinggi, Suatu studi perbandingan antara beberapa negara, Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2PLTK.
Ketetapan MPR RI. 1999. garis-garis Besar Haluan Negara. Jakarta: Sekretariat MPR RI.
Matthews, Jana B and Norgaard, Rolf. 1984. managing the partnership between Higher Education and Industry. Colorado: national Center for Higher Education managements System.
Mimbar Pendidikan Nomor 1 Tahun X April 1991. IKA IKIP Bandung, Bandung: IKIP Bandung Press.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1990 Tentang Pendidikan Pra Sekolah. Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1990 Tentang Pendidikan Dasar, Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah, Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi, Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi, Jakarta: Kepala Biro Peraturtan Perundang-undangan secretariat kabinet RI
Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1990 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Jakarta: Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Sekretariat Kabinet RI.
Sonhadji, K.H. Ahmad. 1992. Hubungan Simbiotik antara Perguruan Tinggi dan Industri. Implikasi terhadap Strategi Pengelolaannya. Pidato Ilmiah disampaikan dalam rangka Dies natalis Ke-38 IKIP, Malang, 16 Oktober 1992. Malang: IKIP Malang.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989. Tentang Sistem Pendidikan nasional. 1993 Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan nasional. 2003 Jakarta: Sinar Grafika.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar