Rabu, 20 April 2011

Moral dan Profesionalisme Guru Oleh : Hamid Darmadi


Dalam leksikon Jawa, guru umumnya ditafsirkan sebagai akronim dari ungkapan ”bisa digugu lan ditiru” ( Sunda: tiasa dipercanten sareng digugu sarta ditiru). Ini artinya bahwa sosok guru adalah orang yang dapat dipercaya atau dipegang teguh kebenaran ucapannya dan dapat diteladan tingkah lakunya. Di balik ungkapan itu, tersirat paham atau setidak-tidaknya asumsi bahwa apa yang dilakukan, dikatakan, dan diajarkan guru adalah benar. Guru sangat dipercaya sehingga jarang orang mempersoalkan ajarannya.
Guru dianggap sebagai profesi yang mempunyai keutamaan moral. Karena itu, jika orang membutuhkan nasehat atau pertimbangan, pergilah ia ke guru. Karena dipandang sebagai teladan, guru sangat dihormati masyarakat. Guru merupakan profesi yang bergengsi. Kemudian, menjadi guru adalah kebanggaan. Begitulah kiranya pandangan tentang guru, tempo doeloe.
Asumsi tempo dulu bahwa ucapan dan ajaran guru selalu benar telah mengalami pergeseran. Dewasa ini, ungkapan guru sebagai ”yang bisa digugu dan ditiru” agaknya sudah usang dan mengalami peyorasi. Jika muncul pemakaian ungkapan itu, seringkali justru untuk menyatakan perasaan tidak puas terhadap perkataan atau prilaku guru, atau dipakai sebagai semacam ”umpatan” kepada guru.
Pergeseran pandangan terhadap profesi guru itu disebabkan oleh berbagai hal. Keadaan dan zaman telah berubah. Modernisasi media cetak dan media elektonik menjadikan guru yang semula dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi tidak berlaku lagi. Jumlah warga masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi dari guru semakin banyak. Kecuali status sosial itu, status ekonomi kebanyakan guru terutama, sangat memiliki andil yang cukup berarti terhadap pergeseran pandangan itu.
Seseorang disebut baik dilihat dari tindakan, ucapan, dan perilakunya secara keseluruhan. Dalam hal ini, apakah ia memiliki keutamaan moral; kemampuan menghayati nilai yang baik dan buruk? Banyak orang, termasuk guru, tahu tentang nilai-nilai moral. Tetapi, masih saja banyak yang berbuat salah bahkan melakukan kejahatan yang disengaja. Terjadinya perbedaan atau bahkan pertentangan antara pengetahuan dan tindakan seseorang itu banyak yang disebakan oleh kenyataan-kenyataan hidup yang mungkin memang membuatnya begitu.
Minimnya gaji guru untuk memenuhi standar hidup layak yang berakibat pada rendahnya status ekonomi, memaksa guru untuk bekerja pada bidang yang lain. Banyak guru yang melakukan pekerjaan ”tak terhormat” demi mencukupi kebutuhan minimum rumah tangganya. Bahkan ditemui banyak kasus tindak kejahatan seperti pengedaran narkoba, penipuan, pencurian, pengatrolan atau jual-beli nilai rapor, dan kasus-kasus kriminal lain yang melibatkan seorang guru. Kemudian, fenomena ini melibas gengsi guru dari mata masyarakat. Guru yang zaman dulu dianggap memiliki keutamaan moral sekarang dipandang tidak lebih dari kebanyakan orang.
Dewasa ini, ketika terdapat guru sudah dapat hidup layak dari segi ekonomi karena kerja ekstranya atau karena mendapat jabatan di sekolah tempat kerjanya sehingga bisa memberikan kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk mengubah status ekonominya, banyak yang berusaha mengejar status atau segi lain.
Tidak sedikit guru pada tingkat ini yang ingin menemukan kembali gengsi dan kehormatan dirinya. Untuk itu, mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bisa memperpuruk gengsi dan kehormatannya sendiri. Misalnya saja, dalam kasus komaditi gelar akademis yang merebak akhir-akhir ini, banyak guru yang terlibat sebagai konsumen.
Dahulu ada teori bahwa fenomena gila gelar disebabkan oleh suatu kekagetan akibat pendidikan formal masih merupakan hal baru dalam budaya bangsa dan pelaksanaannya belum merata. Kemudian dapat dimengerti bahwa orang yang sudah mendapat gelar akademis tertentu merasa menonjol di antara sesama di lingkungannya. Lebih jauh dari itu timbul kesombongan dan sering disertai kecenderungan memaksakan pendirian kepada orang lain. Sekarang, ketika pendidikan sudah semakin maju dan merata, gelar masih menjadi pemukau yang manjur di kalangan masyarakat kita. Banyak orang yang ingin memperpanjang namanya dengan berbagai gelar. Kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak terentu dengan cara memperdagangkan berbagai gelar akademis.
Telah banyak diungkap bahwa kecanduan gelar tidak hanya merasuki kalangan pejabat dan perguruan tinggi, tetapi sudah hampir memasyarakat, termasuk kalangan guru sekolah menengah. Di Bandung misalnya, banyak guru dan kepala sekolah menengah yang ”bergelar” master (M.B.A. dan /atau M.Sc.). Bahkan ada sekolah swasta yang hampir 50 persen guru tetapnya memiliki gelar MBA dan/atau MSc, dan ada yang sampai Dr (HC). Yang menjadi masalah, seperti yang akhir-akhir ini dirisaukan oleh banyak kalangan, gelar-gelar ”bergengsi” yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah itu diperoleh dengan jalur yang tidak semestinya. Pada umumnya, mereka bisa mendapatkan gelar-gelar itu cukup dengan membayar sejumlah uang pada lembaga atau biro jasa (”warung gelar”) yang menjual/ menawarinya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa guru-guru itu yang notabene guru sebagai ujung tombak pendidikan yang mengalihkan berbagai nilai dan kearifan—tidak menghayati lagi moral, etika, dan prilaku sebagaimana seharusnya dihayati dan dimilikinya sebagai pendidik. Para guru itu dapat dikatakan bertindak hanya dengan kendali nilai-nilai yang beredar di pasaran tanpa didasari moral dan prinsip etis yang logis.
Ungkapan ”digugu dan ditiru” seperti disebut di atas atau ungkapan ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, kiranya (dalam hal ini) kembali menjadi alasan bagi prilaku murid-murid yang bertindak serupa. Hal tersebut terbukti di Bandung ini juga, dan bukanlah fenomena baru, banyak murid yang membeli rapor, nem, dan ijazah. Terdapat anak yang tiba-tiba diketahui memiliki ijazah SMU tanpa harus menyelesaikan SMU-nya sampai tuntas.
Ketika murid tersebut tidak naik atau tidak lulus sekolahnya, tiba-tiba diketahui ia sudah kuliah di suatu perguruan tinggi. Yang aneh lagi, terdapat anak yang tidak naik di kelas I suatu SMU, alih-alih mengulang di SMU tersebut, pada tahun ajaran baru berikutnya ia sudah menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi, dan yang sangat mengherankan, PT yang dimasukinya itu termasuk PT yang favorit di kota ini.
Terungkapnya kasus pengatrolan nilai ujian akhir dan jual beli nilai yang dilakukan oleh oknum guru SMU di Bandung akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena gunung es. Jangan-jangan fakta ini sudah terbiasa terjadi di sekolah-sekolah lain dan di wilayah-wilayah lain di negeri ini.
Kenyataan di atas sangat memprihatinkan. Mungkin sekali pendidikan budi pekerti tidak akan banyak artinya dan kurang menyentuh pribadi anak jika masih terdapat fakta-fakta prilaku guru yang ‘kurang berbudi pekerti ’ itu. Jika moral dan sifat budi pekerti luhur tidak dimiliki para pendidik, akan dibuat bagaimanakah moral generasi muda bangsa ini kemudian?
Keberhasilan usaha pendidikan bukan pertama terletak pada tersedianya perlengkapan pendidikan yang serba canggih, melainkan lebih pada kualitas sumber daya manusianya yaitu guru dan tenaga kependidikan yang lain.
Para guru pada dasarnya adalah pengalih berbagai nilai, kearifan, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi terdahulu kepada generasi kemudian. Mereka adalah pelaku tugas pokok manusia dalam hidup ini (the ultimate human task in life). Oleh karena itu, agar pendidikan mencapai tujuannya yaitu membentuk manusia yang manusiawi sehingga mampu menghadapi era perkembangan dan perubahan global, diperlukan pendidik yang mentalnya kuat, moralnya tangguh, dan profesionalismenya tinggi.
Mengenai profesionalisme, P. Siegart dalam Rahardi (1998) menyebutkan ada tiga sikap dasar bagi individu untuk disebut profesional. Ketiga sikap dasar itu adalah (1) adanya keseimbangan antara sikap altruistik dengan sikap non-altruistik/egoistik dalam diri individu; (2) adanya penonjolan kepentingan luhur dalam praktik kerja keseharian; dan (3) munculnya sikap solider antarteman seprofesi.
Ketiga sikap dasar ini akan menumbuhkan sikap positif terhadap kerja pada diri individu, teristimewa yang mengutamakan kemauan ikhlas untuk bekerja sama dengan sesama teman seprofesi yang disemangati oleh niat melayani dan mengabdi demi tercapainya tujuan luhur sebuah karya, dalam hal ini adalah karya pendidikan.
Beranjak dari sikap dasar di atas, kita dapat mengatakan bahwa profesionalisme memiliki tiga ciri utama yang saling mengait, yakni (a) adanya kapasitas atau stok keahlian yang besumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar dan mapan; (b) adanya moral, etika, serta perilaku atau tindak-tanduk yang baik; dan (c) adanya pelayanan atau pengabdian yang tulus dari seorang individu terhadap masyarakat dan lingkungan (bdk. Kunjara, 1998).
Oleh karena itu, seseorang dikatakan profesional apabila memenuhi kriteria seperti: memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam pada bidang pekerjaan yang diemban (know what and show how), memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas yang diemban (know how), dan memiliki sikap-sikap yang dituntut oleh pekerjaan yang diemban (disiplin ilmu dan etika profesi).
Berlandaskan pemikiran di atas, kiranya cukup banyak ciri keutamaan bagi profesionalisme seorang guru. Beberapa ciri keutamaan itu antara lain ketepatwaktuan, optimisme terhadap peserta didik, solideritas, stabilitas, mawas diri, kesabaran, kesederhanaan, tahu membeda-bedakan, ketenangan, ketekunan, idealisme, persiapan, dan menghargai profesi. Terhadap ciri keutamaan yang disebut terakhir ini, profesi guru hendaknya dihargai dan dicintai oleh guru itu, bukan sebaliknya disalahgunakan dan dilecehkannya sendiri.
Seringkali terdengar keluhan bahwa sekarang kini semakin sulit mendapatkan tenaga pengajar yang memenuhi kualifikasi profesionalisme. Bahkan lebih tajam lagi, seorang pakar pendidikan, J. Drost SJ, mengatakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru (Hidup, 27/2/00 hal. 19).
Berbicara mengenai moral memang tidak dapat dipisahkan dengan profesionalisme seseorang. Keduanya saling terkait secara kausal. Yang satu menjadi akibat bagi yang lain, dan yang satu menjadi penyebab bagi yang satunya. Bagaimana mungkin seorang guru dapat dikatakan profesional apabila tidak memiliki keutamaan moral.
Moral dan profesionalisme juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan global dunia kita. Profesionalisme dapat dianggap sebagai suatu akibat dari merebaknya arus globalisasi, dan globlalisasi merupakan suatu sebab munculnya profesionalisme. Di sini, moral menjadi perekat sekaligus penawar hubungan keduanya. Kemudian presionalisme kerja guru menjadi tuntutan, kendati masih sering dirasakan semata-mata obsesi belaka. Seorang guru hendaknya selalu melekatkan dan menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaam sebagai guru di dalam dirinya demi memantapkan kualitas pelayanan dan pengabdiannya kepada pemanusiaan manusia muda.

Penulis adalah Dosen Tetap STKIP-PGRI Pontianak


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengertian Profesi Kependidikan
1.   Profesi
Profesi adalah suatu pekerjaan yang menuntut persiapan pendidikan yang relatif lama di perguruan tinggi atau lembaga tertentu yang dikuasai oleh kode etik tertentu yang memenuhi karakteristik dan ciri-ciri tertentu pula.
2.   Profesional
Profesional adalah suatu proces of change atau proses perubahan mengenai suatu pekerjaan dari yang non profesi menuju ke profesi yang sesungguhnya atau proses memprofesionalkan pekerjaan dengan memenuhi sifat-sifat esensi profesi.
Kemampuan profesional guru/dosen yang dituntut dalam profesi kependidikan meliputi (1) Menguasai materi pelajaran, 2) Menguasai program belajar, 3) Mengelola kelas,  (4) Mampu menggunakan media/sumber belajar, (5) Mampu mengelola interaksi belajar mengajar, (6) Menilai prestasi belajar siswa/mahasiswa, (7) Menguasai landasan kependidikan, (8) Mengenal fungsi dan program belajar Bimbingan dan Penyuluhan, (9) Mengenal dan dapat melaksanakan administrasi sekolah, (10) Memahami prinsip-prinsip dan mampu menafsirkan hasil penelitian pendidikan.
Guru yang berkualitas ialah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai poendidik. Dalam suatu studi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa guru yang bermutu memiliki paling sedikit empat kriteria utama yaitu :
1.     Kemampuan profesional  (profesional capacity)
2.     Upaya profesional (profesional Effort)
3.     Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (time devotion)
4.     Imbalan atas hasil kerjanya (profesional rent)

Ciri-Ciri guru yang Profesional dan Efektif menurut Davis Thomas (1997) adalah
1.     Memiliki Kemampuan Interpersonal, khususnya kemampuan untuk menunjukkan emphaty, penghargaan dan ketulusan  kepada siswa
2.     Memiliki hubungan baik dengan siswa
3.     Mampu menerima, mengakui dan memperhataikan siswa secara tulus
4.     Menunjukkan minat dan antosias yang tinggi dalam mengajar
5.     Mampu menciptakan tumbuhnya kerjasama dan keharmonisan anggota kelompok.
6.     Mampu melibatkan siswa dalam  mengorganisasikan dan  merencana-kan kegiatan pembelajaran
7.     Mampu mendengarkan dan memberi kesempatan kepada siswa untuk berbicara
8.     Mampu meminimalkan friksi-friksi di kelas.

Guru yang sukses mengajar menurut Bell (1993:37) adalah guru yang memiliki beberapa power berikut ini :
1.     Guru yang memiliki Power With  yaitu guru yang senantiasa dapat bekerjasama dengan siswa (kolaboratif). Guru model ini senang memotivasi dan memimbing siswa untuk mencapai  tujuan pembelajar-an tanpa pamrih.
2.     Guru yang memiliki Power For yaitu guru yang selalu  berpikir untuk kepentingan proses belajar-mengajar (rela berkorban)
3.     Guru yang memiliki Power On  yaitu guru yang selalu menganggap dirinya lebih pandai dan tahu segala-galanya. Guru jenis ini tidak bersedia disalahkan, melainkan ia selalu menganggap dirinya benar dan selalu ingin berada distas kapan dan dimana saja.
4.     Guru yang memiliki Power Off  yaitu guru yang tidak mau ambil peduli dengan kesulitan yang dialami siswa dalam proses pembelajaran.

Kemampuan Profesional (profesional capacity) adalah kemampuan intelegensi, sikap, dan prestasi sesuai dengan pekerjaannya. Secara sederhana kemampuan profesionalisme ini bisa ditunjukkan dengan kemampuan guru dalam menguasai materi pelajaran yang diajarkan termasuk upaya untuk selalu memperkaya dan meremajakan pengetahuannya. Kemampuan Profesional guru bisa juga ditunjukkan dengan tinggi-rendahnya score hasil tes yang mengukur kemampuan menguasaai materi pelajaran yang diajarkan. Guru yang bermutu adalah mereka yang dapat membelajarkan siswa secara tuntas, benar, dan hasuil, dan untuk itu guru harus menguasai keahlian baik dalam disiplin ilmu pengetahuan maupun dalam metodologi pengajarannya.

Upaya profesional (Profesional Efforts) adalah upaya seorang guru untuk mentransformasikan kemampuan profesional yang dimilikinya kedalam tindakan mendidik dan mengajar secara nyata dan berhasil. Upaya profesional guru tersebut ditunjukkan oleh penguasaan keahlian mengajar, baik keahlian menguasai materi pelajaran, pengelolaan kegiatan belajar murid, maupoun upaya memperkaya serta meremajakan kemampuannya dalam mengembangkan program pengajaran.

Waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (teacher’s time) menunjukkan intensitas waktu dari seorang guru yang dikonsentrasikan untuk tugas-tugas profesinya. Teacher’s time ini merupakan salah satu indikator  penting dari mutu guru, seperti ditunjukkan oleh konsep “waktu belajar” (time on task) yang diukur dari intensitas belajar siswa secara perorangan. Time on task ini  ditemukan melalui berbagai studi dan berbagai penelitian di berbagai negara termasuk Indonesia sebagai salah satu prediktor terbaik dari mutu hasil belajar siswa. Guru dikatakan profesional jika pekerjaannya dapat menjamin kehidupan mereka. Pendapatan seorang profesional sangat ditentukan oleh kemampuan dan prestasinya dalam bekerja.

B.  Kriteria Profesi Kependidikan
Menurut komisi kebijaksanaan Pendidikan NEA Amerika Serikat (Dalam Oteng Sutisna, 1985 : 304) menyebutkan ada enam macam kriteria profesi kependidikan yaitu :
1.     Profesi didasarkan atas sejumlah pengetahuan yang dikhususkan.
2.     Profesi mengejar kemajuan dalam kemampuan para anggotannya
3.     Profesi melayani kebutuhan para anggotanya (akan kesejahteraan dan pertumbuhan profesional).
4.     Profesi memiliki norma-norma etis.
5.     Profesi mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah di bidangnya (mengenai perubahan-perubahan kurikulum, struktur organisasai pendidikan), persipan profesional.
6.     Profesi memiliki solidaritas kelompok profesional.

Guru yang profesional adalah guru yang memiliki sejumlah kemampuan dasar (KD). Hasan Walinono (1985:5) mengemukakan kemampuan dasar tersebut adalah  :
1.     Mengembangkan kepribadian
2.     Menguasai landasan kependidikan
3.     Menguasai bahan pelajaran
4.     Menyusun program pengajaran
5.     Melaksanakan program pengajaran
6.     Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang   telah  dilaksanakan
7.     Menyelenggarakan program bimbingan
8.     Menyelenggarakan administrasi pendidikan
9.     Berintegrasi/berinteraksi dengan   teman  sejawat/kalangan pendidikan dan masyarakat.
10.   Menyelenggarakan  penelitian  sederhana  untuk   keperluan pengajaran.

Kesepuluh kemampuan guru yang dikemukakan di atas dijabarkan dalam bentuk yang lebih konkrit. :
Pertama, pengembangan kepribadian : (1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2)  Berjiwa Pancasila, (3) Menghargai seni budaya sendiri, (4) Disiplin, (5) Kreatif dan inisiatif  (6) Memiliki gagasan yang baik, (7) Rendah hati dan terbuka, (8) Memiliki cinta kasih yang tinggi (9) Tidak mudah putus asa.
Kedua, menguasai landasan kependidikan : (1) Mengenal tujuan pendidikan pada satuan pendidikan yang bersangkutan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, (2) Mengenal prinsip-prinsip pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar, (3) Mengenal fungsi satuan pendidikan dalam masyarakat.
Ketiga, menguasai bahan pelajaran : (1) Menguasai bahan pelajaran kurikulum satuan pelajaran yang bersangkutan, (2) Menguasai bahan pengayaan, (3) Menguasai sumber lingkungan yang dimanfaatkan sebagai bahan pengajaran.
Keempat, (1) Menetapkan tujuan pengajaran, (2) Memilih dan
pengembangkan bahan pengajaran, (3) Memilih dan mengembangkan media pengajaran yang sesuai, (4) Memilih dan memanfaatkan sumber belajar.
Kelima, melaksanakan program pengajaran : (1) Menciptakan iklim  belajar mengajar yang tepat, (2) Mengatur lingkungan ruang belajar, (3) Mengelola interaksi belajar mengajar.
Keenam, menilai hasil proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan : (1) Menilai prestasi murid untuk kepentingan pengajaran, (2) Menilai hasil proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Ketujuh, menyelenggarakan program bimbingan : (1) Membimbing siswa yang mengalami kesulitan belajar, (2) Membimbingan siswa yang berkelainan dan berbakat khusus, (3) Membina wawasan siswa untuk menghargai berbagai pekerjaan di masyarakat.
Kedelapan, menyelenggarakan administrasi pendidikan : (1) Mengenal administrasi kegiatan pendidikan, (2) Melaksanakan kegiatan administrasi kegiatan pendidikan. Kesembilan, berintegrasi/berinteraksi dengan teman sejawat/kalangan pendidik dan masyarakat, (2) Berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka menunaikan misi pendidikan.
Salah satu tujuan dari terbentuknya PGRI adalah untuk memeprtinggi kesadaran, sikap, mutu, dan kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan guru. Sedangkan misi PGRI adalah :
1.     Misi politis/ideologis
2.     Misi perasatuan/oraganisatoris
3.     Misi profesi
4.     Misi kesejahteraan

Misi politis/idelogis yang dipikul oleh PGRI karena mengemban amanat yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa atas dasar ideologi negara Pancasila  dan UUD 1945. Misi perasatuan/Organisatoris berhubungan dengan bagaimana cara organisasi PGRI ini memberi imbas/dampak terhadap pembangunan bangsa. Misi profesi berhubungan  dengan usaha organisasi profesi ini untuk mengembangkan kemampuan anggotanya supaya lebih profesional dan asfek persyaratan profesi harus terpenuhi.  Misi kesejahteraan berhubungan dengan perjuangan nasib para anggotanya untuk memperoleh jaminan kesejahteraan yang layak untuk memenuhi kebutuhan anggota dan keluarganya.

C. Kode Etik Profesi Guru
Isi rumusan    “KODE ETIK GURU INDONESIA ” adalah sebagai beriku :
1.     Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.
a.       Guru menghormati hak individu, Agama dan keperccayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari anak didiknya masing-masing.
b.       Guru menghormati dan membimbing kepribadian anak didiknya.
c.       Guru menyadari bahwa Intelegensi, Moral dan jasmani adalah tujuan utama pendidikan.
d.       Guru melatih anak didik memecahkan masalah-masalah dan membina daya kreasinya agar dapat menunjang masyarakat yang sedang membangun.
e.       Guru  membantu  sekolah  didalam  usaha menanamkan           pengetahuan keterampilan kepada anak didik.
f.        Guru  memiliki   kejuruan   profesional  dalam  menerapkan    Kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing
g.       Menghargai dan memperhatikan perbedaan dan kebutuhan anak didik masing-maasing.
h.       Guru hendaknya fleksibeldidalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didiknya masing-masing.
i.        Guru memberi pelajaran di dalam dan luar sekolah berdasarkan kurikulum dan berlaku secara baik tanpa membeda-bedakan jenis dan posisi sosial orang tua muridnya.
2.     Guru  mengadakan  komunikasi,  terutama  dalam  memperoleh informasi,  tentang  anak didik  tetapi menghindarkan diri segala bentuk penyalahgunaan.
a.     Komunikasi guru dan anak didik di dalam dan luar sekolah dilandaskan pada rasa kasih sayang.
b.     Untuk berhasilnya pendidikan, guru harus mengetahui kepribadian anak dan latar belakang orang tuanya.
c.     Komunikasi hanya diadakan semata-mata untuk kepentingan        pendidikan anak-anak didik.
3.     Guru menciptakan suasana kehidupan  sekolah dan memelihara  hubungan dengan orang tua murid dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.
a.     Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah sehingga anak didik betah berada dan belajar di sekolah
b.     Guru menciptakan hubungan baik dengan orang tua sehingga dapat terjalin pertukaran informasi timbal balik untuk kepentingan anak didik.
c.     Guru senantiasa menerima dengan dada  lapang setiap kritik membangun yang disampaikan orang tua murid/masyarakat terhadap kehidupan sekolahnya.
d.     Guru turut bersama-sama masyarakat sekitarnya di dalam berbagai aktivitas.
e.     Guru mengusahakan terciptanya kerjasama yang sebaik-baiknya antara sekolah, orang tua murid, dan masyarakat bagi kesempatan usaha pendidikan atas dasar kesadaran bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bedrsamaantara pemerintah, orang tua murid dan masyarakat.
4.     Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar   sekolahnya  maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.
a.       Guru memperluas pengetahuan masyarakat mengenai profesi keguruan.
b.       Guru menyebarkan dan turut merumuskan program pendidikan kepada dan dengan masyarakat sekitarnya, sehingga sekolah tersebut berfungsi sebagai puasat pembinaan dan pengembangan kebudayaan di tempat itu.
c.       Guru harus berperan agar dirinya dan sekolahnya dapat berfungsi sebagai pembaharu bagi kehidupan dan kemajuan daerahnya.

5.     Guru secara sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama berusaha
 mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
a.      Guru melanjutkan studinya dengan :
1.      Membaca buku-buku
2.      mengikuti workshop/seminar, konfrensi dan pertemuanpertemuan pendidikan dan keilmuan lainnya.
3.      Mengikuti penataran
4.      Mengadakan kegiatan-kegiatan penelitian.
b.       Guru selalu berbicara, bersikap dan bertindak sesuai dengan martabat profesinya.
6.     Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama  guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam   hubungan keseluruhan.
a.       Guru senantiasa saling bertukar informasi, pendapat, saling menasehati dan membentu satu sama lain, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam penunaian tugas profesi.
b.        Guru tidak melaksanakan tindakan-tindakan yang merugikan nama baik rekan-rekan seprofesinya dan menunjang martabat guru, baik secara pribadi maupun secara keseluruhan.
7.     Guru  secara bersama-sama memelihara, membina dan  meningkat kan organisasi guru profesional sebagai  sarana pengabdiannya.
a.       Guru menjadi anggota dan membantu organisasi guru yang bermaksud membina frofesi dan pendidikan pada umumnya.
b.       Guru senantiasa berusaha menciptakan persatuan diantara sesama pengabdi pendidikan.
c.       Guru senantiasa berusaha membantu menyebarkan kebijaksanaan dan program pemerintah dalam bidang pendidikan kepada orang tua murid dan masyarakat sekitarnya.
d.       Guru berusaha menunjang terciptanya kepemimpinan pendidikan di lingkungan atau di daerahnya sebaik-baiknya  individu maupun untuk kelompok.
 
D.    Pendidik
 Yang dimaksud pendidik disini adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada anak didik dalam perkembangan rohani dan jasmaninya agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai mahluk Tuhan, mahluk sosial dan sebagai individu (pribadi) yang mandiri.
Orang dewasa yang terutama mempunyai tanggung jawab terhadap anaknya adalah orang tuanya. Mereka adalah sarana pertama akan terciptanya anak sebagai mahluk Tuhan. Orang tua dinamai pendidik kodrat. Karena orang tua tidak mempunyai kekuatan, kemampuan, waktu dan sebagainya untuk memberikan pendidikan yang diperlukan oleh anaknya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawab kepadanya kepada orang dewasa lain untuk membimbingnya : guru disekolah, guru agama dibidang pendidikan ketuhanan, pemimpin kepemudaan pada organisasi pemuda, tokoh masyarakat didalam masyarakat dan sebagainya.
Agar pendidik dapat berfungsi sebagai medium yang baik dalam menjalankan kegiatan pendidikan, ia harus memperlakukan beberapa peranan sebagai berikut :
a.     Ia wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak didik yang ada, dengan jalan : observasi, wawancara, pergaulan, angket dan sebagainya.
b.     Ia  wajib berusaha menolong anak didik dalam perkembangannya. agar pembawaan buruk tidak berkembang dan sebaliknya pembawaan baik terus berkembang dengan subur mendekati puncak kemungkinannya, dengan menyiapkan lingkuan yang di perlukan.
c.     Ia wajib menyajikan jalan yang terbaik dan menunjukkan arah perkembangan yang tepat. Pendidikan sebagai orang yang berpengalaman mampu melaksakan hal ini berhubungan ia sudah mengalami liku-likunya jalan dan mengetahui sesatnya jalan yang menimbulkan tidak tercapainya tujuan yang diinginkan. Cabang pekerjaan yang telah di pilihnya sebagai pendidik tidak saja di pandang sebagai sumber nafkah melainkan juga sebagai tempat tempat pengabdian kepada Nusa,bangsa dan Tuhan.
d.     Ia wajib setiap waktu mengadakan evaluasi untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik dalam usaha mencapai tujuan pendidikan sudah berjalan seperti yang diharapkan.
e.     Ia wajip memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada anak didik pada waktu mereka menghadapi kesulitan denan cara yang sesuai dengan kemampuan anak didik dan tujuan yang akan dicapai.
f.      Dalam menjalankan tugasnya, pendidik wajib selalu ingat bahwa anak sendirilah yang berkembang berdasarkan bakat yang ada padanya,namun mengembangkan bakat yang tidak ada padanya. Ia hanya dapat mempengaruhi situasi, agar anak agar anak dalam situasi yang baik dapat berkembangan dengan lebih cepat tidak sesat dan tidak membahayakan kelangsungan perkembangannya. Itulah yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara bahwa mendidik adalah tutwuri handayani. Artinya :Tutwuri atau mengikuti anak berkembang sendiri dengan jalan sendiri dan andayani atau mempengaruhi agar perkembangan jalan lebih pesa, apabila ada bahaya yang menimpa dapat diakhirinya.
g.     Pendidikan senatiasa mengadakan penilaian atas diri sendiri untuk mengetahui apakah ada hal-hal tertentu dalam diri pribadinya yang harus mendapatkan perbaikan. Satu prinsip penting untuk melaksanakan pendidikan adalah bahwa pendidik harus sudah memeliki norma-norma yang ingin di serahkan kepada anak didik. hal ini sudah dibahas  dalam bab v tentang kewibawaan dan tanggung jawab pendidik, karenanya tidak akan di ulangi lagi disini. yang perlukan di tegaskan di sini adalah pendidik mutlak harus memiliki norma-norma yang akan dipindahkan, termasuk menguasai isi atau bahan pendidikan yang akan disampaikan kepada anak didik agar dengan demikian kewibawaan yang dipersyaratkan dalam kegitan pendidikan dapat diwujudkan.
h.     Pendidikan perlu memilih metode atau teknik penyajian yang tidak saja di sesuaikan dengan bahan atau isi pendidikan yang akan disampaikan tetapijuga disesuaikan dengan kondisi anak didiknya. Hanya bila di lakukan pemilihn metode atau teknik penyajian dengan cara yang demikian, kegiatan pendidikan yang dijalankan akan menjadi pengalaman yang disenanngi oleh anak didik dan ini merupakan landasan untuk keberhasilan usaha pendidikan tersebut. Oleh karena anak didik berbeda-beda sifatnya maka akibatnya penggunaan yang hanya satu macam seperti metode ceramah saja, sudah jelas dari sudut pertimbangan ini adalah tidak memadai dan karena itu bila dilaksanakan juga tidak akan memberi manfaat  banyak di dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.

E.     Anak Didik
Yang dimaksud dengan anak didik disini adalah anak yang belum dewasa yang memerlukan bibingan dan pertolongan dari orang lain yang sudah dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai mahluk Tuhan, sebagai suatu pribadi atau individu sendiri.  Anak didik disebut anak kandung apabila anak didik tersebut dalam lingkungan pendidikan keluarga, siswa dan mahasiswa adalah anak didik dalam lingkungan pendidikan disekolah dan lain-lain. Isi kurikulum (core curriculum content) yang berorientasi pada proses pembelajaran murid secara maksimal pada intinya terdiri dari dua kategori yaitu:
Isi kurikulum yang berkaitan dengan kemampuan dasar untuk belajar (basic learning skils) seperti kemampuan membaca (menyerap informasi melalui bahan bacaan secara tepat), berhitung (berlatih untuk memahami logika angka dan ruang), menulis (menuangkan gagasan melalui tulisan atau lisan), mendengar dan menyimak (menyerap informasi melalui pengamatan dan pendengaran), sertra mengenal permasalahan lingkungan agar dapat berlatih untuk memecahkannya.
Isi kurikulum yang berkaitan dengan substansi belajar (basic leaning contents) seperti pengetahuan, wawasan, nilai, sikap, dan keterampilan.  Konten pelajaran tidak perlu harus disampaikan  melalui kuliah atau ceramah karena perolehan pengetahuan bisa dilakukan melalui kegiatan membaca buku-buku pelajaran, manual, pengumuman, berita, serta pengamatan masalah di lapangan serta melalui mess media. Informasi yang diperoleh peserta didik selanjutnya ditelaah (reviewed) dan dijelaskan dengan konsep ilmu pengetahuan bersama guru dalam diskusi di kelas.
Pendekatan Teknis Kependidikan (technical approach); yaitu berkenaan dengan mutu pendidikan dapat ditingkatkan melalui pendekatan belajar tuntas (mastery learning). Pendekatan Pengelolaan Pendidikan (Managerial Approach)  yaitu mutu pendidikan ditingkatkan melalui penguatan kemampuan setiap satuan lembaga pendidikan dalam menerapkan strategi khusus secara sendiri-sendiri.

F.     KEMAMPUAN AKADEMIK DAN NON AKADEMIK
1.  Kemampuan akademik Guru diantaranya :
1.       Mengausasi materi pembelajaran sesuai dengan displin ilmunya
2.       menguasai meteri mengembangkan metodologi pembelajaran.
3.       ahli menyusun program pembelajaran dan melaklsanakannya.
4.       mampu menilai hasil & evaluasi pembelajaran.
5.       mampu memberdayakan siswa dalam pembelajaran.
2.   Kemampuan  non akademik Guru antar alain :
1.       menguasai paradiagma baru pendidikan.
2.       tidak buta teknologi 
3.       memiliki iman dan taqwa seimbang antara kehidupan duniawi dan akhirat
3.   Kriteria Ukuran Keberhasilan Mengajar :
1.     Konsistensi kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum;
2.     Keterlaksanaan mengajar oleh guru;
3.     Keterlaksanaan belajar  oleh siswa;
4.     Motivasi belajar;
5.     Aktivitas Siswa dalam kegiatan belajar;
6.     Interaksi guru siswa;
7.     Kemampuan/keterampilan guru mengajar;
8.     Prestasi belajar yang di capai oleh siswa;

4. Syarat-Syarat Kemampuan Guru Antara lain :Pengetahuan  (knowledge) di bidang tertentu terutama di bidang keguruan dan pendidikan baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.
1.     Keterampilan (Skill) di bidang keguruan sehingga mampu memimpin /menguasai kelasnya secara efektif
2.     Kemampuan Menilai/mengevaaluasi (Evaluation)  sehingga gurau mampu menilai/mengevaluasi sejauh mana materi pellajaran telah disampaikan dan sejauh mana siswa mampu menguasai materi pelajaran itu.

a.     Syarat-Syarat Profesional Guru (Oemar Hamalik 1986:76)  :
1.     Persyaratan Fisik, yaitu  kesehatan jasmani  yang artinya seorang guru  harus berbadan sehat dan tidak memiliki penyakit menular yang membahayakan
2.     Persyaratan Psykis, yaitu sehat rohani yang artinya  tidak mengalami gangguan jiwa.
3.       Perssyaratan Mental, yaitu  memiliki sikap mental yang baik terhadap profesi kependidikan, pengabdian serta memiliki dedikasi  yang tinggi pada tugas dan jabatannya
4.       Persyaratan Moral, yaitu memiliki budi pekerti yang luhur dan memiliki sikap susila yang btinggi
5.       Persyaratan  Intelektual, yaitu pengetaahuan dan keterampilan yang tinggi  yang diperoleh dari lembaga pendidikan  tenaga kependidikan  yang memberikan bekal guna menunaikan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik.

F. Karak Teristik Kemampuan Guru.
a.     Memiliki Tanggung Jawab, antara lain :
1)       Tanggung Jawab Moral, yaitu setiap guru harus memiliki  kemampuan  menghayati perilaku dan etika yang sesuai  dengan moral Pancasaila dan mengamalakaannya dalam kehidupan sehari-hari. 
2)      Tanggung jawab Pendidikan di Sekolah, yaitu setiap guru harus menguasai cara belajar-mengajar yang efektif, mampu membuat Satuan Pelajaran (SP), mampu memahami kurikulum, dan mampu mengajar di kelas.
3)      Tanggung jawab Kemasyarakatan, yaitu turut serta menyukseskan pembangunan dalam masayarakat, yaaitu guru mampu membimbing, mengabdi dan melayani masyarakat.
4)      Tanggung Jawab Ke-Ilmuan, yaitu guru selaku ilmuan bertanggungjawab dan turut serta  memajukan ilmu yang menjadi spesialisasinya, dengan melaksanakan penelitian dan pengembangan.
G.    Fungsi dan peran Guru meliputi :
1.        Guru  Sebagai Pendidik dan Pengajar, harus memiliki kestabilan emosional, bersikap realistis, jujur dan terbuka, peka terhadap perkembangan, terutama tentang inovasi pendidikan.
2.        Guru Sebagai  Anggota Masyarakat, harus pandai bergaul dengan masayarakat. Untuk itu guru harus menguasai Psikologi Sosial, Keterampilan menyelesaaikan tugas bersama dalam kelompok.
3.        Guru Sebagai Pemimpin, Guru  harus memilki kepribadian, menguasai Ilmu Kepemimpinan, Teknik Komunikasi, dan menguasai  berbagai aspek kegiatan organisasi yang ada di sekolah.
4.        Guru Sebagai Pelaksana Administrasi, Berhubungan dengan Administrasi yang harus di kerjakan di sekolah. Untuk itu tenaga kependidikan harus memiliki kepribadian , jujur, teliti, rajin, menyimpan arsip dan administrasi lainnya.
5.        Guru Sebagai Pengelola  Kegiatan Belajar Mengajar, Harus menguasai berbagai metode mengajar dan harus menguasai situasi belajar mengajar, baik di dalam maupun di luar kelas.

H.      Kemampuan Guru dalam  Proses Belajar Mengajar :
1.     Kemantapan dan integrasi Pribadi. Seorang guru dituntut  dapat bekerja secara teratur, konsisten, dan kreatif dalam menyelesaikan pekerjaannya sebagai guru.  Oemar Hamaalik (19982:18) mengatakan bahwa : “Kemantapan dalam bekerja hendaknya  merupakan karakteristik pribadainya, sehingga pola hidup seperti ini terhayati pula oleh siswa sebagai pendidik. Kemantapan dan integritas pribadi ini  tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan tumbuh melalui suatu proses belajar yang sengaja diciptakan”. Kemantapan pribadi berpengaruh pada tugas, demikian juga  dengan kemantapan pribadi guru dalam proses belajar mengajar yang diselenggaraaknnya. Kemanatapan dan integritas harus dimiliki oleh setiap  guru demi tercapainya tujuan pendidikan.
2.     Peka Terhadap Perubahan dan Pembaharuan. Guru harus peka terhadap apa yang sedang berlangsung di nsekolah dan sekitarnya. Artinya  apa yang dilakukan di sekolah  tetap konsisten dengan kebutuhan  dan tidak ketinggalan jaman. Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan dapat menambah  atau mengurangi kurikulum  pelajaran sesuai dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah dan desentralisasi serta otonomi pendidikan yang berlaku saat ini.
3.     Berpikir Alternatif. Guru harus mampu berpikir kreatif dan berwawasan luas dalam memecahkan masalah yang dihadapi di sekolah. Oleh karena itu seorang guru dituntut mampu berpikir secara alternatif , berpandangan kedepan dan berwawasan luas  dalam menyelesaikan  tugas dan permasalahan yang terjadi di sekolah agar diperoleh ketenangan dan aktivitas belajar mengajar berlangsung dengan tertib, aman, menyenangkan  dan harmonis.
4.     Adil, Jujur dan Objektif Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jujur berarti  tulus ikhlas menjalanakan fungsinya saebagai guru  sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Objektif artinya menjalankan aturan dan kriteria yang telah ditetapkan tanpa pilih kasih.
5.     Disiplin dalam Melaksanakan Tugas. Disiplin  muncul dari  kebiasaan hidup dan kehidupan yang teratur, serta mencintai dan menghargai pekerjaannya, disiplin memerlukan propses pendidikan dan pelatihan nyang memadai. Untuk itu maka guru memerlukan  pemahaman tentang  landasan Ilmu Pendidikan dan Keguruan.
6.     Ulet dan Tekun Bekerja. Keuletan dan ketekuanan bekerja  tanpa mengenal lelah  dan tanpa pamrih  merupakan sifat yang perlu dimiliki guru. Siswa akan memperoleh imbalan  dari guru yang menampilkan pribadi utuh, yang bekerja tanpa  pamrih dan tanpa mengenal lelah. Guru tidak mudah berputus asa. Guru harus ulet, dan tekun bekerja sehingga program pendidikan yang telah  ditetapkan dapat berjalan   dengan baik.
7.     Berusaha Memperoleh Hasil Kerja yang Baik. Dalam mencapai hasil kerja guru diharapkan selalu meningkatkan kemamapuan diri, mencarai cara baru, agar mutu pendidikan selalu meningkat, pengetaahuan umum yang dimilikinya selalu bertambah dengan menambah   bacaan di luar buku pelajaran. Dengan adanya usaha untuk menambah pengetahuan, pemahaman dan keterampilan, maka kemampuan guru  akan bertambah pula  sehingga tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam proses belajar mengajar.
8.     Simpatik, Menarik, Luwes, Bijaksana, dan Sederhana. Sifat Kemampuan Pribadi Guru dalam  Proses belajar Mengajar, memerlukan kematangan pribadi, kedewasaan sosial, pengalaman hidup bermasyarakat, pengalaman belajar yang memadai, khususnya pengalaman dalam praktek mengajar. Oleh karena itu guru harus menguasai benar hal-hal yang berhubungan dengan  sifat Simpatik, Menarik, Luwes, Bijaksana, dan Sederhana seperti disebutkan diatas.
9.     Bersifat Terbuka. Guru diharaapkan dapat menampung aspirasi  berbagai pihak sehingga sekolah dapat berfungsi sebagai agen pembanagunan dan guru  berperan sebagai pendukungnya. Guru juga dituntut  berusaha meningkatkan  serta memperbaiki suasana kehidupan  sekolah berdasarkan kebutuhan dan tuntutan berbagai pihak.  Dengan demikian sifat terbuka akan dapat terwujud melalui proses belajar mengajar yang demokratis.
10.   Kreatif. Guru kreatif maksudnya guru harus mampu melihat berbagai kemungkinan yang menurut perkiraannya  sama baik. Kreativitas berhubungan erat dengan kecerdasan. Untuk mendapatkan kreativitas yang tinggi, guru harus lebih banyak bertanya, belajar dan berdedikasi tinggi.
11.   Berwibawa. Seorang guru harus berwibawa. Dengan adanya kebwibawaan proses belajar-mengajar akan dapat terlaksana  dengan baik, siswa mematuhi apa yang ditugaskan oleh guru.

I. Tugas dan Fungsi Utama Guru
Depdikbud (1984:7) mengindikasikan sedikitnya tiga tugas utama guru yaitu sebagai berikut :
1.     Tugas profesional yaitu; mendidik dalam rangka menyumbangkan kepribadian, mengajar dalam rangka menyimbangkan kemampuan berpikir, kecerdasan dan melatih dalam  rangka membina keterampilan.
2.     Tugas menusiawi, yaitu; membina anak didik dalam rangka meningkatkan danmengembangkan martabat diri sendiri, kemampuan manusia yang optimal serta pribadi yang mandiri.
3.     Tugas kemasyarakatan, yaitu; dalam rangka mengembangkan terbentuknya masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sementara itu Suharsimi Arikunto (1980:268) mengatakan, diharapkan guru mampu memerankan fungsi-fungsinya  seperti :
a.     Guru sebagai pengelola proses Kegitan Belajar Mengajar. Kelas merupakan suatu organisasi yang semestinya dikelola dengan baik, mengacu pada fungsi-fungsi administrasi yang ada dan berlaku.
b.     Guru sebagai moderator. Menurut aliran baru dalam bidang pendidikan guru diharapkan bukan sebagai penyampaian materi semata tetapi juga lebih sebagai moderator, yaitu pengatur lalu lintas pembicaraan, jika ada jalur pembicaraan yang tidak dapat di selesaikan oleh siswa-siswi, maka gurulah yang wajib mendamaikan perselisihan tersebut.
c.     Guru sebagai motivator. Siswa adalah manusia yang di tempeli oleh sifat “memilih yang serba enak” dari pada harus susah-susah. Jika guru tidak dapat memancing kemauna siswa untuk aktif maka guru itu sendiri yang akan merasakan kesulitan dalam proses pembelajaran kerena dapat ditebak bahwa siswa akan pasif tanpa inisiatif.
d.     Guru sebagai fasilitator. Guru sebagai fasilitator memberikan kemudahan dan sarana kepada siswa agar dapat aktif belajar sesuai dengan  kemampuannya.
e.     Guru sebagai evaluator. Guru sebagai evaluator berperan setiap kegiatan selalu diikuti oleh motivasi jika orang-orang yang terlibat dalam kegiatan menginginkan terjadinya peningkatan atas kegiatan itu pada masa-masa yang akan datang.
           
Menurut Jhon Bolla (1983:20) Kemampuan melaksanakan pembelajaran tampak melalui  sikap dan perilaku guru,terutama dalam hal ;
1.     Menggunakan metode,media,bahan yang sesuai dengan tujuan mengajar
2.     Berkomunikasi dengan siswa.
3.     Mendemonstrasikan khasanah metode mengajar.
4.     Mendorong dan menggalakkan keterlibatan siswa dalam pengajaran.
5.     Mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansisnya.
6.     Mengorganisasikan waktu, ruang dan perlengkapan pengajaran.
7.     Melaksanakan evaluasi pencapaian siswa dalam proses belajar-mengajar.

Indikator kemampuan guru menurut Suharsimi Arikunto (1989:285)  adalah:
1.     Tingkat pendidikan (Ijazah pendidikan formal dan tambahan sertifikat penataran atau krusus-kursus lainnya),
2.     Pengalaman belajar, dan
3.     Keperibadian guru.
Kemampuan mengajar Guru menurut Dirjen Dikti (1984:20) ditunjukkan melalui   : Mampu Menggunakan metode, media, dan bahan pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pengajaran yaitu ;
1.        Mampu Berkomunikasi dengan siswa.
2.        Mampu Mendemonstrasikan khasanah metode mengajar.
3.        Mampu Mendorong dan menggalakkan keterampilan siswa dalam pengajaran.
4.        Mampu Mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan relevansisnya.
5.        Mampu Mengorganisasikan waktu, ruang, bahan dan perlengkapan pengajaran.
6.        Mampu Melaksanakan evaluasi pencapaian belajar siswa dalam proses belajar-mengajar.

Selanjutnya kemampuan  yang harus dimiliki atau dikuasai oleh guru tersebut  dipresentasikan sebagai berikut : 
a.     Kemampuan Menggunakan Metode dan Media Pengajaran.
Dalam mengajar seseorang guru dapat menggunakan berbagai metode  dan media pengajaran sesuai dengn tujuan pengajaran. Dalam memilih metode dan media mengajar Winarno Surachmad (1984:97)  ada beberapa faktor yang harus diperhatikan  dalam memilih metode mengajar, yaitu:
1).  Faktor murid, meliputi pelajaran atau petatar.
2).  Faktor tujuan, meliputi berbagai jenis dan fungsinya.
3).  Faktor situasi, meliputi berbagai keadaan.
4).  Faktor fasilitas, meliputi berbagai kualitas dan kuantitas.
5). Faktor pengajaran, meliputi penataran dan pelatihan yaitu guru yang memiliki  sarat kemampuan profesionalnya.
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, diharapkan metode mengajar yang digunakan oleh guru dapat sesuai atau cocok dengan materi pengajaran yang disampaikan, indikator pemilihan metode mengajar yang tepat adalah :
1)        Metode yang Digunakan Sesuai Dengan Tujuan Pengajaran.  Prinsip utama dalam memilih metode mengajar adalah kesesuaian antara metode yang di pilih dengan mata pelajaran yang akan di sampaikan, jika tujuan pengajaran  hanya ingin memberikan informasi kepada siswa, maka metode yang tepat adalah metode ceramah. Sedangkan jika tujuan pengajaran menghendakai agar siswa dapat ,mendemonstrasikan sesuatu obje, maka metode mengajar yang terpat adalah metode demonstrasi.
2)        Metode yang Digunakan Sesuai Dengan Situasi Siswa. Dalam memilih metode mengajar yang akan digunakan selain harus di dasarkan atas kemampuan guru juga harus di dasarkan pada kemampuan siswa. Guru yang menggunakan metode mangajar yang tepat adalah guru yang dapat memperhatikan kemampuan belajar siswa.
3)        Metode yang Digunakan Disesuaikan Dengan Fasilitas. Dalam kondisi seperti itu, guru hendaknya mampu memilih metode yang tepat sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia.
Dalam kaitannya dengn penggunaan media pengajaran, guru handaknya mampu menyelesaikan media pengajaran yang diterapkan dengan metode yang digunakan. Untuk itu dalam kondisi seperti itu guru dituntut mampu :
a.          Memilih dan atau menggunakan media pengajaran yang tepat sesuai dengan tujuan pengajaran.
b.          Media yang di gunakan dapat mengaktifkan siswa baik secara fisik
c.          Media yang digunakan dapat memperjelas pemahaman siswa tentang materi pelajaran yang di sampaikan.

Disamping dituntut mampu mengunakan media pengajaran yang tepat, guru juga di tuntut mampu manyajikan materi pelajaran dengan tepat  pula.  Materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dapat diukur melalui :
a.     Bahasa yang digunakan dalam menyajikan materi pelajaran tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda diantara  siswa.
b.     Materi yang disampaikan tidak menyimpang dari rencana pengajaran
c.     Mampu menggunakan contoh-contoh yang tepat sehingga mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa.
d.     Dapat melibatkan atau mengaktifkan siswa selama berlangsungnya proses belajar mengajar.

b.     Kemampuan Berkomunikasi Dengan Siswa
Seseorang guru dituntut memiliki kemampuan mengajar yang baik dan mampu melakukan komunikasi dengan siswa dengan baik pula. Kemampuan guru berkomunikasi dengan siswa dalam proses belajar-mengajar ditandai dengan : 
1).  Memperhatikan situasi dan kondisi siswa
2).  Memperhatikan kepentingan dan keinginan siswa.
3).  Tidak memisahkan diri dari siswa.
4).  Tidak menganggap siswa lebih rendah.
5).  Melakukan pembicaraan sepenuhnya.
6).  Melakukan kontak batin.
Kemampuan guru berkomunikasi dengan siswa dalam proses belajar mengajar sangat perlu dibina dan lestarikan. Dengan melakukan komunikasi dengan siswa, guru dapat mengoreksi informasi baik yang merupakan kelemahan maupun yang bersifat kelebihan siswa, dengan mengetahui kelemahan dan kelebihan siswa, memepermudah dan memperlancar jalannya guru dapat membina serta mambentuk kemampuan belajar siswa sesuai dengan yang diharapkan. Dengan mengetahui kelemahan dan kelebihan siswa, gampang bagi guru untuk mencari faktor apa yang perlu dilakukan untuk pembinaan. Sedangkan siswa yang mempunyai kelemahan gampang pula dibina dan diarahkan sesuai dengan tingkat potensinya, yang pada gilirannya prestasi belajar yang optimal  dapat tercapai.       

c.     Kemampuan Menggunakan  Metode Mengajar
Agar hasil pembelajaran dapat mencapai hasil yang optimal,  diperlukan penggunaan metode mengajar yang tepat sesuai dengan konteks bahan pelajaran yang disampaikan. Imansyah Alipandie (1984:71) mengatakan “Metode adalah cara yang sistematis yang dipergunakan untuk mencapai tujuan”. Selanjutnya dalam buku The Hol Basic Dictionary of American English mengatakan : “Method ; regular way of doing something”. Pengertian ini dilengkapi Hadari Nawawi mengatakan : “Metode dapat diartikan prosedur yang tetap dalam melaksanakan sesuatu, yang di dalamnya berisi langkah-langkah atau mekanisme berlangsungnya pekerjaan itu”.
Bertolak dari pendapat diatas, dapat penulis simpulkan, metode mengajar adalah cara atau prosedur yang dipergunakan   seseorang guru dalam mengajar yang berisi langkah-langkah yang disusun secara sistematis, guna mencapai tujuan mengajar.  Dalam pengertian metode ter kandung beberap unsur seperti  :  1)adanya cara/prosedur yang dipergunakan, 2)adanya langkah-langkah yang disusun secara sistematis, dan 3)adanya tujuan yang hendak dicapai.
Metode mengajar merupakan cara yang akan dipergunakan guru untuk mempermudah penyampaian materi pelajaran, mendorong minat belajar siswa dalam proses belajar kearah hasil yang optimal. Cara mengajar yang mempergunakan berbagai jenis metode dan dilakukan secara tepat akan memperbesar minat belajar siswa, dan pada gilirannya akan mempertinggi hasil belajar siswa.
Metode mengajar berkaitan erat dengan tujuan mengajar. Metode mengajar merupakan alat untuk mencapai tujuan mengajar. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan mengajar diperlukan metode mengajar yang tepat dan sesuai dengan bahan yang akan diajarkan.  Ketidakjelasan  perumusan tujuan yang akan dicapai akan mempengaruhi kesalahan pemilihan metode yang akan dipergunakan. Sebaliknya kejelasan dalam merumuskan tujuan mengajar merupakan syarat bagi pemilihan metode yang tepat. Oleh karena itu, dalam pemilihan metode mengajar guru hendaknya berpedoman kepada tujuan mengajar yang harus dicapai.
Tiap-tiap metode memiliki kelemahan dan kebaikan. Penggunaan metode ditangan satu guru belum tentu baik untuk guru lainnya. Karena kebaikan dan kelemahan setiap metode mengajar masih bersifat relatif. Untuk itu semua berpulang kepada masing-masing kemampuan guru  menggunakannya untuk mengusahakan dan mempertinggi efektifnya metode yang dipakai.
Tim Didaktik  Kurikulum IKIP Surabaya (1987:39) menyebutkan sedikitnya ada empat langkah dalam memilih  metode  mengajar yaitu  :
1.     Selalu berorientai pada tujuan
2.     Tidak hanya terikat pada satu alternatif saja
3.     Kerap dipergunakan satu kombinasi dari berbagai metode
4.     Juga kerap kali dipergunakan berganti-ganti dari satu metode ke metode lainnya.

Selanjutnya Soejono (1980:144) mengatakan : ”Metode yang tepat adalah metode yang sesuai dengan bahan pengajaran, sesuai dengan faktor dalam dan faktor luar, serta sesuai dengan tujuan mengajar”. Berdasarkan  beberapa pendapat tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa pemilihan metode mengajar perlu mempertimbangkan beberapa faktor, sebagai berikut: 1)Tujuan yang akan dicapai, 2)Bahan yang akan disampaikan, 3)Kondisi kelas dan lingkungan sekitarnya, 4)Waktu yang tersedia, 5)Kemampuan guru, 6)Sarana dan prasarana belajar
Berikut ini dikemukakan beberapa metode mengajar yang dapat dipergunakan guru mata pelajaran dalam mengajar PPKn. Menurut Sofyan Aman (1982;16) menyebutkan sebagai berikut :
a.     Metode tanya jawab
b.     Metode diskusi
c.     Metode karyawisata
d.     Metode inkuiri
e.     Metode pemecahan masalah
f.      Metode ceramah bervariasi
g.     Metode simulasi
h.     Metode permainan (game)
i.      Metode bermain peran (role playing)

Metode tanya jawab adalah suatu cara untuk menyajikan bahan pengajaran dalam bentuk pertanyaan dari guru yang harus dijawab oleh siswa atau sebaliknya pertanyaan dari siswa yang harus dijawab oleh guru baik secara lisan maupun secara tulisan.
Metode diskusi adalah metode penyajian bahan pelajaran dengan cara siswa membahas, bertukar pendapat mengenai suatu topik atau masalah tertentu, guna memperoleh suatu kesepakatan atau kesimpulan. Metode karyawisata adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dengan membawa siswa langsung kepada objek yang akan dipelajari di luar kelas. Metode Inquiri adalah suatu kegiatan atau penelaahan sesuatu dengan cara mencari kesimpulan, keyakinan tertentu melalui proses berpikir dan penalaran secara teratur, runtut dan bisa diterima oleh akal. Metode Pemecahan Masalah adalah cara penyajian yang menitik beratkan pemecahan suatu masalah secara rasional, logis. Metode Ceramah Bervariasi adalah suatu cara penyajian dengan melalui penuturan (penjelasan lisan) oleh guru kepada siswa disertai dengan bermacam-macam penggunaan metode pengajaran lain seperti tanya jawab, pembelian tugas, diskusi dan lain sebagainya. Metode Simulasi adalah suatu cara penyajian untuk memperoleh pemahaman akan hakikat suatu prinsip atau keterampilan tertentu melalui proses kegiatan atau pelatihan dalam siatuasi tiruan (tidak dengan sesungguhnya). Metode Permainan (game) adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana siswa melakukan permainan untuk memperoleh atau menemukan pengertian atau konsep tertentu. Metode Bermain Peran (role playing). Adalah salah satu bentuk permainan pendidikan (educational games) yang dipakai untuk menjelaskan perasaan, sikap, tingkah laku dan nilai, dengan tujuan untuk menghayati perasaan sudut pandang dan cara berpikir orang lain (membayangkan diri sendiri seperti dalam keadaan orang lain). Pemeranan itu dilakukan tanpa membawa naskah.
Dari kesembilan metode tersebut diatas, apabila dipergunakan guru dalam mengajar PPKn di sekolahnya maka dapat tercipta program belajar siswa aktif dan situasi belajar dan sekaligus sebagai pertanda perwujudan kemampuan guru menggunakan strategi pembelajaran.

d.     Kemampuan Melibatkan Siswa dalam Pembelajaran.
Kemampuan guru melibatkan siswa dalam pembelajaran sangat penting artinya dalam rangka mrncapai prestasi belajar yang di harpkan. Siswa yang merasa dirinya di libatkan dalam suatu kegiatan, merasa dirinya dihargai dan dihormati. Dalam kondisi demikian siswa mudah dipacu untuk meningkatakn kemampuan belajarnya. Rasa hormat dan rasa di hargai yang tertanam dalam diri siswa akan menimbulkan kepercayaan pada diri siswa. Timbulnya rasa kepercayaan pada diri seserang merupakan langkah utama untuk membuat siswa  berprestasi.
Keterlibatan serta keikutsertaan siswa dalam proses belajar mengajar akan merangsang siswa untuk dapat berbuat banyak baik untuk kemajuan dirinyan yang  berkenaan dengan pembinaan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari . dengan dem9kian secara taka di sadari telah terlatih mengunakan aspek pisikomotornya, yang pada akhirnya terampildalam berbuat dan bertindak baik untuk kepentingan bersama maupun untuk kepentingan dirinya sendiri, sikap terampil dan bertindak yang tertannan dalam diri siswa merupakan dasar untuk menciptakan sumber daya, manusia yang handal dan tangguh. Agar siswa merasa  terdorong untuk ikut serta dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu melakukan :         
1.     Pemberitahuan tujuan pengajaran yang akan di capai.
2.     Mengajak siswa untuk mengungkapkan pengalamannya.
3.     Mengundang siswa untuk bertanya.
4.     Memberikan penguatan seperti memberikan pujian, penghargaan dll. 

e.     Kemampuan Menguasai Materi Pelajaran
Barangkali tidak ada yang lebih penting bagi seseoang guru yang akan mengajar selain menguasai materi pelajaran yang akan di sampaikan. Kemampuan guru menguasai materi pelajaran, akan meningkatkan kereadibilitas seoranmg guru di mata murid-muridnya.
Guru adalah orang yang di tiru dan di puja . selain prilaku, sikap dan tindak tanduk seseorang guru yang harus di puji, kemampuan guru yang menguasai materi pelajaran yang akan di sampaikan juga harus manjadi pantauan. Siswa akan merasa banga, kagum dan hormat kepada guru yang dinilainya memiliki kemampuan lebih, terutama dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, sikap siswa yang telah tertanam rasa banga, kagum dan hormat pada gurunya, akan mudah di bina dan di bentuk sesuai dengan keinginan guru, terutama dalam hal peningkatan prestasi belajar. Kemampuan dan kelebihanyang di miliki seseorang akan sangat membantu guru dalam menegakan kewajibannya. Kewibawaan merupakan syarat mutlak yang harus di miliki seseorang guru yang baik.  Dengan model kewibawaan yang di milikinya, seseorang guru dapat berbuat apa saja yang positif terhadap murid-muridnya, ynag pada gilirannya denagn model kewibawaan guru dapat menguasai siswa, menguasai kelas dan sekolah. Kemampuan menguasai siswa, kelas dan sekolah merupakan syarat untuk dapat mencapai keamanan ketentraman, ketertiban, kebersihan, keindahan dan kekeluargaan di sekolah.
Agar sesdeorang guru dapat menuasai materi pelajaran, guru perlu membuat persiapan sebelum mengajar, baik persiapan tertuliw maupun persiapan mental. Guru yang memiliki persiapan yang matang tidak akan grogi dan atau salah tingkah manakala menyajian materi pelajaran. Guru yang memiliki persiapan yang matang, tidak akan kehabisan bahan atau materi pelajaran yang di sampaikan. Kekurangan bahan atau materi pelajaran merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan guru dalam mengajar. Kegagala mengajar akan menurun kewibawaan seseorang tidak dapat berbuat banyak. Bahkan guru yang demikian identik dengan guru yang tidak berhasil.
Kemampuan guru manguasai materi pelajaran tidak terlepas dari penguasaan metode mangajar. Kemampuan guru menguasai metode mangajar akan merangsang kemampuan  siswa  belajar serrta materi pelajaran yang di sampaikan akan mudah dicern adn di kuasai. Siswa yang apad gilirannya akan menciptakan prestasi belajar siswa. 
      
f.         Kemampuan Mengatur Waktu, Ruang dan Bahan Pengajaran.
Disamping di tuntut menguasai materi pelajaan, seseorang guru di tuntu pula mampu mengorganisasikan waktu, ruang, bahan dan fasilitas mengajar.
Pengorganisasian waktu atau alokasi waktu mangajar sangat perlu di perhatikan. Setiap bidang studi memiliki waktu yang sudah diatur sedemikian rupa dalam kurikulum sekolah. Seseorang guru di tuntut mampu membaca situasi dan mampu penempati waktu yang sudah di tetapkan.
Kekurangan atau kelebiham dari alokasi waktu yang sudah di tetapkan akan mengangu pelajaran bidang studi lain. Apa bila hal demikian berlangsung secvara terus menerus akan dapat menimbulkan kekacauan sekolah. Kekacauan dalam proses belajar mengajar akan berakibat gagalnya guru manguasai sekolah. Sekolah yang kacau tidak mungkin dapat mencapai prestasi belajar se[perti yang di harapkan.
Disamping waktu, guru juga harus dapat mangadakan pengaturan ruang yang tepat. Pengaturan ruang belajar yang keliru akan berpengaruh terhadap kemampuan belajar siswa. Siswa menjadi malas, mengantuk, lemah semangat dan malas beraktivitas yang pada akhirnya akan menurunkan prestasi belajar siswa.
Ruang belajar yang tidak menentang cahaya, tidak menghadap jalan raya, tidak lembab, tidak dekat atau ,mengeluarkan bau-bau yang tidak sedap dan tidak membuat siswa gaduh. Tidak semua sekolah yang memiliki gedung dan lokal belajar yang cocok sesuai dengan keinginan. Tatapi di sinilah letak di tuntut kemampuann sesorang guru, membuat pengaturan runag yang tepat, yang jelak menjadi baik, yang apik menjadi cerah, yang kusam manjadi sempurna.
Untuk dapat berbuat seperti yang di auraikan di atas, seseorang guru harus bertanam rasa memiliki sekolah yang tinggi dan rasa kecintaan yang dalam dan tulus iklas, bukan karena paksaan, tetapi lahir karena kesadaran dan kesungguh-sungguhan.
Disamping di tuntut mampu mengorganisasikan waktu dan runag seperti di sebutkan di atas, seseorang guru di tuntut mampu mengunakan sarana dan prasarana belajar akan membantu siswa memahami amteri palajaranyang di sampaikan. Dengn demikian siswa merasa terdoreong untuk terus belajar dan belajar. Kemampuan guru menciptakan fasilitas belajar akan membuat nilai tambah tersendiri bagi guru. Seskolah yang memiliki fasilitas belajar yang lengkapakan memacu prestasi belajar siswa.       
g.     Kemampuan  Melaksanakan  Evaluasi Belajar
“Evaluasi adalah suatu tindakan atau proses nilai untuk menentukan dari pada sesuatu”. (Wayan, 1986:6). Berkenaan denagn tiu (Reoijakers, 1980:36) menyebutkan :”Evaluasi adalah memberikan informasi tentang hasil belaja yang di berikan”. Selanjutnya (David, 1974:81) menegaskan : “Evalatioan is a continuous process of collecting and interprenting information in order to assess desicion made in designing a learning system”.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas, dapat di simpulkan evaluasi adalah suastu kegiatan yang di lakukan secara sengaja dan berencana untuk menentukan atau unutk memperoleh nilai dari suatu pelajaran atau objek tertentu.
Evaluasi belajar adalah sesuatu kegiatan yag di lakukan oleh guru secara berencana,bertahap dan berkesinambungan untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar siswa serta penguasaan materi pelajaran oleh siswa.
Tujuan evaluasi belajar menurut Depdikbut (1993:17) ; dalam Kurikulum (1994:3) adalah :    
1.     Untuk memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki program belajar mengajar dan  mengadakan  remedial program pada murid.
2.     Untuk menentukan kemajuan atau hasil belajar masing-masing murid yang  antara lain  diperlukan untk memberikan laporan kepada orang tua, menentukan kenaikan kelas dan menentukan lulus tidaknya murid.
3.     Untuk menempatan murid dalam situasi belajar –mengajar yang tepat sesuai dengan tingkat kemampuan murid.
4.     Untuk mengenal latar belakang (pisikologi, fisik dan lingkungan) murid  yang mengalami kesulitan belajar yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar dalam memecahkan kesulitan belajar.

Dalam mengetahui pengertian dan tujuan diadakannya evaluasi belajar, diharapkan guru dapat lebih mampu mengadakan evaluasi. Evaluasi belajar tidak dapat dilakukan asal suka saja, tetapi evaluasi mengajar harus memperhatikan :     
a.     Garis-garis besar program pengajaran. (GBPP)
b.     Sejauh mana materi palajaran yang telah di sampaikan.
c.     Waktu yang tepat untuk melaksanakan evaluasi.
d.     Tingkat keukaran materi evaluasi.
e.     Fasilitas belajar yang di perlukan.
f.      Prinsip-prinsip evaluasi dan sebagainya.

Kemampuan mangadakan evaluasi yang baik dan banar, akan menggugah semangat siswa untuk belajar secara optimal. Dengan pelaksanaan evaluasi yang tepat dan banar siswa bersaing/berkompotensi untuk memperoleh nilai yang tinggi. Dengan dmikian secara tidak disadari siswa dirangsang untuk belajar yang pada gfilirannya siswa dapat memperoleh prestasi belajar yang optimqal sesuai denagn yang di harapkan.
H.    Ciri-Ciri Berkemampuan Mengajar
Perkerjaan mendidik adalah suatu proses atau keahlian, oleh karena itu tidak semua orang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas mendidik. Hanya mereka yang disebut gurulah yang memporeleh kemampuan untuk melaksanakan tugas mengajar di lembaga pendidikan formal. Untuk dapat berkerja secara profesional diperlukan suatu sikap, yaitu sikap untuk mengembangmkan diri sebagai personal yang mampu mengintergrasikan dirinya dalam sesenap aspek kehidupan. Mengembang-kan profesipnalisme guru berarti meningkatkan kemampuan mengajar guru. Kemampuan mengajar guru merupakan suatu tuntutan yang mutlak tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam menyongsong era globalisasi  ini.
Berkenaan dengan kemampuan mengajar, Gagne (1985:134) menyebutkan sedikitnya sebelas langkah yang harus dilakukan guru dalam mengembangkan kemampuan mengajar yaitu :
1.     Memperhatikan integritas pribadinya.
2.     memahami konsep-konsep dasar keilmuan untuk berpikir ilmiah dan bersikap profesional.
3.     memahami murid dengan prilaku yang simpatik.
4.     memahami hakekat dan penyelengaraan pendidikan.
5.     memahami proses pengembangan kurikulum.
6.     menguasai bahan atau materi pelajaran.
7.     merancang proses belajar mengajar
8.     melaksanakan peranannya dalam bimbingan dan penyuluhan.
9.     menyelengarakan administarsi sekolah.
10.   memanfaatkan kondisi lingkungan sekolah muatan lokal demi kelangsungan proses belajar mengajar.
11.   mengadakan penelitian sederhana.

Pengembangan kemampuan mengajar guru seperti disebutkan di atas merupakan upaya manusia yang berdaya dan berhasil guna, yang pada giliranya akan mampu meciptakan kesiapan belajar siswa yang diharapkan.
Kriteria suatu jabatan dapat disebut profesi termasuk jabatan guru apabila memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a.     Perkerjaan itu merupakan panggilan hidup.
b.     Memerlukan pengetahuian dan kecakapan tertentu atau keahlian khusus untuk melaksanakannya.
c.     Perkerjaan itu harus baku bersifat universal, didasari teori-teori, prinsip prosedur dan anggpan dasar yang baku pula.
d.     Merupakan bidang atau wadah tempat pengabdian.
e.     Memerlukan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif.
f.      Bersifat otonomi.
g.     Memiliki norma dan kaidah tertentu.
h.     Bertujuan memberikan pelayanan dengan objek yang jelas.
I.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Mengajar Guru.
Untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan melalui prestasi belajar siswa, harus didahului dengan meningkatkan kualitas dan kemampuan dan mengajara guru. Kemampuan mengajar guru di pengaruhi oleh beberapa faktor.  Faktor-faktor tersebut sangat menentukan kualitas mengajar guru secara profesional. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas dan kemampuan mengajar guru tersebut menurut Hamid (2004) meliputi: a)tersedianya sarana dan prasaran pendidikan, b)pengaskuan terhadap individu guru yang sama denagn individu (guru) lainnya, c)kondisi iklim yang dikembangkan mendorong pengembangan sikap dan tangung jawab, d)sikap dan etika kerja serta motivasi kepercayaan unutk melaksanakan perkerjaan dan kekempatan untuk menegmbangkan diri, e)keamanankerja yang memungkinkan perkerjaannya dengan rasa penuh tangung jawab, f)tempat kerja yang mendukung penghasilan/dan atau insentif yang memadai dan lain-lain.
Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, menurut Suharsimi Arikunto, (1980:227) ada babarapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap kualitas guru sebagai pengelola peroses pembelajaran, yaitu:”(a).pandangan terhadap profesi guru. (b) sikap terhadap ugas-tugas keguruan, dan (c) kemampuan umum yang di miliki guru yang merupakan daya dukung untuk melaksanakan tugas-tugas keguruan.”
Terwujudnya beberapa faktor seperti diuraikan di atas, akan menciptakan produktivitas kerja guru dan kemampuan mengajar guru yang handal, yang apda gilirannya diharapkan mampu melahirkan siswa-siswa yang berprestasi belajar yang tinggi.
Guru yang memiliki banyak daya  dukung dapat dikatakan sebagai guru yang memilki kualitas tinggi. Selanjutnya dengan didasarkan atas kualitasnya itu guru diharapakan akan sangup mamainkan peranan penting, yang menciptakan proses pembelajaran yang berkualitas tinggi agar tercapai  prestasi belajar yang tinggi pula. Untuk menciptakan guru yang prefosional atau kemampuan mengajar guru yang optimal diperlukan pembinaan yang berlangsung secara terus menerus. perbaikan kemampuan mengajar guru yang profesional dan berkualitas harus melalui kegiatan penataran, job trainding, in serviese training, pelatihan seminar-seminar, lokakarya dan sebagainya.


J.     Kesiapan  Belajar Siswa.
a.  Kesiapan Belajar dan Prestasi Belajar 
Menurut Winkel (1984:164) “Kesiapan belajar dan Perstasi belajar adalah bukti yang dapat dicapai“. Menurut (Tim Bakti guru, Yogyakarta, 1989:17), belajar adalah perubahan tingkah laku yang dapat dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan, penilaian tentang pengetahuan, sikap, dan keterampilan”. Berkenaan dengan itu Depdikbud (1985:2) menyebutkan bahwa “Belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada diri individu yang sedang belajar baik potensi maupun aktualnya”.
Berkaitan dengan uraian di atas, Hadari Nawawi (1976:25)” menyebutkan “Kesiapan belajar menyangkut prestasi belajar. Prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor, yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu”.
Bertolak dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa kesiapan belajar adalah sebagai bukti keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengalami proses belajar. Bukti belajar tersebut baru dapat diperoleh bila mana siswa telah mengikuti ujian atau tes tertentu. Tinggi rendahnya prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh kesiapan belajar. Prestasi belajar akan diketahui melalui test. Semakin tinggi nilai yang diperoleh siswa semakin tinggi pula presentasi belajarnya.
b.     Faktor-Fator Yang Mempengaruhi Kesiapan Belajar.
Bimo Walgito (1983:124) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan/prestasi belajar siswa adalah : “a)fktor anak atau individu yang belajar, b)faktor lingkungan tempat tinggal anak dan,c)faktor bahan atau materi yang dipelajari. Faktor individu anak yang belajar dipengaruhi oleh faktor fisik dan psikis. Kondisi fisik dan psikis anak yang baik akan memungkinkan mereka belajar secara optimal.
a.     Faktor Fisik; Faktor fisik anak yang belajar berpengaruh terhadap pencapaian prestasi belajar siswa. Seseorang siswa yang sehat fisiknya akan dapat mengembangkan kemampuan belajarnya dibandingkan dengan seorang, siswa yang tidak sehat fisiknya. Untuk itu untuk menjaga kesehatan badan, siswa perlu kesadaran untuk dapat berolah raga secara teratur, makan makanan yang bergigizi, teratur istrahat, teratur berkerja dan selalu berpikir positif. oleh karena itu guru sebagai pendidik hendaknya dapat menanamkan cara-cara disiplin dan teratur sejak dini.
b.     Faktor Psikis;  Faktor fisikis berhubungan dengan rohniah dan kejiwaan. Faktor pisikis berkaitan dengan denagn motif, perhatian intelegensinya, daya ingat, rasa aman dan sebagainya . kendatupunseseorang siswa memiliki fisik yang kuat tetapi fisikisnya lemah, maka cendrung seseorang siswa sulit mencapai prestasi yang baik. Oleh sebab itu untuk dapat berprestasi belajar yang tinggi, baik pisik maupun pisikis dua-duanya harus sejalan, serasi dans seimbang.
c.     Faktor Lingkungan Tempat Tinggal; Disamping faktor individual yang belajar meliputi faktor fisik dan psikis, masalah tempat tinggal/lingkungan juga berpengaruh terhadap keberhasilan belajar siswa, tempat tinngal yang aman dan nyaman akan sangat mendukung kegairahan belajar. Kegairahan belajar yang berlangsung secara terus menerus akan berpengaruh positif terhadap kondisi kesiapan belajar seseorang, termasuk faktor fisik dan fisikis yang pada akhirnya akan menciptakan kesiapan belajar yang mantap dan pestasi belajar yang gemilang.

c.     Faktor Bahan/Materi Pelajaran
Disamping faktor individu yang belajar dan faktor lengkungan tempat tinggal. Faktor materi pelajaran yang terlampau sukar akan mambuat siswa malas belajar dan malas berusaha. Jika kondisi demikian berlangsung secara terus menerus akan berakibat fartal, tidak saja merugikan dirinya sendiri, tetapi juga akan sangat merugikan sekolah dan target pencapaian hasil belajar.
Sedangkan materi pelajaran yang terlampau mudah akan mengundang siswa mengangap gampan, malas belajar dan tidak berinisiatif. Jika kondisi demikian berlangsung terus menerus akan sangat merugikan dirinya sendiri dan pencapaian tujuan sekolah. Oleh sebab itu seorang guru dituntut mampu memantau situasi dan kondisi belajar siswa, baik dalam evaluasi belajar harian maupun evaluasi belajar formatif dan sumatif.
Kemampuan adalah kepemilikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dituntut dari seseorang guru dalam melaksanakan tugas mengajar, Nana Sudjana (1989:36) menyebutkan kemampuan yang dituntut dari seseorang guru dalam melaksanakan tugas mengajar  : 
1.     Mampu manjabarkan bahan pengajaran dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan problematis untuk di diskusikan dengan siswa, dalam bentuk skenario untuk di simulasikan dan atau diadministrasikan melalui probelm solving, dalam bentuk konsep dan prinsip untuk di aplikasikan oleh para siswa dan alain-lain.
2.     Mampu merumuskan Tujuan Intruksional kognitif tingkat tinggi seperti analisis, sistensis, evaluasi, sekurang-kurangnya aplikasi.
3.     Menguasai cara-cara belajar yang efektif seperti cara belajar mandiri, cara belajar kelompok atau bersama, cara mempelajari buku, cara bertanya atau mengajukan pertanyaan, cara mengemukakan pendapat.
4.     Memiliki sikap yang positif terhadap tugas profesionalnya, mata pelajaran yang diasuhnya, sehingga selalu berupaya meningkatkan kemampuan melaksanakan tugasnya sebagai guru;
a.     Terampil dalam membuat alat peraga pengajaran sederhana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan mata pelajaran yang diasuhnya, serta penggunaannya dalam proses pengajaran.
b.     Terampil menggunakan metode-metode mengajar yang mendorong CBSA seperti metode pemberian tugas, metode diskusi dan metode demonstrasi, metode eksprimen, metode pemecahan masalah, dan lain-lain.
c.     Terampil menggunakan model mengajar yang menumbuhkan CBSA sehinga di peroleh hasil belajar yang optimal.
d.     Terampil dalam melakukan intraksi dengan para siswa dengan mempertimbangkan tujuan dan bahan pengajaran, kondisi siswa, suasana elajar, jumlah siswa, waktu yang tersedia, dengan faktor yang berkembang dengan diri guru sendiri.
e.     Memahami sifat dan karateristik siswa, terutama kemampuan belajarnya, cara dan kebiasaan belajar, minat terhadap mata pelajaran, motivasi untuk belajar, dan hasil-hasil belajar yang dicapainya.
f.      Terampil menggunakan sumber-sumber belajar yang ada sebagai bahan ataupun media belajar para siswa dalam proses belajar mengajar.
g.     Terampil mengelola kelas atau memimpin siswa belajar.
Dengan mewujudkan kemampaun mengajar tersebut, seorang guru diharapkan dapat menanamkan kesiapan belajar  siswa terhadap pelajaran yang disampaikan serta mudah diserap oleh siswa, sehingga dapat memperoleh prestasi belajar yang diharapkan.
Sebaliknya, kemampuan mengajar guru yang rendah akan berakibat timbulnya sikap apatis, bosan, bahkan benci dari para siswa yang menerimanya sehingga akhirnya akan menciptakan  hasil belajar yang rendah pula.
                                   
L.     DAFTAR  PUSTAKA
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Darmadi Hamid (1999;2003) Profesi Kependidikan Pontianak : STKIP PGRI
Depdikbud (1985), Pedoman Proses Belajar Mengajar, Jakarta.
------------, (1984) Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Sekolah Pengembangan Sekolah Sebagai Masyarakat Belajar dan Peningkatan Ketahanan Sekolah. Jakarta : Direktorat SLTP
Dahrin, D.2000.Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas,Forum Rektor Indonesia.Vol.1 Hlm 24.
Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Nawawi Hadari, (1986) Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press
-------------, (1976), Azas-azas Didaktik Dalam Mengajar Tentang Teknik  Evaluasi Pendidikan, Pontianak : FIP-UNTAN.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70
Nurkancana, Wayan dan Sumartana, P.P.N (1986), Evaluasi Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/ PTRFWEB/ journal1040.html, diakses 7 Juni 2001)
Robert, Gagne, (1979) Principle of Intructional Design Second Edition, Florida State University.
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Soedjono Agus (1984) Didaktik Metodik Umum  Bandung : Bina Karya
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sudjana, Nana, (1989), CBSA Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung : Sinar Baru.
Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
Tim Kurikulum (1987) Tim Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya . Jakarta : CV Raja Wali
Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or "We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What"? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.
Walgito Bimo, (1983) Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta : Yayasan Penelitian  Fakultas Psikologi UGM.
Winkel WS, (1984), Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta : Gramedia.


BAB II
PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN

A.     Peran Guru dalam Proses Pembelajaran 
Sesungguhnya amat banyak peran guru dalam implementasi KBK di sekolah. Diantara peran yang amat banyak tersebut Zevin  (Swarma (1999:8) menyebutkan tiga peran utama guru yaitu  : 1)guru sebagai didaktik (didactic roles), berfungsi sebagai sumber pengetahuan, 2)guru sebagai reflektif (reflective roles) berfungsi sebagai pengembang konsep, dan 3)guru sebagai afektif (affective roles) berfungsi sebagai pengembang  keterampilan siswa
Soetrisno (2000:43) menambahkan peran guru dalam pembelajaran ada tiga bagian utama yaitu ; 1)guru sebagai guru, 2)guru sebagai Kepala Sekolah dan 3)guru sebagai pengawas. Bertalian dengan peran guru tersebut, Depdiknas (2001) menyebutkan  paling sedikit tujuh peran guru  dalam pembelajaran yaitu  :

1. Peran Guru sebagai guru
Guru sebagai guru yaitu setiap orang yang dengan sengaja memepengaruhi orang lain  untuk mencapai kedewasaannya. Guru dalam hal ini difokuskan pada pengertian  guru secara formal yaitu guru di sekolah. Guru hingga saat ini memiliki kelemahan yang sangat menghambat kemajuan kualitas pendidikan yaitu; 1)Rendahnya kesadaran dalam melaksanakan tugas, 2)Rendahnya disiplin secara menyeluruh, contohnya disiplin waktu dan disiplin dalam mencapai target dan 3)Rendahnya kualitas pelaksanaan tugas pokok dalam proses belajar mengajar.

2. Peran Guru Sebagai  Pengajar
Guru sebagai pengajar paling sedikit harus menguasai  dan mempraktekan secara terampil kemampuan dalam menjalan tugas pokoknya yaitu : 1)Merumuskan tujuan instruksional khusus, 2)Menentukan dan menguasai materi pelajaran, 3)Menentukan metode mengajar, 4)Mengadakan evalusi, 5)Kemampuan menganalisis butir soal dan hasil evaluasi serta 6)kemampuan mengadakan perbaikan dan pengayaan.

3. Peran Guru Sebagai Pendidik
Guru sebagai pengajar dan berperan mengantarkan siswa menjadi manusia dewasa yang cerdas dan berbudi luhur atau manusia yang secara kognitif, afektif dan psikomotorik  berkembang secara seimbang. Oleh karena itu sebagai pendidik guru memiliki kualitas kepribadian prima dan matang, mampu membentuk kebiasaan-kebiasaan siswa yang positif, memiliki keterampilan membangkitkan minat siswa, kreatif, inovatif, dan berpikir secara antisipatif proaktif, yaitu secara terus menerus melakukan pembaharuan terhadap ilmu yang dimilikinya (life long education)


4. Peran Guru Sebagai Pemimpin Kelas
Sebagai pemimpin, guru bertanggungjawab atas situasi dan kondisi proses kegiatan belajar mengajar di kelas/sekolah. Oleh karena itu apa yang terjadi pada diri siswa selama  berlangsungnya proses kegiatan belajar mengajar di sekolah harus diketahui dan menjadi tanggung jawab guru. Oleh karena itu adalah tidak dibenarkan apabila siswa berkeliaran di luar kelas/sekolah ketika belangsungnya kegiatan belajar mengajar.

5. Peran Guru Sebagai Pemimpin/Kepala Sekolah
Baik buruknya kondisi suatu sekolah banyak ditentukan oleh kemampuan profesional Kepala Sekolah sebagai manajernya. Oleh karena itu seorang Kepala Sekolah paling sedikit harus menguasai  empat  kemampuan dasar Kepala Sekolah (Soetrisno 2000:46)  yaitu kemampuan : 1)Menyusun program kegiatan sekolah, 2)Menetapkan prosedur mekanisme kerja, 3)Melaksanakan monitoring, evaluasi, supervisi dan membuat laporan kegiatan sekolah, 4)Meningkatkan dan memantapkan disiplin guru dan siswa.
Guru sebagai Kepala sekolah paling sedikit harus mampu melaksanakan tujuh butir kegiatan kepemimpinan pendidikan yaitu :
1)     Mengadakan prediksi
2)     Melakukan inovasi
3)     Menciptakan strategi
4)     Menyusun perencanaan
5)     Menemukan sumber-sumber pendidikan
6)     Menyediakan falitas pendidikan
7)     Melakukan pengendalian atau kontrol (Soetrisno 2000:46)

6. Peran Guru Sebagai Pengawas Sekolah
Guru sebagai pengawas dalam pendidikan memiliki fungsi kontrol dan pembinaan  terhadap keberhasilan pendidikan. Peran pengawas amat menentukan terhadap pencapaian target kurikulum. Untuk itu seorang pengawas yang ideal harus mempunyai minimal empat  kemampuan mengawasi yaitu : 1)Membuat rencana kerja yang bersifat rasional, 2)Memonitor kerja guru dan Kepala Sekolah serta hasilnya, 3)Mengorganisir pertemuan-pertemuan Kepala Sekolah, 4)Bersama dengan Kepala Sekolah mengorganisir pertemuan guru.
Idealnya Pengawas diangkat dari Kepala Sekolah yang prestasi kerja tinggi, dan tidak hanya di dasarkan atas faktor  usia dan masa kerja saja seperti yang banyak terjadi selama ini. Hingga saat ini sebagian besar Pengawas  Sekolah  diangkat berdasarakan faktor usia dan masa kerja, sehingga mereka belum dapat melaksanakan tugas  secara optimal. Oleh karena itu untuk kemajuan pendidikan Soetrisno (2000:47) mengusulkan agar : 1)Pengawas diangkat dari orang yang profesinya di bidang pendidikan yaitu dari Kepala Sekolah yang berprestasi, 2)Pengawas berkantor di sekolah-sekolah yang ada di wilayah kerjanya, 3)Pengawas harus selalu mengadakan evalusi terhadap proses pendidikan  di sekolah-sekolah di wilayahnya dan melakukan tindak lanjut, 4)pengawas harus mampu bertindak secara tegas dan berani mengambil resiko.

7.   Peran Guru Sebagai Pengembang Model Pembelajaran 
Agar pembelajaran dapat terarah pada sasaran yang diharapkan, diperlukan kemampuan guru sebagai pengembang model pembelajaran. Pengembangan model pembelajaran menurut Davies (1987) Arikunto (1986)  dapat diformulasikan  berikut ini  :

     PENGUMPULAN               PERENCANAAN            MENGORGANI              PELAKSANAAN
     BAHAN AJAR                      KBM                              SASIKAN                       KBM
 
















                                                              EVALUASI/
                                                           PENGAWASAN
                                                                       











                                                               MENILAI
                                                               KBM






                                                    OUTPUT SEKOLAH :
         PERBAIKAN                        MUTU PENDIDIKAN
         STRATEGI KBMK                 (NEM/NUAN)
                                  


Sumber : Davies (1986) Suharsimi Arikunto (1987)

B. Peran Guru dalam Manajemen Sekolah

Depdiknas (2001) mengindikasikan ada empat belas langkah peran guru dalam memanajemen sekolah yaitu : 1)menciptakan proses kegiatan belajar mengajar yang efektif, 2) Menciptakan Kepemimpinan Sekolah Yang Kuat, 3)Menciptakan Lingkungan Sekolah Yang Aman dan Tertib, 4)Mengelola Tenaga Kependididikan Sekolah Yang Efektif, 5) Memiliki Budaya Meningkatkan Mutu, 6)Memiliki Teawork Yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis, 7)Memiliki Kewenangan, 8)Menciptakan Partisipasi Yang Tingggi Dari Warga Sekolah dan Masyarakat, 9) Memiliki Keterbukaan Manajemen, 10)Memiliki Kemauan Untuk Berubah dan Berkembang, 11)Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan/inovatif, 12)Memiliki Responsif dan Antisipatif Terhadap Kebutuhan Sekolah, 13)Menciptakan Komunikasi Yang Baik, 14)Memiliki akuntabilitas.

1.   Langkah-Langkah Manajemen Sekolah

Depdiknas (2001) mengindikasikan empat belas langkah kepemimpinan  Kepala Sekolah. Keempat belas langkah kepemimpinan  Kepala Sekolah tersebut  dapat dideskripsi kasebagai berikut :
a.  Menciptakan Proses Kegiatan Belajar Mengajar Yang Efektif.
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki efektitivitas proses kegiatan belajar mengajar yang tinggi. Hal ini  ditunjukan oleh sifat proses belajar mengajar  yang menekankan pada pemberdayaan (empowerment) peserta didik. Proses belajar mengajar (PBM) tidak hanya sekedar menekankan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan  sehingga tertanam dan berfungsi  sebagai muatan hati nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik  (pathos). Proses belajar menagjar yang efektif juga lebih menekankan  pada belajar mengetahui (learning to know) belajar bekerja (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be) belajar hidup bersama dengan orang lain (learning to live together).
b.  Menciptakan Kepemimpinan Sekolah Yang Kuat.
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah, Kepala Sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan segala sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan Kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah yang ingin dicapai sekolah melalui program-program yang  dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh kerana itu  Kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif serta prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Kepala sekolah yang tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia untuk mencapai tujuan sekolah.
c.   Menciptakan Lingkungan Sekolah Yang Aman dan Tertib.
Sekolah memiki lingkungan (iklim) belajar yang amana, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning) . Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang  aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan Kepala Sekolah sangat penting sekali melindungi dan mengayomi agar semua warga sekolah merasa aman dan nyaman bekerja.

d.   Mengelola Tenaga Kependididikan Sekolah Yang Efektif.
 Tenaga kependidikan terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah.  Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah menyadari tentang hal ini.  Oleh karena itu pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang Kepala Sekolah. Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan manajemen berbasis sekolah adalah tenaga kependidikan yang mempunyai  komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
e.  Memiliki Budaya Meningkatkan Mutu. 
Budaya mutu harus tertanam dihati sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh  profesionalisme. Budaya  mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili atau mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti dengan penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk bekerjasama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairnes)  harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah harus merasa memiliki sekolah.
f.  Memiliki Teamwork Yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis.
 Kebersamaan (teamwork)  merupakan karakteristik yang dituntut oleh manajemen berbasis sekolah, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individu. Karena itu budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari  warga sekolah.
g.  Memiliki Kewenangan.
Sekolah memeiliki kewenangan untuk melalukan yang terbaik bagi sekolah, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan diri pada atasan. Untuk menjadi mandiri,sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
h.  Menciptakan Partisipasi Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah  dan masyarakat merupakan  bagian dari kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki, makin rasa memiliki, makain besar pula rasa tanggungjawab, dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.


i.   Memiliki Keterbukaan Manajemen.
Keterbukaan/tranparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan  dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
j.  Memiliki Kemauan Untuk Berubah dan Berkembang
Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan  bagi semua warga sekolah. Yang dimaksud dengan perubahan disini adalah peningkatan, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat psikologis. Artinya setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
k.  Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan  hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar disekolah.  Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting  dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus. Perbaikan secara terus-menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sitem mutu yang baku sebagai  acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.
l.   Memiliki Responsif dan Antisipatif Terhadap Kebutuhan Sekolah
 Sekolah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi  hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif. 
m.  Menciptakan Komunikasi Yang Baik
Sekolah yang menerapkan manajemen berbasis sekolah dan sekolah yang efektif memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah dan juga antar sekolah dan masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan  oleh masing-masing warga sekolah  dapat diketahui. Dengan cara ini  maka leterpaduan semua warga sekolah  dapat diupayakan  untuk mencapai tujuan  dan sasaran sekolah yang telah ditetapkan. Selain itu komunikasi yang baik  juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.
n.  Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggunganjaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan  program yang telah dilaksanakan. Akontabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada Pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan  laporan hasil program ini, Pemerintah dapat menilai apakah program manajemen berbasis sekolah telah mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil maka Pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya dimasa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka Pemerintah perlu  memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerja yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah  secara keseluruhan. Jika berhasil maka orang tua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk  peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil maka orangtua siswa dan masyarakat  berhak minta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program manajemen berbasis sekolah yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun berikutnya.

2.  Aspek-Aspek dalam Memanajemen Sekolah
Depdiknas (2002:21) mengusulkan sembilan aspek manajemen sekolah yang perlu dilakuan oleh Kepala Sekolah KBK yaitu:  (1)Membuat Perencanaan dan Evaluasi Program Sekolah, (2)Melakukan Pengelolaan Kurikulum, (3)Melakukan Pengelolaan Proses Belajar Mengajar, (4)Melakukan Pengelolaan Ketenagaan,  (5)Melakukan Pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6)Melakukan Pengelolaan Keuangan, (7)Melakukan Pelayanan Siswa, (8)Melakukan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat, dan (9) Melakukan Pengelolaan Iklim Sekolah.

 a.  Membuat Perencanaan dan Evaluasi Program Sekolah
Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannnya  (School Based Plan).   Kebutuhan yang dimaksud  misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah diberi wewenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk membantu proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program yang telah dilaksanakan.  Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evalusi ini harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkapkan informasi yang sebenarnya.

b.  Mengelola Kurikulum Sekolah
Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum standar  yang berlaku secara nasional. Pada hal kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu  dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi) namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal. Depdiknas  (1992:32) mengatakan bahwa :”Sekolah dapat menambah kurikulum yang telah ditetapkan secara nasional. Dasar penambahan ini diatur dalam pasal 38 UU No.2 tahun 1989. Kurikulum dapat ditambah oleh sekolah dengan mata pelajaran yang sesuai dengan kondisi lingkungan serta ciri khas  satuan pendidikan  yang bersangkutan. Semua tambahan tersebut tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional  dan tidak boleh menyimpang dari jiwa  dan tujuan pendidikan nasional”.
c.  Mengelola Proses Kegiatan Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar merupakan bagian utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumberdaya yang tersedia di sekolah. Secara umum strategi, metode, teknik pembelajaran dan pengajaran yang berpusat pada siswa (studen Centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa.
d.  Mengelola Ketenagaan Sekolah
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, rekrutmen, pengembangan, hadiah dan sanksi (reward and punisment) hubungan kerja,, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru,tenaga administrasi, laboran, dsb) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa dan rekrutmen pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi diatasnya.
e.  Mengelola Fasilitas Sekolah.
Pengelolaan fasilitas sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hinghga sampai pengembangan.  Hal ini di dasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan falitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutahirannya  terutama fasilitas yang sangat erat kaitannnta  secara langsung dengan proses belajar mengajar.
f.   Mengelola Keuangan Sekolah
Pengelolaan keuangan terutama pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah . Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/ penggunaan uang sekolah sudah seharusnya dilimpahkan kepada  sekolah.Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan (Income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung kepada Pemerintah.
g.  Melayani  Keperluan Siswa
Pelayanan siswa mulai dari peneriomaan siswa baru, pengembangan/ pembinaan, bimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada pengurus alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesntralisasikan. Karena itu yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.
h.  Menjalin Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat adalah untuk meningkatkan  keterlibatan, kepedulian, dan dukungan dari  dari masyarakat terutama dukungan moral dan finasial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah dengan masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi yang dibutuhkan adalah peningkatan  intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah dengan masyarakat.
i.   Mengelola  Iklim Sekolah
Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasayarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimesme dan harapan/ ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa  (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang  dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya yang lebih intensif dan ekstentif.
Semoga akselerasi  pertumbuhan peran guru mampu berkiprah membawa anak bangsa negeri ini keluar dari krisis multidimensional dan siap hidup dalam era global dengan tetap thing globally act locally dalam bingkai Negara Kesatauan Repulik Indonesia.      

C.  DAFTAR  PUSTAKA
Arikunto Suharsimi (1980) Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi,Yogyakarta  FIP-IKIP.
Depdikbud (1985), Pedoman Proses Belajar Mengajar, Jakarta.
Davis, Ivan K. (1976), Instruction Lekmequi,  New York : Mc Grow-Hill Book Company.
Nurkancana, Wayan dan Sumartana, P.P.N (1986), Evaluasi Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Tim Kurikulum (1987) Tim Didaktik Metodik IKIP Surabaya . Jakarta : CV Raja Wali
Robert, Gagne, (1979) Principle of Intructional Design Second Edition, Florida State University.
Sudjana, Nana, (1989), CBSA Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung : Sinar Baru.
Soedjono Agus (1984) Didaktik Metodik Umum  Bandung : Bina Karya
Walgito Bimo, (1983) Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta : Yayasan Penelitian  Fakultas Psikologi UGM.
Winkel WS, (1984), Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, Jakarta : Gramedia.


BAB III
KINERJA GURU

A. Kinerja Guru dan LPTK
Guru adalah kondisi yang diposisikan sebagai garda terdepan dan posisi sentral di dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Berkaitan dengan itu, maka guru akan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, terutama yang berkaitan dengan kinerja dan totalitas dedikasi dan loyalitas pengabdian guru.
Sorotan tersebut lebih bermuara kepada ketidakmampuan guru didalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga bermuara kepada menurunnya mutu pendidikan. Kalaupun sorotan itu lebih mengarah kepada sisi-sisi kelemahan pada guru, hal itu tidak sepenuhnya dibebankan kepada guru, dan mungkin ada system yang berlaku, baik sengaja ataupun tidak akan berpengaruh terhadap permasalahan tadi.
Banyak hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru akan berdampak kepada pendidikan bermutu. Kita melihat sisi lemah dari system pendidikan nasional kita, dengan gonta ganti kurikulum pendidikan, maka secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri. Sehingga perubahan kurikulum dapat menjadi beban psikologis bagi guru, dan mungkin juga akan dapat membuat guru frustasi akibat perubahan tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal, dan tidak demikian halnya guru professional.
Selain itu, kinerja guru juga sangat ditentukan oleh output atau keluaran dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), sebagai institusi penghasil tenaga guru, LPTK juga memiliki tanggungjawab dalam menciptakan guru berkualitas, dan tentunya suatu ketika berdampak kepada pembentukan SDM berkualitas pula. Oleh sebab itu LPTK juga memiliki andil besar di dalam mempersiapkan guru seperti yang disebutkan diatas, berkualitas, berwawasan serta mampu membentuk SDM mandiri, cerdas, bertanggungjawab dan berkepribadian.
Harapan ke depan, terbentuk sinergi baru dalam lingkungan persekolahan, dan perlu menjadi perhatian adalah terjalinnnya kinerja yang efektif dan efisien disetiap struktur yang ada dipersekolahan. Kinerja terbentuk bilamana masing-masing struktur memiliki tanggungjawab dan memahami akan tugas dan kewajiban masing-masing.
Era reformasi dan desentralisasi pendidikan menyebabkan orang bebas melakukan kritik, titik lemah pendidikan akan menjadi bahan dan sasaran empuk bagi para kritikus, adakalanya kritik yang diberikan dapat menjadi sitawar sidingin di dalam memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan pula akan dapat membuat merah telinga guru sebagai akibat dari kritik yang diberikan, hal ini dapat memberikan dampak terhadap kinerja guru yang bersangkutan.
Apapun kritik yang diberikan, apakah bernilai positif atau negative kiranya akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi kenerja guru. Guru yang baik tidak akan pernah putus asa, dan menjadi kritikan sebagai pemicu baginya di dalam melakukan perbaikan dan pembenahan diri di masa yang akan datang. Kritik terhadap kinerja guru perlu dilakukan, tanpa itu bagaimana guru mengetahui kinerja yang sudah dilakukannya selama ini, dengan demikian akan menjadi bahan renungan bagi guru untuk perbaikan lebihlanjut.
Indikator suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat sumber daya manusianya, dan indicator sumber daya manusia ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakatnya. Semakin tinggi sumber daya manusianya, maka semakin baik tingkat pendidikannya, dan demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu indicator tersebut sangat ditentukan oleh kinerja guru.
Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukan kinerja maksimal di dalam menjalan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, tentunya secara akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro.
Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggungjawabnya menjalankan amanah, profesi yang diembannya, rasa tanggungjawab moral dipundaknya. Semua itu akan terlihat kepada kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas. Sikap ini akan dibarengi pula dengan rasa tanggungjawabnya mempersiapkan segala perlengkapan pengajaran sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Selain itu, guru juga sudah mempertimbangkan akan metodologi yang akan digunakan, termasuk alat media pendidikan yang akan dipakai, serta alat penilaian apa yang digunakan di dalam pelaksanaan evaluasi.
Kinerja guru dari hari kehari, minggu ke minggu dan tahun ke tahun terus ditingkatkan. Guru punya komitmen untuk terus dan terus belajar, tanpa itu maka guru akan kerdil dalam ilmu pengetahuan, akan tetap tertinggal akan akselerasi zaman yang semakin tidak menentu. Apalagi pada kondisi kini kita dihadapkan pada era global, semua serba cepat, serba dinamis, dan serba kompetitif.
Kinerja guru akan menjadi optimal, bilamana diintegrasikan dengan komponen persekolahan, apakah itu kepala sekolah, guru, karyawan maupun anak didik. Kinerja guru akan bermakna bila dibarengi dengan nawaitu yang bersih dan ikhlas, serta selalu menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, dan berupaya untuk dapat meningkatkan atas kekurangan tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kearah yang lebih baik. Kinerja yang dilakukan hari ini akan lebih baik dari kinerja hari kemarin, dan tentunya kinerja masa depan lebih baik dari kinerja hari ini. Semoga.

B.    Paradigma Baru Kode Etik Profesi Guru 
JAKARTA - Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bekerjasama dengan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB-PGRI) tengah menyusun kode etik profesi guru, yang dinilai ketinggalan oleh profesi-profesi lain, seperti kode etik dokter, kode etik advokat dan kode etik profesi lainnya, menyusul kebijakan pemerintah yang menyatakan guru sebagai sebuah profesi.
"Saat ini Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) bekerjasama dengan PB-PGRI dan kalangan akademisi dan praktisi lainnya telah menyiapkan draftnya dan dalam waktu dekat ini segera dibahas. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini akan sudah disetujui," jelas Direktur Tenaga Kependidikan Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Soewondo usai mengikuti upacara peringatan HUT PGRI, Kamis (25/11). Dia mengharapkan pada tahun 2005 sudah selesai. Kita telah mengusulkan kepada pak menteri pendidikan nasional supaya menjadi ketetapan menteri (mendiknas-red). Dengan begitu, nantinya posisi guru akan semakin kuat.
Berkaitan dengan kebijakan guru sebagai profesi, saat ini pihaknya telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Guru (RUU Guru). "RUU Guru yang kita persiapkan sudah memperoleh izin prakarsa presiden, sehingga kita harapkan dalam rangka menjadikan guru sebagai profesi UU guru akan selesai," tambah Soewondo. Direktur Tenaga Keguruan itu juga mengemukakan, selain pihaknya telah menyiapkan kode etik guru dan undang-undang guru, tengah disiapkan juga program-program yang lain yang berkaitan dengan kesejahteraan guru, perlindungan hukum dan sebagainya.
"Jadi, nantinya guru benar-benar lebih sejahtera sesuai harapan semua kita," jelasnya. Ketua Umum PB-PGRI Prof.Dr.Muhammad Surya mengemukakan, PGRI sudah melakukan pendekatan ke Depdiknas dan DPR agar selambat-lambatnya tahun 2005 sudah lahir undang-undang guru (UU Guru) karena proses penerbitan RUU Guru telah mencapai tahapan amanat presiden (ampres). "Guru di satu sisi mengemban tugas menegakan pendidikan nasional di negara kesatuan RI, tetapi di sisi lain profesi guru belum ditempatkan secara layak dalam masyarakat khususnya terkait dengan mutu dan kesejahteraan guru. Kesejahteraan guru hingga kini belum memadai padahal guru perlu masa depan," kata Surya.
Surya menjelaskan, profesi guru di Indonesia tengah menghadapi sejumlah persoalan yang mendesak untuk diselesaikan terkait dengan belum memadainya jumlah guru, mutu guru yang masih rendah, distribusi guru antar daerah belum seimbang, kesejahteraan rendah serta manajemen guru yang belum standar.
Mengenai mutu guru, guru besar pada Universitas Pendidikan Indonesia (IKIP) Bandung itu menegaskan, saat ini banyak dikeluhkan mutu guru di Indonesia selain mutunya banyak yang tertinggal juga memiliki kualitas pengetahuan yang bervariasi. Sedangkan kemajuan iptek sekarang begitu pesat sehingga perlu diupayakan peningkatan mutu guru agar mampu mengikuti perkembangan pengetahuan. Menyinggung kekurangan guru, Surya mengemukakan, pemerintah menempuh jalan pendek dengan mengangkat guru honor dan guru bantu sehingga mulai menjadi masalah.
"Apalagi menyongsong tahun 2011, guru-guru inpres sudah memasuki masa pensiun jumlahnya cukup banyak hampir satu juta lebih. Karena itu, saya mengimbau kepada pemerintah agar mengatasi persoalan kekurangan guru agar dipenuhi dengan kebijakan-kebijakan yang sebaik mungkin," katanya. (mya)
 
Kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru. Berdasarkan pengertian tersebut, Standar Kompetensi Guru adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas, kualifikasi dan jenjang pendidikan.

C.    Program Pengembangan Profesi
Teknologi Informasi berkembang dua kali lipat setiap lima tahun. Dengan demikian dinamika industri ini, menuntut para profesional di bidang ini untuk secara rutin mengikuti aktifitas yang memungkinkan untuk mendapat ketrampilan dan pengetahuan baru. Mengikuti pendidikan formal maupun dan partisipasi didalamnya
sangat penting.Sebagian besar organisasi-organisasi profesi TI di seluruh dunia, mengharapkan para anggotanya menambah ketrampilan dan pengetahuan. Ketentuan ini dituangkan dalam peraturan keanggotaan organisasi profesi tersebut untuk menjamin dan mendorong para anggota agar tetap mengikuti perkembangan disiplin ilmu Teknologi Informasi (TI) Para profesional TI, sudah sejak lama Pengharapkan agar perhimpunan profesi TI yang berkaitan mempelopori dalam memegang standard kemampuan yang kontinyu dalam profesi teknologi informasi suatu negara.
Standard yang tepat dan teliti untuk profesi ini hanya memiliki sedikit relevansi jika tidak ada proses yang menjamin  kemutakhiran pengetahuan profesi TI. Secara logis dapat dikatakan, bahwa seseorang yang memenuhi persyaratan pengetahuan dan keterampilan beberapa tahun yang lalu, belum tentu dapat memenuhi persyaratan sebagai profesional TI pada era 1990-an.
Dengan demikian diperlukan suatu mekanisme untuk memungkinkan baik perkumpulan profesi maupun masyarakat dapat membedakan antara mereka yang melibatkan diri secara rutin dalam melanjutkan pendidikan dan mereka yang tidak melakukan hal tersebut. Hal ini memperkuat kebutuhan akan perlunya setiap negara anggota
SEARCC memperkenalkan dan menjaga program pengembangan profesi untuk anggota-anggotanya. Definisi Pendidikan Berkesinambungan Untuk tujuan Kebijaksanaan Perhimpunan tentang Pengembangan Profesi Berkesinambungan, didefinisikan sebagai berikut ini : Pendidikan berkesinambungan adalah studi yang dijalankan oleh para anggota untuk memperluas atau memperbaharui pengetahuan atau ketrampilan mereka, atau untuk mempersiapkan mereka untuk mengikuti perkembangan atau perubahan yang searah  dengan karir mereka.
Pendidikan berkesinambungan memegang peranan penting dalam akuisisi ketrampilan baru, seperti dalam manajemen atau teknologi baru, relevan dengan perubahan dalam tanggung jawab karir. Walaupun ini bukan satu-satunya jalan untuk menambah kemampuan profesional, pendidikan berkesinambungan merupakan yang penting untuk tercapainya tujuan tersebut..Peran Pendidikan Kesinambungan Asosiasi masyarakat komputer dan informatika SEARCC sudah sepantasnya Menerima pendidikan  berkesinambungan sebagai suatu elemen penting dalam pengembangan profesi. Pengalaman profesi, komponen pelengkap dalam pengembangan profesi, juga harus dikenali melalui tingkat-tingkat keanggotaan pada suatu perkumpulan tertentu. Karena itu, Kebijaksanaan Pendidikan
Berkesinambungan yang diusulkan adalah untuk : mempromosikan agar para anggotanya menjalani pendidikan berkesinambungan dengan tingkat yang sesuai atau mampu menunjukkan tingkat yang tinggi dalam pengembangan profesinya ; memberikan pengenalan formal terhadap prestasi seperti di atas. menjamin bahwa kesempatan pendidikan lanjut yang sesuai akan disediakan. mempromosikan tunjangan untuk pendidikan Berkesi-nambungan yang relevan oleh atasan profesi teknologi informasi sebagai bagian dari tugas normal karyawan.
Pendidikan erkesinambungan adalah satu dari beberapa metode untuk tetap dapat engikuti perkembangan teknologi, walaupun demikian diharapkan iterapkan metode-metode lain selain pendidikan berkesinambungan diperhitungkan untuk menjamin pengembangan ofesi.Kebijaksanaannya ditujukan untuk menetapkan persetujuan minimum yang terdefinisi bagi pengembangan ketrampilan profesi melalui pendidikan. Australian Computer Society misalnya, mensyaratkan minimum 30 jam per tahun untuk mempertahankan status Practising Computer Professional (PCP). New Zealand Computer Society (NZCS) di pihak lain, mensyaratkan 10 jam pelatihan NZCS formal yang disahkan, dan 25 jam pelatihan pilihan yang relevan agar keanggotannya dalam perhimpunan dapat diperbaharui.Pengakukan formal oleh Perkumpulan untuk pendidikan berkesinambungan ditujukan untuk membedakan anggotanya dari non-anggota, dan pengakuan tersebut harus diberikan untuk kesesuaian dengan kebijaksanaan perhimpunan dan bukan merupakan penalti yang dijatuhkan untuk ke-tidak-sesuaian.Program pendidikan kesinambungan tidak menuntut bahwa aktifitas pendidikan hanya berhubungan dengan pengetahuan dan ketrampilan baru dalam teknologi informasi. Yang termasuk relevan dengan tujuan programmer adalah akuisisi atau ketrampilan interpersonal dan ketrampilan bisnis umum. Karena itu, kursus-kursus dalam area keuangan, hubungan tenaga kerja, hukum, pemasaran, kesehatan dan keselamatan, manajemen proyek, ekonomi, jaminan kualitas, ketrampilan negosiasi dianggap sebagai aktifitas yang relevan. Bagaimana Program Tersebut Berjalan Perhimpunan anggota SEARCC sebaiknya menyediakan saran dan mekanisme untuk :
1.     mengakreditasi dan melakukan pengakuan formal terhadap pusat pelaihan/kursus
2.     memberi anjuran pada anggota mengenai kursus-kursus relevan yang diakui
3.     memonitor partisipasi anggota pada kursus
4.     memberikan sertifikat
5.     memberikan informasi tentang status anggota individual
6.     memperbolehkan penunjukan label alamat anggota
7.     memonitor partisipasi atasan dalam program
8.     memberikan informasi mengenai tunjangan untuk pengembangan profesi oleh atasan secara individual
9.     mempromosikan keuntungan program pengembangan profesi untuk anggota, non-anggota,  dan atasan.

Jika anggota mengikuti kursus/pelatihan, mereka mengembali-kan sebuah sertifikat keikut-sertaan ke Perhimpunan untuk setiap kursus disamping lembar evaluasi untuk kursus-kursus tersebut. Evaluasi ini digunakan untuk menentukan kualitas kursus. Kursus dengan penilaian yang buruk dibuang dari daftar kursus yang disahkan. Anggota-anggota yang telah memenuhi jumlah kursus yang diperlukan dalam satu tahun kalender mempertahankan status pengembangan profesi (PP) mereka, sampai waktu tersebut mereka melengkapi jumlah jam pengembangan profesi untuk pendidikan relevan yang dipersyaratkan pada tahun berikutnya. Kantor-kantor anggota SEARCC akan dapat memberi informasi mengenai status PP untuk penanya yang memenuhi syarat seperti calon atasan atau klien. Anggota-anggota yang telah mendapat status PP dan yang setuju untuk diakui akan dimasukkan dalam daftar pada suatu directory sementara status PP mereka masih berlaku.

Pada akhir 1990-an akan terlihat suatu kedewasaan baru yang menandai matangnya profesi Teknologi Informasi. Kedewasaan ini akan dihasilkan sebagai jawaban atas bertambahnya tuntutan atas mereka yang bekerja dalam profesi ini. Masyarakat akan menuntut mereka agar lebih bertanggung jawab atas saran dan sistem yang mereka berikan. Trend ini telah terlihat di area lain dengan adanya proses pengadilan untuk fisikawan, pengacara, akuntan, insinyur dan profesioanl lain yang secara pribadi bertanggung jawab atas kegagalan mereka yang riil maupun yang baru diduga.Untuk tetap eksis di dunia informasi masa datang, profesi Teknologi Informasi akan perlu mempunyai tingkat pelatihan dan kecakapan yang luar biasa, ditambah dengan komitmen yang kuat untuk pendidikan berkesinambungan dan pengembangan profesioal, sementara menerima tanggung jawab untuk hasilnya, termasuk kegagalan.Perhimpunan anggota SEARCC manapun yang menunjang program dengan jenis seperti dideskripsikan di sini memudahkan pengembangan profesi yang sedang berjalan untuk anggota-anggotanya sehingga menguntungkan.



BAB IV
PERAN GURU MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

A.     Tuntutan Lulusan Bermutu
Tuntutan terhadap lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga  pendidikan dan pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan.
Dalam tulisan ini dibahas tentang paradigma baru dalam pendidikan, bagaimana menghasilkan mutu bisa berlangsung dalam pendidikan, teknologi informasi dan profesionalisme guru, tantangan dunia pendidikan, dan sistem manajemen untuk mendukung berlangsungnya pencapaian mutu pendidikan tersebut.
 
B.    Paradigma Baru Pendidikan
Untuk mencapai terselenggaranya pendidikan bermutu, dikenal dengan perlunya paradigma baru pendidikan yang difokuskan pada otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi. Keempat pilar manajemen ini diharapkan pada akhirnya mampu menghasilkan pendidikan bermutu (Wirakartakusumah, 1998).

1.     Mutu
Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa  yang memuaskan kebutuhan konsumen/ pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan. Pelanggan bisa berupa mereka yang langsung menjadi penerima produk dan jasa tersebut atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut.
 
2.     Otonomi
Pengertian otonomi dalam pendidikan belum sepenuhnya mendapatkan kesepakatan pengertian dan implementasinya. Tetapi paling tidak, dapat dimengerti  sebagai bentuk pendelegasian kewenangan seperti dalam penerimaan dan pengelolaan peserta didik dan staf pengajar/ staf non akademik, pengembangan kurikulum dan materi ajar, serta penentuan standar akademik. Dalam penerapannya di sekolah, misalnya,  paling tidak bahwa guru/pengajar semestinya diberikan hak-hak profesi yang mempunyai otoritas di kelas, dan tak sekedar sebagai bagian kepanjangan tangan birokrasi di atasnya.
 
3.     Akuntabilitas
Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan output dan outcome yang memuaskan pelanggan. Akuntabilitas menuntut kesepadanan antara tujuan lembaga pendidikan tersebut dengan kenyataan dalam hal norma, etika dan nilai (values) termasuk semua program dan kegiatan yang dilaksanakannya. Hal ini memerlukan transparansi (keterbukaan) dari semua fihak yang terlibat dan akuntabilitas untuk penggunaan semua sumberdayanya.
 
4.     Akreditasi
Akreditasi merupakan suatu pengendalian dari luar melalui proses evaluasi tentang pengembangan mutu lembaga pendidikan tersebut. Hasil akreditasi tersebut perlu diketahui oleh masyarakat yang menunjukkan posisi lembaga pendidikan yang bersangkutan dalam menghasilkan produk atau jasa yang bermutu. Pelaksanaan akreditasi dilakukan oleh suatu badan independen yang berwenang. Di Indonesia pelaksanaan akreditasi Perguruan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN).
 
5.     Evaluasi
Evaluasi adalah suatu upaya sistematis untuk mengumpulkan dan memproses informasi yang menghasilkan kesimpulan tentang nilai, manfaat, serta kinerja dari lembaga pendidikan atau unit kerja yang dievaluasi, kemudian menggunakan hasil evaluasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan. Evaluasi bisa dilakukan secara internal atau eksternal. Suatu evaluasi akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara berkesinambungan.
 
C.    Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan
Untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) sedikitnya ada  empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan, yaitu :
1.     Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini terutama antara pimpinan lembaga dengan staf lembaga harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.
2.     Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.
3.     Setiap pimpinan harus berorientasi  pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu terpadu  dalam pendidikan bukanlah suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus.
5.     Dalam menggerakkan segala kemampuan lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, haruslah dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai hasil mutu. Janganlah diantara mereka terjadi persaingan yang mengganggu proses mencapai hasil mutu tersebut. Mereka adalah satu kesatuan yang harus bekerjasama dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.
 
Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelangggannya yang utamanya yaitu kepada mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut.
Para pelanggan layanan pendidikan dapat terdiri dari berbagai unsur paling tidak empat kelompok (Sallis, 1993). Mereka itu adalah pertama yang belajar, bisa merupakan mahasiswa/pelajar/murid/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut.  Kedua, para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini kita sebut sebagai pelanggan sekunder (secondary  external customers). Pelanggan lainnya yang ketiga bersifat tersier adalah lapangan kerja, bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary  external customers). Selain itu, yang keempat, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal  dari intern lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan (internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju, karena semakin maju dan berkualitas dari suatu lembaga pendidikan mereka akan diuntungkan, baik kebanggaan maupun finansial (Karsidi, 2000).
Seperti  disebut diatas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslah memperhatikan kebutuhan dan harapan masing-masing pelanggan diatas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan. 
D.    Peran Teknologi Informasi dan Profesionalisme Guru Meningkatkan Mutu
Hampir semua orang sependapat bahwa teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk,  teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian.  Sebagai teknologi, kedua sisi tersebut keberadaanya sangat tergantung pada pemakainya.
Adi Sasono (1999) mengidentifikasi beberapa kenyataan berikut yang bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya,  karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal, yaitu :
1.     Teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi disisi lain hirarki sosial yang ada dapat dipertahankan oleh teknologi dan diperkuat lagi.
2.     Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat mengundang atau  sebaliknya meniadakan kontribusi insani. Pemakaian secara tidak tepat akan suatu teknologi dapat mengarah pada  “dehumanisasi”.
3.     Komputer sebagai suatu teknologi bisa terancam fungsinya sebagai alat otomasi yang ditujukan untuk memerintah atau bahkan mengganti posisi pekerja dalam mengambil keputusan. Sebaliknya sistim yang dirancang secara demokaratis akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi kemandirian masyarakat.
4.     Komputer sebagai teknologi dapat digunakan untuk mengotomasi produksi sehingga membebaskan manusia dari upaya-upaya fisik proses produksi yang membosankan. Disisi lain, komputer juga dapat digunakan untuk mengintegrasikan mesin dan pekerja pada tingkat keterlibatan intelektual dan produtifitas yang lebih tinggi, yang disebut dengan istilah “to informate”. Istilah ini bukan sekedar alternatif bagi otomatisasi dalam makna yang umum, namun lebih merupakan suatu cara yang lebih baik dalam otomatisasi yang mempertimbang-kan potensi sumberdaya insani dalam lingkungan kerja bersama-sama dengan mempertimbangkan potensi teknikal komputer secara sinergis.
 
Menurut Adi Sasono (1999) revolusi teknologi informasi yang pesat telah mengaburkan batas-batas tradional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong permaknaan ulang perdagangan dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek kehidupan, pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertaiment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.
Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks ( Sasono, 1999).
Pada dasarnya, adanya teknologi informasi telah memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah, terjangkau, dan memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat. Teknologi yang semacam ini harus dimiliki oleh rakyat secara luas untuk dapat membantu rakyat mengorganisir diri secara modern dan efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat terbesar . 
            Dalam rangka  meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi seperti diatas adalah sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan secara mendesak.  Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian ini. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. FKIP yang mempersiapkan tenaga pendidikan/ keguruan harus mampu melakukan tindakan  yang tepat, sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi  dan kebutuhan masyarakat.
        Profesionalisme guru perlu didukung oleh suatu kode etik guru yang berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Kelembagaan profesi guru (seperti PGRI) sangat diperlukan untuk menghindari terkotak-kotaknya guru karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan politik tertentu.
Profesionalisme guru harus didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para guru profesional. Salah satu dari kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan menggunakan teknologi informasi yang terus-menerus berkembang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan  masyarakat. Keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional. Disinilah  peran Perguruan Tinggi / FKIP dan Organisasi profesi guru (seperti PGRI) sangat penting. 
Kerjasama antara keduanya menjadi sangat diperlukan. FKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan dalam memproduk guru yang profesional tidak dapat berjalan sendiri, selain harus bekerjasama dengan lembaga profesi guru, dan alumni (baik secara kelembagaan maupun secara personal). Untuk itu, maka pengembangan profesionalisme guru juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi  guru tenaga kependidikan lainnya yang mampu menjadi tempat terjadinya penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi masing-masing.
E.     Tantangan  Meningkatkan Mutu Pendidikan
Salah satu esensi dari proses pendidikan tidak lain adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, haruslah komunikatif. Dalam komunikasi pada umumnya, demikian pula dalam pendidikan, informasi yang tepat disajikan adalah informasi yang dibutuhkan , yakni yang bermakna, dalam arti : (1) secara ekonomis menguntungkan. (2) secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, (3) secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada, dan (4)  sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan /tuntutan   perkembangan yang ada.
Konsep “bermakna” ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat diserap dan dilaksanakan sasaran/peserta didik. Karena itu, Williams (1984) menyebutkan bahwa komunikasi adalah saling pertukaran simbol-simbol yang bermakna. Williams menekankan bahwa : (1) kita tidak dapat saling bertukar makna, (2) kita hanya secara fisik bertukar simbol, dan (3) komunikasi tidak akan terjadi, kecuali kita berbagi makna untuk simbol-simbol tertentu.
Dalam memberikan/menyampaikan informasi kepada orang lain (misalnya kepada peserta didik), bukan informasi yang kita ketahui yang disampaikan, tetapi yang kita sampaikan adalah informasi yang benar-benar bermakna dan dibutuhkan sasaran.
Informasi yang dibutuhkan dan bermakna adalah informasi yang mampu membantu/mempercepat pengambilan keputusan untuk terjadinya perubahan perilaku yang dikehendaki. Untuk itulah maka, pemilihan informasi harus benar-benar selektif dengan mempertimbangkan jenis teknologi mana yang tepat dipilih sebagai medianya. Sejarah, kini dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih efisien.
Dalam dunia pendidikan, revolusi informasi akan mempengaruhi jenis pilihan teknologi dalam pendidikan, bahkan, revolusi ini secara pasti akan merasuki semua aspek kehidupan (termasuk pendidikan). Inilah yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu. Siapkah lembaga pendidikan kita menyambutnya?
Dunia pendidikan harus  menyiapkan seluruh unsur  dalam sistim pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan yang tepat teknologi informasi  (sebagai bagian dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi dapat menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila lembaga pendidikan mampu menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha memilih jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Bagi lingkungan lembaga kependidikan seperti FKIP, penerapan teknologi dalam pendidikan di era global informasi tidak lain adalah bentuk aplikasi jenis-jenis  teknologi informasi mutakhir dalam praktek pendidikan. Proses belajar mengajar yang menerapkan  teknologi informasi mutakhir dapat berupa penggunaan media elektronik seperti radio, TVm, internet dan sistim jaringan komputer, serta bentuk-bentuk teledukasi lainnya. Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
   
F.  Moral dan Profesionalisme Guru
Dalam leksikon Jawa, guru umumnya ditafsirkan sebagai akronim dari ungkapan ”bisa digugu lan ditiru” ( Sunda: tiasa dipercanten sareng digugu sarta ditiru). Ini artinya bahwa sosok guru adalah orang yang dapat dipercaya atau dipegang teguh kebenaran ucapannya dan dapat diteladan tingkah lakunya. Di balik ungkapan itu, tersirat paham atau setidak-tidaknya asumsi bahwa apa yang dilakukan, dikatakan, dan diajarkan guru adalah benar. Guru sangat dipercaya sehingga jarang orang mempersoalkan ajarannya.
Guru dianggap sebagai profesi yang mempunyai keutamaan moral. Karena itu, jika orang membutuhkan nasehat atau pertimbangan, pergilah ia ke guru. Karena dipandang sebagai teladan, guru sangat dihormati masyarakat. Guru merupakan profesi yang bergengsi. Kemudian, menjadi guru adalah kebanggaan. Begitulah kiranya pandangan tentang guru, tempo doeloe.
Asumsi tempo dulu bahwa ucapan dan ajaran guru selalu benar telah mengalami pergeseran. Dewasa ini, ungkapan guru sebagai ”yang bisa digugu dan ditiru” agaknya sudah usang dan mengalami peyorasi. Jika muncul pemakaian ungkapan itu, seringkali justru untuk menyatakan perasaan tidak puas terhadap perkataan atau prilaku guru, atau dipakai sebagai semacam ”umpatan” kepada guru.
Pergeseran pandangan terhadap profesi guru itu disebabkan oleh berbagai hal. Keadaan dan zaman telah berubah. Modernisasi media cetak dan media elektonik menjadikan guru yang semula dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi tidak berlaku lagi. Jumlah warga masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi dari guru semakin banyak. Kecuali status sosial itu, status ekonomi kebanyakan guru terutama, sangat memiliki andil yang cukup berarti terhadap pergeseran pandangan itu.
Seseorang disebut baik dilihat dari tindakan, ucapan, dan perilakunya secara keseluruhan. Dalam hal ini, apakah ia memiliki keutamaan moral; kemampuan menghayati nilai yang baik dan buruk? Banyak orang, termasuk guru, tahu tentang nilai-nilai moral. Tetapi, masih saja banyak yang berbuat salah bahkan melakukan kejahatan yang disengaja. Terjadinya perbedaan atau bahkan pertentangan antara pengetahuan dan tindakan seseorang itu banyak yang disebakan oleh kenyataan-kenyataan hidup yang mungkin memang membuatnya begitu.
Minimnya gaji guru untuk memenuhi standar hidup layak yang berakibat pada rendahnya status ekonomi, memaksa guru untuk bekerja pada bidang yang lain. Banyak guru yang melakukan pekerjaan ”tak terhormat” demi mencukupi kebutuhan minimum rumah tangganya. Bahkan ditemui banyak kasus tindak kejahatan seperti pengedaran narkoba, penipuan, pencurian, pengatrolan atau jual-beli nilai rapor, dan kasus-kasus kriminal lain yang melibatkan seorang guru.
Kemudian, fenomena ini melibas gengsi guru dari mata masyarakat. Guru yang zaman dulu dianggap memiliki keutamaan moral sekarang dipandang tidak lebih dari kebanyakan orang.Dewasa ini, ketika terdapat guru sudah dapat hidup layak dari segi ekonomi karena kerja ekstranya atau karena mendapat jabatan di sekolah tempat kerjanya sehingga bisa memberikan kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk mengubah status ekonominya, banyak yang berusaha mengejar status atau segi lain.
Tidak sedikit guru pada tingkat ini yang ingin menemukan kembali gengsi dan kehormatan dirinya. Untuk itu, mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bisa memperpuruk gengsi dan kehormatannya sendiri. Misalnya saja, dalam kasus komaditi gelar akademis yang merebak akhir-akhir ini, banyak guru yang terlibat sebagai konsumen.
Dahulu ada teori bahwa fenomena gila gelar disebabkan oleh suatu kekagetan akibat pendidikan formal masih merupakan hal baru dalam budaya bangsa dan pelaksanaannya belum merata. Kemudian dapat dimengerti bahwa orang yang sudah mendapat gelar akademis tertentu merasa menonjol di antara sesama di lingkungannya. Lebih jauh dari itu timbul kesombongan dan sering disertai kecenderungan memaksakan pendirian kepada orang lain.
Sekarang, ketika pendidikan sudah semakin maju dan merata, gelar masih menjadi pemukau yang manjur di kalangan masyarakat kita. Banyak orang yang ingin memperpanjang namanya dengan berbagai gelar. Kemudian situasi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak terentu dengan cara memperdagangkan berbagai gelar akademis.
Telah banyak diungkap bahwa kecanduan gelar tidak hanya merasuki kalangan pejabat dan perguruan tinggi, tetapi sudah hampir memasyarakat, termasuk kalangan guru sekolah menengah. Di Bandung misalnya, banyak guru dan kepala sekolah menengah yang ”bergelar” master (M.B.A. dan /atau M.Sc.). Bahkan ada sekolah swasta yang hampir 50 persen guru tetapnya memiliki gelar MBA dan/atau MSc, dan ada yang sampai Dr (HC). Yang menjadi masalah, seperti yang akhir-akhir ini dirisaukan oleh banyak kalangan, gelar-gelar ”bergengsi” yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah itu diperoleh dengan jalur yang tidak semestinya. Pada umumnya, mereka bisa mendapatkan gelar-gelar itu cukup dengan membayar sejumlah uang pada lembaga atau biro jasa (”warung gelar”) yang menjual/ menawarinya.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa guru-guru itu—yang notabene guru sebagai ujung tombak pendidikan yang mengalihkan berbagai nilai dan kearifan—tidak menghayati lagi moral, etika, dan prilaku sebagaimana seharusnya dihayati dan dimilikinya sebagai pendidik. Para guru itu dapat dikatakan bertindak hanya dengan kendali nilai-nilai yang beredar di pasaran tanpa didasari moral dan prinsip etis yang logis.
Ungkapan ”digugu dan ditiru” seperti disebut di atas atau ungkapan ”guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, kiranya (dalam hal ini) kembali menjadi alasan bagi prilaku murid-murid yang bertindak serupa. Hal tersebut terbukti di Bandung ini juga, dan bukanlah fenomena baru, banyak murid yang membeli rapor, nem, dan ijazah. Terdapat anak yang tiba-tiba diketahui memiliki ijazah SMU tanpa harus menyelesaikan SMU-nya sampai tuntas.
Etika murid tersebut tidak naik atau tidak lulus sekolahnya, tiba-tiba diketahui ia sudah kuliah di suatu perguruan tinggi. Yang aneh lagi, terdapat anak yang tidak naik di kelas I suatu SMU, alih-alih mengulang di SMU tersebut, pada tahun ajaran baru berikutnya ia sudah menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi, dan yang sangat mengherankan, PT yang dimasukinya itu termasuk PT yang favorit di kota ini.
Terungkapnya kasus pengatrolan nilai ujian akhir dan jual beli nilai yang dilakukan oleh oknum guru SMU di Bandung akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena gunung es. Jangan-jangan fakta ini sudah terbiasa terjadi di sekolah-sekolah lain dan di wilayah-wilayah lain di negeri ini.Kenyataan di atas sangat memprihatinkan. Mungkin sekali pendidikan budi pekerti tidak akan banyak artinya dan kurang menyentuh pribadi anak jika masih terdapat fakta-fakta prilaku guru yang ‘kurang berbudi pekerti ’ itu. Jika moral dan sifat budi pekerti luhur tidak dimiliki para pendidik, akan dibuat bagaimanakah moral generasi muda bangsa ini kemudian?
Keberhasilan usaha pendidikan bukan pertama terletak pada tersedianya perlengkapan pendidikan yang serba canggih, melainkan lebih pada kualitas sumber daya manusianya yaitu guru dan tenaga kependidikan yang lain.
Para guru pada dasarnya adalah pengalih berbagai nilai, kearifan, pengetahuan, dan keterampilan dari generasi terdahulu kepada generasi kemudian. Mereka adalah pelaku tugas pokok manusia dalam hidup ini (the ultimate human task in life). Oleh karena itu, agar pendidikan mencapai tujuannya yaitu membentuk manusia yang manusiawi sehingga mampu menghadapi era perkembangan dan perubahan global, diperlukan pendidik yang mentalnya kuat, moralnya tangguh, dan profesionalismenya tinggi.
Mengenai profesionalisme, P. Siegart dalam Rahardi (1998) menyebutkan ada tiga sikap dasar bagi individu untuk disebut profesional. Ketiga sikap dasar itu adalah (1) adanya keseimbangan antara sikap altruistik dengan sikap non-altruistik/egoistik dalam diri individu; (2) adanya penonjolan kepentingan luhur dalam praktik kerja keseharian; dan (3) munculnya sikap solider antarteman seprofesi.
Ketiga sikap dasar ini akan menumbuhkan sikap positif terhadap kerja pada diri individu, teristimewa yang mengutamakan kemauan ikhlas untuk bekerja sama dengan sesama teman seprofesi yang disemangati oleh niat melayani dan mengabdi demi tercapainya tujuan luhur sebuah karya, dalam hal ini adalah karya pendidikan.
Beranjak dari sikap dasar di atas, kita dapat mengatakan bahwa profesionalisme memiliki tiga ciri utama yang saling mengait, yakni (a) adanya kapasitas atau stok keahlian yang besumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang benar dan mapan; (b) adanya moral, etika, serta perilaku atau tindak-tanduk yang baik; dan (c) adanya pelayanan atau pengabdian yang tulus dari seorang individu terhadap masyarakat dan lingkungan (bdk. Kunjara, 1998).
Oleh karena itu, seseorang dikatakan profesional apabila memenuhi kriteria seperti: memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam pada bidang pekerjaan yang diemban (know what and show how), memiliki keterampilan dalam melaksanakan tugas yang diemban (know how), dan memiliki sikap-sikap yang dituntut oleh pekerjaan yang diemban (disiplin ilmu dan etika profesi).
Berlandaskan pemikiran di atas, kiranya cukup banyak ciri keutamaan bagi profesionalisme seorang guru. Beberapa ciri keutamaan itu antara lain ketepatwaktuan, optimisme terhadap peserta didik, solideritas, stabilitas, mawas diri,kesabaran,kesederhanaan, tahu membeda-bedakan, ketenangan, ketekunan, idealisme, persiapan, dan menghargai profesi. Terhadap ciri keutamaan yang disebut terakhir ini, profesi guru hendaknya dihargai dan dicintai oleh guru itu, bukan sebaliknya disalahgunakan dan dilecehkannya sendiri.
Seringkali terdengar keluhan bahwa sekarang kini semakin sulit mendapatkan tenaga pengajar yang memenuhi kualifikasi profesionalisme. Bahkan lebih tajam lagi, seorang pakar pendidikan, J. Drost SJ, mengatakan bahwa sekarang di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru (Hidup, 27/2/00 hal. 19). Berbicara mengenai moral memang tidak dapat dipisahkan dengan profesionalisme seseorang. Keduanya saling terkait secara kausal. Yang satu menjadi akibat bagi yang lain, dan yang satu menjadi penyebab bagi yang satunya. Bagaimana mungkin seorang guru dapat dikatakan profesional apabila tidak memiliki keutamaan moral.  Moral dan profesionalisme juga memiliki kaitan yang erat dengan perkembangan global dunia kita.
Profesionalisme dapat dianggap sebagai suatu akibat dari merebaknya arus globalisasi, dan globlalisasi merupakan suatu sebab munculnya profesionalisme. Di sini, moral menjadi perekat sekaligus penawar hubungan keduanya. Kemudian presionalisme kerja guru menjadi tuntutan, kendati masih sering dirasakan semata-mata obsesi belaka. Seorang guru hendaknya selalu melekatkan dan menumbuhkembangkan keutamaan-keutamaam sebagai guru di dalam dirinya demi memantapkan kualitas pelayanan dan pengabdiannya kepada pemanusiaan manusia muda.
F.     DAFTAR PUSTAKA 
Karsidi, Ravik, 2000. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan, Bahan Ceramah di Pondok Assalam, Surakarta 19 Februari.
Sasono, Adi, 1999. Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan, Malakah Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan,  Hotel Sangri-La, Jakarta 5-7 Desember.
Sallis, Edward, 1993. Total Quality Management in  Education, Kogam Page, London.
Slamet, Margono, 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu, IPB Bogor.
William, Frederick, 1984. The News Communication, Los Angeles : Wadsworth, Inc.
Wirakartakusumah, 1998. Pengertian Mutu Dalam Pendidikan, Lokakarya MMT IPB, Kampus Dermaga Bogor, 2-6 Maret
BAB V
MODEL PEMBELAJARAN TERPADU

A.     Model Pembelajaran 
Ditinjau dari jumlah mata pelajaran yang dijadikan bahan ajar dalam proses pembelajaran, model pembelajaran dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yakni (1) model pembelajaran mata pelajaran secara terpisah (separeted subject matter), (2) model pembelajaran terpadu (integrated subject matter), dan (3) model pembelajaran mata pelajaran terkorelasi (correlated subject matter). Penggolongan ini berdasarkan kepada penggolongan organisasi kurikulum, yakni: (1) kurikulum terpisah (separated curriculum), (2) kurikulum terpadu (integrated curriculum), dan (3) kurikulum terkorelasi (correlated curriculum). Timbul pertanyaan mendasar, mengapa proses pembelajaran perlu memadukan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain, atau satu mata pelajaran dengan bahan ajar tertentu, sehingga menjadi satu menu yang akan disajikan dalam proses pembelajaran?
Pertama, alasan empirik, karena pada hakikatnya pengalaman hidup ini sifatnya kompleks dan terpadu, artinya menyangkut berbagai aspek yang saling terkait. Pergi ke pasar, sebagai misal, merupakan kompleksitas pengalaman hidup yang tidak hanya bersifat sosial (berhubungan dengan orang lain), ekonomi (memenuhi kebutuhan rumah tangga), tetapi juga matematika (terkait dengan hitung-menghitung harga), dan biologi (tekait dengan soal barang dan bahan yang kita beli), dan sebagainya. Dengan demikian, proses pembelajaran di sekolah sebenarnya dapat dilaksanakan dengan meniru model pengalaman hidup dalam masyarakat, karena proses pembelajaran yang demikian lebih sesuai dengan realitas kehidupan kita.
Kedua, alasan teoritis ilmiah, karena keadaan dan permasalahan dalam kehidupan akan terus berkembang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, ilmu ruang angkasa menjadi lebih terbuka setelah pesawat ulang-alik dapat mendarat di bulan. Komputer kini menjadi mesin informasi yang telah masuk di rumah kita tanpa permisi. Itulah sebabnya, maka bahan ajar di sekolah sudah pasti harus diperkaya dengan muatan-muatan tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru.
Mengingat banyaknya permasalahan yang timbul dalam kehidupan, banyak materi baru yang diusulkan oleh masyarakat untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah, misalnya lingkungan hidup, ilmu kelautan, pengetahuan tentang narkoba, masalah HIV dan AIDS, pendidikan moral dan budi pekerti, keimanan dan ketaqwaan, reproduksi sehat dan pendidikan seks, bursa efek, dan masih banyak lagi. Untuk memasukkan hal-hal tersebut menjadi mata pelajaran tersendiri, sudah barang tentu tidak mungkin dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, muatan ilmu pengetahuan dan informasi yang semakin bertambah itu tidak mungkin dapat dimasukkan ke dalam kurikulum menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, diperlukan satu organisasi kurikulum yang isinya lebih merupakan pilihan bahan ajar yang secara khusus dipersiapkan sebagai menu untuk proses pembelajaran. Dari sinilah muncul fusi mata pelajaran yang melahirkan kurikulum terpadu (integrated curriculum), dan kemudian melahirkan kurikulum inti (core curriculum). Para pengembang kurikulum berfikir harus back to basic dalam proses pengembangan kurikulum. Dalam pelaksanaan kurikulum, timbullah model pembelajaran terpadu, dengan tujuan agar proses pembelajaran dapat mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta permasalahan yang begitu kompleks dalam masyarakat.
Itulah sebabnya, proses pembelajaran memang tidak harus dilaksanakan ibarat dengan kacamata kuda, artinya dilaksanakan tanpa melihat kiri-kanan atau hanya melihat satu disiplin ilmu tanpa mengaitkannya dengan kehiduoan dalam arti luas. Justru dalam pelaksanaannya para guru seharusnya berusaha mengaitkan mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dengan mata pelajaran atau bahan dasar lain yang kontekstual dalam kehidupan masyarakat. Tanpa mengaitkan mata pelajaran dengan konteks kehidupan yang nyata dalam masyarakat, maka proses pembelajarannya akan menjadi hambar dan kurang bermakna bagi bekal kehidupan anak dalam masyarakat.

B.    Model-Model Pembelajaran Tepadu
Pertama, model pembelajaran terpadu antara dua mata pelajaran dalam struktur kurikulum yang berlaku. Misalnya antara mata pelajaran Matematika dan mata pelajaran Bahasa Indonesia, atau mata pelajaran Matematika dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (ips), dsb. Kedua, model pembelajaran terpadu antara satu mata pelajaran tertentu dengan bahan ajar yang tidak berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, misalnya antara mata pelajaran Pendidikan Agama dengan bahan ajar pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup, antara mata pelajaran Biologi dengan pendidikan reproduksi sehat dan HIV/AIDS, antara mata pelajaran PPKn dengan bahan ajar pendidikan budi pekerti, mata pelajran Bahasa Indonesia dengan bahan ajar keimanan dan ketaqwaan, dsb. Ketiga, model pembelajaran terpadu beberapa mata pelajaran, lebih dari dua mata pelajaran, misalnya mata pelajaran Matematika, Sains, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajinan Tangan dan Kesenian yang dimasukkan ke dalam satu proyek kegiatan pembelajaran (metode proyek).


C.    Pusat Sumber Belajar (PSB) Terpadu
                  Pusat Sumber Belajar/Learning Resources Center (PSB/LRC) dapat diartikan sebagai pusat jaringan pelayanan informasi sumber belajar yang dikelola dengan  prinsip kemitraan baik yang berupa informasi sumberdaya manusia, sumberdaya bahan belajar dan sumberdaya alat bantu pembelajaran. Sumber belajar adalah input instrumental dalam sistem pembelajaran meliputi sumberdaya manusia (brainware) yaitu narasumber, fasilitator, instruktur, dan Widyaiswara; bahan belajar (software) seperti: kurikulum, modul, textbook, bahan bacaan/reference, literatur/ kepustakaan dan metodologi pelatihan (klasikal/ in Class, diklat jarak jauh, kalakarya); sarana dan prasarana (hardware)  seperti: perpustakaan, ruang belajar, laboratorium, dan  peralatan (antara lain: perangkat keras dan perangkat lunak) yang dibutuhkan dalam upaya peningkatan efektivitas dan efisien proses belajar.
Dengan kata lain secara sederhana yang dimaksudkan  Sumber belajar adalah terdiri dari orang, pesan, media (bahan dan alat),teknik dan lingkungan.  Sedangkan Pusat Sumber Belajar adalah tempat dimana Sumber Belajar dikumpulkan, diorganisir dan dimanfaatkan untuk belajar.
Kemitraan adalah merupakan kerja sama yang memperhatikan kesetaraan, keterbukaan, saling menghargai, dan  adanya persamaan kepentingannya. Kerjasama kemitraan ini dilakukan antara institusi pendidikan dan pelatihan, institusi pendidikan kesehatan, institusi pelayanan kesehatan, organisasi profesi kependidikan kesehatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lain  yang bergerak di bidang kesehatan maupun kediklatan.
   
1.     LANDASAN FILOSOFI  
Pada  hakekatnya manusia adalah mahluk sosial yang butuh berkomunikasi dengan orang lain, sehingga terjadi  interaksi dengan orang lain dalam usahanya mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupannya. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia mengembang-kan  pola komunikasi  untuk memperoleh sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan sosialnya. Epistimologi kefilsafatan menunjukkan bahwa adanya prinsip-prinsip jaringan kemitraan telah melandasi pola komunikasi dalam kehidupan manusia semenjak dahulu kala seperti jaringan korespondensi, jaringan telekomunikasi dan jaringan internet.
Aksiologis kefilsafatan menunjukkan besarnya manfaat yang dapat dipetik dalam proses komunikasi antar individu manusia dalam berbagai bentuk dan menggunakan berbagai media komunikasi yang dimilikinya. Proses pembelajaran diklat pada prinsipnya adalah proses komunikasi dalam penyampaian bahan belajar kepada peserta diklat.
Atas dasar pemikiran tersebut maka pengorganisasian berbagai komponen sistem  komunikasi memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Demikian halnya jaringan kemitraan Pusat Sumber Belajar juga berperan penting dalam proses pembelajaran.

2.     LANDASAN HUKUM
1.     Undang undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2.     Undang-undang Nomer 23  Tahun 1992 tentang Kesehatan
3.     Undang-undang Nomer 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
4.     Undang-undang nomor 8 Tahun 2000 tentang Hak-Hak Konsumen
5.     Peraturan Pemerintah Nomer 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
6.     Keputusan Presiden Nomer 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen.
7.     Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 130 Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen.
D.    RUANG LINGKUP  PUSAT SUMBER BELAJAR TERPADU
Ruang lingkup Pusat Sumber Belajar yang akan dikembangkan adalah bermacam-macam pelayanan bagi pebelajar (learner) meliputi :
1.     Learning Resources.
Yaitu merupakan segala sumber belajar bagi pebelajar yang berminat belajar sendiri atau belajar jarak jauh, yang dilakukan secara elektronik ( telelearning/digital library)
2.     Skill Exchanges.
Yaitu pertukaran keterampilan yang terdiri dari kemampuan, keterampilan dan pengalaman para pakar, dan memberikan pelayanan pembimbingan bagi yang membutuhkannya.
3.     Peer-Matching.
Merupakan jaringan komunikasi yang memungkinkan pebelajar dapat menemui kawan belajar untuk menjawab masalah yang dipelajarinya.
4.     Reference Services to Educator-at-Large.
Merupakan pelayanan rujukan bagi seluruh fasilitator secara luas, yaitu dengan memberikan alamat serta uraian tentang para profesional/pakarl dan setengah profesional/pakar, dan fasilitator yang tidak terikat.
5.     Learners Network.
Merupakan suatu jaringan bagi mereka yang belajar/pebelajar, sebagai tempat pertemuan dari para anggota masyarakat pebelajar. Jaringan ini akan memfasilitasi pengetahuan atau keahlian lokal dalam membentuk dan membangun peluang-peluang belajar.
6.     Learners Problem Solving Network.
Jaringan penyelesaian masalah peserta belajar suatu kelompok diskusi unituk memecahkan masalah-masalah masyarakat setempat dalam mengembangkan jaringan belajar setempat.
7.     The Opportunities Portfolio.
Dilakukannya pemutahiran dokumen elektronik dan diterbitkan (dicetak), paling sedikit setahun sekali sehingga dapat mengidentifikasi peluang belajar setempat dan sumber belajar yang ada agar dapat berbuat dengan sumber yang ada.
Fokusnya pada idea, hal yang istimewa, proyek, pelayanan yang inovatif, dan pendekatan alternatif.
Bila dilihat dari sistem pembelajaran dalam proses diklat, ruang lingkup Pusat Sumber Belajar dapat digambarkan dalam matriks sebagai berikut:

Sumber belajar
Manual
Elektronik
Lain
SDM



Bahan belajar



Metode & teknologi belajar



Sarana prasarana







1.  Mengembangkan Sumber Belajar yang berbasis printing material (manual), seperti daftar tenaga ahli, daftar katalog, buku-buku panduan dan buku acuan.
2.   Mengembangkan Sumber Belajar yang berbasis elektronika, antara lain : mengembangkan jaringan kerja dengan komputer     (Internet, Intranet) untuk  Computer Assistence Learning/ Computer Assistence Instructur, CD ROM untuk Computer Base Learning/ Computer Base Instructur , dan dengan homepages untuk tenaga ahli, abstrak buku, hasil penelitian diklat dan virtual library.
3.   Mengembangkan Sumber Belajar lain, yaitu dengan menggunakan bahan belajar dari lingkungan pebelajar (learner) , antara lain phenomena alam, obyek kesehatan, dll.
 
E.  MODEL KEMITRAAN
                Dalam pengembangan jaringan Pusat Sumber Belajar digunakan konsep model kemitraan diantara berbagai institusi Sistem Pusat Sumber Belajar yang memiliki satu atau beberapa komponen sumber belajar.
Gambaran sederhana model Pusat Sumber Belajar adalah sebagai berikut:
                Komponen-komponen Intitusi yang terkait tersebut terdiri dari :
1.      Instansi pembina Teknis Kesehatan Pusat.
2.      Institusi-institusi pendidikan dan pelatihan (diklat),antara lain:
a.  Pusdiklat, Bapelkes, LAN, Pustekkom
b. Institusi-institusi pendidikan, terdiri dari : Perguruan Tinggi
Negeri dan swasta; Akademi Negeri dan swasta serta Sekolah Kejuruan Kesehatan (Perawat, Farmasi, Perawat Gigi, analis Kesehatan dan lain-lain).
3.      Institusi Kesehatan
a.  Institusi pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta ( Rumah Sakit,  Puskesmas, Poliklinik).
b. Unit Pelaksana Teknis Departemen Kesehatan
4.      Istitusi Administrasi dan  Manajemen seperti: LAN, Depnaker,
         Lembaga
          manajemen terapan.
5.      Organisasi profesi, terdiri dari:
a.  IDI, PPNI, IBI, PERSAGI, HAKLI, POGI dan lainnya.
b.  IPTPI, PS ANRI, IDLN  dan lainnya.
6.    Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk masyarakat, terdiri dari peserta Diklat,  masyarakat pengguna diklat dan pengguna pelayanan kesehatan.
 
Komponen Sumber Belajar dari Institusi yang tergabung dalam Jaringan PSB antara lain :
1.     Informasi keahlian/kepakaran (tenaga pelatih/ widyaiswara).
2.     Informasi Bahan ajar (Learning material) antara lain berupa Buku Kepustakaan, Kurikulum, Modul baik printed, electronik, dan interactive.
3.     Informasi Sarana Belajar antara lain : Kelas, Laboratorium Kelas, Laboratorium Lapangan, alat bantu diklat berupa : AVA, model, dll.
4.     Informasi kegiatan diklat antara lain: jurnal diklat kesehatan, kerjasama, donor,dll.
Untuk kemudahan operasionalisasi PSB, perlu ada institusi yang berperan sebagai Pusat Jaringan PSB. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Untuk tingkat Pusat, sebagai Pusat Jaringan PSB adalah Pusdiklat Kesehatan, sebagai anggota Jaringan PSB adalah Institusi / Organisasi Profesi / LSM yang tergabung dalam Jaringan PSB. Disetiap PSB ada yang diserahi tanggung jawab mengelola (Pengelola PSB).
Di daerah, sebagai Pusat Jaringan dapat ditunjuk Institusi Diklat yang ada, berdasarkan kesepakatan.
Dengan demikian untuk terwujudnya Jaringan Pusat Sumber Belajar tidak diperlukan pembangunan gedung baru.

F.   FUNGSI DAN TUGAS JARINGAN PSB

1.     Fungsi 

Pusdiklat Kesehatan sebagai Pusat Jaringan Pusat Sumber Belajar, mempunyai fungsi sebagai berikut :

a.      Fungsi Penyediaan Informasi
b.      Fungsi Pelayanan Informasi Sumber Belajar
c.      Fungsi Pengembangan
d.      Fungsi Produksi dan Pemasaran
e.      Fungsi Koordinasi

 

2.     TUGAS

Untuk menjalankan fungsi tersebut maka Pusat Jaringan Pusat Sumber Belajar mempunyai tugas :

a.      Fungsi Penyediaan Informasi dengan tugas :
1).   Menginventarisasi informasi Sumber Belajar dari berbagai sumber ( PSB dan lain-lainnya ).
2).   Membuat Data Base.
3).   Up dating secara periodik.

b.      Fungsi Pelayanan Informasi Sumber Belajar dengan tugas :

1).   Mensosialisasikan adanya jaringan PSB kepada User.
2).   Memberikan informasi Sumber Belajar sesuai kebutuhan User.
3).   Memberikan konsultasi pengembangan Sumber Belajar.
c.      Fungsi Pengembangan dengan tugas :
1).   Mendisain Diklat sesuai kebutuhan User.
2).   Mengembangkan SDM Pusat Sumber Belajar melalui Diklat.
3).   Memperluas jaringan lintas sektor.
d.      Fungsi Produksi dan Pemasaran dengan tugas :
1).   Memproduksi/ menghasilakan bahan ajar dalam berbagai bentuk media ( cetak, elektronik, interaktif, dll. )
2).   Memasarkan produk dan jasa PSB.
e.      Fungsi Koordinasi dengan tugas :

3. Meningkatkan kerjasama antar PSB melalui pertemuan-pertemuan ( Seminar, Lokakarya, dll ).

   



TUJUAN STRATEGI   DAN   SASARAN PUSAT SUMBER BELAJAR

A.     TUJUAN

1.     TUJUAN JANGKA PANJANG
Menciptakan Pusat Jaringan PSB menjadi pusat layanan jaringan informasi berbagai sumber belajar diklat kesehatan yang dapat diandalkan.
2.    TUJUAN JANGKA PENDEK
Membantu pengguna atau peserta diklat dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan baik brainware, software maupun hardware agar diperoleh proses belajar yang efektif baik melalui institusi dalam jaringan maupun langsung secara individual atau kelompok.

B.  STRATEGI

Strategi yang ditetapkan dalam pelaksanaan pengembangan Pusat Sumber Belajar meliputi strategi pengembangan jaringan dan  strategi pengembangan kapasitas Pusat Sumber Belajar yang dikelompokkan sebagai berikut:
1.     Strategi Pengembangan Jaringan PSB yaitu :
a.   Kemitraan
b.  Orientasi Pasar
c.   Pelayanan Prima
2.     Strategi Pengembangan Kapasitas Pusat Sumber Belajar yaitu meliputi :
a.   Pengembangan SDM pengelola PSB  (Brainware).
b.  Pengembangan substansi (content), antara lain : informasi narasumber/ kepakaran, bahan belajar (buku kepustakaan, kurikulum dan modul) dan Sarana Diklat serta alat bantu belajar.
c.   Pengembangan Hardware dan Software  kebutuhan pelaksanaan Jaringan PSB.
Dalam Pengembangan Kapasitas Pusat Sumber Belajar ini perlu mengikuti perkembangan IPTEK dan tuntutan kebutuhan pasar.

  

C.  SASARAN                                                                                        

 
Sasaran dalam pengembangan Pusat Sumber Belajar Diklat Kesehatan adalah  dihasilkannya :
1.     Kesepakatan Kosep PSB.
2.     Pengorganisasian PSB.
3.     Informasi Sumber Belajar.
4.     Model Data base jaringan PSB
5.     Sumberdaya tenaga (brainware) sesuai dengan kebutuhan pengembangan jaringan.
6.     Hardware dan software yang dibutuhkan dalam pengembangan jaringan sesuai dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.
7.     Pemanfaatan, evaluasi dan pengembangan PSB.
  
  1.     Sumber Daya Manusia (Brain ware):
a.     Pengelola /Koordinator PSB
b.     Dibutuhkan minimal 5 orang tenaga pengelola dengan kriteria tenaga yang menyenangi bekerja dengan komputer, dengan spesialisasi  sebagai berikut :
1).   Seorang tenaga perancang dengan pendidikan minimal S1 Kesehatan dan telah mengikuti pelatihan disain system.
2).   Seorang tenaga programmer dengan pendidikan minimal D3 kesehatan/Komputer dan telah mengikuti pelatihan tentang Pengembangan WEB.
3).   Seorang tenaga disain grafis (D3)
4).   Seorang tenaga pengelola jaringan (internet, LAN)
5).   Seorang Operator komputer dengan pendidikan minimal SLTA dan telah mengikuti pelatihan tentang dasar-dasar komputer dan pengelolaan PSB.
c.     Anggota  PSB
d.     Dibutuhkan minimal 4 orang tenaga pengelola dengan kriteria tenaga yang menyenangi bekerja dengan komputer, dengan spesialisasi  sebagai berikut :
1.     Seorang tenaga programmer dengan pendidikan minimal D3 kesehatan/Komputer dan telah mengikuti pelatihan tentang Pengembangan WEB.
2.     Seorang tenaga disain grafis (D3)
3.     Seorang tenaga pengelola jaringan (internet, LAN)
4.     Seorang Operator komputer dengan pendidikan minimal SLTA dan telah mengikuti pelatihan tentang dasar-dasar komputer dan pengelolaan PSB.
2.     Perangkat Keras (Hard ware):
a.  Jaringan Komputer ( LAN , WAN).
b.  Komputer server
c.   Komputer work station untuk pengembangan & pemeliharaan web
d.  Komputer work station untuk electronic library
e.  Komputer work station untuk pengembangan Sistem Informasi Diklat
f.   Digital Camera
g.  Digital Video Camera
h.  CD writer
i.    Scanner
j.    Printer
3.     Perangkat Lunak (Soft ware)
a.     Program Aplikasi untuk Pengembangan Web (Front Page, HTML, Java Script, dll)
b.     Personal Web Server
c.     Situs web PSB
d.     Program Aplikasi untuk Disain Grafis (Photoshop, Corel Draw, Microsoft Image Composer, dll)
e.     Program Aplikasi untuk Animasi mulitimedia (GIF Animator, Photoshop Animator, 3DFX, 3D Kinetik, dll)
f.      Windows NT, Linux, dll

E.     LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PSB                         
Dalam rangka pengembangan PSB perlu disusun langkah-Langkah kegiatan pengembangan yang mengacu pada strategi dan sasaran PSB.
Secara rinci langkah-langkah kegiatan pengembangan PSB adalah sbb.:
1.     Tahun Pertama
a.   Menyusun konsep PSB.
b.   Menginventarisasi institusi / organisasi profesi/ LSM yang berkaitan dengan Diklat Kesehatan.
c.   Menyepakati Konsep PSB melalui Seminar dan Lokakarya serta kesepakatan mewujudkan PSB yang berkaitan dengan Diklat Kesehatan, berdasarkan prinsip kemitraan.
d.   Mengidetifikasi Sumber Belajar di setiap PSB.
e.  Melengkapi kebutuhan Hardware dan Software.
f.   Menyusun Model PSB.
2.     Tahun Kedua.
a.     Mensosialisasi Model PSB.
b.   Menyusun pengorganisasian PSB, meliputi : Naskah kerjasama dan mekanisme pengelolaan PSB, serta Tupoksi pengelola PSB.
c.   Merekrut SDM PSB melalui pelatihan.
d.   Menginventarisasi Sumber Belajar dari setiap anggota PSB.
3.     Tahun Ketiga.
a.     Membuat data base Sumber Belajar.
b.     Mensosialisasi data base Sumber Belajar
c.     Mengelola Pusat jaringan PSB
d.     Pertemuan reguler anggota PSB.
e.     Peremajaan data (up date data) Sumber Belajar.
4.    Tahun Ke empat
a.     Peremajaan data (up date data) Sumber Belajar.
b.     Pertemuan reguler anggota PSB.
c.     Evaluai Pengelolaan PSB
d.     Perbaikan dan Pengembangan PSB.
BAB VII
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN TERPADU

A.     Rasional
Pembukaan UUD 1945 alinea 4 menyatakan bahwa Negara bertujuan mencerdaskan kehidupan Bangsa. Dalam upaya mewujudkan tujuan dimaksud, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran (pasal 31 ayat 1 UUD 1945). Secara operasional, dukungan tersebut dinyatakan dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5, bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berarti semua orang berhak memperoleh pendidikan, termasuk warga negara yang memiliki kesulitan belajar seperti kesulitan membaca (disleksia), menulis (disgrafia) dan menghitung (diskalkulia) maupun penyandang ketunaan (tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tunalaras). Dengan demikian, warga negara Indonesia yang memiliki kelainan dan atau kesulitan belajar dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler sesuai dengan tingkat ketunaan dan kesulitannya (pendidikan terpadu).
Kebijakan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah mahkluk bhineka yang mengemban misi utama sebagai khalifah Tuhan di muka bumi untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan serta menciptakan kedamaian bersama. Terdeteksi maupun tidak, setiap manusia memiliki potensi yang berbeda-beda dan dapat dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman hidupnya.
Potensi setiap manusia dapat dikembangkan secara optimal jika tercipta suatu lingkungan yang kondusif, karena tugas utama pendidikan adalah mengantarkan terciptanya lingkungan dimaksud. Di samping itu, landasan hukum yang melatarbelakangi pendidikan terpadu antara lain: (a) Konferensi Internasional di Jomtien-Thailand pada tahun 1990 yang merekomendasikan agar seluruh masyarakat dunia mengimplementasikan konsep pendidikan untuk semua (education for all), (b) Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang the standard rules on the equalization of opportunities for persons with disabilities, (c) Deklarasi Salamanca, Spanyol tahun 1994 tentang tindak lanjut implementasi pendidikan untuk semua, serta (d) Hak-hak anak (child rights) yang menyatakan bahwa semua anak termasuk anak luar biasa (dengan kebutuhan pelayanan pendidikan khusus) memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup dan berkembang secara penuh sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, pendidikan terpadu (integratif) sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan landasan hukum tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Mulyono (1997) berpendapat bahwa kecenderungan pendidikan di Indonesia adalah integratif, sesuai dengan falsafah Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dengan demikian, pendidikan dipandang sebagai upaya sadar untuk mengembangkan segenap potensi (kognitif, psikomotorik, dan afektif) kemanusiaan setiap peserta didik hingga derajat yang optimal. Kualitas potensi setiap peserta didik memang berbeda-beda, dan hal itu yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara individu yang satu dengan lainnya.
Disadari atau tidak, pada diri peserta didik terdapat salah satu keunggulan dari aspek potensi tersebut. Hal itu tidak terbatas hanya pada anak normal, melainkan juga pada anak yang memiliki ketunaan (the hidden potential excellence). Sebagai bukti empirik, Amstrong dalam Mulyono (1997) memberikan beberapa contoh orang yang menyandang tunarungu memiliki prestasi tingkat nasional maupun internasional seperti: Samuel Jhonson, Thomas Alva Edison, Granvill Redmond, Marlee Matlin, Ludwig Van Beethoven, dan Helen Keller.
Di Indonesia, pendidikan untuk anak-anak penyandang ketunaan selama ini diselenggarakan di 954 sekolah luar biasa (SLB) dan di 94 sekolah terpadu (terbatas pada anak-anak tunanetra). Sampai dengan tahun 1995/1996 jumlah siswa yang mendapatkan pelayanan pendidikan luar biasa baru mencapai 43.163 orang anak, 831 orang anak di antaranya belajar di sekolah terpadu. Di antara 831 orang anak tersebut, 758 orang anak belajar di SD, 31 orang anak di SLTP dan 42 orang anak di SMU. (Puslit, 2000) Jumlah tersebut kurang dari 0,01% dari seluruh populasi anak SD sampai dengan SM. Dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Australia (2.13%), Inggris (10%), Canada (5%), dan Amerika Serikat (10%), jumlah itu terlihat sangat kecil. Apabila perkiraan populasi anak berkelainan di Indonesia berkisar 2%, maka yang memerlukan pelayanan pendidikan luar biasa (PLB) sekitar 600.000 anak di tingkat SD. Jumlah tersebut belum termasuk anak-anak yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus, yaitu anak-anak dengan kesulitan belajar baik umum maupun khusus dan anak-anak berbakat yang selama ini belajar di sekolah reguler.
Secara faktual, sebagian dari anak-anak penyandang ketunaan tersebut pada umumnya belajar di sekolah luar biasa. Namun, karena keterbatasan pelayanan khusus bagi mereka di sekolah, maka anak tersebut mempunyai potensi besar untuk mengulang kelas dan akhirnya tidak menutup kemungkinan putus sekolah. Pada tahun 1997/1998 hasil studi Puslit menunjukkan bahwa 27 % anak SD mengulang kelas dan 13 % putus sekolah. Hal tersebut dikarenakan mereka mengalami kesulitan belajar secara umum atau lebih dikenal dengan beban belajar dan atau karena kesulitan belajar khusus pada bidang-bidang tertentu, seperti kesulitan membaca (disleksia), kesulitan menghitung (diskalkulia), dan kesulitan menulis (disgrafia). Selain penyandang ketunaan dan yang berkesulitan belajar, ada pula yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus seperti mereka yang mempunyai keunggulan baik secara umum maupun keunggulan di bidang tertentu (gifted and talented). Sekalipun demikian, kenyataannya anak-anak yang tergolong berbakat sampai saat ini belum terlayani secara serius dan optimal.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka dalam upaya meningkatkan partisipasi anak-anak penyandang ketunaan serta untuk mengoptimalkan potensi mereka yang mempunyai kebutuhan pelayanan pendidikan khusus telah dikembangkan pendidikan terpadu di tingkat sekolah dasar. Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang Depdiknas telah berinisiatif melakukan ujicoba terbatas pendidikan terpadu di beberapa SD Negeri dan Swasta di wilayah Gugus 3 Karangmojo Kecamatan Karangmodjo, Kabupaten Gunung Kidul sejak tahun ajaran 1999/2000.

B.    Pengertian Pendidikan Terpadu
Secara bebas pengertian pendidikan terpadu adalah suatu sistem pembelajaran di sekolah reguler di mana peserta didiknya terdiri atas anak normal di sekolah reguler, yang memiliki ketunaan, dan kesulitan belajar serta dilaksanakan secara terpadu atau lebih dikenal dengan integrated (Puslit, 1999). Hal ini sejalan dengan Surat Keputusan (SK) Mendikbud Nomor: 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan terpadu ialah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di lembaga pendidikan umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Penggunaan istilah integrasi atau terpadu untuk melayani anak luar biasa dalam kehidupan masyarakat telah dikenal di Indonesia sejak tahun 60-an. Prinsip the least restrictive environment (lingkungan yang paling tidak terbatas) dan normalization (normalisasi) juga telah dikenal. Bahkan, jika terdapat penyandang cacat yang tinggal di pantai, pantai-pantai yang disiapkan merupakan lingkungan yang terintegrasi dengan anak-anak normal. Berkaitan dengan anak penyandang ketunaan, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72/1991 menyebutkan bahwa kelainan peserta didik terdiri atas ketunaan fisik dan/atau mental dan/atau kelainan perilaku. Ketunaan fisik meliputi tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa; sedangkan, ketunaan mental meliputi tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang. Adapun kelainan perilaku meliputi tunalaras.
Secara rinci pengertian dari masing-masing ketunaan adalah: (1) tunagrahita adalah kerusakan atau cacat mata yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat/buta. Termasuk tunanetra seseorang yang kurang kuat daya penglihatannya; (2) tunarungu adalah kerusakan atau cacat pendengaran yang mengakibatkan sesorang tak dapat mendengar atau tuli atau pekak. Termasuk di sini seseorang yang kurang daya pendengarannya; (3) tunadaksa adalah kelainan atau gangguan/cacat tubuh, termasuk dalam kelompok ini adalah gangguan fisik dan kesehatan, seperti celebral palsy, epilepsi, artritis, diabetis, dan asma; (4) tunagrahita adalah keterbelakangan mental (termasuk disini keterbelakangan mental ringan dan keterbelakangan mental sedang); dan (5) tunalaras adalah gangguan atau hambatan atau kelainan tingkah laku sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga , sekolah, dan masyarakat (Puslit, 1999).
Istilah lain dalam pendidikan terpadu, yang pada prinsipnya mengarahkan agar anak yang berkesulitan belajar dan penyandang ketunaan belajar bersama-sama (dengan anak normal) adalah inklusi. Pendapat ini dikemukakan oleh Sapon-Shevin dalam O. Neil (1994/1995) yang dikutip Widji Suparno (1999/2000). Ia menyebutkan bahwa inklusi merupakan sistem pelayanan pendidikan luar biasa yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa belajar bersama dengan teman-teman mereka di kelas di sekolah-sekolah yang terdekat.
Stainback dan Stainback dalam Sunardi (1994) menyebutkan bahwa pengertian inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah tersebut menyediakan program pelayanan pendidikan yang diberikan guru sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik dan layak untuk diberikan pada setiap jenis kebutuhan sesuai kenutuhan. Selanjutnya, Rogers dan Moore dalam Sunardi (1997) mendefinisikan inklusi sebagai bentuk pelayanan dan bantuan yang diberikan kepada anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum, yang pada akhirnya mereka menjadi bagian dari masyarakat sekolah itu, sehingga tercipta suasana pembelajaran yang kondusif. Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan pendidikan terpadu yang mengikutsertakan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak normal lainnya di sekolah umum.

C.    Pendidikan Luar Biasa (PLB)
Perkembangan PLB di Indonesia akhir-akhir ini cenderung mengalami perkembangan yang mengarah pada perubahan sistem yang telah ada. Para ilmuwan PLB menghendaki agar pembelajaran PLB tidak dilakukan secara terpisah (segregated), melainkan secara terpadu (integrated) dengan pendidikan umum. Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun memberi peluang kepada semua anak usia sekolah, tanpa kecuali penyandang cacat, untuk memperoleh pendidikan minimal SLTP.
Dengan demikian, anak penyandang cacat/ketunaan dapat belajar secara bersama-sama atau terpadu dengan anak normal lainnya pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Pelaksanaan pembelajaran terpadu khususnya bagi peserta didik penyandang tunanetra telah dimulai dilaksanakan di beberapa sekolah dasar reguler pada tahun 1987 (Sunardi, 1997). Hal tersebut telah ditetapkan pula dengan SK Mendikbud No. 0222/0/1979 tentang Penyelenggaraan Perintisan dan Pengembangan Pendidikan Terpadu bagi Anak Luar Biasa pada sekolah dasar.
Secara historis, sebagian besar penyelenggara PLB di negara-negara maju pada pertengahan tahun 70-an dilaksanakan secara terpisah, dimana sekolah tersebut memberikan pelayanan khusus bagi sekelompok anak yang memiliki ketunaan tertentu yang sejenis (Foremen Phil, 1996). Ketunaan dimaksud misalnya tuna penglihatan (tunanetra), tuna pendengaran (tunarungu), tuna bicara (tunawicara), tuna intelektual (tunagrahita), tuna fisik (tunadaksa) dan sebagainya. Adakalanya, terutama dalam memberikan pelayanan maupun pendekatan PBM, masing-masing ketunaan tersebut didasarkan atas hipotesis bahwa kemungkinan besar anak yang memiliki ketunaan akan belajar di tempat atau lingkungan yang terpisah. Secara teori, untuk menyelenggarakan PLB yang terpisah, minimal perlu disediakan kelas kecil dan pengajaran serta peralatan yang sesuai dengan ketunaannya.
Namun, setelah tahun 70-an terjadi perubahan yang kuat ke arah pendidikan anak dengan kebutuhan khusus di sekolah/kelas reguler. Beberapa istilah yang dipergunakan dalam hubungannya dengan proses perubahan tersebut adalah integrasi (integration), inklusi (inclusion), mainstreaming, dan normalisasi (normalization). Masing-masing istilah tersebut memiliki makna yang berbeda, namun kesemuanya secara tidak langsung menyatakan bahwa peserta didik yang memiliki ketunaan akan menggunakan sarana-sarana pendidikan yang sama dengan yang digunakan oleh anak normal lainnya (Foremen Phil, 1996).

D.    Implikasi Perkembangan PLB di Negara Maju
Perkembanghan sistem layanan PLB di negara-negara maju sepenuhnya terpisah dan cenderung mengarah pada layanan terpadu terjadi di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia. Di Inggris misalnya, menurut laporan Warnock (1978) yang dikutip Sunardi (1997), terdapat dua alasan pokok sebagai indikator adanya perkembangan sistem layanan dari layanan terpisah ke layanan terpadu, yaitu: (1) semakin sedikitnya anak luar biasa yang belajar di sekolah-sekolah khusus, dan (2) semakin banyak anak penyandang cacat belajar di sekolah reguler. Menurut Sunardi (1997), dari tahun 1982-1987 anak yang belajar di sekolah khusus turun 8%, sedangkan anak cacat yang belajar di sekolah reguler naik mencapai 21%. Antara tahun 1987 sampai dengan 1991, jumlah murid di sekolah khusus turun 9%, sedangkan jumlah anak luar biasa di sekolah reguler meningkat 31%. Puncak perkembangan ke arah integrative terjadi tahun 1991 dengan diratifikasinya Educational Act (Undang-Undang Pendidikan) yang menjabarkan konvensi Peraturan Pemerintah yang menegaskan bahwa anak luar biasa mempunyai hak untuk dibantu mencapai kemandirian dan integrasi sosial secara optimal.
Pada waktu konsep mainstreaming dan least restrictive environment disosialisasikan di negara-negara Skandinavia (1960), PLB di Amerika Serikat masih mencari bentuk. Pada saat itu efektivitas sistem layanan PLB secara terpisah mulai dipertanyakan. Hal tersebut terjadi karena anak penyandang cacat mental (tunagrahita) atau gangguan emosi-sosial ringan dan anak berkesulitan belajar disediakan layanan di tempat khusus, sedangkan para penyandang cacat yang lebih berat diberikan layanan di panti-panti atau sekolah khusus. Dengan menggunakan analogi pendidikan terpadu bagi kelompok minoritas di Amerika Serikat (di antaranya penduduk berkulit hitam), para pakar PLB berpendapat bahwa anak-anak luar biasa pun sebaiknya dididik secara terpadu dengan teman-teman yang normal. Di samping itu, didapatkan bukti secara empiris bahwa telah banyak terjadi salah identifikasi anak luar biasa karena intrumen penjaringan yang diskriminatif. Penyediaan layanan pendidikan secara terpisah ternyata secara ekonomis tidak efisien. Selain itu, anak-anak yang memiliki ketunaan tertentu yang dididik dalam lingkungan belajar yang terpadu secara akademik dan sosial ternyata lebih unggul daripada anak-anak yang dididik secara terpisah (Sunardi, 1997).
Berdasarkan hasil implementasi konsep mainstreaming dan least restrictive environment di negara-negara Skandinavia yang dinyatakan berhasil, Presiden Kennedy menugaskan beberapa pakar PLB ke negara-negara tersebut untuk mempelajari konsep dimaksud untuk selanjutnya diterapkan di Amerika Serikat (Sunardi, 1997). Akibat perkembangan konsep tersebut, disusunlah Public Law 94-142 yang pada tahun 1975 dikenal dengan Education for All Handicapped Children Act. Undang-Undang tersebut menekankan: (1) zero reject, yaitu tidak ada satu sekolah pun yang menolak anak bersekolah karena cacat; (2) non discriminatory assessment atau tes identifikasi yang tidak diskriminatif berdasarkan budaya, bahasa, dan suku; (3) individualized educational plan, yaitu program pembelajaran yang diindividualkan; dan (4) least restrictive environment, yakni pendidikan pada lingkungan yang paling tidak terbatas (Sunardi, 1997).
Semenjak adanya Undang-Undang tersebut, di Amerika Serikat terjadi banyak perubahan terhadap layanan PLB. Menurut Shanker (1995) dalam Sunardi (1997), paling tidak ada empat perkembangan dalam dua dasawarsa, yaitu: Public Law 98-199 tahun 1983, yang mengharuskan sekolah merencanakan program transisi pada tingkat sekolah lanjutan, mengadakan pelatihan bagi orangtua serta menyediakan pusat informasi. Layanan PLB diperluas sampai dengan sekolah lanjutan. Bagi anak yang lebih tinggi usianya diperlukan program transisi dari rumah ke sekolah dan masyarakat atau sebaliknya. Isi materi kurikulum lebih diperkaya dengan program sosialisasi dan kemasyarakatan.
Public Law 99-457 tahun 1986, yang menekankan layanan khusus bagi penyandang cacat usia balita merupakan keharusan. Untuk itu, jenis ketunaan setiap anak harus diketahui sedini mungkin. Oleh karenanya, pemeriksaan secara intensif bagi anak balita harus dilakukan, sehingga apabila terdapat tanda-tanda atau kecacatan pada balita tersebut, intervensi, dan stimulasi sedini mungkin dapat mengurangi dampak negatif kecacatannya.
Law 101-479 tahun 1990-1991, yang prinsipnya merupakan penggantian istilah handicap dengan disabilities. Dengan demikian the Educational for all Handicapped Children Act diganti dengan theIndividuals with Disabilities Educatiom Act. Konsekuensi selanjutnya, jangkauan layanan PLB juga diperluas bagi anak penderita autistik dan gegar otak berat. Begitu pula jenis layanan yang disediakan diperluas dengan layanan rekreasi penyembuhan (therapheuthic recreation), teknologi bantu (assistive technology), pekerjaan sosial (social work) dan bimbingan rehabilitasi (counceling rehabilitation).
Keputusan Konggres 1994 memberikan rekomendasi bagi pelaksanaan Public Law tahun 1990-1991 tentang the Individuals with Disabilities Education Act. Secara mendasar rekomendasi hasil Konggres tersebut mendorong pelaksanaan integrasi (inclusion) penyandang cacat di kelas-kelas biasa di sekolah reguler. Lebih lanjut, beberapa pakar pendukung konsep inclusion berpendapat bahwa inclusion merupakan satu-satunya alternatif penempatan pendidikan bagi semua anak luar biasa (Douglas Binklen, Steven J, Tailor, Mara Sapon-Shevin; Margerth C. Wang; Maynard C. Reynolds, Herbert J. Welberg) dalam Sunardi (1997).
Rekomendasi tersebut didukung oleh organisasi profesi seperti Association for Supervision and Curriculum Development, National Association of State Boards of Education dan The Association of Persons with Severe Hadicaps. Sekalipun demikian, beberapa pakar meragukan konsep tersebut dan masih mendukung penerapan beberapa alternatif penempatan peserta didik seperti pada konsep-konsep mainstreaming (James Kauffman dan Martha Snell, Douglas Fuchs dan Lynch Fuchs) dalam Sunardi (1997).
Perbedaan pendapat tersebut mempermasalahkan tingkat efisiensi penerapan konsep baru dan bukan merupakan prinsip dasar konsep itu. Padahal untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi perlu diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan konsep tersebut. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa timbulnya keraguan lebih mempertimbangkan hasil pelaksanaan konsep dan bukan prinsip dasar konsep. Sebagai salah satu indikator yang tidak begitu serius dari keraguan pandangan terhadap konsep baru itu ternyata organisasi profesi PLB di Amerika Serikat (The Council for Exceptional Children) tetap mendukung agar anak luar biasa sedapat mungkin dididik bersama dengan teman sebayanya yang normal. Meskipun demikian, organisasi tersebut menyarankan beberapa alternatif penempatan peserta didik penyandang ketunaan tertentu di sekolah terpadu (O’Neil, 1993, dalam Sunardi, 1997).

E.     Perkembangan PLB di Indonesia
1.     Perkembangan sampai dengan tahun 1984.
Perkembangan PLB di Indonesia secara berangsur-angsur mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat, terutama setelah adanya UU Pendidikan Nomor 12 tahun 1954. Undang-Undang tersebut memuat ketentuan tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Namun demikian, lembaga yang mengelola, mengawasi, dan mensupervisi mengalami perubahan seiring dengan perubahan tata usaha negara. Dari tahun 1954 sampai dengan tahun1963 lembaga PLB, yaitu SLB, dan lembaga pendidikan guru PLB, yaitu SGPLB, dikelola dan diawasi oleh instansi yang sama, dan organisasi pengawasanya mengalami perkembangan.
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa lembaga yang mengawasi PLB adalah sebagai berikut: (a) Tahun 1954 diawasi oleh seksi Pengajaran Luar Biasa (Bagian dari Balai Pendidikan Guru yang berkedudukan di Bandung), (b) Tahun 1955 diawasi oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa yang merupakan bagian dari Jawatan Pengajaran dan berkedudukan di Jakarta, (c) tahun 1957 diawasi oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa yang merupakan bagian dari Jawatan Pendidikan Umum dan berkedudukan di Jakarta.
Pada tahun 1963 terjadi perubahan struktur organisasi pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu terjadi pemisahan pengawasan antara SLB dengan SGPLB sebagai berikut: (a) PLB diawasi oleh Dinas PLB yang merupakan bagian dari Direktorat Pendidikan Prasekolah (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Luar Biasa (SLB), (b) Lembaga Pendidikan Guru PLB dikelola oleh Dinas Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis yang merupakan bagian dari Direktorat Pendidikan Menengah dan Guru, (c) IKIP Bandung mempelopori program Sarjana Muda PLB dengan lebih menekankan pada upaya menghasilkan tenaga ahli dalam PLB dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Pada tahun 1980 terjadi pemisahan pengelolaan PLB dan LPKPLB, dimana PLB dikelola oleh Sub Direktorat Pembinaan SLB di bawah Direktorat Pendidikan Dasar pada Ditjen Dikdasmen, sedangkan lembaga pendidikan guru SLB dikelola oleh Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis, Ditjen Dikdasmen, dan program Sarjana PLB tetap dikelola oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sampai dengan tahun 1984 telah didirikan sekitar 400 SLB, dan sebagian besar dikelola oleh organisasi swasta berbentuk Yayasan. SLB diklasifikasikan menjadi enam kelompok berdasarkan jenis ketunaan, yakni: SLB-A untuk menyandang tunanetra, SLB-B, untuk penyandang tunarungu dan wicara, SLB-C untuk penyandang tunagrahita, SLB-D untuk penyandang tunadaksa, SLB-E untuk penyandang tunalaras, SLB-G untuk penyandang tunaganda. Semua SLB pembelajarannya dilaksanakan secara terpisah.

2.     Perkembangan Setelah Tahun 1984
Tahun 1984 memiliki arti penting bagi perkembangan PLB di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya kemauan politik pemerintah (political will) untuk menyelenggarakan Program Wajib Belajar 6 Tahun. Ini berarti bahwa semua anak usia sekolah harus menyelesaikan pendidikannya minimal sampai dengan pendidikan sekolah dasar (SD).
Program tersebut ditindaklanjuti dengan perintisan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun yang perintisannya dimulai tahun 1989 dan diimplementasikan pada tahun 1994. Dengan demikian, semua anak usia sekolah tanpa kecuali diharapkan memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan sampai dengan SLTP. Gerakan wajib belajar tersebut secara langsung mempunyai dampak positif, sebab anak penyandang ketunaan tertentu tidak semuanya dapat tertampung di SLB yang ada, sehingga harus isalurkan/ditampung di sekolah umum atau kelompok belajar. Oleh arena jumlah SLB yang ada sangat terbatas dan letak sebagian besar SLB berada di perkotaan, serta sebagian besar SLB dikelola oleh swasta, maka kondisi tersebut mendorong pemerintah (Depdikbud) untuk mencari upaya pemecahannya dengan beberapa alternatif, yaitu: Pengenalan bentuk pelayanan PLB yang baru melalui SDLB,. dilakukan melalui dana proyek Inpres tahun 1984 dan telah didirikan 208 buah SLB di 200 kabupaten/ kotamadya yang sama sekali belum memiliki SLB.
Ujicoba di beberapa SD umum/biasa untuk menerima anak yang memiliki ketunaan tertentu (tunanetra) dengan syarat anak yang bersangkutan memiliki kemampuan akademik yang normal. Sekolah yang demikian selanjutnya disebut sekolah dasar (SD) Terpadu. Pendirian SLB Pembina di berbagai daerah di Indonesia sekaligus mempunyai tujuan untuk penelitian, pelatihan, dan pendidikan dalam bidang PLB.
Menurut Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis (Ditgutentis) (1991) yang dikutip Sunardi (1997), sampai dengan tahun 1990, jumlah SLB di Indonesia mencapai 525 dengan rincian 502 SLB dikelola oleh Yayasan Swasta dan 23 SLB negeri dikelola oleh Depdikbud. Jumlah tersebut telah mencakup penyelenggara PLB di tingkat SLTP dan SM. Lebih lanjut pada tahun 1994 diberlakukan kebijakan Depdikbud tentang penggunaan kurikulum 1994, khusus untuk PLB. Kebijakan tersebut telah memilah-milah jenjang PLB yaitu: SDLB, SLTPLB, dan SMLB. Dengan berlakunya kebijakan itu, ada kecenderungan anak penyandang ketunaan yang memiliki kemampuan akademik yang normal didorong untuk berintegrasi dengan SD, SLTP, dan SMU. Tingkat SLP dan SMU memberi peluang lebih pada anak yang memiliki ketunaan untuk berkembang lebih baik, mengingat kurikulum jenjang tersebut memberikan banyak program keterampilan. Di samping itu, jenjang pendidikan calon guru PLB yang dianggap layak dari 2 tahun setelah SM diubah menjadi program sarjana di IKIP/FKIP Universitas.
Dampak dari kebijakan tersebut adalah dialihfungsikannya beberapa SGPLB ke SLTP dan SM, sedangkan lainnya dialihkan ke jurusan PLB pada IKIP/FKIP universitas terdekat. Selanjutnya, kurikulum program sarjana PLB disempurnakan dan tingkatkan untuk menghasilkan calon guru PLB yang sesuai dengan tuntutan kemajuan iptek.
Nampaknya perubahan PLB di Indonesia tidak begitu pesat seperti di negara maju lainnya dan bentuk layanannya masih cenderung terpisah. Walaupun telah dikembangkan layanan baru dengan cara mengintegrasikan ke sekolah umum/biasa, tetapi hasilnya masih belum menggembirakan. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang berbagai permasalahan dalam layanan PLB di sekolah terpadu dan upaya pemecahannya, seluruh aspek/komponen yang mempengaruhi pendidikan terpadu PLB perlu diteliti/dikaji secara hati-hati dan cermat. Sistem layanan PLB yang terbaik hingga kini masih diperdebatkan. Sebagai contoh, di kalangan pendukung konsep inclusion menghindari pemakaian istilah luar biasa, sementara kelompok yang lain tetap menginginkan pemakaian istilah tersebut. Apa pun yang masih menjadi polemik di kalangan para ahli PLB, nampaknya semuanya mengarah pada perbaikan dan atau pengembangan PLB sesuai dengan situasi dan kondisi yang ditunjang oleh berbagai aturan/kebijakan dan kebutuhan masa kini dan mendatang.

3.     Komponen Pendidikan Terpadu
Komponen pendidikan terpadu pada prinsipnya tidak berbeda dengan komponen pendidikan lainnya yang terdiri atas masukan (input), unsur penunjang, proses KBM, dan keluaran/hasil (output). Komponen-komponen tersebut merupakan lingkup yang dipertimbangkan dalam pengembangan sekolah terpadu
Aspek masukan (input) dalam hal ini adalah peserta didik yang memiliki ketunaan serta memiliki kemampuan akademik yang normal sehingga dapat mengikuti pembelajaran di sekolah biasa. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam aspek masukan adalah: (a) cara mengidentifikasi, (b) cara menempatkan, (c) cara melayani, (d) cara mengukur kemampuan akademik serta latar belakang pengalaman/ pendidikan anak sebelum mendaftar di sekolah terpadu. Dalam hal penempatan, Alan Bowd (1988) mengklasifikasikan dalam 8 kelompok yaitu: (1) kelas reguler; (2) kelas berkala (part-time class) dengan pembelajaran khusus kadang-kadang di kelas reguler; (3) kelas khusus sesuai dengan ketunaan; (4) kelas kombinasi; (5) sekolah hari-hari khusus; (6) berada di sekolah khusus (special residential school); (7) di rumah sakit; dan (8) homebound.
Aspek proses dalam pelaksanaan pendidikan terdapat beberapa komponen yang saling mempengaruhi adalah sebagai berikut. Tenaga Kependidikan dalam hal ini dibatasi pada tenaga pendidik yaitu guru kelas dan guru pembimbing khusus (GPK). Dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, guru sebagai tenaga pendidik memiliki arti yang sangat penting dalam keberhasilan pendidikan. Mantan Presiden Suharto, pernah dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa peranan guru merupakan titik sentral dan strategis dalam kegiatan pendidikan. Di samping itu guru yang diperlukan bukan hanya guru yang cerdas dan mampu mengajar, tetapi guru yang memiliki karakter yang dapat menjadi teladan bagi peserta didik (Pidato Pelantikan Anggota BPPN masa bakti 1993-1998). Dengan kata lain, kualitas dan kinerja guru sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses pendidikan.
Kualitas guru tidak terlepas dari latar belakang pendidikan, kompetensi, dan pengalaman mengajar serta kinerja dalam melaksanakan tugas pokoknya. Selanjutnya, ketersediaan guru (kelas dan pembimbing khusus) yang memadai juga dapat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan pembelajaran guru pembibing khusus adalah guru khusus yang bertugas di sekolah umum, memberikan bimbingan dan pelayanan kepada anak cacat yang mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan di sekolah terpadu. Guru pembimbing khusus minimal lulusan SGPLB dan atau sederajat.
Sarana prasarana pendidikan sebagai alat bantu mengajar merupakan salah satu aspek yang dapat mempermudah/mempercepat pembelajaran suatu konsep/topik tertentu. Sarana-prasarana pendidikan dapat berupa gedung, alat peraga praktik, peralatan praktik, bahan praktik, buku teks, buku penunjang serta media pendidikan. Sarana pendidikan yang telah dimiliki sekolah serta kelengkapannya, khususnya bagi peserta didik penyandang ketunaan tertentu dapat mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran di sekolah. Sarana dan prasarana pendidikan yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan terpadu adalah sarana dan prasarana yang ada pada lembaga pendidikan tersebut, kecuali alat-alat khusus bagi penyandang ketunaan tertentu.
Kurikulum sebagai wahana untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, idealnya kurikulum disusun secara luwes/fleksibel, yang memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan dan kebutuhan, sehingga benar-benar dapat memenuhi kebutuhan minimal peserta didik. Oleh karena itu, penerapan kurikulum dalam pendidikan terpadu, perlu memperhatikan jenis dan tingkat ketunaan, kemampuan individu, serta kebutuhan khusus agar anak dapat berkembang secara wajar. Kurikulum yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pendidikan terpadu adalah kurikulum yang berlaku pada sekolah yang bersangkutan. Dengan kondisi seperti itu, apakah kurikulum yang berlaku dalam sistem pendidikan terpadu bersifat luwes? Hal ini tentunya disesuaikan dengan tingkat ketunaan dan kesulitan peserta didik serta peran GPK sangat menentukan.
Metode sebagai cara untuk mencapai tujuan pembelajaran, seharusnya telah diketahui dan dikuasai oleh guru kelas/guru pembimbing khusus. Namun demikian, apakah setiap guru menggunakan metode mengajar yang bervariasi sesuai dengan topik dan atau tingkat kesukaran? Disadari sepenuhnya bahwa idealnya seorang guru kelas maupun guru pembimbing khusus dapat mengajar dengan berbagai metode, untuk peserta didik yang normal maupun memiliki ketunaan. Akan tetapi asumsi yang kuat cenderung menyatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh guru kelas tanpa diberi pelatihan khusus dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, di setiap sekolah terpadu diperlukan guru pembimbing khusus. Untuk itu, berbagai metode mengajar yang diterapkan oleh guru kelas dan Guru Pembimbing Khusus dalam melaksanakan pendidikan terpadu perlu diteliti lebih lanjut.
Penilaian merupakan satu kesatuan yang utuh dengan proses belajar mengajar. Oleh karena itu, penilaian diperlukan untuk memperoleh informasi tentang kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik, dan secara tidak langsung dapat menggambarkan pelaksanaan kurikulum dan kinerja guru. Menurut Ngalim Purwanto (183) hasil penilaian dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Oleh karena itu, dalam menyusun tes hasil belajar perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) tes harus dapat mengukur hasil belajar sesuai dengan tujuan instruksional; (b) dibuat serepresentatif mungkin ; (c) dibuat dengan cermat dan sesuai dengan tujuan tes itu sendiri; serta (d) soal tes harus dijamin validitas, reabilitas, objektivitas, serta kepraktisannya. Penilaian terhadap hasil belajar anak dengan kebutuhan pendidikan khusus pada pendidikan terpadu dilaksanakan oleh guru kelas dan atau guru mata pelajaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada sekolah yang bersangkutan. Namun demikian, dengan adanya otonomi pendidikan, maka ada kemungkinan masing-masing sekolah memiliki kebijakan sendiri-sendiri. Artinya, aspek keluwesan sangat dipertimbangkan daripada mengikuti aturan secara kaku. Dengan demikian, murid yang berkelainan akan diperlakukan sama dengan murid yang tidak menyandang kelainan dan atau ada perbedaan perlakuan. Hal ini sangat dimungkinkan bagi penyandang ketunaan dan kesulitan belajar sesuai dengan karakter tingkat ketunaan dan kesulitan belajar.
Manajemen merupakan faktor yang menentukan dalam mengatur dan mempengaruhi mekanisme proses pembelajaran di sekolah. Oleh karenanya, manajemen sekolah penyelenggaraan pendidikan terpadu perlu diperhatikan dan dikaji lebih lanjut terutama dalam aspek-aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan demikian, gambaran umum manajemen yang cocok untuk diterapkan dan dikembangkan di sekolah terpadu dapat ditentukan sesuai dengan potensi sumber daya pendidikan yang ada.
Aspek penunjang pelaksanaan SD terpadu pada dasarnya secara legal dilindungi oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dimana setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pengajaran. Secara operasional, UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab III ayat 5, menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berarti bahwa anak berkesulitan membaca, menulis, dan menghitung maupun penyandang ketunaan lainnya seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, dan tuna laras memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Di samping itu, Surat Keputusan Mendikbud Nomor 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 dan No.0222/0/1979 secara resmi mendukung pelaksanaan pendidikan terpadu bagi anak berkesulitan belajar dan penyandang ketunaan lainnya di sekolah umum dan dilayani secara terpadu. Dengan demikian, warga negara Indonesia yang memiliki kelainan dan atau kesulitan belajar dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler sesuai dengan tingkat ketunaan dan kesulitannya (pendidikan terpadu).
Aspek luaran (output) meliputi kualitas dan kuantitas peserta didik menamatkan pendidikan pada jenjang sekolah dasar. Kualitas luaran pendidikan terpadu diharapkan dapat setara dengan prestasi peserta didik normal dalam mata pelajaran-mata pelajaran tertentu sesuai dengan potensi masing-masing individu. Sedangkan secara kuantitas, diharapkan luaran anak berkesulitan belajar dan penyandang ketunaan secara ringan dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian, luaran pendidikan terpadu diharapkan dapat sejajar dan mampu bersaing dengan peserta didik yang normal.

4.     Pendidikan Terpadu Binaan Puslitjak
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan (Puslitjak) Balitbang Depdiknas telah melakukan ujicoba terbatas pendidikan terpadu di sekolah dasar sejak tahun anggaran 1999/2000. Ujicoba tersebut dilaksanakan di Gugus 2 Sukoliman, Kecamatan Karangmodjo yang meliputi SDN Karangmodjo 3, SDN Sukoliman 2, SDN Gedongan 1, SDN Gedongan 2, SDN Pangkah, SDN Karangwetan dan SD Muhammadiyah Sumberrejo. Peran Puslitjak dalam ujicoba dimaksud adalah sebagai fasilitator dengan memanfaatkan berbagai narasumber dari instansi yang terkait. Model SD terpadu yang dikembangkan diharapkan dapat diterapkan di sekolah dasar pada umumnya, terutama yang dalam lingkungan radius tertentu terdapat SLB, sehingga lebih terbantu dari aspek penyediaan guru pembimbing khusus.
Narasumber dalam pemberian pelatihan terdiri dari unsur Direktorat PLB Ditjen Dikdasmen, Dosen PLB Universitas Sebelas Maret-Surakarta, Guru SLB Ngawis Gunung Kidul, dan Lembaga Swadaya Masyarakat Yogyakarta. Pelatihan yang diberikan meliputi cara-cara: (a) mengidentifikasi anak berkesulitan belajar dan penyandang ketunaan, (b) melayani anak berkesulitan belajar dan (c) melayani anak penyandang ketunaan. Sasaran pelatihan adalah guru kelas dan kepala sekolah pada masing-masing SD serta penilik sekolah yang termasuk dalam gugus 3 Karangmojo, Kecamatan Karangmodjo. Di samping itu, staf Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kantor Dinas Propinsi yang relevan dengan pendidikan SD/SDLB.
Pemberian dana dari Puslitjak bersifat pendukung dalam penyelenggaraan pelatihan dan keperluan lain yang sifatnya insidentil. Dengan demikian, apabila ada keperluan dana tambahan, hal tersebut merupakan tanggung jawab Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Karangmodjo dan Dinas Pendidikan Kabupaten setempat. Dengan kata lain, apabila diperlukan dana untuk keperluan KBM dalam penyelenggaraan pelayanan pendidikan terpadu, pihak daerah (Pemda) setempat berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Tenaga kependidikan dalam penyelenggaraan pendidikan terpadu terdiri atas guru kelas, guru mata pelajaran, dan guru pembimbing khusus. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pendidikan terpadu, masing-masing guru telah memiliki pembagian tugas seperti berikut.
Guru kelas, antara lain bertugas: (a) menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif sehingga peserta didik yang membutuhkan pelayanan pendidikan khusus merasa nyaman dan senang belajar di kelas atau di sekolah terpadu bersama-sama dengan peserta didik lainnya yang normal, (b) melaksanakan proses belajar-mengajar untuk semua mata pelajaran di kelas yang menjadi tanggung jawabnya (kecuali Penjaskes dan pendidikan Agama), (c) memberikan program remidial atau pengayaan pada anak yang memiliki kebutuhan pelayanan khusus sesuai dengan kebutuhan masing-masing, (d) menyusun Satuan Pelajaran (Satpel) dan melaksanakannya bersama-sama dengan guru pembimbing khusus.
Guru mata pelajaran, antara lain bertugas: (a) menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga peserta didik dengan kebutuhan pelayanan pendidikan khusus merasa nyaman dan senang di kelas, (b) bertanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan proses belajar-mengajar mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, (c) memberikan program remidial atau pengayaan pada anak yang memerlukan pelajanan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhan mereka, (d) menyusun Satuan Pelajaran dan melaksanakannya bersama-sama dengan guru pembimbing.
Guru pembimbing khusus, antara lain bertugas: (a) menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga peserta didik dengan kebutuhan pelayanan pendidikan khusus merasa nyaman dan senang di kelas, (b) memberi bimbingan langsung kepada setiap siswa yang memerlukan pelayanan pendidikan khusus serta mengoptimalkan potensinya, bimbingan dapat dilakukan di dalam sekolah maupun di luar sekolah, (c) memberi bantuan kepada guru kelas/mata pelajaran agar dapat memberikan pelayanan kepada peserta didik dengan kebutuhan pelayanan pendidikan khusus yang menjadi tanggung jawabnya, (d) melaksanakan administrasi murid sesuai dengan bidang tugasnya.
Sarana Prasarana pendidikan yang diperlukan dalam pembelajaran sekolah terpadu pada umumnya sama dengan kebutuhan sekolah umum lainnya. Dengan demikian, mereka dapat menggunakan sarana dan prasarana yang ada di sekolah dasar yang menyelenggarakan pendidikan terpadu. Namun demikian, dalam kasus-kasus tertentu (seperti penyandang ketunaan) perlu dilengkapi alat bantu belajar-mengajar tersendiri. Misalnya, alat bantu dengar, alat ukur pendengaran, dan kamus sistem isyarat bahasa Indonesia bagi siswa tunarungu; kacamata, teleskop, riglet, dan huruf braile bagi anak tunanetra; alat rampp dan kursi roda bagi anak tunadaksa; dan sebagainya. Keperluan alat tersebut tidak harus disediakan oleh sekolah, namun dapat meminjam dari SLB yang terdekat dan atau pinjam ke instansi lain yang memilikinya, seperti LSM atau Yayasan Penyelenggara Anak Cacat. Dalam hal ini dibutuhkan ketangguhan managerial skills kepala sekolah dan guru dalam mewujudkan kerja sama secara intensif dengan pihak luar.
Kewenangan sekolah ujicoba diberi tugas dan wewenang antara lain untuk (a) mengidentifikasi anak yang mempunyai kesulitan belajar (membaca, menulis dan menghitung) dan anak yang mempunyai ketunaan ringan di setiap kelas, (b) mendata jumlah peserta didik yang memerlukan pelayanan khusus, (c) melaporkan hasil pendataan kepada kepala sekolah, (d) berkonsultasi dengan Guru Pembimbing Khusus, (e) memberi pelayanan seoptimal mungkin terhadap anak yang memerlukan pelayanan khusus, (e) melakukan evaluasi kemajuan peserta didik, (f) melakukan kerjasama dengan pihak terkait, seperti dokter, LSM yang relevan, SLB, Kantor Dinas Kabupaten, Propinsi dan Pemda setempat, (g) melakukan kontak dengan orang tua siswa yang memiliki pelayanan khusus secara berkelanjutan.
Pengembangan pendidikan luar biasa di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perubahan yang positif. Sebagai salah satu indikator perubahan tersebut dapat dilihat pada jumlah lembaga penyelenggara SLB baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Pola pembelajaran dari terpisah (segregated) menjadi terpadu (integrated), dimana pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun memberi peluang bahwa anak yang memiliki kesulitan belajar dan penyandang ketunaan dapat bersekolah di sekolah reguler. Hal ini ditunjang oleh SK Mendikbud nomor 002/U/1986 Pasal 1 ayat 1 tentang model pendidikan terpadu dan nomor 0222/0/1979 tentang penyelenggaraan perintisan sekolah terpadu di sekolah dasar. Pendidikan terpadu di SD diselenggarakan dan dibina oleh Direktorat PLB.
Puslitjak Balitbang Depdiknas juga merintis dengan pola pendekatan lain dengan pendekatan yang biasanya dilakukan oleh sebuah "proyek" pada umumnya (semuanya serba lengkap dibantu pusat). Perbedaan yang menonjol adalah sifat pembinaan, dimana Puslitjak hanya berfungsi sebagai fasilitator di bidang pelatihan guru, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Kebutuhan lain yang diperlukan dalam pengembangan model SD terpadu dilakukan dengan cara memanfaatkan potensi sumber daya manusia dan sumber daya pendidikan yang ada di daerah setempat. Replikasi ke SD lain akan dilakukan dengan cara imbas, dimana guru, kepala sekolah dan penilik sekolah yang telah diberi bekal pelatihan tentang pelayanan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki kesulitan belajar dan penyandang ketunaan mengimbaskan ke sekolah lain.
Agar pengembangan ini dapat direplikasikan ke SD lainnya sesuai dengan tujuan pengembangan model ini, maka beberapa hal perlu dilakukan adalah sebagai berikut. Cetak biru (blue print) model SD terpadu perlu disempurnakan sesuai dengan kebutuhan dan perubahan kelayakan program dan disosialisasikan ke daerah. Untuk itu perlu dilakukan jaringan kerjasama (net working) secara intensif dengan pihak terkait (Pemda, LSM, Kantor Cabang, Dinas Kabupaten/Propinsi, SLB, Depsos, dll) untuk menentukan pembagian tugas masing-masing sesuai dengan profesi, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Di samping itu, dalam menyelenggarakan pelatihan hendaknya diciptakan suatu metode pelatihan yang bervariasi, misalnya pengenalan pola/sistem pendidikan terpadu dengan melihat video sekolah terpadu, kunjungan ke SLB terdekat, diskusi kelompok, dan rencana aksi (action plan) setelah pelatihan. Seyogyanya pihak Direktorat PLB perlu menindak lanjuti hasil kemajuan sementara hasil ujicoba SD terpadu yang dikembangkan oleh Puslitjak dalam upaya pembinaan lebih lanjut.

F.     Program Kemitraan
Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang memadukan secara sistematik dan sinkron antara program pendidikan di sekolah dengan penguasaan keahlian yang diperoleh melalui bekerja langsung di dunia kerja/industri. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan di SMK perlu dijalin kerjasama/program kemitraan antara sekolah dengan DU/DI dan memerlukan partisipasi masyarakat secara umum;
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, telah dibentuk Majelis Pendidikan Kejuruan tingkat Nasional (MPKN), tingkat Propinsi (MPKP) dan tingkat sekolah (Majelis Sekolah/MS) yang keanggotaannya terdiri dari berbagai unsur yang terkait antara lain dari DU/DI, Asosiasi Profesi, Pemda, Kadinda, Dikmenjur (Pusat dan Daerah) serta unsur sekolah dan masyarakat setempat. Melalui MPK ini telah terbentuk pula Kelompok Bidang Keahlian (KBK) untuk 89 Bidang Keahlian Profesi, yang bertugas melakukan analisis jabatan keahlian dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan DU/DI;
Perkembangan pelaksanaan PSG di SMK selama kurun waktu lima tahun ini telah menunjukkan angka yang cukup menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari perkembangan data siswa (SMK Negeri dan Swasta) yang melaksanakan praktik kerja industri dalam rangka PSG dan industri yang berpartisipasi sebagai berikut :

TAHUN
PELAJARAN
JML. SISWA PRAKTIK KERJA DIINDUSTRI
JML. INDUSTRI YANG
BERPARTISIPASI
1994/1995
36.700
6.078
1995/1996
62.487
11.214
1996/1997
409.734
50.603
1997/1998
410.378
61.590
1998/1999
590.000
72.868
Peluang Kerjasama Industri Dengan SMK

Melalui jaringan kemitraan telah membuka peluang bagi industri untuk bekerjasama dengan SMK, dan dari kerjasama tersebut pihak dunia usaha/industri dapat mengambil manfaat antara lain :
1.     Dapat mendeteksi secara dini potensi siswa SMK, untuk menjamin perolehan tenaga yang sesuai dengan keperluan usahanya;
2.     Dapat memanfaatkan fasilitas dan tenaga kependidikan yang tersedia di SMK untuk kegiatan pelatihan khusus sesuai dengan kebutuhan perusahaan;
3.     Karakteristik Kurikulum SMK yang luwes dan adaptif, memberikan peluang untuk melayani pelatihan yang bersifat spesifik (kompetensi khusus) sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pihak DU/DI ;
4.     Dapat memanfaatkan peralatan praktik baik yang berskala produksi (production unit) maupun berskala pelatihan (training Unit), untuk mengembangkan produksi barang dan jasa, sehingga mampu meningkatkan efisiensi di perusahaannya.
5.     Penempatan siswa prakerin di lini produksi juga sangat membantu perusahaan dalam melakukan efisiensi, karena pengeluaran untuk tenaga kerja dapat ditekan secara optimal.

G.    Keuntungan Program PSG Bagi PEMDA
Sedangkan untuk masyarakat luas dalam hal ini PEMDA setempat, keuntungan yang dapat diperoleh dari program kemitraan ini, antara lain :
1.     Melalui program prakerin mampu memberikan bekal kemampuan profesional bagi tamatan SMK, sehingga dapat memberi sumbangan bagi perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja, yang pada gilirannya dapat lebih meningkatkan produksi yang bermutu. Hal tersebut akan berpengaruh langsung dalam peningkatan pendapatan daerah setempat;
2.     Program PSG merupakan salah satu upaya untuk menyiapkan tenaga terampil yang mampu bersaing dan memiliki jiwa kemandirian yang tinggi, hal ini praktis akan membuka peluang untuk mengurangi angka pengangguran di wilayah setempat;
3.     Pengembangan industri yang merupakan bagian integral dari program pengembangan wilayah /PEMDA, idealnya harus dirancang secara terpadu dengan program pengembangan SDM yang sebagian dapat disiapkan melalui program pelatihan di SMK setempat.
H.    DAFTAR PUSTAKA
Alan Bowd, 1988, Exceptional Children in Class, Australia: Hargreen Publishing Company.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Balai Pustaka.
_______, 1999, Undang Undang Dasar Republik Indonmesia, Jakarta: Depdikbud.
_______, 1995, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Depdikbud.
Mulyono Abdurrahman, 1997, Tantangan dan Hambatan PLB : Makalah disajikan pada Seminar Pengembangan PLB dalam rangka Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun, Jakarta : FIP-IKIP Jakarta.
_______, 1997, Prospek Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) di Masa yang akan datang : Makalah disajikan pada Diskusi Panel Tentang Evaluasi Sosialisasi SIBI oleh Direktorat Pendidikan Dasar pada tanggal 31 Juli 1997, Jakarta.
Ngalim Purwanto, 1983, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Jakarta: FIP-IKIP Jakarta.
Pusat Penelitian Kebijakan, 1999, Penelitian tentang Pendidikan Luar Biasa, Jakarta: Puslit.
______, 2000, Konsep Model Pendidikan Terpadu, Jakarta: Balitbang Diknas.
Foremen Phil, 1996, Integration and Inclusion In Action, Sydney-Australia: Harcourt Brace.
Sunardi, 1997, Arah Pengembangan Pendidikan Luar Biasa : Makalah disajikan dalam Seminar Pengembangan PLBdalam rangka Penuntasan Wajib Belajar Dikdas 9 tahun, Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Surat Keputusan (SK) Mendikbud Nomor: 002/U/1986 tentang Model Penyelenggaraan Program pendidikan bagi anak cacat yang diselenggarakan bersama-sama anak normal di lembaga pendidikan umum
Surat Keputusan Mendikbud No. 0222/0/1979 tentang Penyelenggaraan Perintisan dan Pengembangan Pendidikan Terpadu bagi Anak Luar Biasa pada Sekolah Dasar.
Widji Suparno, 1999/2000, The Opinion of Teachers anda Pupils towards School Integration as a Preparation for Inclusion in the Karangmodjo, a sub Region of Gunung Kidul Yogyakarta, A Thesis submited in partial fulfilmenet of the requirement for the Master of Philosophi in Special Needs Education, Faculty of Education, University of Oslo, Norwegia (unpublished).



BAB VIII
PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU

A.     Rasional
Memasuki abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan, para peramal masa depan (futurist) mengatakan sebagai abad pengetahuan karena pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.
Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.
Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.(Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).
Banyak faktor yang menyebabkan kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah berupaya agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan.
B.    Pendidikan Abad Pengetahuan
Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.
Berbagai implikasi kecenderungan di atas berdampak terhadap dunia pendidikan yang meliputi aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan. Selanjutnya Naisbitt (1995) mengemukakan ada 8 kecenderungan besar di Asia yang ikut mempengaruhi dunia yaitu; (1) dari negara bangsa ke jaringan, (2) dari tuntutan eksport ke tuntutan konsumen, (3) dari pengaruh Barat ke cara Asia, (4) dari kontol pemerintah ke tuntutan pasar, (5) dari desa ke metropolitan, (6) dari padat karya ke teknologi canggih, (7) dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum wanita, (8) dari Barat ke Timur. Kedelapan kecenderungan itu akan mempengaruhi tata nilai dalam berbagai aspek, pola dan gaya hidup masyarakat baik di desa maupun di kota. Pada gilirannya semua itu akan mempengaruhi pola-pola pendidikan yang lebih disukai dengan tuntutan kecenderungan tersebut. Dalam hubungan dengan ini pendidikan ditantang untuk mampu menyiapkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan kecenderungan itu tanpa kehilangan nilai-nilai kepribadian dan budaya bangsanya.
Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.
Nilai-nilai keluarga hendaknya tetap dilestarikan dalam berbagai lingkungan pendidikan; (5) Asas belajar sepanjang hayat harus menjadi landasan utama dalam mewujudkan pendidikan untuk mengimbangi tantangan perkembangan jaman; (6) Penggunaan berbagai inovasi Iptek terutama media elektronik, informatika, dan komunikasi dalam berbagai kegiatan pendidikan, (7) Penyediaan perpustakaan dan sumber-sumber belajar sangat diperlukan dalam menunjang upaya pendidikan dalam pendidikan; (8) Publikasi dan penelitian dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang terkait, merupakan suatu kebutuhan nyata bagi pendidikan di abad pengetahuan.

Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek, etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai aspeknya.

Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama.

Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif. Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut ini;


Abad Industri

1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sbgai smber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum.
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn
    waktu  Yang   terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6.
Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan
     survei
7. Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada kelas
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14.
Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma
Abad Pengetahuan

1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing,
     konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn waktu
     yang 
     terbatas fleksibel sesuai keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan survei
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua jenis
      belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar, penasehat,
      kawan sebaya dan diri sendiri.

Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;
1.     Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2.     Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3.     Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang "murni" dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad Pengetahuan yang "murni", besar kemungkinannya menemukan metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru.
4.     Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajarsendiri.
5.     Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.

Yang paling penting dalam pengembangan profesionalisme adalah pengembangan paradigma baru pembelajaran yang mampu memberikan peluang dan tantangan yang besar bagi perkembangan profesional, baik pada preservice dan inservice guru-guru. Di banyak hal, paradigma ini menggambarkan redefinisi profesi pengajaran dan peran-peran yang dimainkan guru dalam proses pembelajaran. Meskipun kebutuhan untuk merawat, mengasuh, menyayangi dan mengembangkan anak-anak kita secara maksimal itu akan selalu tetap berada dalam genggaman pengajaran, tuntutan-tuntutan baru Abad Pengetahuan menghasilkan sederet prinsip pembelajaran baru dan perilaku yang harus dipraktikkan. Berdasarkan gambaran pembelajan di abad pengetahuan di atas, nampalah bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam menghadapi berbagai tantangan ini.
Pengembangan Profesionalisme Guru.Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalis-me bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.

C. Standar Pengembangan Profesionalisme
Memperhatikan kualitas guru di Indonesia memang jauh berbeda dengan dengan guru-guru yang ada di Amerika Serikat atau Inggris. Di Amerika Serikat pengembangan profesional guru harus memenuhi standar sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) dan NRC (1996) bahwa ada empat standar pengembangan profesi guru yaitu;
1.     Standar pengembangan profesi A ; adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri. Para guru dalam sketsa ini melalui sebuah proses observasi fenomena alam, membuat penjelasan-penjelasan dan menguji penjelasan-penjelasan tersebut berdasarkan fenomena alam;
2.     Standar pengembangan profesi B; adalah pengembangan profesi untuk guru sains memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan, dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains. Pada guru yang efektif tidak hanya tahu sains namun mereka juga tahu bagaimana mengajarkannya. Guru yang efektif dapat memahami bagaimana siswa mempelajari konsep-konsep yang penting, konsep-konsep apa yang mampu dipahami siswa pada tahap-tahap pengembangan, profesi yang berbeda, dan pengalaman, contoh dan representasi apa yang bisa membantu siswa belajar;
3.     Standar pengembangan profesi C; adalah pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran sepanjang masa. Guru yang baik biasanya tahu bahwa dengan memilih profesi guru, mereka telah berkomitmen untuk belajar sepanjang masa. Pengetahuan baru selalu dihasilkan sehingga guru berkesempatan terus untuk belajar;
4.     Standar pengembangan profesi D; adalah program-program profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu. Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan kesempatan-kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan.

Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana uraian di atas, di Amerika Serikat sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional guru dituntut memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Dimensi lain pola pembinaan profesi guru adalah (1) hubungan erat antara perguruan tinggi dengan pembinaan SLTA; (2) meningkatkan bentuk rekrutmen calon guru; (3) program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan; (4) meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik; (5) pelaksanaan supervisi; (6) peningkatan mutu manajemen pendidikan berdasarkan Total Quality Management (TQM); (7) melibatkan peran serta masyarakat berdasarkan konsep linc and match; (8) pemberdayaan buku teks dan alat-alat pendidikan penunjang; (9) pengakuan masyarakat terhadap profesi guru; (10) perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan perundangan; dan (11) kompetisi profesional yang positif dengan pemberian kesejahteraan yang layak.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional khususnya dan kehidupan kita umumnya.
Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran (SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya.
Akadum (1999) menyatakan dunia guru masih terselingkung dua masalah yang memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan; (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah.
Selain faktor di atas faktor lain yang menyebabkan rendahnya professional-isme guru disebabkan oleh antara lain; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri tidak ada; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan di negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya Perguruan Tinggi /LPTK sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi tanpa mempehitungkan outputnya kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi.
Akadum (1999) juga mengemukakan bahwa ada lima penyebab rendahnya profesionalisme guru; (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara makssimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Kecenderungan PGRI bersifat politis memang tidak bisa disalahkan, terutama untuk menjadi pressure group agar dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Namun demikian di masa mendatang PGRI sepantasnya mulai mengupayakan profesionalisme para anggo-tanya. Dengan melihat adanya faktor-fak tor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, pemerintah berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru.

Upaya Meningkatkan Profesionalisme Guru. Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan profesionalisme guru diantaranya meningkatkan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga pengajar mulai tingkat persekolahan sampai perguruan tinggi. Program penyetaaan Diploma II bagi guru-guru SD, Diploma III bagi guru-guru SLTP dan Strata I (sarjana) bagi guru-guru SLTA. Meskipun demikian penyetaraan ini tidak bermakna banyak, kalau guru tersebut secara entropi kurang memiliki daya untuk melakukan perubahan. Selain diadakannya penyetaraan guru-guru, upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi. Program sertifikasi telah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (Dit Binrua) melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar (ADB Loan 1442-INO) yang telah melatih 805 guru MI dan 2.646 guru MTs dari 15 Kabupaten dalam 6 wilayah propinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan Kalimantan Selatan (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi upaya lain yang telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan profesionalisme guru, misalnya PKG (Pusat Kegiatan Guru, dan KKG (Kelompok Kerja Guru) yang memungkinkan para guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan mengajarnya (Supriadi, 1998).
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru. Dengan demikian usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai penghasil guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua berubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
Kesimpulan dan Saran. Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.

E.   DAFTAR PUSTAKA

Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/ News/1999/01/ 220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Dahrin, D.2000.Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas,Forum Rektor Indonesia.Vol.1 Hlm 24.
Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/News/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70
Pantiwati, Y. 2001. Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Program Sertifikasi Guru Bidang Studi (untuk Guru MI dan MTs). Makalah Dipresentasikan. Malang: PSSJ PPS Universitas Malang. Hlm.1-12.
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/ PTRFWEB/ journal1040.html, diakses 7 Juni 2001)
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or "We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What"? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.


BAB IX
IMPLIKASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN INTERNET
TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA

A.      Pendahuluan
Dimana saja kita membaca, saat ini, sulit untuk menghindari dari informasi atau tulisan tentang teknologi informasi (information technology, IT) dan Internet. Hal ini tidak saja terjadi di negara Amerika, akan tetapi di Indonesia juga. Surat kabar dan majalah dipenuhi dengan cerita sukes dan gagal dari individu atau perusahaan yang merangkul IT dan Internet. Tulisan singkat ini akan sedikit mengulas implikasi IT terhadap dunia Pendidikan di Indonesia. Sebelum mebahas lebih lanjut, mari kita bahas dahulu apa yang dimaksud dengan IT dan Internet. Teknologi Informasi adalah sama dengan teknologi lainnya, hanya informasi merupakan komoditas yang diolah dengan teknologi tersebut. Dalam hal ini, teknologi mengandung konotasi memiliki nilai ekonomi. Teknologi pengolah informasi ini memang memiliki nilai jual, seperti contohnya teknologi database, dan security. Kesemuanya dapat dijual. Bentuk dari teknologi adalah kumpulan pengetahuan (knowledge) yang diimplementasikan dalam tumpukan kertas (stacked of papers), atau sekarang dalam bentuk CD-ROM. Tumpukan kertas inilah yang anda  dapatkan jika anda membeli sebuah teknologi.
Apa memang benar ? informasi? merupakan sebuah komoditas? Jawaban singkat adalah ya. Sebagai contoh, jika seorang pilang mengetahui bahwa besok nilai tukar rupiah akan jatuh dengan drastis, maka ia akan bergegas ke bank untuk menukarkan rupiah dengan dollar. Demikian pula jika kita mengetahui bahwa ada berita tentang terungkapnya skandal pejabat negara , maka kita akan segera mencari tahu tentang berita tersebut. Contoh-contoh di atas menujukkan bahwa informasi telah menjadi komoditas yang berharga. Itulah sebabnya kita memiliki surat kabar, majalah, tabloid dan sekarang berubah menjadi situs web seperti Kompas.com, Pikiran-Rakyat.com, Detik.com, dan masih banyak situs web lainnya. Kesemuannya mengandalkan informasi sebagai komoditas.

B.      Implikasi Perkembangan IT dan Internet
Komputer telah mulai menjadi suatu hal yang biasa di Indonesia. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap kantor kabupaten telah terdapat komputer. Bahkan pada daerah-daerah tertentu komputer telah dipakai sampai pada taraf kecamatan atau bahkan sampai kalurahan. Demikian pula halnya dengan keluarga. Jumlah keluarga yang mempunyai komputer menunjukkan peningkatan sebagai hasil kemajuan dari pembangunan ekonomi. Ini berarti bahwa jumlah masyarakat yang mempunyai akses terhadap komputer meningkat dari waktu ke waktu. Lebih jauh ini berarti bahwa program pendidikan berbasis komputer dapat dikembangkan untuk kelompok ini.
Teknologi lain yang telah diterapkan di Indonesia yaitu jaringan komputer Internet. Jaringan Internet adalah jaringan komputer yang mampu menghubungkan komputer di seluruh dunia sehingga informasi, berbagai jenis dan dalam berbagai bentuk seperti yang telah dijelaskan di atas dapat dipakai secara bersama-sama. Telah banyak perusahaan swasta yang menyediakan jasa sambungan ke jaringan Internet. Perusahaan ini juga telah mempunyai cabang di kota-kota kecil selain kota besarnya.
Sebagai contoh adalah PT Pos Indonesia. Pada Divisi Teknologi dan Sistem Informasi PT Pos Indonesia, saat ini juga telah menjadi salah satu penyedia jasa sambungan ke Internet (Wasantara-Net) dan telah membuka cabang di setiap ibukota propinsi (Wasantara-Net, 1996). Pengembangan Nusantara-21 dimulai pada tahun 1996 dan target service points pada tahun 2001 cukup memberikan tantangan bagi dunia pengajaran, pendidikan dan latihan. Target tersebut antara lain bahwa pada tahun 2001, 70 persen dari SD, SMP, SMU dan perguruan tinggi di seluruh Nusantara harus bisa menjadi service points. Target yang lain adalah pada tahun 2001 itu juga seluruh rumah sakit di Indonesia akan mempunyai hubungan dengan rumah sakit di negara lain untuk pertukaran informasi, riset gabungan dan diskusi ilmiah. Pada tahun 2001 itu pula direncanakan akan ada pusat informasi di 27 kota propinsi dan 250 kota kabupaten untuk menyebarluaskan program keluarga sejahtera dan keluarga berencana.
Arti dari penerapan IT oleh Deparpostel adalah semakin besarnya peluang masyarakat untuk mengakses komputer dan jaringan Internet beserta kandungan informasi yang ada di dalamnya. Walaupun belum mampu melayani seluruh rakyat Indonesia, tetapi prosentasi masyarakat yang akan terlayani akan jauh lebih besar dari keadaan sekarang ini. Tuntutan untuk menyediakan layanan bagi seluruh rakyat secara serentak tentunya juga tidak realistis. Namun, bagi dunia pendidikan hal ini berarti tersedianya saluran atau sarana yang dapat dipakai untuk menyiarkan program pendidikan. Karena sifat Internet yang dapat dihubungi setiap saat, artinya masyarakat dapat memanfaatkan program-program pendidikan yang disediakan di jaringan Internet kapan saja sesuai dengan waktu luang mereka sehingga kendala ruang dan waktu yang mereka hadapi untuk mencari sumber belajar dapat teratasi.Tulisan ini hanya membahas implikasi dalam Dunia Pendidikan saja. Seperti kita ketahui bahwa objek-objek tersebut menjadi komoditas yang cukup strategis didalam penerapan IT.

C.      Teknologi Informasi dan Pendidikan Indonesia
Dunia pendidikan di Indonesia dalam waktu dekat akan mendapatkan bahan obrolan baru, dengan digulirkannya rencana penerapan e-Education pada Pendidikan di Indonesia. Bukan tidak mungkin hal ini merupakan jawaban yang ditunggu-tunggu oleh berbagai pihak yang memendam keprihatinan dan kegelisahan terhadap sistem pendidikan nasional Indonesia.
Dunia Pendidikan memang belum pernah benar-benar menjadi wacana publik di Indonesia, dalam arti dibicarakan secara luas oleh berbagai kalangan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan urusan pendidikan. Namun demikian, bukan berarti bahwa permasalahan ini tidak pernah menjadi perhatian.
Berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan telah dilakukan selama ini, melibatkan baik pemerintah maupun pihak swasta, sekalipun bersifat sektoral dan tidak pernah menjadi isu nasional. Dimulai dengan berbagai kebijakan dan program pemerintah yang bercirikan pemerataan kesempatan pendidikan (broad-based), sampai dengan pendirian sekolah-sekolah unggulan oleh pihak swasta yang mengutamakan kualitas; dengan pijakan yang beragam pula, mulai dari kewajiban konstitusional dan moral untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sampai dengan mempersiapkan bangsa menuju tatanan global yang semakin kompetitif dan mementingkan kualitas.
Apabila kita amati dengan seksama, apa sebenarnya yang menjadi inti permasalahan pada dunia pendidikan , mungkin jauh lebih sulit dari menggantang asap. Berbagai hal dapat saja dipersalahkan sebagai pokok masalah yang menghambat kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. Namun demikian, proses belajar mengajar konvensional yang mengandalkan tatap muka antara guru dan murid, dosen dengan mahasiswa, pelatih dengan peserta latihan, bagaimanapun merupakan sasaran empuk yang paling mudah dibidik oleh suara-suara kritis yang menghendaki peningkatan kualitas pada dunia pendidikan.Masalah ini pula kiranya yang dibidik oleh para penggagas IT untuk Pendidikan di Indonesia. Dalam dunia modern yang hiruk pikuk di mana segala sesuatunya bergerak dengan cepat dan harus diselesaikan dalam waktu ang nyaris bersamaan, tatap muka di ruang kelas dipandang tidak efisien, terlalu membuang-buang waktu, dan pada gilirannya ternyata juga tidak efektif. Dengan perkembangan pesat di bidang teknologi telekomunikasi, multimedia, dan informasi; mendengarkan ceramah, mencatat di atas kertas sudah tentu ketinggalan jaman.
Bila hal seperti itu sudah merupakan kelaziman di Amerika Serikat pada dasawarsa yang telah lalu, maka Indonesia baru mulai mempelajari berbagai kemungkinan pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan memasuki milenium ketiga ini. Baru-baru ini Telkom, Indosat, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan kesiapannya untuk mengembangkan IT untuk pendidikan di Indonesia, dimulai dengan proyek-proyek percontohan.Telkom menyatakan akan terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas infrastruktur jaringan telekomunikasi yang diharapkan dapat menjadi tulang punggung (backbone) bagi pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan serta implementasi-implementasi lainnya di Indonesia.
Bahkan, saat ini Telkom mulai mengembangkan teknologi yang memanfaatkan ISDN (Integrated Sevices Digital Network) untuk memfasilitasi penyelenggaraan konferensi jarak jauh (teleconference) sebagai salah satu aplikasi pembelajaran jarak jauh.Banyak hal dapat diajukan untuk membenarkan pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional Indonesia. Kondisi geografis Indonesia dengan sekian banyaknya pulau yang terpencar-pencar dan kontur permukaan buminya yang seringkali tidak bersahabat, biasanya diajukan untuk menjagokan pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan yang mengandalkan kemampuan pembelajaran jarak jauhnya sesegera mungkin di Indonesia.
Namun demikian, upaya pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan di Indonesia juga mensyaratkan pengkondisian di berbagai sektor lain yang saling terkait dengan operasional pendidikan itu sendiri. Kesiapan pemerintah dipertanyakan dalam hal ini, apakah infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan ini.Permasalahan kedua, pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan, dihadapkan baik kepada pihak pemerintah maupun pihak swasta; walaupun pada akhirnya terpulang juga kepada pemerintah, bagaimana ia dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan.
Permasalahan ketiga, keempat, kelima? dan seterusnya, kiranya harus mendapatkan porsi pembahasan tersendiri. Tersendiri, karena berbicara mengenai apa yang hakiki, yang esensial dari sesuatu masalah biasanya memakan waktu dan energi yang tidak sedikit. Namun demikian, pembicaraan yang panjang, melelahkan, dan tak akan ada habis-habisnya ini toh harus dilakukan juga; karena berbicara mengenai teknologi apa pun, ketiga komponen esensial darinya piranti (equipment), cara penggunaan, dan tentu saja manusianya harus dipenuhi semua.
Berbagai perkembangan teknologi yang disaksikan sejarah, dari mulai kapak perimbas sampai Internet, menjalani suatu proses rumit yang secara ringkas menempuh langkah-langkah mengetahui apa (yang menjadi) kebutuhan (know-what), mengapa (ada) kebutuhan (know-why), bagaimana (memenuhi) kebutuhan (know-how).

1.        Implikasi di bidang Pendidikan
Sejarah IT dan Internet tidak dapat dilepaskan dari bidang pendidikan. Internet di Indonesia mulai tumbuh dilingkungan akademis (di UI dan ITB), meskipun cerita yang seru justru muncul di bidang bisnis. Mungkin perlu diperbanyak cerita tentang manfaat Internet bagi bidang pendidikan. Adanya Internet membuka sumber informasi yang tadinya susah diakses. Akses terhadap sumber informasi bukan menjadi masalah lagi. Perpustakaan merupakan  salah satu sumber informasi yang mahal harganya. (Berapa banyak perpustakaan di Indonesia, dan bagaimana kualitasnya?.) Adanya Internet kemungkinkan seseorang di Indonesia untuk mengakses perpustakaan di Amerika Serikat berupa Digital Library. Sudah banyak cerita tentang pertolongan Internet dalam penelitian, tugas akhir. Tukar menukar informasi atau tanya jawab dengan pakar dapat dilakukan melalui Internet. Tanpa adanya Internet banyak tugas akhir dan thesis yang mungkin membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk diselesaikan.
Permasalahan kedua, pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan, dihadapkan baik kepada pihak pemerintah maupun pihak swasta; walaupun pada akhirnya terpulang juga kepada pemerintah, bagaimana ia dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang endidikan.Permasalahan ketiga, keempat, kelima? dan seterusnya, kiranya harus mendapatkan porsi pembahasan tersendiri. Tersendiri, karena berbicara mengenai apa yang hakiki, yang esensial dari sesuatu masalah biasanya memakan waktu dan energi yang tidak sedikit. Namun demikian, pembicaraan yang panjang, melelahkan, dan tak akan ada habis-habisnya ini toh harus dilakukan juga; karena berbicara mengenai teknologi apa pun, ketiga komponen esensial darinya piranti (equipment), cara penggunaan, dan tentu saja manusianya harus dipenuhi semua. Berbagai perkembangan teknologi yang disaksikan sejarah, dari mulai kapak perimbas sampai Internet, menjalani suatu proses rumit yang secara ringkas menempuh langkah-langkah mengetahui apa (yang menjadi) kebutuhan (know-what), mengapa (ada) kebutuhan (know-why), bagaimana (memenuhi) kebutuhan (know-how).
Kerjasama antar pakar dan juga dengan mahasiswa yang lletaknya berjauhan secara fisik dapat dilakukan dengan lebih mudah. Dahulu, seseorang harus berkelana atau berjalan jauh untuk menemui seorang pakar untuk mendiskusikan sebuah masalah. Saat ini hal ini dapat dilakukan dari rumah dengan mengirimkan email. Makalah dan penelitian dapat dilakukan dengan saling tukar menukar data melalui Internet, via email, ataupun dengan menggunakan mekanisme file sharring dan mailing list. Bayangkan apabila seorang mahasiswa di Sulawesi dapat berdiskusi masalah teknologi komputer dengan seoran pakar di universitas terkemuka di pulau Jawa. Mahasiswa dimanapun di Indonesia dapat mengakses pakar atau dosen yang terbaik
di Indonesia dan bahkan di dunia. Batasan geografis bukan menjadi masalah lagi.
Sharring information juga sangat dibutuhkan dalam bidang penelitian agar penelitian tidak berulang (reinvent the wheel). Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat digunakan bersama-sama sehingga mempercepat proses pengembangan ilmu dan teknologi.Virtual university merupakan sebuah aplikasi baru bagi Internet. Virtual university memiliki karakteristik yang scalable, yaitu dapat menyediakan pendidikan yang diakses oleh orang banyak. Jika pendidikan hanya dilakukan dalam kelas biasa, berapa jumlah orang yang dapat ikut serta dalam satu kelas? Jumlah peserta mungkin hanya dapat diisi 40 - 50 orang. Virtual university dapat  diakses oleh siapa saja, darimana saja.
Pesatnya perkembangan IT, khususnya internet, kemungkinkan pengembangan layanan informasi yang lebih baik dalam suatu institusi pendidikan. Dilingkungan perguruan tinggi, pemanfaatan IT lainnya yaitu diwujudkan dalam suatu sistem yang disebut electronic university (e-University). Pengembangan e-University bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidika, sehingga perguruan tinggi dapat menyediakan layanan informasi yang lebih baik kepada komunitasnya, baik didalam maupun diluar perguruan tinggi tersebut melalui internet. Layanan pendidikan lain yang bisa dilaksanakan melalui sarana internet yaitu dengan menyediakan materi kuliah secara online dan materi kuliah tersebut dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan.
Khusus untuk dunia pendidikan secara umum di indonesia ada satu layanan situs internet yang menyajikan kegiatan sistem pendidikan di indonesia. situs ini dimaksudkan untuk merangkum informasi yang berhubungan dengan perkembangan pendidikan yang terjadi dan untuk menyajikan sumber umum serta jaringan komunikasi (forum) bagi administrator sekolah, para pendidik dan para peminat lainnya. Tujuan utama dari situs ini adalah sebagai wadah untuk saling berhubungan yang dapat menampung semua sektor utama pendidikan.
Disamping lingkungan pendidikan, misalnya pada kegiatan penelitian kita dapat memanfaatkan internet guna mencari bahan atau pun data yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut melalui mesin pencari pada internet. Situs tersebut sangat berguna pada saat kita membutuhkan artikel, jurnal ataupun referensi yang dibutuhkan.
Inisiaif-inisiatif penggunaan IT dan Internet di luar institusi pendidikan formal tetapi masih berkaitan dengan lingkungan pendidikan di Indonesia sudah mulai bermunculan. Salah satu inisiatif yang sekarang sudah ada adalah situs penyelenggara ?Komunitas Sekolah Indonesia?. Situs yang menyelenggarakan kegiatan tersebut contohnya plasa.com.
Bagi Indonesia, manfaat-manfaat yang disebutkan di atas sudah dapat menjadi alasan yang kuat untuk menjadikan Internet sebagai infrastruktur bidang pendidikan. Untuk merangkumkan manfaat Internet bagi bidang pendidikan di Indonesia:
1.     · Akses ke perpustakaan;
2.     · Akses ke pakar;
3.     · Melaksanakan kegiatan kuliah secara online;
4.     · Menyediakan layanan informasi akademik suatu institusi
         pendidikan;
5.     · Menyediakan fasilitas mesin pencari data;
6.     · Meyediakan fasilitas diskusi;
7.     · Menyediakan fasilitas direktori alumni dan sekolah;
8.     · Menyediakan fasilitas kerjasama;
9.     · Dan lain - lain.
2.  Kendala di Indonesia
Bangsa Indonesia sejauh ini selalu saja terlambat mengetahui apa yang menjadi kebutuhan umat manusia, sehingga mereka tidak tahu bahwa jangkauan komunikasi yang jauh, media yang mampu menampung segala bentuk informasi, daninformasi yang beraneka ragam adalah hal-hal penting yang dibutuhkan manusia jawaban atas pertanyaan ?apa?. Akhirnya mereka pun tidak tahu bahwa ternyata perkembangan teknologi sampai saat terakhir seperti pemancar radio dan televisi, telepon, dan sebagainya belum memadai untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan itu jawaban atas pertanyaan ?mengapa?. Terlebih lagi, mereka tentu tidak tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, yang mana adalah Internet dan sebagainya itu jawaban atas pertanyaan ?bagaimana?.
Jika memang IT dan Internet memiliki banyak manfaat, tentunya ingin kita gunakan secepatnya. Namun ada beberapa kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin. Salah satu penyebab utama adalah kurangnya ketersediaan sumber daya manusia, proses transformasi teknologi, infrastruktur telekomunikasi dan perangkat hukumnya yang mengaturnya. Jaringan telepon masih belum tersedia di berbagai tempat di Indonesia. Biaya penggunaan jasa telekomunikasi juga masih mahal. Harapan kita bersama hal ini dapat diatasi sejalan dengan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih dan semakin murah.Penetrasi komputer (PC) di Indonesia masih rendah. Untuk itu perlu dipikirkan akses ke Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Sementara itu tempat akses Internet dapat diperlebar jangkauannya melalui fasilitas di kampus, sekolahan, dan bahkan melalui warung Internet.
Mengingat sangat drasitisnya perkembangan IT, apabila kita tidak awas terhadap berbagai pengaruh tadi, bukan tidak mungkin kita terperangkap dalam perubahan-perubahan tersebut, alias sekadar jadi "budak" teknologi. Segala sesuatu dalam hidup kemudian diperhamba oleh teknologi, bahkan bisa mengurangi interaksi dan sosialisasi dengan individu-individu lain. Dalam teknologi Internet dan radio digital, misalnya, pada kenyataannya telah melahirkan sebuah komunitas baru yang  virtual (maya alias tidak nyata). Pasti ada perubahan perilaku pada mereka yang menjadi pecandu Internet. Mereka berkomunikasi di sebuah dunia lain, mungkin tanpa pernah mengenal atau bertatap langsung dengan rekannya di dunia tersebut.Kendati demikian, berbagai kenyataan tersebut hendaknya tidak dilihat dengan penuh kecemasan. Sebab yang terpenting adalah menumbuhkan kesadaran mengenai fenomena ini untuk kemudian mencoba mengambil sejumlah peluang yang tersaji di hadapan mata. Misalnya bagaimana memanfaatkan Internet atau radio digital untuk membanjirinya dengan informasi-informasi mengenai implementasi dibidang pendidikan pada khususnya Perkembangan IT yang-antara lain-melahirkan media baru, seperti radio Internet, bisa jadi secara sepintas akan dilihat sebagai ancaman. "Misalnya ancaman serbuan yang dahsyat dari nilai-nilai budaya asing yang disebarluaskan lewat media-media tadi. Namun, dengan kreativitas, ancaman ini justru bisa diubah menjadi peluang. Dengan memanfaatkan keglobalan mediamedia baru tersebut, kita malah bisa menawarkan nilai-nilai keindonesiaan dalam percaturan informasi ini.
Teknologi-teknologi baru ini juga membawa dampak dalam etika jurnalistik dapat dicontohkan, penggunaan berbagai peralatan canggih untuk melakukan peliputan memungkinkan memperoleh bahan berita tanpa diketahui oleh subyek berita. Akan tetapi, kenyataan ini bisa memunculkan dilema, yakni apakah kita harus mendahulukan bahan berita yang mesti didapat, ataukah kita menjunjung tinggi etika. Khususnya didunia pendidikan, perlunya bimbingan tenaga edukatif sebagai pengontrol langsung dilingkungan akademik dan orang tua dilingkungan rumah untuk bersama-sama memberikan penjelasan secara gamblang/tidak ditutup-tutupi kepada peserta didik. Sehingga dengan demikian mereka tidak mencari sendiri informasi tersebut, yang mungkin akan menjerumuskan mereka ke hal-hal yang tidak baik. Dilain pihak bahwa lingkungan akademik dapat memproteksi keberadaan situs-situs yang tidak dikehendaki melalui suatu program yang sudah banyak disediakan di pasaran.Tulisan yang singkat ini semoga dapat memberikan tambahan wawasan bagi para pembaca sekalian, bahwa IT dan Internet sudah tidak dapat kita hindari. Bahkan, semestinya IT dan Internet kita gunakan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia.

D.      DAFTAR  PUSTAKA
Febrian, Jack., Menggunakan Internet, Informatika Bandung, 2001;
Alexander,S., Teaching and Learning on the World Wide Web, http://www. scu. edu. edu.au/Ausweb95/papers/education/alexander;
Put, D.,Stal,J., Zurowicz, M.,The Use Intenet in the teaching Process, SIGCSE  Bulletin, 1999;
A, Mewati.,Investasi Online e-University, Seminar Sehari Penerapan
Teknologi Informasi dalam mendukung akreditasi perguruan tinggi, November 2001;
HW, Syamsul., Kampus Maya Ibuteledukasi?, Tabloid Komputek edisi 272, Juli 2002;
Adin, M., Perkembangan Produk TI Indonesia di Tengah Lesunya Upaya Pemerintah,
Tabloid Pcplus edisi 83 tahun II juni 2002;
DEPDIKBUD., GER and NER of Secondary Education (General + Islamic). [Online].
Available: URL. File: http://www.pdk.go.id/New/2nd.html , Mei 1996;



BAB X
REFORMASI PENDIDIKAN INDONESIA

                Krisis multidimensi telah membawa bangsa Indonesiaterpuruk dalam berbagai aspek kehidupan.  Dan sudah kurang lebih 5 tahun sejak krisis melanda, negara-negara tetangga yang juga terkena krisis seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tampak sudah bangkit.  Lain halnya dengan Indonesia, walaupun sudah terlihat tanda-tanda perbaikan akan tetapi bangsa kita ini ternyata sangat lambat dan bahkan sulit keluar dari krisis. 
Kesalahan pemerintah masa lalu, dimana pembangunan hanya ditekankan pada pembangunan ber-sifat fisik dan agak mengabaikan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM),  telah memberikan konsekuensinya.  Indonesia lebih sulit untuk keluar dari krisis dibandingkan negara lain yang mengalaminya juga.

A.     Arti Penting Pendidikan
Banyak ahli telah mengungkap-kan pentingnya pengembangan SDM, khususnya melalui peranan pen-didikan, dalam pertumbuhan ekonomi.  Menurut teori human capital pendidikan memberi pengaruh pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan keterampilan dan pro-duktivitas kerja.  Theodore W. Schultz pada tahun 1961 mengungkapkan bahwa Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam sumber daya manusia, selain kesehatan dan migrasi. Robert M. Solow pemenang Nobel bidang ekonomi pada tahun 1987 menekankan peranan ilmu pengetahuan dan investasi sumber daya manusia dalam memacupertumbuhan ekonomi (Wahyudi, 2000).  Dan dari teori Solow yang kemudian dikembangkan menjadi teori baru pertumbuhan ekonomi (The New Growth Theory) tersebut dapat disimpulkan bahwa pen-didikan merupakan dasar pertum-buhan ekonomi.  Ke-cenderungan juga mem-perlihatkan pada abad ke-21 akan muncul ekonomi baru yang berbasiskan ilmu pengetahuan.
Seperti yang telah di-ungkapkan Schutz dan Solow serta ahli-ahli ekonomi lain bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pertum-buhan ekonomi melalui peningkatan kualitas SDM.  Hal ini dapat dilihat pada negara Jepang, dimana kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pen-didikan.  Sistem pen-didikan Jepang yang baik telah menghasilkan manusia-manusia berkualitas sehingga walaupun hancur setelah kekalahan dalamPerang Dunia II, mereka dapat cepat bangkit maju dan bahkan bersaing dengan negara yang mengalah-kannya dalam perang. Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura juga memperlihatkan fenomena yang tidak jauh berbeda dari negeri matahari terbit ini, dimana kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan adalah karena tingginya kualitas SDM-nya. Keadaan di Indonesia berbeda jauh sekali dengan negara-negara tersebut. Dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang relatif lebih banyak, negara kita ternyata jauh tertinggal. 
Arif Rahman,  pakar pendidikan, mengungkapkan bahwa keadaan kita seperti sekarang ini (rendahnya kualitas SDM) merupakan konsekuensi dari terabaikannya sektor pendidikan dalam pembangunan.  Ini terlihat dari rendahnya proporsi APBN untuk sektor pendidikan.  Anggaran pendidikan kita jauh ter-tinggal dari Malaysia dan Singapura yang tak kurang 20% dari APBN-nya dialokasikan untuk pendidikan.
Beberapa waktu yang lalu, banyak kalangan memprihatinkan akan kualitas SDM kita karena dianggap  rendah dan tertinggal.  Rendahnya kualitas SDM tersebut kemudian dihubung-hubungkan dengan lemah-nya sistem pendidikan nasional.  Bahkan, Anwar Arifin (Wakil Ketua Komisi VI DPR RI) mengatakan bahwa saat ini dunia pendidikan di Indonesia memang sedang dalam bahaya. Sebenarnya bagaimanakah kondisi pendidikan di Indonesia ini sehingga banyak kalangan ber-pendapat demikian?.

B.    Kondisi Pendidikan Indonesia
Saat ini dunia pendidikan Indonesia mengalami beberapa masalah yang perlu segera dibenahi.  Masalah-masalah tersebut meliputi: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi.  Keberhasilan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut amat menentukan masa depan bangsa kita.  Masalah pertama pendidikan Indonesia adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.  
Data  Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga) Departemen Agama tahun 2000 menunjukkan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas.    Kegagalan pem-binaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
Masalah kedua dalam duniapendidikan Indonesia adalah ren-dahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan.  Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.  Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.  Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri.  Adanya ketidakserasian antara hasil pen-didikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. 
Masalah ketiga yang dihadapi pendidikan nasional adalah rendahnya mutu pendidikan.  Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa.  Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.  Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).  Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memer-lukan penalaran.  Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.  Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika.  Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik  di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.  Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 padatahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998,  dan ke-109 tahun 1999.  Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.  Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia.  Dan masih me-nurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia terkait dengan kualitas guru dan pengajar yang masih rendah juga.  Data Balitbang Dep-diknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas.  Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas.  Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas.  Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).  Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pen-didikan tetapi, pengajaran merupa-kan titik sentral pendidikan dankualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pen-didikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Arif Rahman (pakar pendidikan) menyatakan bahwa penghasilan sebagai guru Indonesia sangatlah rendah, bahkan, tambahnya, gaji guru lebih rendah dari penghasilan sebagai seorang supir.  Pendapat tersebut didukung pula oleh Anwar Arifin (Wakil ketua Komisi VI DPR-RI) yang menekankan perlunya peningkatan kesejahteraan guru.
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh Boediono, Kepala Balitbang Depdiknas, yang mengung-kapkan bahwa dalam hal pe-ningkatan kesejahteraan guru hen-daknya jangan hanya dilihat dari satu sisi saja.  Menurutnya guru itu dapat dipandang dari dua sisi yaitu sebagai buruh dan guru sebagai profesi.  Katanya, “Mengenai guru sebagai tenaga kerja, guru itu buruh, dan untuk itu memang tingkat kesejah-teraannya harus dinaikkan.” Tapi masih menurutnya bahwa tidak semua orang yang menjadi guru itu hanya bermotivasi pada uang/penghasilan saja.  Ada juga orang yang menjadi guru karena sudah merupakan cita-citanya ingin menjadi guru.
Akan tetapi, terlepas dari pan-dangan guru sebagai profesi seperti pendapat Boediono, sebagai manusia biasa guru tentunya memer-lukan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi secara layak.  Apalagi pada masa krisis sekarang ini, dimana harga-harga barang melonjak tinggi.  Penghasilan menjadi guru kurang untuk mencukupi kebutuhan hidup  secara layak.  Dan dikhawatirkan banyak anak-anak, terutama anak-anak yang pintar, tidak mau menjadi guru.  Hal ini berbahaya bagi pen-didikan Indonesia di masa men-datang. 
Masalah keempat yang dihadapi adalah masih rendahnya efisiensi pendidikan nasional.  Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari : penyebaran guru yang tidak merata, terjadinya putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu yang pendek, jam belajar yang tidak efektif dan optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel.  berat.
Masalah lain yang berkaitan dengan efisiensi adalah masalah masih rendahnya anggaran pen-didikan terhadap APBN.  Sampai tahun 2000 pengalokasian anggaran pendidikan hanya sebesar 6,3 persen dari APBN, jauh lebih rendah dari Korea, Thailand, Malaysia, dan Singapura yang menganggarkan tidak kurang dari 20 persen dari APBN masing-masing.  Padahal berdasarkan penilaian KKT Pem-bangunan Sosial di Kopenhagen pada 1995 menganjurkan agar anggaran sebesar 20 persen dari total APBN digunakan untuk pembangunan sosial serta 15 persen untuk pen-didikan.  Sementara UNESCO me-nyarankan agar anggaran sektorpendidikan minimal 4 persen dari GDP.

C.    Pembaharuan Sistem Pendidikan
Buruknya kondisi pendidikan memunculkan usulan pembaharuan sistem pendidikan nasional.  Di-samping itu pembaharuan sistem pendidikan dilakukan karena krisis ekonomi.  Hal tersebut diungkapkan oleh Boediono, “Penyesuaian sistem pendidikan dilakukan karena adanya krisis ekonomi.”  Menurutnya  krisis ekonomi pada tahun 1998 telah menyebabkan perubahan struktur dalam masyarakat. “Karenanya,  di-butuhkan suatu penyesuaian sistem pendidikan untuk menanggapi tun-tutan perubahan tersebut,” tambah Boediono.
Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dibuat sebelum masa reformasi, tidak sesuai  demokrasi, otonomi, dan desentralisasi dalam kehidupan ber-bangsa dan bernegara.  Hubungan-nya dengan pendidikan, ketiga prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen  sistem pendidikan. Sehingga perlu ada revisi untuk undang-undang ini.
Oleh karena itu DPR melalui Komisi VI yang menangani bidangPendidikan menyerap aspirasi masyarakat  untuk merevisi Undang-undang No. 2 Tahun 1989. Pem-bahasan Revisi Rancangan  Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) ini dibantu oleh Komite Reformasi Pendidikan (KRP) Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendi-dikan Nasional. Dan mengutip keterangan dari Anwar Arifin (Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI) bahwa setelah melewati seluruh mekanisme yang ada diharapkan pada bulan Agustus 2002 RUU Sisdiknas ini sudah dapat diundangkan.
Seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang menerapkan sistem desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerin-tahan dimana pendidikan termasuk dalam bidang yang didesentralisasi-kan ke pemerintah kota/kabupaten, pembaharuan sistem pendidikan harus segera juga dilakukan.  Sistem pendidikan yang lama disusun berdasarkan prinsip manajemenpendidikan yang sentralistik, tidak sesuai lagi dengan prinsip otonomi pendidikan sebagai implikasi dari pelaksanaan otonomi daerah.  De-ngan kata lain sistem desentralisasi pendidikan harus segera dilak-sanakan.
Menurut Boediono, yang nantinya akan didesentralisasikan dalam pendidikan adalah pengelolaan pendidikan.  Pengelolaan pendidikan SD, SMP dan SMU/SMK nantinya akan diserahkan pada Kabupaten/Kotamadya.  Akan tetapi, tambah-nya, hal tersebut juga disesuaikan dengan kemampuan daerahnya masing-masing.  “Jadi tidak ada ke-bijakan one fit for all”, katanya.
Mengenai desentralisasi pendi-dikan ini, diusulkan sebuah model desentralisasi pendidikan yang dikenal sebagai Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management).  MBS mendesentralisasikan kekuasa-an/kewenangan, pengetahuan, in-formasi, dan penghargaan kepada sekolah.  Melalui MBS sekolah me-miliki kewenangan dalam pengam-bilan keputusan yang terkait lang-sung dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah.  Tujuan MBS adalah me-ningkatkan kinerja sekolah dan terutama kinerja belajar siswa menjadi lebih baik. Kalau kita menengok pengalaman reformasi pendidikan di banyak negara yang dimulai pada dekade 1980-an. Banyak sekolah di Amerika Serikat, Kanada dan Australia yang berhasil menerapkan desentralisasi pen-didikan dengan model MBS.
Salah satu hal yang banyak mendapat kritikan dari masyarakat tentang pendidikan nasional adalah mengenai kurikulum.  Kurikulum yang ada selama ini dianggap tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman.  Dan dalam pemba-haruan sistem pendidikan nasional, kurikulum juga masuk dalam daftar.  Mengenai kurikulum Boediono (Kepala Balitbang Depdiknas) mengatakan bahwa dalam desen-tralisasi pendidikan nanti kurikulum bukan merupakan salah satu hal yang didesentralisasikan. Dalam sistem pendidikan yang baru nanti akan diterapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, lanjutnya.  Dalam kuri-kulum tersebut diidentifikasikan kemampuan dasar (basic competencies) yang harus dikuasai siswa untuk mata pelajaran dan jenjang tertentu. Dengan demikian kemampuan se-bagai hasil belajar yang akan dicapai siswa pada jenjang SD, SLTP, dan SMU dapat ditentukan dengan standar yang jelas.  Disamping itu nantinya materi pengajaran dapat dikembangkan sesuai dengan ke-mampuan siswa di masing-masing daerah dan disesuaikan dengan kondisi lokal.
Mengenai kualitas guru dalam sistem pendidikan yang baru akan lebih diperhatikan.  Dan menyangkut hal ini akan dilakukan peningkatan kesejahteraan guru.  Selain itu dilak-sanakan kualifikasi minimum untuk guru/dosen.  Dalam draf RUU Sis-diknas (pasal 34) tercantum ke-tentuan tentang kualifikasi minimum untuk tenaga pendidikan, yaitu: (1) untuk guru pada pendidikan dasar dan menengah adalah lulusan S1-Kependidikan atau lulusan S1-Non-Kependidikan plus Akta IV, (2) untuk guru pada pendidikan kejuruan di tengah menengah adalah satu tingkat lebih tinggi dari kompetensi tamatan yang dihasilkannya plus Akta IV, (3) untuk dosen program diploma 1 sampai 3 adalah lulusan  S1 atau yang setara, (4) untuk dosen program diploma 4 dan S1 adalah lulusan S2, dalam disiplin ilmu yang diterap-kannya, (5) untuk dosen programpascasarjana adalah lulusan S3 atau guru besar.  Dengan peningkatan kesejahteraan guru dan kualifikasi minimum bagi tenaga pendidikan diharapkan kualitas pengajaran guru/dosen dapat meningkat. 
Mengenai keluhan tentang minimnya pendanaan untuk pen-didikan, dalam RUU Sisdinas coba diatasi dengan pencantuman keten-tuan tentang pengalokasian dana pemerintah untuk pendidikan yaitu sebesar 20% dari APBN, 20% dari APBD Propinsi dan 20% dari APBD Kota/Kabupaten semuanya di luar gaji guru.  Diharapkan dengan pen-cantuman tersebut pembangunan pendidikan Indonesia akan semakin membaik.
Kondisi pendidikan yang seperti sekarang ini, memang pembaha-ruan/reformasi pendidikan mutlak harus dilakukan agar bangsa kita tidak semakin tertinggal.  Gerakan reformasi hendaknya tidak hanya dalam hal politik dan ekonomi saja. Reformasi bidang sosial dan budaya juga harus dilakukan dan dalam hal ini pendidikan memainkan peranan yang penting.  Reformasi pendidikan merupakan panacea (obat mujarab) bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari krisis.
AnwarArifin mengungkap-kan bahwa dalam hal perbaikan dunia pendidikan ini pemerintah harus mempunyai political will.  Tanpa itu akan sangat sulit, tambahnya.  Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah adanya peran serta masyarakat dan seluruh stake-holder pendidikan untuk menyukseskan sistem pen-didikan yang baru nanti karena sistem pendidikan yang sebagai-manapun bagusnya tidak akan sukses tanpa peran serta dari mereka, termasuk kita semua. 
Diharapkan dengan reformasi pendidikan Indonesia akan terbentuk suatu sistem pendidikan yang baik, yang akan menciptakan manusia-manusia yang berkualitas tinggi.  Dengan SDM yang berkualitas tinggi tersebut bangsa kita dijamin akan makmur dan sejahtera karena kemampuannya mengolah sumber daya alam yang berlimpah. Dan dalam jangka pendek diharapkan Indonesia akan cepat bangkit dari krisis.  Oleh karena itu pemerintah harus melaksanakan reformasi pendidikan sekarang juga walaupun hal itu terasa amat terlambat.  Terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali.  Dan sekarang kita tinggal menunggu apakah itu akan dilakukan atau sebaliknya dan bangsa kita menjadi semakin bodoh  dan miskin.

D.    Tantangan Masa Depan Profesi Keguruan

Dalam satu dasawarsa terakhir ini semakin terasa benar tantangan dan problematik bagi profesi keguruan. Di tengah kian pesatnya perkembangan iptek yang berimplikasi pada perubahan tatanan dan nilai-nilai kehidupan, profesi keguruan tampak terpuruk ke dalam berbagai situasi yang dilematis. Kini, sosok guru bukan lagi sebagai figur satu-satunya sumber informasi bagi para anak didik. Hadirnya beragam perangkat teknologi informasi yang semakin canggih seolah-olah telah mengesampingkan peran sentral guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan. Masa yang disebut-sebut sebagai "era internet" telah memberi peluang yang seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin mengakses setiap perkembangan terbaru dibidang iptek, dengan segala bias jangkauannya yang seakan telah "menelan" dunia.
Pada satu sisi, perkembangan dunia iptek yang demikian mengagumkan itu memang telah membawa manfaat luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat mesin-mesin otomatis. Sistem kerja robotis telah mengalihfungsikan tenaga otot manusia dengan pembesaran dan percepatan yang menakjubkan.
Begitupun dengan telah ditemukannya formulasi-formulasi baru aneka kapasitas komputer, seolah sudah mampu menggeser posisi kemampuan otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktivitas manusia. Ringkas kata, kemajuan iptek yang telah kita capai sekarang benar-benar telah diakui dan dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan umat manusia. Namun, pada sisi lain, pesatnya kemajuan iptek ternyata juga cukup banyak membawa pengaruh negatif. Semakin kuatnya gejala "dehumanisasi", kita tergerusnya nilai-nilai kemanusiaan dewasa ini, merupakan salah satu oleh-oleh yang dibawa kemajuan iptek tersebut. Bahkan, sampai tataran tertentu, dampak negatif dari peradaban yang tinggi itu dapat melahirkan kecenderungan pengingkaran manusia sebagai homo-religousus atau makhluk teomorfis.
Potret buram semacam itu sudah tentu akan menjadi ancaman serius bagi peradaban umat manusia apabila kemajuan iptek yang luar biasa itu tidak diimbangi dengan pembinaan imtak atau mental-spiritual yang memadai. Sebab, dari situ akan lahir sosok-sosok manusia baru yang kehilangan rasa kemanusiaan dan keilahiannya. Sebagaimana kita mafhum, alat-alat teknologi canggih memang tidak punya hati dan akal --dua komponen yang merupakan tipikal kemanusiaan. Seberapa canggih pun sebuah perangkat komputer, sudah tentu tidak akan pernah mampu menandingi kepekaan emosional manusia. Maka, dalam posisi inidalah peran guru masih dipandang relevan dan bahkan sangat signifikan di tengah pesatnya kemajuan iptek sekarang ini.
Dalam konteks keindonesiaan, dunia pendidikan kita kini sudah dihadapkan pada tingkat kerawanan moral-religius yang memprihatinkan. Indikasinya dapat kita saksikan lewat berita-berita media massa sepanjang sepuluh tahun terakhir ini; makin seringnya terjadi tawuran antarpelajar, kian menipisnya rasa hormat anak terhadap guru dan orang tua, terjadinya kasus-kasus kriminal dan narkoba yang melibatkan pelajar atau mahasiswa, serta semakin mengecilnya rasa keimanan dan ketakwaan pada banyak generasi muda kita dewasa ini. Potret buram semacam itu sudah tentu akan lebih terasa pada dunia pendidikan di kota-kota besar karena memang gejala semacam itu terutama tumbuh subur di lingkungan masyarakat perkotaan. Oleh karenanya pula, pada sekolah-sekolah di wilayah perkotaan--sekolah-sekolah lanjutan pada khususnya --tantangan profesi keguruan akan terasa lebih berat dibandingkan rekan-rekan mereka yang bertugas di sekitar kota-kota kecil dan pedesaan.
Kenyataan di atas tidak mengandaikan bahwa guru-guru di pedesaan sama sekali lepas dari problem dan tantangan. Abad globalisasi yang ditandai dengan semakin terbukanya sistem informasi melalui berbagai jaringan komunikasi berteknologi tinggi merupakan keniscayaan yang sulit diramalkan. Gejala-gejala kerawan sosial yang kini pada umumnya baru melanda komunitas masyarakat urban di kota-kota besar bukan mustahil akan segera mewabah pula hingga ke pelosok-pelosok desa. Semakin memasyarakatnya televisi, parabola, laser disc, video compact disc, bahkan internet, sudah tentu akan membawa pengaruh yang sama terhadap dinamika masyarakat pedesaan. Jadi, sungguh bijaksana apabila kalangan tenaga kependidikan di wilayah pedesaan atau kota-kota kecil banyak belajar dari rekan-rekan mereka yang sudah lebih dahulu merasakannya guna menentukan langkah-langkah antisipatif dimasa datang, mumpung belum terlambat.
Memang, pola kehidupan masyarakat kota dan desa dalam dikotomi sosiologis disebut the two cultures -- merupakan variabel yang secara signifikan memberi warna tersendiri bagi peradaban suatu bangsa. Namun, sebagaimana telah disinggung, arus globalisasi yang kini kian nyata kita rasakan pengaruhnya hingga ke seluruh pranata sosial dan strata kehidupan masyarakat, kiranya dikotomo kota-kota sudah kian mengabur. Lahirnya berbagai alat komunikasi canggih yang kian memasyarakat itu, mau tidak mau, juga melahirkan keserbamungkinan -- dampak positif maupun negatifnya. Dalam konteks ini, peran profesi keguruan tetap diyakini banyak pakar masih memberikan andil yang tak tertandingi, terutama dalam kapasitas mereka sebagai salah satu komponen "penjaga" moral-value and standard, di samping orang tua dan masyarakat pada umumnya. Namun, perlu kita sayangkan, dewasa ini ada kecenderungan bahwa kedua komponen lain itu tampak memposisikan sosok guru sebagai "figur bayaran". Dalam arti, mereka seolah lepas dari tugas-tugas kependidikan dan menyerahkan masalah tersebut sepenuhnya kepada para guru atau sekolah. Buktinya, kebanyakan mereka kurang peduli terhadap kehidupan sekolah dan beban berat para guru dengan segala sisi manusiawinya.
Sebagai bandingan berharga, menarik untuk dipelajari kiat Amerika Serikat dalam upaya pembinaan mutu guru-gurunya sehubungan dengan kemajuan iptek dan abad globalisasi. Pada 29 April 1996, Presiden Bill Clinton telah meluncurkan program "Blue Ribbon Schools" untuk mencetak sosok-sosok pendidik masa depan yang disebut The 21st Century Teacher, Guru abad ke-21. Caranya, dari sekitar tiga juta guru di seluruh negara adidaya itu dipilih seratus ribu guru terbaik yang akan membagikan kelebihannya kepada rekan-rekan seprofesi lainnya melalui jaringan internet. Setiap guru sudah tentu memiliki akses ke internet dan mampunyai peluang yang sama untuk ikut berdiskusi atau sumbang pikiran. Barangkali, program "Sekolah Pita Biru" yang telah digerakkkan Amerika Serikat itu kini juga sudah mulai dicobaterapkan oleh negara-negara maju lainnya, kendatipun belum menjadikannya sebagai suatu gerakan.
Sayang, kondisi semacam itu tampaknya masih niscaya bagi dunia pendidikan di Indonesia. Di tengah krisis ekonomi dan kekacauan politik negara kita yang kian rawan belakangan ini, agak sulit kita berharap dapat melakukan gerakan serupa dengan kiat Amerika Serikat itu. Dengan kondisi kesejahteraan guru yang pas-pasan -- dalam kamus sosialogi mungkin masih tergolong dalam "laow income earners" --bagaimana mungkin barang luks semacam komputer bisa terjamah secara merata di kalangan guru kita, apalagi yang dipelosok-pelosok desa? Namun, tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka, toh kita masih boleh memanfaatkan dana "utang luar negeri" untuk terus mentradisikan wahana dialog semacam PKG, KKG, KKKS, atau MGMP. Sebab, esensinya sama dan memang cuma itu yang dapat kita lakukan sekarang.

E.     Daftar Pustaka

Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/ News/1999/01/ 220199/OpEd, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2.
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Dahrin, D.2000.Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas,Forum Rektor Indonesia.Vol.1 Hlm 24.
Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
NRC. 1996. Standar for Professional Development for Teacher Sains. Hlm. 59-70
Journal PAT. 2001. Teacher in England and Wales. Professionalisme in Practice: the PAT Journal. April/Mei 2001. (Online) (http://members. aol.com/ PTRFWEB/ journal1040.html, diakses 7 Juni 2001)
Semiawan, C.R. 1991. Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Stiles, K.E. dan Loucks-Horsley, S. 1998. Professional Development Strategies: Proffessional Learning Experiences Help Teachers Meet the Standards. The Science Teacher. September 1998. hlm. 46-49).
Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Depdikbud.
Surya, H.M. 1998. Peningkatan Profesionalisme Guru Menghadapi Pendidikan Abad ke-21n (I); Organisasi & Profesi. Suara Guru No. 7/1998. Hlm. 15-17.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Indonesia Tera.
Trilling, B. dan Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the Knowledge Age or "We're Wired, Webbed, and Windowed, Now What"? Educational Technology may-June 1999. Hlm. 5-18.


BAB XI
TEKNOLOGI INFORMASI MENUJU ERA GLOBALISASI
(
Prospek Menuju Era Globalisasi)

A.     Rasional
Teknologi Informasi (TI) adalah faktor yang sangat mendukung dalam penerapan Sistem Informasi yang merupakan suatu solusi organisasi dan manajemen untuk memecahkan permasalahan manajemen yang timbul.  Menuju era globalisasi para pimpinan organisasi dalam pengambilan keputusan (decision making) tertentu untuk pengembangan solusi yang baru maupun perubahannya akan digantikan oleh peranan Sistem Informasi (SI) yang didukung oleh TI yang tepat guna. Salah satu modal yang harus ditingkatkan untuk menghadapi hal tersebut adalah efektifitas pemanfaatan TI. Mengingat era globalisasi sudah diambang pintu, pentingnya pembahasan secara komprehensif mengenai kecendrungan (trend) dan prospek TI. Trend TI mengarah pada pemanfaatan teknologi komputer dan teknologi terkait dalam mengintegrasikan suatu data, gambar, grafik dan suara sehingga menghasilkan suatu informasi secara komprehensif. Informasi yang dihasilkan akan ditransfer melalui suatu jaringan (networking) ke tempat lainnya dan menghasilkan keluaran (ouput) yang sama. Prospek TI menuju era globalisasi memiliki peluang yang sangat besar karena informasi merupakan suatu komoditas terpenting. Adanya penggunaan PC (personal computer) dan komputer saku (Personal Pocket Computer) serta telepon genggam (handphone) dengan teknologi VoIP (Voice over Internet Protocol) dan WAP (wireless application protocol) akan mempermudah pemakai dalam penggunan surat elektronik (E-mail), melakukan konfrensi jarak jauh (tele/ video confrence), transaksi perdagangan secara elektronik (E-Business), transaksi perbangkan (Internet Bangking) serta mempermudah dalam perdagangan ekspor/ impor dengan penerapan EDI (Electronic Data Interchange). Pimpinan organisasi/ perusahaan akan memilih suatu aplikasi yang terintegrasi kesemua fungsi-fungsi yang ada pada organisasi, antara lain Software Package/ Enterprise Resources Planning - ERP (perusahaan korporasi), Sistem Informasi Manajemen Perguruan Tinggi-SimPerTi (pendidikan) dan Sistem Informasi Manjemen Daerah - SIMDA (pemerintahan). Dengan penerapan teknologi jaringan dengan cakupan dunia atau Wide Area Network (WAN) dan pemanfaatan media internet untuk pelaksanaan belajar mengajar (Cyber Education/ Virtual University) tanpa adanya kendala waktu, tempat, geografis, dan fasilitas. Demikian halnya dengan adanya pelaksaan otonomi daerah, promosi potensi daerah melalui media internet (Cyber City) dapat dengan mudah diterapkan secara efektif dan biaya yang efisien.

B.    Pengertian Teknologi Informasi 
Terminologi antara Teknologi Informasi (TI) dan Sistem Informasi (SI) dan Manajemen Informasi (MI) masih membingungkan di kalangan perusahaan atau organisasi dan banyak yang memberikan persepsi yang berbeda dalam mendefinisikan kegiatan - kegiatannya (Marchand,2000).
SI merupakan suatu aliran data, transaksi dan kegiatan dari suatu organisasi yang berfokus pada kualitas, waktu pengembangan, flexibilitas, biaya dan perawatan piranti lunak (software). TI merupakan kebijakan, standar dan pengembangan infrastruktur seperti piranti keras (hardware) dan jaringan (networking). TI lebih berfokus pada kemampuan, respon, kemudahan dan rasio biaya/performansi. Sedangkan MI lebih berfokus pada penggunaan, kualitas dan integritas dari informasi. Oleh karena itu integrasi SI, TI and MI yang diperlukan oleh manajemen yang disebut dengan Sistem Informasi Manajemen (SIM), dimana memiliki komponen - komponen sebagai berikut piranti keras, piranti lunak, data, jaringan, sumber daya manusia dan prosedur.
Piranti keras adalah peralatan fisik yang dipergunakan untuk masukan, proses, dan aktifitas keluaran dalam suatu sistem informasi. Piranti lunak terdiri dari instruksi - instruksi program secara terinci yang mengontrol dan mengkoordinasikan komponen komputer piranti keras dalam sistem informasi. Sedangkan jaringan merupakan suatu penghubung beberapa variasi komponen - komponen hardware dan software untuk komunikasi suatu lokasi ke lokasi tertentu lainnya.

C.    Pentingnya Teknologi Informasi
Saat ini kompetisi usaha semakin tinggi. Terutama pada era globalisasi dimana perusahaan besar dari luar negeri semakin bebas untuk beroperasi dan memasarkan produknya di Indonesia sehingga perusahaan lokal yang tidak mampu bersaing dengan sendirinya akan tersingkir. Oleh sebab itu, salah satu modal yang harus ditingkatkan untuk menghadapi hal tersebut adalah efektifitas pemanfaatan TI. Informasi merupakan aktiva (asset) penting pada suatu perusahaan dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan. Era saat ini, banyak organisasi tidak menyadari berapa banyak informasi telah didapat dan diproses serta didistribusikan baik secara manual maupun secara komputerisasi.
Menuju era globalisasi, para pimpinan organisasi dalam mengambil keputusan akan digantikan oleh peranan sistem informasi yang didukung oleh teknologi informasi yang tepat guna. Proses manajemen sudah tidak harus bertatap muka dan tidak tergantung pada keinginan sekelompok tertentu, akan tetapi dapat dikoordinasikan secara perseorangan melalui pemanfaatan TI.

D.    Peranan Teknologi Informasi
Ditinjau dari prospektif usaha dan manajemen, sistem informasi merupakan suatu solusi manajemen yang didukung oleh teknologi informasi untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam lingkungan organisasi. Oleh karena itu, seorang pimpinan organisasi harus mengetahui keseluruhan dari organisasi, manajemen, dan dimensi teknologi informasi serta mempergunakan peranan mereka dalam menyediakan solusi permasalahan.
Berdasarkan gambar 1, Teknologi Informasi (TI) adalah suatu alat yang tersedia untuk para pimpinan dalam menjalankan usaha atau organisasi untuk menyediakan suatu Sistem Informasi (SI) yang dipakai sebagai penunjang pengambilan keputusan dalam solusi usaha. Dengan kata lain bahwa manajemen, Teknologi Informasi dan organisasi merupakan suatu rantaian komponen terpadu dalam menunjang Sistem Informasi yang dipakai dalam memberikan baik solusi manajemen yang baru ataupun perubahan yang sudah ada.

Gambar 1 : Peranan Teknologi Informasi Dalam Mendukung Sistem Informasi
Dalam merancang dan mempergunakan teknologi informasi, kita dituntut harus mengerti lingkungan usaha, struktur organisasi dan fungsi - fungsinya, politik organisasi, peranan manajamen dan pengambilan keputusan.

E.     Kecendrungan (Trend) Teknologi Informasi (TI)
Kecendrunngan (trend) TI mengarah pada pemanfaatan teknologi komputer dan teknologi terkait dalam mengintegrasikan suatu data, gambar, grafik dan suara sehingga menghasilkan suatu informasi secara komprehensif. Informasi yang dihasilkan akan ditransfer melalui suatu jaringan (networking) ke tempat lainnya dan menghasilkan keluaran (ouput) yang sama.
Disamping itu pula, untuk perusahaan tergolong menengah ke atas, kecendrungan untuk membeli suatu paket aplikasi piranti lunak secara terpadu sehingga suatu perusahaan dapat menerapkannya secara terintegrasi kekeseluruhan fungsi - fungsi / departemen yang ada pada organisasi tersebut.
Degan semakin besar peranan teknologi jaringan dengan cakupan dunia atau Wide Area Network (WAN) atau sekarang populer dikenal dengan Internet, penyebaran informasi baik untuk program pendidikan (Cyber Education), maupun untuk transaksi perdagangan (Electronic Business) serta komunikasi jarak jauh (Telephony/ Video Confrence) dapat dengan mudah dilakukan secara efektif dan biaya yang efisien.
Sejalan dengan pemberlakuan otonomi daerah, hal tersebut juga akan dimanfaatkan oleh pemerintah daerah melalui informasi dalam pengembangan Cyber City untuk dapat lebih mempromosikan potensi daerah, seni budaya dan investasi apa saja yang dapat dimanfaatkan oleh investor dari mancanegara.

F.     Prospek Teknologi Informasi (TI) Menuju Era Globalisasi
Dalam membahas prospek TI tidak dapat dipisahkan dengan SI, oleh karena itu pembahasan dikategorikan menjadi 3 komponen utama, yaitu: piranti keras (hardware), telekomunikasi (telecom- munication) dan piranti lunak (software)

1.  Piranti Keras
Teknologi Mainframe merupakan suatu teknologi sentralisasi dimana tempat penyimpanan data dipusatkan disuatu tempat tertentu sehingga kontrol hanya terbatas pada suatu group ataupun divisi. Sedangkan teknologi Client Server menggunakan konsep desentralisasi sehingga penyimpanan data tersebar di berbagai tempat. Saat ini banyak perusahaan yang beralih dari teknologi Mainframe ke teknologi Client Server sehingga banyak pengguna memanfaatkan PC (Personal Computer) yang memiliki konfigurasi yang rendah sebagai sebagai Client dan mengambil serta mengolah data dari PC lainnya sebagai Server.
Sejalan dengan berkembangnya teknologi perbangkan melalui internet (Internet Bangking) dan perdagangan secara elektronik (Electronic Commerce), pasar piranti keras didominasi dengan pemakaian PC, akan tetapi Personal Pocket Computer yang dapat disimpan dalam saku akan menggantikan peranan Laptop sebagai pirati keras bagi pemakai yang banyak bepergian dibandingkan bekerja di suatu tempat. Disamping itu pula pemakai jasa telepon genggam (handphone) akan memanfaatkan teknologi WAP (Wireless Application Protocol) untuk dapat mengirim/ menerima e-mail, pencarian (browsing) informasi di internet, bahkan melakukan transaksi perdagangan melalui internet.

2. Telekomunikasi
Dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi dapat mengeliminasi hambatan letak ataupun geograpis dan waktu, sehingga perusahaan ataupun organisasi meningkatkan jasa dan produksinya, pengambilan keputusan, pengembangan segmentasi pasar yang lebih luas dan mudah dalam membina hubungan dengan kastemer.  Electronic mail (E-mail) adalah suatu pertukaran pesan atau surat dari suatu komputer dengan komputer lainnya.
Voice over Internet Protocol (VoIP). Dengan memanfaatkan teknologi VoIP memungkinkan seseorang melakukan percakapan telepon kemana saja di seluruh dunia melalui media internet, sehingga dapat mengurangi biaya operasional untuk pembicaraan interlokal maupun Saluran Langsung Internasional (SLI).
Teleconfrence menyediakan fasilitas pembicaraan dan pertemuan suatu grup melalui telepon, sehingga mereka dapat mengurangi pertemuan tatap muka secara langsung dan berdiskusi melalui media elektronik. Sedangkan videokonfrensi adalah suatu konfrensi yang membutuhkan ruang konfrensi, mikropon, kamera dan beberapa peralatan komputer yang dapat menterjemahkan video image dan suara analog menjadi signal digital yang dikirimkan melalui suatu saluran komunikasi.
Wireless Application Protocol (WAP) merupakan standard dunia untuk mendapatkan informasi melalui teknologi wireless untuk pemakai telepon genggam (handphone) dalam menggunakan e-mail, pencarian informasi dan transaksi perdagangan melalui media Internet. Elektronic Data Interchange (EDI) adalah pertukaran dokumen standar transaksi bisnis antara komputer satu dengan lainnya secara langsung diantara beberapa organisasi. Dokumen - dokumen yang dihasilkan antara lain invoices bill of lading atau purchase order.


3.  Piranti lunak
Piranti Lunak dibagi dalam 3 komponen utama, yaitu sistem operasi piranti lunak (operating system software), aplikasi piranti lunak (application software) dan aplikasi untuk pemakai akhir (End User Software Package).

a.  Sistem operasi piranti lunak
Sistem operasi ini sangat mutlak diperlukan dalam menjalankan aplikasi piranti lunak. Dulu kita mengenal sistem operasi DOS, saat ini ada banyak sistem operasi yang dapat kita pergunakan, antara lain Microsoft mengeluarkan Windows Millenium serta Windows NT. IBM jug mengandalkan sistem operasi yaitu OS/2. Kesemuanya tersebut dipergunakan untuk pemakai yang berbasis PC. Kriteria sistem operasi untuk berbasis PC yang diperlukan untuk dimasa mendatang adalah biaya yang relative murah dalam penerapan serta dapat dimodifikasi oleh penggunanya. Salah satunya adalah sistem operasi LINUX yang sangat populer terutama di kalangan mahasiswa dan profesional TI. Sedangkan untuk yang bukan berbasis PC, sistem operasi berbasis UNIX akan tetap dipertahankan.

b.     Aplikasi piranti lunak
Untuk pengembangan aplikasi piranti lunak, organisasi dihadapkan pada dua pilihan yaitu mengembangkan aplikasi sendiri (Application Development) atau/ dan membeli paket aplikasi (Application Package).

c.     Application Development
Untuk pengembangan/ membuat apllikasi sendiri, diperlukan seorang programmer yang memilki pengetahuan dan skill bahasa pemrograman tertentu. Prospek bahasa pemrograman akan mengarah kepada pemrograman berbasis obyek (object oriented programmning) yang dipadukan dengan berbasis Web (Web Based) sejalan dengan perkembangan internet yang semakin pesat. Sebagai contoh: Visual Studio, ASP (Application Service Provider), ColdFusion, JAVA, PHP dan sebagainya.

d.     Aplikasi Paket (Application Package)
Dalam menentukan ataupun pemilihan piranti lunak, hal - hal yang perlu perhatikan yaitu pantas ataupun layaknya piranti lunak tersebut diterapkan berdasarkan pengalaman, referensi, pertimbangan organisasi, pelayanan dan tingkat produktifitas.

Enterprise Resources Planning (ERP) Software. Untuk tingkat level korporat dari suatu perusahaan, kecendrungan suatu perusahaan menerapkan suatu paket aplikasi yang terintegrasikan dan memenuhi kriteria dari 4 komponen fungsi utama dari perusahaan yaitu : Sumber Daya Manusia, Akutansi/ Keuangan, Supply Change Management (SCM). Lima besar ERP software package, yaitu SAP, Oracle , PeopleSoft, JD Edward dan BAAN.
Software Package. Suatu piranti lunak yang terintegrasi fungsi - fungsi mencakup akutansi, manajemen material, sumber daya manusia, produksi, perawatan, atau/ dan fasilitas lainnya yang ada pada perusahaan. Paket - paket populer tersebut yang akan dan sudah diterapkan di Indonesia antara lain : IFS, BAPICS, PRISM, Mincom, Quantum dan sebagainya.
Pendidikan. Paket terintegrasi di bidang pendidikan yang sudah diterapkan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia yaitu SimPerTi (Sistem Informasi Manajemen Perguruan Tinggi). SimPerTi terdiri dari Sub Sistem Akademik, Perpustakaan, Perlengkapan, Keuangan, Perlengkapan, dan Kemahasiswaan. Pemerintahan. SIMDA (Sistem Informasi Manajemen Daerah) merupakan paket terintegrasi untuk bidang pemerintahan daerah dimana bagian dari Sistem Informasi Dalam Negri (SIMDAGRI). SIMDA terdiri dari beberapa sub sistem antara lain;
a.     SIMKAP (Sistem Informasi Perlengkapan)
b.     MAKUDA (Manajemen Keuangan Daerah)
c.     SIMDUK (Sistem Informasi Kependudukan)
d.     SIMAPBD (Sistem Informasi Anggaran Pendapatan Daerah)
e.     SIMATAP (Sistem Pelayanan Satu Atap)

Cyber Education. Dengan adanya kemudahan berkomunikasi dengan menggunakan teknologi multimedia, teleconfrence/ video confrence, memungkinkan adanya proses belajar mengajar jarak jauh melalui internet atau dikenal dengan istilah Cyber Education/ Virtual University. Sehingga mahasiswa dapat kuliah dimana saja diseluruh penjuru dunia dan kapan saja karena jarak geografis dan waktu bukan merupakan kendala utama.
Cyber City. Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan menghadapi persaingan yang semakin ketat dimasa yang akan datang, promosi potensi daerah harus disebarluaskan keseluruh penjuru dunia. Untuk penyebaran informasi tersebut harus didukung oleh teknologi informasi yang handal, yakni sebuah teknologi berbasis Wide Area Network (WAN) atau Internet sehingga informasi mengenai potensi daerah dapat tersebar luas ke seluruh penjuru dunia secara efektif dan effisien. Salah satu solusi yang tepat dalam rangka itu adalah dengan diterapkan sistem informasi CyberCity berbasis teknologi multimedia dan internet.
Konsep CyberCity merupakan media informasi secara on-line berbasis internet mengenai daerah untuk masyarakat sekitarnya pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Komunikasi tersebut melibatkan pemerintah, kalangan dunia usaha, pendidikan, lembaga sosial masyarakat serta masyakat umum.

e.     Paket Aplikasi untuk Pemakai Akhir (End User Software Package
Paket aplikasi ini sering dipakai oleh individu ataupun perusahaan/ organisasi dalam pengolahan data (spreadsheet), pembuatan surat (word processing), makalah presentasi, dan desain dan grafis. Sebagai contoh Microsoft Office (Microsoft), Lotus Smart Suite (Lotus), Corell Draw, Auto Cad dan lain sebagainya.
G.  Kesimpulan
Menuju era globalisasi, para pimpinan organisasi dalam mengambil keputusan (decision making) akan digantikan oleh peranan Sistem Informasi (SI) yang didukung oleh efektifitas pemanfaatan Teknologi Informasi. Oleh karena itu kebutuhan manajemen harus diimbangi dengan komponen - komponen SI dan TI, yaitu piranti keras (hardware), piranti lunak (software), data, jaringan (networking), sumber daya manusia (human resources), dan prosedur (procedure).
Kecendurangan (trend) TI menuju pada pemanfaatan komputer dan teknologi terkait professional dibidangnya untuk integrasi suatu data, gambar dan suara sehingga menghasilkan suatu informasi secara komprehensif. Implementasinya berupa penerapan aplikasi multimedia, aplikasi program berorientasi obyek (object oriented) dan berbasis web (web based) melalui media internet, dan penerapan paket aplikasi terpadu/ terintegrasi (integration software package).
Prospek TI menuju era globalisasi memiiki peluang yang sangat besar karana informasi merupakan suatu komoditas terpenting. Adanya penggunaan PC (personal computer), komputer saku (Personal Pocket Computer), telepon genggam (handphone) serta teknologi VoIP (Voice over IP) dan WAP (wireless application protocol) akan mempermudah pemakai dalam penggunan surat elektronik (e-mail), melakukan konfrensi jarak jauh (tele/ video confrence), transaksi perdagangan (e-business), transaksi perbangkan (Internet Bangking) serta mempermudah dalam perdagangan ekspor/ impor dengan penerapan EDI (Electronic Data Interchange).
Pimpinan organisasi/ perusahaan akan memilih suatu aplikasi piranti lunak (application sofware) yang terintegrasi kesemua fungsi yang ada di organisasi, antara lain ERP / software package (perusahaan korporasi), SimPerTi (pendidikan), SIMDA (pemerintahan).
Dengan penerapan teknologi jaringan dengan cakupan dunia atau Wide Area Network (WAN) dan pemanfaatan media internet untuk pelaksanaan belajar mengajar (Cyber Education/ Virtual University) tanpa adanya kendala waktu, tempat, geografis, dan fasilitas. Demikian halnya dengan adanya pelaksaan otonomi daerah, promosi potensi daerah melalui media internet (Cyber City) dapat dengan mudah diterapkan secara efektif dan biaya yang efisien
Memperhatikan uraian di atas, maka untuk peningkatan mutu pendidikan dan lulusan FKIP yang mampu mengikuti tuntutan perkembangan perlu dirumuskan suatu sistem manajemen mutu pendidikan guru yang tepat.
Sebagai suatu rambu-rambu, lembaga pendidikan tenaga kependidikan haruslah mengikuti arah paradigma baru pendidikan yaitu mengedepankan layanan mutu dengan membuka diri terhadap penerapan prinsip otonomi pendidikan, siap menerapkan akuntanbilitas publik, siap diakreditasi bahkan mengusahakannya, dan dari waktu ke waktu melakukan evaluasi diri untuk perubahan yang lebih baik  agar menghasilkan suatu lembaga dan lulusan yang bermutu. FKIP harus melakukan usaha-usaha mendasar manajemen mutu yakni memperhatikan segala tuntutan dan kebutuhan “stakeholder”, mendorong motivasi instrinsik dalam lembaga untuk mengejar mutu, dan secara terus menerus melakukan perbaikan, serta menjalin kerjasama dari semua unsur yang terlibat dalam proses pencapaian mutu tersebut. FKIP harus mampu membawa  semua unsur intern lembaga menempatkan diri sebagai  lembaga “jasa” yang harus  dapat “melayani” fihak-fihak yang  berkepentingan menjadi terpuaskan dan terlayani kebutuhannya dengan baik.
Adanya revolusi teknologi informasi, mendorong bagi FKIP/STKIP untuk meningkatkan profesionalisme lulusan melalui usaha-usaha penyiapan calon guru/tenaga kependidikan lainnya untuk dapat menguasai dan menyesuaikan terhadap tuntutan perubahan akibat revolusi teknologi informasi tersebut. Kesiapan dan keterbukaan akan terjadinya pola hubungan peserta didik – guru, teknologi instruksional dan lain-lainnya, harus diantisipasi melalui perubahan-perubahan didalam FKIP itu sendiri.
Kerjasama FKIP/STKIP dengan organisasi profesi (seperti PGRI) dan alumni sangatlah penting, terutama dalam merumuskan dan meningkatkan kompetensi guru, termasuk memberikan layanan “inservice training” bagi guru-guru/tenaga kependidikan lainnya yang memerlukan penyegaran kemampuannya.
Dalam fungsi lembaga pendidikan sebagai penyampai informasi, FKIP perlu memilih media-media pendidikan yang tepat agar selalu dapat mengejar ketinggalan dengan mengacu pada informasi yang dibutuhkan dan bermakna bagi peserta didik. Untuk itu, maka pilihan atas teknologi informasi yang mutakhir sudah menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dihindari.
Di lingkungan Departemen Kesehatan bentuk kemitraan pemanfaatan sumber belajar yang dikukuhkan dengan AD/ART atau kode etik atau Surat Keputusan Bersama (SKB) belum pernah ada. Pada kenyataannya, bentuk kemitraan tersebut sudah  lama ada. Sebagai contoh pemanfaatan tenaga ahli atau tenaga profesional sebagai fasilitator atau narasumber, pemanfaatan sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan digunakan secara bersama, pemanfaatan Rumah Sakit sebagai lahan praktek siswa dan mahasiswa, dan laboratorium lapangan yang melibatkan masyarakat sebagai mitra.
                Buku acuan pengembangan PSB ini masih dalam bentuk garis besar dan bersifat umum (generik), sehingga hal-hal yang bersifat spesifik daerah dapat dikembangkan sendiri selama tetap mendukung prinsip dan tujuan  pembentukan Pusat Sumber Belajar.


DAFTAR PUSTAKA
Laudon, “Management Information Systems; Organization and Technology”, Mcmillan Publishing Co., 1993.
Marchand, A. Donald, "Competing with Information", Wiley, 2000
M. Roche, “Managing Information Technology in Multinational Corporations”, Mcmillan Publishing Co., 1992.
Schultheis, M. Sumner, “ Management Information Systems : Manager View”, Irwin, 1995.





BIO DATA PRIBADI

DR.HAMID DARMADI.,M.Pd
Lahir di Sungai Pukat Sintang, 30 Maret 1955 adalah anak kedua dari sembilan bersaudara, dari enam bersaudara yang hidup. Ayah bernama Jala, Ibu bernama Sinja. Alamat: -Jl.Purnama Karya No.4, -Jl.Perdamaian Ary Karya Indah IV G.1 Kota Baru Pontianak-78114 Telpon (0561) 7060355, HP.0561 7060356,  HP.0816 498 4216
PENDIDIKAN :
1.     SDN Sungai Pukat Sintang Tamat  Desember  1968
2.     SMPN 17 Sintang Tamat 1971
3.     SPGN Sintang Tamat Desember 1974
4.     Sarjana Muda (BA) FIP-Untan Pontianak Desember 1979
5.     Sarjana Pendidikan (Drs) FKIP-Untan Pontianak 17 Mei 1984
6.     Magister Pedidikan (M.Pd) IKIP Malang  16 Desember 1994
7.     Magister Of Science (M.Sc) 19 Juni Jakarta 1999
8.     Doktor Pendidikan (DR) IKIP/UPI Bandung 25 April 2003

PENGALAMAN AKADEMIK :
1.     Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS STKIP-PGRI Pontianak 1987-1992
2.     Ketua Jurusan Pendidikan IPS STKIP-PGRI Pontianak 1995-1999
3.     Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan STKIP-PGRI Pontianak periode 2003-2007 Pembina Tingkat I Golongan IV.b Letor Kepala

PENGALAMAN ORGANISASI :
1.     Ketua Biro Pendidikan dan Kaderisasi AMPI Kalbar 1985-1990
2.     Wk.Ketua DPD AMPI Kalbar 1990-1994
3.     Ketua Biro Pemuda dan Kaderisasi  DD KNPI 1987-1991
4.     Wk.Ketua Pemuda Kiara Kalbar 1995-1999
5.     Wanhat AMPI Kalbar 1994-1999
6.     Sekretaris FKM Pascasarjana Kalbar di Bandung 2001-2002
7.     Ketua Umum Mahasiswa Pascasarjana dan Alumni Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung 2002-2003
8.     Tim Penatar P4 Propinsi Kalbar 1987 s/d.1999,
9.     Tim Instruktur LP2P4 Tingkat I Propinsi Kalbar 1997 s/d 1999
10.   Tim Steering Committee (SC) Seminar Nasional Revisi UU Sistem Pendidikan Nasional 26 April 2001 di Bandung, 27-28 April Jakarta.


PENGALAMAN SEMINAR DALAM DAN LUAR NEGERI :
1.     Seminar International Asean Youth Conference di Kuching Sarawak Malaysia  Maret 1991,
2.     Seminar  Asean Youth Camp Bako National Park Sarawak Malaysia Mei 1991,
3.     Seminar Asean Borneo III-IV Malaysia, Singapore, Brunai Darulsalam dan Indonesia, 22 Agustus 1996
4.     Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing (KIPBIPA III) tanggal 11 s/d 13 Oktober 1999 IKIP Bandung,
5.     Seminar Mutu Pendidikan Dalam Dies Natalis ke 45 dan Lustrum ke IX IKIP Bandung “Desentralisasi dan Otonomi Pendidikan” Tanggal 11 s/d. 15 Oktober 1999 IKIP Bandung,
6.     Seminar Pendidikan Nasional dan pembangunan Peradaban Bangsa 15 Februari 2000  (ISPI – CINAPS) Hotel  Le Meridien Jakarta,
7.     Seminar Otonomi Daerah : Kalimantan Barat, Otonomi dan Trauma sejarah Masa lalu, 4 Maret 2000 di Hotel Horison Jakarta,
8.     International Seminar On The Needs-Assesment For New Indonesian Civic Education (CICED) Hotel Papandayan Bandung 29 Maret 2000,
9.     Seminar Masalah, Tantangan dan Prospek PLS dalam Era Global” UPI Bandung, 30 Maret 2000,
10.   Seminar Lokakarya Uji Statistik dan Aplikasinya dengan Komputer, Puslit UPI Bandung, 12 s/d/13 April 2000
11.   Seminar, Review on 1994 Curriculum : An Effort to Establish Future Direction in English Language  Teaching In Indonesia” held by English Students Assosiation (ESA) Faculty of  Language and Art Education The Indonesia University Of education On April, 8, 2000,
12.   Training Advokasi Guru Tingkat nasional 2 s/d.3 Mei 2000 “Pendidikan : Komponen Pokok Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani” UPI Bandung,
13.   Seminar nasional “Reformulasi pembelejaran Fisika”  UPI Bandung, 20 Mei 2000,
14.   Seminar Nasional Save The Art 16 September 2000 di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung,
15.   Seminar Nasional Pendidikan dan Hak Asasi Manusia (HAM) UPI Bandung,
16.   Seminar Nasional Menyongsong Diterapkannya Otonomi Daerah 31 Agustus 2000 UPI Bandung,
17.   Seminar Internasional Higher Education Reforms Towards the New Era of Global Competition  UPI Bandung  18 Oktober 2000,
18.   Seminar Masyarakat Madura Perantauan dan Konflik Etnis 12 Maret 2001 di Hotel Panghegar Bandung (di Sponsori Rotary Club Bandung),
19.   Seminar Mengatasi Konflik Etnis dan Solusi Pemecahannya,  30 Maret 2001 di Mess/Aula Pikiran Rakyat (PR) Bandung,
20.   Seminar Nasional, Teknologi Pendidikan Nasional 22 Juni 2001 UPI Bandung. Seminar Nasional, Pengembangan Manajemen Terapan dalam Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja. Bumi Siliwangi Bandung, 9 Oktober 2002.
21.   Seminar Nasional Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nsional dalam Memaknai  Profesionalisme Jabatan Kependidikan” Bandung April 2001,
22.   Seminar Nasional, Paradigma Baru Pengajaran sastra Antara Harapan dan Tantangan PPS UPI Bandung dan Dinas Pendidikan Jawa  Barat 18 Februari 2003,
23.   Seminar Internasional in the National Seminar on Discovery Learning conducted by the Departement of  Mathematics Education in cooperation with Office of Deputy Rector for Academic Affairs, the Faculty of  Mathematics and Science Education, and Post Graduate Program of Mathematics Education, Bandung, March 20th, 2003.
24.   Seminar Strategi Perusahaan Bermitra Dengan Media Massa  & Bedah Buku Kiat Sukses Menulis di Media 24 Mei 2003,
25.   Pemakalah Seminar dan Sosialisasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Sungai Pinyuh Kabupaten Pontianak; Pontianak 9 Agustus 2003
26.   Pemakalah Seminar dan Sosialisasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat; Sambas 28 Agustus 2003
27.   Dialog Interaktif Menuju Kalbar Bersatu dan Bedah Buku Daya Tahan Bangsa Pontianak, 26 Januari 2004.
28.   Pemakalah Seminar dan Sosialisasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Nanga Mahab Kabupaten Sekadau, 23 Juni 2003
29.   Seminar dan Sosialisasi Bibliografi  Nasional Indonesia yang diselenggarakan oleh Kepala Direktorat Deposit Bahan Pustaka Nasional Tanggal 30 Juni 2004.
30.   Pemakalah Seminar Peran Serta Guru Menyikapi Perkembangan  Otonomi Daerah, Desentralisasi Pendidikan dan Globalisasi  Pendidikan. Kabupaten Sekadau 8 Juli 2004.                                                                                       
31.   Pelatihan Dasar-dasar Koperasi Kredit Khatulistiwa Bakti  31 Juli s/d 1 Agustus 2004. Pontianak 1 Agustus 2004.
32.   Pelatihan Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Bagi Dosen PTS di Lingkunganb Kopertistis Wilayah XI Kalimantan yang diselenggarakan di Pontianak Tanggal 4 s/d 6 Oktober 2004 ; Pontianak 6 Oktober 2004.
33.   Pemakalah Pada Kegiatan Diskusi pengumpulan Pendapat Perlunya Pendidikan Sejarah di Kalbar ditangani secara Profesional. Pontianak, 6 Desember 2004
34.   Pemakalah /Nara Sumber Dialog Interaktif di TVI-RI Pontianak Tentang Pendidikan Sejarah di Kalbar Mewakili STKIP-PGRI Pontianak Atas Permintaan Kepala Balai Kajian Sejarah dan NIlai Tradisional Pontianak Tanggal 7 Desember 2004
35.   Seminar dan Lokakarya (Semiloka) Pemajuan dan Penegakkan Hak Asasi Manusia di Kalimantan Barat oleh Perwakilan KOMNAS HAM Daerah Kalimanatn Barat ; Pontianak 14 Desember 2004.

PENELITIAN
1.     Kebutuhan Guru Agama Kristen Protestas Pada Sekolah Menengah Tingkat Atas  di Provinsi Kalimantan Barat Pontianak, 5 Mei 1988 (Rp.2.875.000,-)
2.     Pengaruh Komunikasi Dari kepala sekolah Terhadap Pembinaan Kurikulum PMP Oleh Guru Pada SMP Negeri Se-Kotamadya Pontianak; Pontianak, 15 Agustus 1988.
3.     Analisis Pandangan  Masyarakat Kecamatan Sekayam Tentang Dibukanya  Jalur Lintas Batas Indonesia-Malaiysia  dan Implikasinya Bagi Bagi Kondisi Ekonomi dan Pendidikan 16 Desember 1990. (Rp.975.000,-)
4.     Pengaruh Kepemimpinan kepala sekolah terhadap Peningkatan Kematangan Kerja dan Kepuasan Kerja Guru Pada Sekolah Menengah Atas Negeri Kotamadya Pontianak, 16 Desember 1992
5.     Pengaruh Pengawasan Kepala sekolah terhadap Guru-Guru dan Staf Dalam Melaksanakan Admin istrasi Personil Sekolah Menengah Pertama Negeri Kotamadya Pontianak ; Pontianak 8 Desember 1993
6.     Desain Pekerjaan Bagian Administrasi Akademik dan kemahasiswa STKIP-PGRI Pontianak ; Pontianak Juli 1995.
7.     Pengaruh Teknik Supervisi dari Kepala sekolah Terhadap Kemamapuan Guru Menyajikan Materi pelajaran Pada SMP Negeri Nanga Tepuai Kabupaten Kapuas Hulu Pontiana; 6 Nopember 1996
8.     Studi Perbandingan Perbandingan Administrasi Sekolah Antara SLTP Negeri 1 Dengan SLTP Negeri 3 Kotamdya Pontianak ; Pontianak Agustus 1998
9.     Pembuatan Program Pengajaran Oleh Guru PPKn  Pada SMU Swasta Abdiwacana Disama Kotamadya Pontianak.; Pontianak Nopember 1998.
10.   Pengaruh Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemampuan Orang Tua Menyekolahkan Anak Pada SD SMP Negeri Kecamatan Sukadana Kabupaten Ketapang Juli 1999.
11.   Pengelolaan Kearsipan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri Kotamadya Pontianak; Pontianak Januari 1999.
12.   Upaya Orang Tua Memfasilitasi Kecerdasan Emosional dan Kecenderungan Perilaku Anak Pada Sekolah dasar Negeri  Kembayan Kabupaten Sanggau Juni 2003
MENULIS BUKU PELAJARAN
1.     Kurikulum dan Buku Teks PMP 1987 s/d 1992
2.     Psikologi Pendidikan 1987 s/d 1992
3.     Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi  5 Mei 1993
4.     Landasan Psikologi Pendidikan 1988 s/d 1989
5.     Pengantar PMP 1995 s/d 1999
6.     Essensil Pendidikan Pancasiala 1995 s/d 1999
7.     Pengantar Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial ; Bandung  2000
8.     Pengantar Ilmu Politik dan Sosial Budaya ; Bandung 2001
9.     Dasar Konsep Pendidikan Moral (DKPM) Pontianak 2003
10.   Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Desember 2004
11.   Pendidikan Pancasila dan UUD 1945 ; Pontianak Desember 2004
12.   Pengantar Kurikulum Berbasis Komptensi Januari 2005

MENULIS ARTIKEL DAN MAKALAH
1.     Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Civic Education (Suatu Rekonsiliasi Nilai Dalam Upaya Mencapai Peradaban Bangsa) Bandung 29 Maret 2000.
2.     Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat madani Bandung, Juni 2000.
3.     Suatu Masa Depan yang Penuh Tantangan dan rahasia Tersembunyi  Dibalik Globalisasi dalam Prosfek Globalisasi Disadur dari : A future Perfect : “The Challenge And Hidden Promise of Globalization” Bandung, Desember 2000
4.     Wisata Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial ; Bandung Desember 2000.
5.     Pemerintah Sebagai Agen Perubahan Sosial (Suatu Kaajian Stratafikasi Perubahan Sosial Masyarakat) Bandung ; Desember 2000.
6.     Persoalan Kebudayaan Bentuk Perkembangan Nilai Kebudayaan  dan Social Studies dalam Prosfek Global Education. Bandung, Desember 2000.
7.     Prosfek Pembukaan Program Studi Sejarah di Kalimantan Barat. Pontianak, Balai Kajian Sejarah , Desember 2004.
8.     Prosfek Pembukaan Proghram Studi Geografi di Kalimantan Barat; Pontianak, Balai Kajian Sejarah, Juli 2004
9.     Korelasi Antara  Pengalaman Atributif, Tingkat Pendidikan, Masa kerja, Kepribadian Guru dan Kemamapuan Sklastik dengan kemampuan Guru Mengajar dan Pencapaian Belajar Siswa. Bandung : PAEDAGOGIA ; Jurnal Ilmu Pendidikan  Volome 2 No.2 FIP UPI Bandung.
10.   Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Luar Sekolah Sebagai Pendukung Pembanguanhan Nasional EDUKASI :Jurnal Pendidikan Vol.1 No.1 Okt.2004 Pontianak ; STKIP-PGRI Pontianak.
11.   Moral dan Profesionalisme Guru Januari 2005 ; Bandung Pikiran Rakyat.










1 komentar: