Rabu, 06 April 2011

NVESTASI PENDIDIKAN DAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA


I

ABSTRACTION ; CONCEPT Education as Human Resource quality and invesment have and is progressively believed by each;every state that development of education sector represent prerequisite lock to make-up of the quality of Human Resource and growth of its development sectors of him. The growth have influenced idea pattern various party, including government, planner, international institutes, all other modern thinker and researcher, and also all executor in development of education sector and development of HRD. In nations go forward, education besides as consumptive aspect is also believed as human being capital invesment and become one of the especial sector. Political comitmen regarding/hit education sector budget do not fail with other sector, so that efficacy of invesment education of have correlation to with progress of macro development of him. On the basis of erudite confidence that's World Bank realize international aid program of him to various state. Education contribution to this growth become to gain strength after reckoning interaction effect between other physical invesment and education. Development of HRD an state is fundamental element to effective growth and prosperity of its physical capital resource. Invesment in the form of human being capital is an integral component from all development effort.

Kata Kunci : Investasi Pendidikan, Sumber Daya Manusia

A. PENDAHULUAN
KONSEP pendidikan sebagai investasi (education as investement)  dan kualitas Sumber Daya Manusia telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainya. Konsep tentang investasi Sumber Daya Manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainnya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia. Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggak penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul "Investment in humman capital" di hadapan The American Economic Association merupakan peletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1961) dan Deninson (1962) kemudian memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.  Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep "revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis". Para peneliti lainya seperti Deninson (1962), Becker (1969) dan yang lainya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini. Perkembangan tersebut telah memengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM.
Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi "leading sektor" atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitmen politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.  Pada tahun 1970-an, penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Becker (1964) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.  Kritik Becker ini justru membuka persepektif filosofis bahwa pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorentasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Penelitian Hick (1980), Wheeler (1980), dan beberapa peneliti neoklasik lain, telah dapat menyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahkan seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya ke berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya (Psacharopoulos, 1984). Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ganda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
B. NILAI BALIKAN PENDIDIKAN
Pembangunan SDMM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai invetasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka mencapai kesimpulan tersebut. Sebagai contoh misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukkan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada negara-negara lain.

Digambarakan pula bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempuyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilanya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara petani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapatan rendah menunjukkan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seoarang petani yang berpendidikan selama 4 tahun rata-rata 13 persen lebih tinggi daripada seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Developmen Report, 1980).

Peranan wanita dalam mengasuh dan membesarkan anak begitu penting sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Hasil studi menunjukkan adanya korelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi dalam pendidikan mendorong produktivitas investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidang pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh di atas 10 persen.  Berbagai penelitian lainya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya.

C.  PENDIDIKAN DAN INVESTASI MASA DEPAN BANGSA
Menurut laporan UNDP tentang Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan tahun 2000, peringkat indeks pembangunan manusia Indonesia hanya pada posisi 109 dari 174 negara anggota PBB. Peringkat ini jauh di bawah negara-negara tetangga, sebutlah seperti Singapura, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam. Bahkan beberapa negara di Afrika-seperti Tunisia (101) dan Afrika Selatan (103)-pun sudah melampaui Indonesia. Lebih ironisnya lagi, posisi tersebut juga masih setingkat di bawah Vietnam, negara yang selama ini dikenal hanya memiliki kelebihan dalam hal berperang di hutan-hutan.
Tengok pula peringkat daya saing SDM Indonesia yang juga kian merosot. Jika tahun 1997 World Competitiveness Yearbok menempatkan Indonesia pada urutan ke-39, maka menjelang akhir abad ke-20 posisi Indonesia berada di urutan ke-46 dari 47 negara. Sementara dalam hal penyediaan tenaga insinyur, survei yang dilakukan Institute For Management Development menempatkan Indonesia di posisi ke-44 dari 46 negara.
Menurut catatan Ace Suryadi, pengamat pendidikan dan pengembangan SDM yang juga Dirjen PLS Depdiknas, dalam hal kerja sama teknologi antar-industri serta penelitian antara industri dan perguruan tinggi, Indonesia malah berada di posisi "juru kunci". "Rendahnya peringkat Indonesia dalam kualitas SDM tersebut sebaiknya tidak dilihat secara terpisah-pisah, tetapi berkaitan dalam suatu benang merah, yaitu rendahnya kualitas SDM Indonesia di tengah-tengah persaingan dunia yang semakin ketat. Kualitas SDM itu, diakui atau tidak, memiliki kaitan erat dengan mutu pendidikan yang selama ini telah menjadi wacana umum," Ace Suryadi (2004)
Rendahnya kualitas SDM-dan itu dengan sendirinya mempengaruhi kemampuan daya saing-memang sangat terkait dengan mutu pendidikan. Kenyataan bahwa mutu SDM Indonesia berada pada lapisan bawah di tengah pergaulan antarbangsa, yang berimplikasi pada rendahnya daya saing secara global, terbukti memiliki korelasi dengan peringkat mutu pendidikan secara umum.  Paling tidak itu tampak dari laporan Asiaweek edisi Juni 2000 tentang peringkat tahunan universitas bermutu di Asia, Australia dan Selandia Baru. Di antara 77 perguruan tinggi terbaik multidisiplin di kawasan ini, sejumlah universitas terkemuka di Indonesia cuma mampu bercokol di kelas papan bawah.
Universitas Indonesia (UI) yang selama ini dianggap paling bergengsi itu pun hanya berada di posisi ke-61, diikuti Universitas Gadjah Mada (UGM) di urutan ke-68, Universitas Diponegoro (Undip) di peringkat ke-73, dan Universitas Airlangga (Unair) berada di urutan ke-75. Sementara untuk bidang sains dan teknologi, Institut Teknologi Bandung (ITB) hanya mampu menerobos papan tengah, yakni menduduki peringkat ke-21 dari 39 perguruan tinggi sains dan teknologi yang masuk kategori bermutu.
Masih ada indikator lain yang menunjukkan adanya korelasi antara rendahnya mutu dan daya saing SDM Indonesia dengan peringkat mutu pendidikan nasional. Dalam berkala terbitan International of Education Evaluation in Achievment (IEA) tentang survei hasil belajar Matematika dan IPA bagi siswa sekolah untuk usia 13 tahun di 42 negara juga menunjukkan hasil yang sangat tidak menggembirakan. Untuk kemampuan IPA, anak-anak Indonesia hanya berada di posisi ke-39, sedangkan untuk Matematika di urutan ke-40. Betul bahwa dalam beberapa kesempatan Olimpiade (Fisika & Matematika) anak-anak Indonesia yang terpilih membawa bendera "Merah Putih" menunjukkan prestasi cukup membanggakan di tingkat dunia, namun keberhasilan itu sesungguhnya lebih karena ketekunan individu-individu bersangkutan, sehingga tak pantas diklaim sebagai prestasi dari kinerja pendidikan nasional.
Tidak ada perubahan yang cukup substansial, misalnya, berupa kebijakan pemerintah menaikkan anggaran pendidikan secara signifikan. Jangankan mencontohkan Malaysia yang sejak tahun 1976 mengalokasikan anggaran pendidikan 20-25 persen dari total anggaran negaranya, separuhnya pun tidak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Bahkan sejak tahun anggaran 1982/1983 alokasi anggaran untuk sektor pendidikan terus susut. Tahun anggaran 2000, misalnya, sektor pendidikan hanya kebagian sekitar 3,8 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun 2001 memang ada sedikit peningkatan, tetapi persentase kenaikannnya kurang dari dari satu persen, yakni hanya sekitar 4,4 persen dari total APBN. Hingga tahun 2005/2006 ini anggaran pendidikan belum pernah melampau 8 persen dari total  APBN.
Disadari bahwa alokasi anggaran pendidikan bukan satu-satunya ukuran. Akan tetapi, dengan anggaran yang begitu kecil, lalu apa yang bisa dilakukan untuk menggerakkan semua lini dari aspek pendidikan kita agar ke depan terjadi perubahan yang substansial pada SDM anak-anak negeri ini? Jangankan bisa melahirkan manusia-manusia yang andal dalam persaingan global, untuk membenahi ruang-ruang belajar yang layak pun kita masih harus menempuh kebijakan tambal-sulam. Soalnya adalah karena bangsa ini, utamanya pemerintah, masih menganggap pendidikan sebagai "warga" kelas dua. Meski selalu menyuarakan bahwa pendidikan adalah kunci peningkatan mutu SDM, tetapi ketika sampai pada tataran kebijakan dan tindakan semua seperti hilang tak berbekas. Pandangan pragmatisme jangka pendek yang masih berpusat pada aspek material selalu tampil di depan, mengalahkan kepentingan yang lebih besar berupa penanaman fondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Padahal, kalau kita mau berkaca pada sejarah, Jepang bangkit dari kehancuran akibat kalah dalam Perang Dunia II (1945) karena pertama-tama mereka membangun sektor pendidikan. Dua puluh tahun kemudian, hasil dari pilihan prioritas itu mulai berbuah, seperti terlihat dari munculnya produk-produk industri Jepang di pasar dunia. Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia yang juga menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan negara masing-masing, juga telah memetik buahnya.
Bahkan Jerman dan Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara maju dengan SDM yang handal pun masih menempatkan sektor pendidikan sebagai isu sentral. Ketika berbicara di pembukaan Pameran Hannover pada April 1995, Kanselir Jerman (ketika itu) Helmut Kohl menyerukan kepada bangsanya agar melakukan terobosan dengan mengembangkan pendidikan, latihan, dan riset, serta memacu pengembangan SDM. Begitu pula Amerika Serikat. Saat Bill Clinton berkampanye untuk menduduki kembali jabatan presiden periode kedua, ia juga mengangkat isu seputar pengembangan SDM. Ketika itu ia menjanjikan peningkatan 20 persen anggaran untuk pengembangan pendidikan. Perhatian serupa juga ditunjukkan oleh Goh Cok Tong dari Singapura. Setelah ia terpilih sebagai Perdana Menteri, ia mencanangkan program pembangunan SDM sebagai prioritas utama.
Bagaimana dengan Indonesia? Di negeri ini pendidikan bukan saja tidak diperhitungkan sebagai modal ekonomi untuk jangka panjang, tetapi juga tidak dikembangkan sebagai basis bagi modal sosial. Padahal, kedua aspek itu pada gilirannya (meminjam pandangan Paulo Freire) akan berperan menata masyarakat Indonesia-yang teralienasi dalam masa transisi dan krisis seperti sekarang-menjadi manusia mandiri dan kritis. 
Di sinilah pendidikan diharapkan berperan untuk melahirkan masyarakat baru yang kritis dan bermutu. Namun, untuk itu dibutuhkan sejumlah prasyarat, di antaranya perhatian yang sungguh-sungguh dan ketersedian dana yang memadai, yang ironisnya selama ini hal itu justru tidak mendapat prioritas; dikalahkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek!
MENJELANG pergantian abad lalu, Indonesia bukan satu-satunya negara yang dilanda krisis ekonomi. Ketika peristiwa itu terjadi, negara-negara seperti Korea Selatan, Thailand dan Malaysia juga mengalami hal serupa. Tetapi, mengapa mereka cepat pulih dan hanya Indonesia yang sulit bangkit dari terpaan badai krisis tersebut?
Bahkan keterpurukan yang berawal di bidang ekonomi itu kini kian menjadi-jadi, sehingga berkembang menjadi krisis multidimensi. Di tengah situasi ekonomi yang morat-marit dan kehidupan politik yang amburadul, tatanan budaya, nilai-nilai moral serta penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan pun ikut merosot. Keteladanan makin tipis, sementara di sisi lain kekerasan dan semangat untuk saling "memakan" makin muncul ke permukaan.
Terhadap berbagai terpaan itu, tokoh pendidikan Prof Dr Winarno Surakhmad dalam Rakerta Tahunan III YPLP-PT PGRI Kalbar tanggal 28 Januari 2006 lalu mengaku sampai terpaksa bertanya: apa betul kita-sebagai bangsa-selama ini telah mendapat pendidikan dalam arti kata yang sebenarnya? Kalau betul, mengapa hanya karena sebuah krisis lalu nilai-nilai hidup berbangsa yang diajarkan untuk dijunjung tinggi tiba-tiba rontok; sepertinya tidak ada lagi sisa-sisa yang menunjukkan bahwa kita pernah menjadi bangsa yang berbudaya luhur berpendidikan tinggi! Lantas, apa kontribusi pendidikan?
"Pendidikan, yang selama ini dijalankan sebagai persekolahan, ternyata tidak dapat memberikan solusi apa pun. Pendidikan yang kita berikan ternyata tidak dapat menyiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermutu, khususnya untuk menghadapi tantangan kehidupan dengan jiwa besar. Pendidikan juga tidak berhasil memberdayakan bangsa ini untuk menghormati perbedaan dan memecahkan pertikaian secara beradab. Dengan kata lain, pendidikan telah gagal di banyak hal," kata Winarno, mantan Rektor IKIP Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta) yang selama beberapa tahun menjadi guru besar tamu di Universitas Brunei Darussalam.
Oleh karena itu, tidak usah heran bila kinerja pendidikan nasional dinilai rendah, jelek, dan memprihatinkan. Juga tidak aneh bila ada pendapat bahwa dunia pendidikan kita bukan saja tidak maju, tetapi justru mengalami kemunduran, bahkan mendekati kebuntuan. Dan kita tahu bahwa kebuntuan adalah musuh besar kemajuan. Menghadapi masa depan yang ditandai oleh persaingan yang makin keras, tak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali berupaya meretas jalan buntu yang selama ini membelenggu. Dan itu menuntut suatu tekad untuk berubah secara mendasar dalam banyak hal, tidak hanya pada pemerintah melainkan juga pada masyarakat luas.
Paradigma pendidikan yang selama ini dianut, misalnya, ternyata "kropos" dan oleh karena itu perlu diubah. Mitos-mitos tentang masa lalu, dalam beberapa hal memang masih diperlukan, tetapi ia bukanlah yang utama. Pendidikan yang didasarkan atas paradigma lama, antara lain, dalam wujud lebih menekankan peran pendidikan pada pelestarian nilai-nilai masa lalu jelas tak bisa diandalkan untuk membangun masa depan.
Yang dibutuhkan adalah suatu sistem pendidikan yang berorientasi pada perintisan nilai-nilai baru. Suasana birokratis yang selama ini sangat kental dalam praksis pendidikan kita juga harus digeser ke suasana yang lebih longgar, sehingga birokrasi yang ada lebih difungsikan untuk memperlancar aliran tata kerja dan bukan justru berperan sebagai penghambat.
Visi pendidikan nasional juga perlu dirumuskan ulang, sehingga benar-benar visioner dalam perspektif masa depan yang sesungguhnya. Bukan seperti selama ini tampak seolah-olah visioner, tetapi sebenarnya feodal; ibarat garis lengkung yang isi dan pelaksanaannya serba seragam dan monolitik.
Dalam konteks ini pula kita diingatkan oleh Prof Dr Sofian Effendi, Ketua Program Magister Administrasi Publik UGM, bahwa sekaranglah saat yang tepat bagi bangsa ini untuk memulai sesuatu yang baru, khususnya dalam pengembangan SDM. "Sekarang kita (baru) menyadari begitu banyak kesalahan yang kita buat di masa lampau," katanya.
Semua itu tentu berpulang pada niat dan tekad yang sungguh-sungguh, khususnya dari para penentu kebijakan di negeri ini. Setelah dihadapkan pada kenyataan pahit di tahun-tahun terakhir ini, masih adakah kesadaran pada kita semua untuk tak sekadar menempatkan pendidikan sebagai atribut, tetapi benar-benar berpaling pada bidang pendidikan sebagai investasi masa depan bangsa?
Akan tetapi, dengan kesadaran bahwa investasi di bidang ini membutuhkan pengorbanan satu generasi untuk bisa memetik buahnya-sementara mental penguasa di negeri ini masih saja dibaluti kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek-masih mungkinkah kita menitipkan harapan kepada mereka?.
D.  DAFTAR  PUSTAKA

Arrow, Kenneth S. (1974). “Higher Education as A Filter”. In Attiyeh, R. and Lumsden, K.G. (Eds). Efficiency in Universities. New York: Elsevier.
Berg, Ivan. (1970). Education and Jobs: Great Training Robbery. Boston: Beacon.
Blau, Mark. (1973). Education and the Employment Problem in Developing Countries. Geneva: International Labor Office
Bowles, S. and Gintis, H. (1975). “The problem With Human capital Theory - a Marxian Critique”. American Economic Review. Vol. 65, No. 2, PP. 74 – 82.
Bowles, S. and Gintis, H. (1976). Schooling in Capitalist America. New York: Basic Books.
Bridge, R. Gary; Judd, Charles, M.; Mook, Peter, R. (1979). The Determinants of Educational Outcomes: The Impact of Families, peers, Teachers, and schools. Cambridge, Massachusetts: Ballinger Publishing Company.
Cohn, Elchanan (1979). The ecomonic of Education. Cambridge, Massachusetts: Ballinger Publishing Company.
Doeringer, Peter B. and Piore, Michael J. 91980). “The Internal Labour market”. In King, J.E. (Ed). Readings in Labour Economics. New York: Oxford University Press, pp. 107 – 16.
Halal, Willian E. (1998). The Infinite Resource. San Fransisco: Jossey – Bass Inc.
Hamid Darmadi, (2004) Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Luar Sekolah Sebagai Pendukung Pembangunan Nasional

Hamid Darmadi, (2005) Pendidikan Sebagai Investasi Jurnal Edukasi Vo.2 No,1 Oktober 2005 ; STKIP-PGRI Pontianak; Puslitbang
Iik Nurulpaik (2004) Pendidikan Sebagai Investasi ; Artikel Pikiran Rakyat, Jakarta : Cyber Media 2004
Knowles, Malcolm S. (1990). The Modern Pracitice of Adult Education: from Paedagogy to Andragogy. Chicago: Association Press.
Nurhadi, Muljani A. (1998). The Effects of Schooling Factors on Personal Earnings Within The Context of The Internal Labor Market in P.T. Petrokimia Gresik (Persero) Indonesia. (A. Dissertation, State University of New York at Albany).
Psacharopoulos, George (1981). “Return to Education: An Updated International Comparison”. Comparative Education. Vol. 17, No. 3, pp. 321 – 341.
_______. (1980). Education in Developing Countries: A Cost – Benefit Analisis. World Bank Staff Working Papers No. 440. Washington D.C.: The WorldBank.
_______. (1973). Return to Education: An International Comparison. San Fransisco: Jossey – Bass Inc.
_______. And Woodhall, Maureen (1985). Education and Development: An Analysis of Investment Choices. New York: Oxford University Press.
Schultz, Theodore W. (1961). “Invesment in Human Capital”. In karabel, Jeremo and Halsey, A.H. (Eds). Power and Ideology in Education. New York: Oxford University Press, pp. 313 – 24.
Simmons, John and Alexander, Leigh. (1980). “Factor Which Promote School Achievement in Developing Countries: A review of the Research”. In Simmons, John (Ed). The Education Dilemma: Policy Issues for Developing Countries in the 1980’s. Oxford: Pergamon Press, pp. 77 – 96.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Djojonegoro, Wardiman (1993). Human Resources and Education Policy. Jakarta: Ministry of Education and Culture.




 



[1] Dr.Hamid Darmadi,M.Pd adalah Dosen STKIP-PGRI Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar